III. KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

MINGGU 6. MARKETING MARGIN

III. KERANGKA KONSEPTUAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

Lanjutan Pemasaran Hasil Pertanian

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORITIS. Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung khususnya di PTPN VII UU

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pangsa pasar sering digunakan dalam ekonomi perusahan ataupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

margin pemasaran dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut:

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

TATANIAGA PERTANIAN (lanjutan) OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran 2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TATANIAGA BERAS

Jurnal NeO-Bis Volume 8, No. 2, Desember 2014 DI KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR

ANALISIS TATANIAGA BUNGA KRISAN DI KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

IV. METODE PENELITIAN

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

3. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian

IV. METODE PENELITIAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

ANALISIS TATANIAGA CENGKEH DI KECAMATAN AMAHAI, KABUPATEN MALUKU TENGAH, PROVINSI MALUKU YENI PURNAMASARI

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

Pemasaran Hasil Pertanian/Peternakan

SISTEM PEMASARAN AGRIBISNIS Sessi 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barangnya ke pemakai akhir. Perusahaan biasanya bekerja sama dengan perantara untuk


A. WAKTU DAN TEMPAT B. METODE PENELITIAN

RESEARCH. Ricky Herdiyansyah SP, MSc. Ricky Sp., MSi/Pemasaran Agribisnis. rikky Herdiyansyah SP., MSi. Dasar-dasar Bisnis DIII

TINJAUAN PUSTAKA. berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya berupa pupuk kandang, kulit, dan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gambaran Umum Stroberi. Stroberi merupakan salah satu tanaman buah-buahan yang mempunyai nilai

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

B. Fungsi - Fungsi Pemasaran

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai sistem tataniaga dan pendekatan-pendekatan analisis tataniaga seperti pendekatan komoditi, pendekatan lembaga dan saluran tataniaga, pendekatan fungsi tataniaga, pendekatan sistem dan struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, dan farmer s share. 3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau marketing. Definisi dari tataniaga pertanian adalah proses aliran pemasaran suatu komoditi pertanian dari tangan produsen ke pihak konsumen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga, oleh karena itu tataniaga merupakan suatu kegiatan yang produktif (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari tataniaga, yaitu menyampaikan suatu produk dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengembangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi). Proses konsentrasi merupakan tahap awal dari pergerakan arus tataniaga suatu barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang lebih besar agar dapat disalurkan ke pasarpasar eceran secara lebih efisien. Kemudian dilanjutkan dengan proses equalisasi, yaitu berupa tindakan penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah, dan kualitas. Tahap terakhir adalah proses dispersi dimana 23

barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke arah konsumen atau pihak yang menggunakannya. Tataniaga hasil pertanian memiliki perbedaan dengan tataniaga produk non pertanian. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada ciri dan sifat khusus yang dimiliki oleh produk pertanian. Soekartawi (1989) menyebutkan ciri produk pertanian yang membedakan dengan produk non pertanian, yaitu: 1) Produk pertanian adalah musiman. Artinya, produk pertanian tidak mungkin tersedia setiap saat bila tanpa diikuti dengan manajemen stok yang baik. 2) Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak. Artinya, produk pertanian diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jika diinginkan penyimpanan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan. 3) Produk pertanian bersifat bulky. Artinya, volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, akibatnya dalam proses pengelolaannya diperlukan tempat yang luas. 4) Produk pertanian lebih mudah terserang hama dan penyakit. 5) Produk pertanian tidak selalu mudah didistribusikan ke tempat lain. 6) Produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi, melainkan dari berbagai tempat. 7) Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam dari satu bahan baku yang sama. 8) Produk pertanian kadang memerlukan keterampilan khusus yang tenaga ahlinya sulit disediakan. 9) Produk pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain, disamping juga dapat dikonsumsi langsung. 10) Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai produk sosial, seperti beras di Indonesia. Untuk menganalisis sistem tataniaga suatu komoditas pertanian dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sudut pandang yang dikenal dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Terdapat lima pendekatan pada pendekatan S-C-P yang sering dilakukan, yaitu pendekatan barang/komoditi 24

(commodity approach), pendekatan fungsi (functional approach), pendekatan lembaga (institusional approach), pendekatan sistem (system approach), dan pendekatan permintaan-penawaran/pendekatan teori ilmu ekonomi (economics theoritical approach) (Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). 3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga Sudiyono (2002) mengemukakan bahwa pendekatan komoditi (commodity approach) dilakukan dengan cara menetapkan komoditi apa yang akan diteliti dan kemudian mengikuti aliran komoditi tersebut dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir serta menekankan dengan penggambaran mengenai apa yang dilakukan terhadap komoditi pertanian dan bagaimana suatu komoditi pertanian dipasarkan secara efisien. Dengan pendekatan ini, secara deskriptif mampu menggambarkan apa yang terjadi pada proses pemasaran suatu komoditi pertanian yang mengalir dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Masalah-masalah pemasaran komoditi pertanian seperti kerusakan karena lama proses pemasaran, kesalahan penanganan, kontrol kualitas yang rendah, penanganan pascapanen berlebihan yang semestinya tidak penting dilakukan, dapat diteliti secara seksama dengan mengikuti saluran-saluran pemasaran komoditi pertanian ini. 3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga Aliran barang dalam suatu sistem tataniaga dapat terjadi karena peranan perantara (middlemen) yang disebut lembaga tataniaga. Dalam tataniaga komoditi pertanian terdapat pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Lembaga tataniaga adalah organisasi atau kelompok bisnis yang turut serta atau terkait dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian barang dari produsen sampai ke titik konsumen atau melakukan fungsi tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Lembaga tataniaga berperan dalam melakukan proses pengambilan keputusan dalam proses tataniaga suatu komoditi. Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter dari 25

pedagang perantara, hubungan agen dan susunan/perlengkapan organisasi (Asmarantaka 2009). Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu: 1) Merchant middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak (menguasai dan memiliki) atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers). 2) Agent middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah komisioner dan broker. 3) Speculative middlemen atau spekulator adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga. 4) Processors and manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. 5) Facilitative organization adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain yang membantu memperlancar aktivitas tataniaga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). 3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), fungsi tataniaga adalah serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang atau jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau dengan kata lain, fungsi tataniaga ini harus ditampung dan dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga. Pada prinsipnya terdapat tiga tipe fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran (exchange function), fungsi fisik (physical function), dan fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function). 26

1) Fungsi pertukaran (exchange function) dalam tataniaga produk pertanian meliputi kegiatan yang menyangkut pengalihan hal pemilikan dalam sistem pemasaran. Fungsi pertukaran ini terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melaksanakan fungsi penjualan, maka produsen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran sebelumnya harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk, dan waktu, serta harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran berikutnya. Sedangkan, fungsi pembelian diperlukan untuk memiliki komoditi-komoditi pertanian yang akan dikonsumsi ataupun digunakan dalam proses produksi berikutnya. 2) Fungsi fisik (physical function) meliputi kegiatan-kegiatan yang secara langsung diperlakukan terhadap komoditi pertanian, sehingga komoditikomoditi pertanian tersebut mengalami tambahan guna tempat dan guna waktu. Fungsi fisik meliputi pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan meliputi perencanaan, pemilihan, dan pergerakan alatalat transportasi dalam pemasaran produk pertanian. Fungsi penyimpanan diperlukan karena produksi komoditi pertanian bersifat musiman, sedangkan pola konsumsi bersifat relatif tetap dari waktu ke waktu. Penyimpanan ini bertujuan untuk mengurangi fluktuasi harga yang berlebihan dan menghindari serangan hama dan penyakit selama proses pemasaran berlangsung. 3) Fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function) adalah fungsi untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas merupakan usaha-usaha perbaikan sistem pemasaran untuk meningkatkan efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Fungsi penyediaan fasilitas ini meliputi standardisasi, pengurangan risiko, informasi harga, dan penyediaan dana. Standardisasi yaitu menetapkan grade/tingkatan kriteria kualitas suatu komoditi. Penetapan kualitas komoditi pertanian berdasarkan tingkatan tertentu berdasarkan salah satu atau beberapa sifat produk pertanian (misalnya ukuran, bentuk, warna, rasa, dan masakan) disebut grading. Selama pergerakan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, komoditi mungkin menghadapi kerusakan, kehilangan, dan risiko lain. Untuk mengurangi risiko 27

ini, lembaga tataniaga berhubungan dengan lembaga asuransi yang menanggungnya. Risiko ini pada prinsipnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu risiko fisik, seperti penyusutan berat dan volume komoditi pertanian, kehilangan dan kebakaran, dan risiko ekonomi, seperti fluktuasi harga dan kebijakan moneter. Fungsi lembaga penyediaan dana adalah untuk memperlancar fungsi pertukaran, terutama untuk proses pembelian. Lembaga penyedia dana bisa berupa bank atau lembaga perkreditan. Informasi pasar sangat penting mempertemukan potensial penawaran dan permintaan. Informasi pasar ini tidak hanya mencantumkan harga komoditi per satuan, tetapi juga menginformasikan persediaan dan kualitas komoditi di tingkat pasar pada tempat dan waktu tertentu. 3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan komponen yang bersama-sama dalam suatu kegiatan yang terorganisir. Pendekatan ini menekankan kepada keseluruhan sistem, efisiensi, dan proses yang kontinyu membentuk suatu sistem. Struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Secara umum, seperti yang dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1987), berdasarkan strukturnya pasar dapat digolongkan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Dalam Sudiyono (2002), disebutkan bahwa ada empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar, yaitu: 1) Jumlah dan besar penjual dan pembeli 2) Keadaan produk yang diperjualbelikan 3) Kemudahan masuk dan keluar pasar 4) Pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar. Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009), mengemukakan 28

lima jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktur Pasar No. Jumlah Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli 1. Banyak Standardisasi Persaingan Sempurna Persaingan Sempurna 2. Banyak Diferensiasi Monopolistic Competition Monopsonistic Competition 3. Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli Diferensiasi Oligopsoni Diferensiasi 5. Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009). 3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi Pendekatan tataniaga melalui teori ekonomi ditekankan kepada masalahmasalah permintaan dan penawaran, harga, keseimbangan pasar, kompetisi/persaingan, dan lain sebagainya antara petani dan konsumen pada komoditi yang diteliti (Limbong dan Sitorus 1987). 3.1.7. Efisiensi Tataniaga Pemasaran/tataniaga sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu diperlukan biaya tataniaga. Biaya tataniaga diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga dari prodesen hingga sampai ke konsumen akhir. Pengukuran kinerja tataniaga ini memerlukan ukuran efisiensi tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, lembaga-lembaga perantara, dan 29

konsumen akhir. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut. Sudiyono (2002) menyebutkan bahwa konsep efisiensi didekati dengan rasio output-input. Suatu proses tataniaga dikatakan efisien apabila: 1) Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2) Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan. 3) Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input. 4) Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input. Output pemasaran ini berupa kepuasan konsumen akibat penambahan utilitas terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi konsumen tersebut. Tambahan utilitas terhadap output-output pertanian ditimbulkan karena adanya fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan sarana pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran ini membutuhkan biaya pemasaran. Indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah: marjin pemasaran, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan intensitas persaingan pasar. Soekartawi (1989) mengemukakan bahwa efisiensi pemasaran akan terjadi jika: 1) Biaya pemasaran bisa ditekan sehingga ada keuntungan. 2) Pemasaran dapat lebih ditingkatkan. 3) Persentase pembedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. 4) Tersedianya fasilitas fisik pemasaran. Menurut Kohl dan Uls (2002), efisiensi tataniaga pada produk pangan dan serat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu efisiensi operasional atau teknis dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitasaktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, dan aktivitas fisik dan fasilitas. Alat analisis yang sering 30

digunakan dalam menganalisis tingkat efisiensi operasional adalah analisis Marjin Tataniaga, analisis Farmer s share, dan analisis rasio keuntungan atas biaya. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat merasa puas atau responsif terhadap harga yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani. 3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga Efisiensi operasional menurut Asmarantaka (2009) lebih tepat menggunakan rasio antara keuntungan (п) atas biaya (C) karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya adalah п/c dan harus bernilai positif (> 0). Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan Biaya = пi Ci Keterangan: пi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i Ci : Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i 3.1.7.2. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga dapat ditinjau melalui dua pendekatan yaitu pendekatan statis atau sudut pandang harga dan pendekatan dinamis atau sudut pandang biaya. Dari pendekatan statis, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani (produsen). Sedangkan dari pendekatan dinamis, margin tataniaga merupakan biaya dari balas jasa-jasa yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasajasa tataniaga. Komponen marjin tataniaga terdiri dari: 31

1) Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yang disebut sebagai biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost). 2) Keuntungan/profit lembaga tataniaga. Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan (derived supply curve), dengan kurva permintaan primer (primary demand curve). Sedangkan keseimbangan harga di tingkat petani berada di perpotongan antara kurva penawaran primer (primary supply curve) dengan kurva permintaan turunan (derived demand curve). Dengan demikian marjin tataniaga dapat disusun oleh kurva penawaran permintaan yang digambarkan pada Gambar 2. Marjin Tataniaga (Pr Pf) Gambar 2. Konsep Marjin Tataniaga Sumber : Sudiyono, 2002 Keterangan: Sd Sp Dd = derived supply (kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang) = primary supply (kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat petani) = derived demand (kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau pabrik) 32

Dp = primary demand (kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir) Pr = harga ditingkat pedagang pengecer Pf = harga ditingkat petani MM = marketing margin (marjin tataniaga = Pr Pf) Q* = kuantitas (jumlah ) produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer. Gambar 2 menggambarkan kurva permintaan primer (Dp) yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan (Sd) membentuk harga di tingkat pedagang pengecer (Pr). Sedangkan kurva permintaan turunan (Dd) berpotongan dengan kurva penawaran primer (Sp) membentuk harga di tingkat petani (Pf). Menurut pengertian statis, yaitu dari sudut pandang harga, perpotonganperpotongan tersebut membentuk marjin tataniaga atau sama dengan selisih harga di tingkat pedagang pengecer dengan harga di tingkat petani atau MT = Pr Pf dengan asumsi bahwa jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat petani sama dengan jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat pedagang pengecer, yaitu sebesar Q* (Sudiyono 2002). Menurut pendekatan dinamis, yaitu dari sudut pandang biaya, marjin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added), maka marjin total atau MT = biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (MT = C + Π) (Tomek dan Robinson, dalam Asmarantaka 2009). Besar kecilnya marjin tataniaga ditentukan oleh besar kecilnya jasa atau pengeluaran yang diberikan ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin besar pula perbedaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani. Perbedaan nilai marjin tataniaga dapat terjadi akibat adanya perbedaan fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga dan juga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat efisiensi dalam pelaksanaan fungsi yang sama (Limbong dan Sitorus 1987). 33

3.1.7.3. Farmer s Share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi operasional dalam kegiatan tataniaga adalah dengan menghitung bagian yang diterima oleh petani (farmer s share). Farmer s share merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Farmer s share mempunyai nilai yang relatif rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi dibanding harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, farmer s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh dibanding harga yang diterima oleh petani. Secara matematis, farmer s share dihitung sebagai berikut (Asmarantaka 2009): Fsi = Pf Pr X 100% Keterangan: Fsi : Persentase yang Diterima Petani Pf : Harga di Tingkat Petani Pr : Harga di Tingkat Konsumen 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, merupakan salah satu sentra penghasil komoditi jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat. Tataniaga jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua, khususnya di Desa Kertawangi, melibatkan petani produsen jamur tiram putih dan lembaga-lembaga tataniaga dalam pendistribusian jamur tiram putih segar hingga mencapai tangan konsumen akhir. Salah satu permasalahan dalam tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi adalah adanya rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Petani kecil tidak memiliki informasi pasar yang memadai dan aksesnya terhadap pasar pun terbatas. Sistem penjualan secara individual menjadikan petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap lembaga tataniaga. Hal tersebut 34

menjadikan petani kecil hanya mampu menjadi penerima harga (price taker) bagi lembaga tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Sifat produk jamur tiram putih segar yang mudah rusak dan tidak tahan lama, sedangkan konsumen menginginkan produk diterima dalam keadaan segar, maka petani harus dengan cepat memasarkan produknya. Satu-satunya cara pemasaran tercepat dan juga mudah adalah dengan menjual hasil produksi ke pedagang pengumpul, bandar atau lembaga tataniaga lainnya. Walaupun harga yang diberikan rendah, namun petani lebih memilihnya karena petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga dalam memasarkan hasil produksi jamur tiram putihnya. Dengan demikian, peran lembaga tataniaga sangat dibutuhkan oleh petani. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seperti apa kondisi sesungguhnya rantai tataniaga jamur tiram putih yang terjadi di Desa Kertawangi. Tiap lembaga tataniaga memiliki peranan masing-masing. Diperlukan analisis dan penelusuran seluruh lembaga tataniaga yang terlibat untuk melihat seberapa besar pengaruh keberadaan masing-masing lembaga tataniaga tersebut dalam menunjang proses tataniaga jamur tiram putih. Efisiensi tataniaga dapat dilihat melalui analisis struktur pasar, perilaku pasar, analisis saluran tataniaga, analisis marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan atas biaya tataniaga. Dari hasil analisis marjin tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga, dapat diketahui berapa besar biaya tataniaga yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga tataniaga jamur tiram putih yang terlibat. Untuk mengetahui berapa bagian perolehan petani dari hasil tataniaga, digunakan analisis farmer s share dengan cara membandingkan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3. 35

Budidaya Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi 1. Keterbatasan informasi dan akses pasar menjadi kendala bagi petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi dalam memasarkan produknya, sehingga petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga. 2. Rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Diduga tataniaga jamur tiram putih belum efisien. Analisis Kualitatif : 1. Saluran dan Lembaga Tataniaga 2. Fungsi Tataniaga 3. Struktur dan Perilaku Pasar Analisis Kuantitatif : 1. Marjin Tataniaga 2. Farmer s Share 3. Rasio Keuntungan / Biaya Alternatif Saluran Tataniaga yang Efisien Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 36