1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan hidup masyarakat dengan penggunaan tertinggi urutan ketiga setelah bahan bakar minyak dan gas. Kebutuhan energi listrik semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa kebutuhan energi listrik di Provinsi Maluku berasal dari 9 sistem jaringan (Namlea, Tual, Saumlaki, Mako, Pirum, Bula, Masohi, Dobo dan Langgar) yang berada dalam kondisi Surplus dan 1 sistem Ambon yang berada dalam kondisi Defisit. Kondisi defisit yang terjadi di Ambon menggambarkan beban puncak sistem lebih besar dibanding daya mampu pembangkit untuk memproduksi tenaga listrik sehingga menyebabkan sering terjadi pemadaman listrik di Ambon. Di samping permasalahan krisis energi listrik yang terjadi di Ambon, pemenuhan kebutuhan listrik di Pulau Ambon dan sekitarnya mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dengan menggunakan bahan bakar minyak yang semakin terbatas ketersediaanya di alam. Untuk mengatasi krisis ketersediaan energi listrik harus dilakukan peningkatan cadangan dengan mengutamakan pemanfaatan sumber energi setempat dan terbarukan. Pemanfaatan sumber daya energi setempat dan terbarukan diharapkan dapat membatasi dan menggantikan pemanfaatan bahan bakar minyak. Untuk mengatasi krisis energi listrik di Ambon, Kementerian
2 ESDM merencanakan peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan pembangkit listrik non BBM, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Salah satu lokasi lapangan panas bumi yang akan dikembangkan di Pulau Ambon adalah Lapangan Beta yang selanjutnya menjadi lokasi studi penulis. Keberadaan sumberdaya panas bumi di daerah penelitian dicirikan dengan kemunculan manifestasi panas bumi di sepanjang zona patahan. Manifestasi panas bumi di Lapangan Beta berupa mata air panas dengan temperatur 34 90 C, ph netral berkisar dari 6,1 7,6, nilai TDS 1500-7300 ppm dan nilai DHL berkisar 2100 14000 µs/cm. Pada tahun 2011, PT. PLN (Persero) melakukan pemboran sumur pertama, yaitu Sumur Beta-01 yang berjarak <2 km dari bibir pantai. Sumur Beta-01 memiliki diameter 10 cm dan kedalaman hingga 932,65 mku. Data yang diperoleh dari pemboran Sumur Beta-01 berupa sampel serbukbor dan intibor yang dapat digunakan untuk mempelajari kondisi bawah permukaan dari sistem panas bumi Lapangan Beta. Dalam memahami sistem panas bumi maka diperlukan studi lebih lanjut untuk mempelajari kondisi sistem yang berkembang di bawah permukaan. Istilah panas bumi atau geothermal menurut Rybach (1981) menunjuk pada sistemsistem di mana terdapat konsentrasi yang cukup dari panas di dalam Bumi untuk membentuk suatu sumber energi. Di samping itu, Leibowitz (1978) dalam Chilinggar (1982) menyatakan definisi energi panas bumi sebagai panas alami yang terjebak cukup dekat di permukaan yang dapat diekstrak secara ekonomis. Kemampuan sumberdaya enegi panas bumi untuk diekstrak agar bernilai
3 ekonomis berkaitan dengan kehadiran komponen panas bumi yang terdiri dari sumber panas, batuan reservoar, asal fluida panas bumi, struktur permeabilitas, batuan penudung dan manifestasi panas. Terkait dengan lokasi keterdapatan sistem panas bumi Lapangan Beta yang berasosiasi dengan gunungapi tua berumur Tersier dan terletak di dekat laut maka diperlukan pengkajian mengenai kondisi temperatur dan komposisi fluida panas bumi. Salah satu komponen sistem panas bumi yang berkaitan dengan parameter temperatur dan komposisi adalah fluida panas bumi yang dapat ditemukan sebagai inklusi fluida di dalam mineral hidrotermal. Istilah inklusi fluida mengacu pada fluida yang terjebak yang tetap mempertahankan fase aslinya (zat alir) walaupun berada dalam kondisi temperatur ruangan. Analisis inklusi fluida merupakan suatu metode terbaik karena di dalam inklusi fluida tersebut tersimpan jejak rekaman langsung berupa fluida yang pernah bersirkulasi di dalam sistem pada masa lampau yang dapat digunakan untuk mempelajari kondisi sistem panas bumi Lapangan Beta. Melalui studi inklusi fluida, penulis ingin meneliti perubahan kondisi masa lampau hingga saat ini dari sistem panas bumi di daerah penelitian yang akan difokuskan pada pembahasan mengenai temperatur dan komposisi fluida panas bumi serta mengetahui ada atau tidaknya pengaruh air laut terhadap pembentukan fluida panas bumi. Dengan mempelajari dinamika temperatur dan komposisi fluida panas bumi diharapkan dapat mengetahui sejarah termal dan proses-proses yang mempengaruhi sistem panas bumi yang berkembang di daerah penelitian.
4 I.2 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi temperatur dan salinitas semu dari fluida panas bumi yang pernah bersirkulasi di dalam sistem panas bumi Lapangan Beta pada masa lampau. Sesuai dengan maksud dari penelitian yang telah dilakukan maka tujuan yang ingin dicapai antara lain: 1. Menginterpretasi perubahan temperatur dan komposisi fluida panas bumi Lapangan Beta. 2. Mengetahui ada atau tidaknya masukan airlaut ke dalam sistem panas bumi Lapangan Beta pada masa lampau. I.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini, antara lain: 1. Memberikan gambaran baru mengenai kondisi sistem panas bumi daerah penelitian pada masa lampau khususnya berkaitan dengan kajian temperatur dan komposisi fluida panas bumi. 2. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan evaluasi perencanaan pengembangan lapangan panas bumi dengan mempertimbangkan sejarah termal dan karakteristik fluida di dalam sistem. I.4 Informasi Daerah Penelitian Daerah penelitian berada di Daerah Tulehu - Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Berdasarkan koordinat UTM 52S, lokasi penelitian berada pada 9596754 9609944 N dan 416374 429149 E.
5 Objek penelitian berasal dari data bawah permukaan Sumur Beta-01 dapat dilihat pada peta indeks daerah administratif Lapangan Beta di bawah ini. Gambar 1.1 Peta indeks daerah adminstrasi Lapangan Beta dan lokasi Sumur Beta-01.
6 I.5 Batasan Penelitian Pembahasan pada penelitian ini dibatasi oleh beberapa aspek sebagai berikut. 1. Kerangka geologi daerah Lapangan Beta disadur dari data hasil pemetaan lapangan dan pengeboran Sumur Beta-01 yang telah dilakukan PT. PLN (Persero) (2009). Rekonstrusi kondisi bawah permukaan Lapangan Beta tidak dapat dilakukan karena keterbatasan data litologi bawah permukaan yang hanya berasal dari satu sumur, yaitu Sumur Beta-01. 2. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis laboratorium melalui studi inklusi fluida. 3. Analisis inklusi fluida dilakukan secara nondestruktif melalui pengukuran mikrotermometri untuk mendapatkan nilai temperatur homogenisasi (Th) dan temperatur pelelehan es (Tm). 4. Interpretasi tentang paleotemperatur dan paleokomposisi didasarkan atas hasil pengukuran temperatur homogenisasi dan temperatur pelelehan es. 5. Interpretasi tentang paleotemperatur dibandingkan dengan data mineralogi hidrotermal melalui analisis serbukbor Sumur Beta-01 menggunakan metode petrografi (Vandani, 2015) dan X-Ray Diffraction (Sari, 2015). I.6 Peneliti Terdahulu Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan kondisi geologi dan sistem panas bumi yang pernah dilakukan di daerah penelitian. 1. Poorter et al. (1989)
7 Poorter et al. (1989) mempelajari sistem panas bumi yang berkembang di sekitar daerah Busur Banda melalui studi geokomia dari manifestasi panas berupa hot spring dan gas fumarol. Dengan menggunakan sampel hot spring dari daerah Pulau Ambon dan Haruku, dilakukan pendugaan temperatur reservoar dengan menggunakan geotermometer Na-K dan didapatkan temperatur berkisar 184 C dan 203 C. 2. Setyawan dan Supriyadi (1996) Dari hasil pengamatan lapangan yang dilakukan di sekitar Teluk Ambon, didapatkan data khusus mengenai stratigrafi Pulau Ambon di mana terdapat batuan granit dan diabas yang dijumpai memotong batuan gunungapi Ambon pada Pliosen tengah Pliosen akhir. 3. Marini and Susangkyono (1999) Marini and Susangkyono (1999) meneliti kondisi geokimia discharge water yang ditemukan di daerah Tulehu, Pulau Ambon untuk membuat model geokimia konseptual dari sistem panas bumi dan menduga asal dari fluida tersebut. Salah satu metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengaplikasikan geotermometer hidrokimia untuk menduga temperatur reservoar. Pendugaan temperatur dilakukan menggunakan geotermometer Na-K dan geotermometer K-Mg. Hasil perhitungan dengan geotermometer Na-K menunjukkan temperatur reservoar rata-rata 230 C berdasarkan rumus Fournier (1979) dan 245 C berdasarkan rumus Giggenbach (1988) sedangkan dengan geotermometer K-Mg (Giggenbach, 1988) menunjukkan termperatur reservoar 110 130 C. Dari hasil perhitungan
8 tersebut didapatkan perbedaan temperatur yang signifikan yang diinterpretasikan bahwa fluida panas bumi dihasilkan dari percampuran dengan groundwater atau re-equilibration selama proses pendinginan. Analisis komposisi kimia juga dilakukan pada fluida panas bumi dari hot spring yang muncul di sekitar daerah Tulehu dan didapatkan nilai konsentrasi Cl yang tinggi yang diduga sebagai hasil pelarutan batuan reservoar. 4. PT. PLN (Persero) (2011) Kehadiran mineral sekunder berupa khlorit dan epidot hasil alterasi hidrotermal yang ditemukan pada sumur eksplorasi di Tulehu pada kedalaman 360 900 m dapat digunakan untuk memprediksi suhu bawah permukaan yang mampu mencapai >200 C. Di samping itu berdasarkan hasil uji geokimia yang dilakukan pada lokasi pemunculan air panas di lokasi penelitian didapatkan temperatur di permukaan antara 56 60 C dengan ph netral (6,7 7) serta bau H 2 S lemah, salinitas 3,1 3,3 ppt dan DHL 3400 3600 μs/cm. Nilai salinitas dan DHL yang cukup tinggi menunjukkan adanya pengaruh air laut dalam pembentukan fluida panas bumi. 5. Vandani (2015) dan Sari (2015) Studi tentang alterasi hidrotermal bawah permukaan Sumur Beta-01 dilakukan oleh Vandani (2015) dan Sari (2015) menggunakan sampel serbukbor dan intibor menggunakan metode petrografi dan X-Ray Diffraction. Temperatur masa lampau dari hasil analisis mineralogi hidrotermal sebesar >240 C (Vandani, 2015) yang dicirikan dengan kehadiran mineral kalk silikat,
9 seperti aktinolit, phrehnit dan epidot serta 120 230 C (Sari, 2015) yang dicirikan dengan kehadiran mineral lempung, seperti kaolinit dan ilit/smektit.