BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas perkebunan terbesar ke empat di Indonesia setelah karet, kelapa sawit dan cokelat (BPS, 2013). Komoditas tersebut mampu menjadi sumber pendapatan negara yang cukup tinggi dengan total ekspor per tahun mencapai US$ 681 juta pada tahun 2011 (FAO, 2013). Kopi memegang peranan penting bagi perekonomian nasional khususnya sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan bagi petani maupun bagi pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil kopi (Turnip, 2002). Total produksi kopi di dunia mencapai lebih dari 8 juta ton dengan nilai penjualan melebihi dari US$ 22,7 milyar di pasar dunia pada tahun 2011 (ICO, 2013). Luas areal perkebunan kopi di dunia mencapai 10,2 juta hektar lahan yang mencakup lebih dari 80 negara (Santos-Briones et al., 2006). Indonesia merupakan negara produsen kopi utama ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam dengan total produksi lebih dari 600 ribu ton per tahun (FAO, 2013). Luas areal perkebunan kopi Indonesia mencapai 1,3 juta Ha dan merupakan yang terluas kedua di dunia setelah Brazil (2,1 juta Ha). Namun demikian, produktivitas kopi per hektar di Indonesia tergolong sangat rendah yaitu sekitar 500 Kg/Ha, hanya seperempat dari produktivitas kopi di Sierra Leone ataupun Vietnam yang mencapai lebih dari 2 Ton/Ha (Gambar 1.1). 1
Gambar 1.1 Negara dengan produktivitas kopi terbesar dunia antara tahun 2000-2011 dibandingkan dengan produktivitas kopi di Indonesia (FAO, 2013) Salah satu faktor yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah terbatasnya penggunaan bibit unggul (Priyono, 2010). Pada umumnya para petani memperoleh bibit kopi secara generatif melalui biji. Penggunaan biji sebagai metode perbanyakan bibit menanggung risiko adanya keragaman genetika sebagai akibat dari tingginya tingkat penyerbuk silang pada tanaman kopi (Santoso & Rahardjo, 2011). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, petani kopi menggunakan perbanyakan bibit secara vegetatif, seperti stek, okulasi dan sambung pucuk (Winarsih et al., 2003). Teknik perbanyakan tersebut mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang seragam dan sama dengan induknya. Namun, teknik perbanyakan tersebut memiliki beberapa kendala yaitu jumlah benih yang dihasilkan terbatas serta merusak tanaman induknya (Oktavia et al., 2003). 2
Teknologi kultur jaringan menawarkan alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas. Meskipun teknik tersebut memerlukan ketrampilan yang memadai, namun teknik ini mampu menghasilkan bibit secara masal dan dengan kualitas bibit yang seragam serta sama dengan induknya (Priyono, 2010). Salah satu teknik kultur jaringan yang banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman kopi melalui kultur jaringan adalah teknik embryogenesis somatik. Namun, tingkat keberhasilan perbanyakan tanaman kopi melalui teknik ini masih cukup rendah (Oktavia et al., 2003). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo kopi seperti penggunaan beberapa sumber eksplan yang berbeda, misalnya batang (Priyono & Danimiharja, 1991), daun (Arimarsetyowati, 2011; Murni, 2010; Riyadi, 2004; Priyono, 2004; Hatanaka et al., 1991; Oktavia et al.,2003; Neuenschwander dan Baumann, 1992; Quiroz-Figueroa, 2002), akar (Oktavia et al., 2003), jaringan perisperm (Sreenath et al., 1995), hipokotil (Oktavia et al., 2003), epikotil (Oktavia et al., 2003), biji matang (Coyne, 1990). Upaya lain yang telah dilakukan antara lain dengan penambahan air kelapa ke dalam medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991), setengah konsentrasi garam makro dan mikro Murashige & Skoog (MS) yang dilengkapi dengan vitamin B5 (Arimarsetyowati, 2011; Neuenschwander dan Baumann, 1992; Oktavia et al., 2003), setengah konsentrasi media MS dan setengah konsentrasi vitamin B5 (Priyono et al., 2010), seperempat konsentrasi garam makro dan setengah konsentrasi garam mikro dari media MS yang dilengkapi medium B5 (Hatanaka et al., 1991), media MS dilengkapi dengan vitamin Morel (Gatica et 3
al., 2007), media MS tanpa auksin dan mengandung sitokinin tinggi (Hatanaka et al., 1991), setengah konsentrasi medium MS yang dilengkapi dengan triakontanol (TRIA, Gatica et al., 2008), medium cair (Gatica et al., 2008), dan medium semi padat (Gatica et al., 2008). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan keberhasilan induksi embryo yang signifikan, namun tingkat regenerasi planlet dari eksplan yang dikulturkan masih relatif rendah (Oktavia et al., 2003) persentase keberhasilan berkisar antara 0-70% (Quiroz- Figueroa et al., 2002). Salah satu cara yang diduga mampu meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kopi adalah dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang tepat ke dalam medium tanam (Oktavia et al., 2003; Zulkarnain, 2009). ZPT yang banyak digunakan untuk menginduksi embryo somatik suatu tanaman adalah asam naftalena asetat (NAA). Penambahan NAA ke dalam medium tanam telah berhasil digunakan untuk menginduksi embryo somatik tanaman anggrek (Utami et al., 2007), lamtoro (Sapsuha, 2009), alfalfa (Hayati et al., 2010), gandarusa (Ikhwan, 2007), kemiri (Haloho, 2004), opium (Ovecka et al., 1996), maupun jagung (Joshi et al., 2010). Pada tanaman kopi, NAA telah dicoba untuk digunakan dalam meningkatkan persentase keberhasilan induksi embryo somatik. Penambahan NAA ke dalam medium tanam telah berhasil meningkatkan persentase eksplan yang berhasil terinduksi embryo sampai 70 % pada Coffea arabica (Quiroz- Figueroa et al., 2002). Pada penelitian yang lain, NAA juga berhasil menginduksi embryo somatik pada Coffea congensis (39%) dan Coffea Arabica (0-14%; 4
Coyne, 1990). Oleh karena itu pada penelitian ini diujikan pengaruh penambahan NAA ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embryo somatik Coffea canephora. Zat pengatur tumbuh lain yang banyak digunakan untuk menginduksi embryo adalah 6-benzylamino purine (BAP). Penambahan BAP ke dalam medium tanam juga telah dilaporkan pada tanaman lily (Priyono, 2001), alfalfa (Hayati et al., 2010), anturium (Marlina, 2009), dan kapas (Sudarmadji, 2003). Pada tanaman kopi, penambahan BAP ke dalam medium tanam juga berhasil meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik. Priyono dan Danimihardja (1991), menggunakan eksplan embrio untuk menginduksi munculnya embryo somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 70 %. Gatica et al. (2008) berhasil (sekitar 60 %) meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kopi arabika dengan menambahkan BAP ke dalam medium tanam. Oktavia et al. (2003) juga berhasil menginduksi embryo somatik kopi (50 %) dengan menggunakan eksplan daun, epikotil, hipokotil dan akar yang dikulturkan dalam satu botol dengan menambahkan BAP ke dalam medium tanam. Oleh karena itu pada penelitian ini diujikan pengaruh penambahan BAP ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embryo kopi. 5
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. mengetahui pengaruh penambahan NAA ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embryo dari eksplan daun Coffea canephora. 2. mengetahui pengaruh penambahan BAP ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embryo dari eksplan daun Coffea canephora. 3. mengetahui pengaruh penambahan NAA yang dikombinasikan dengan BAP ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embryo dari eksplan daun Coffea canephora. 1.3. Manfaat penelitian Penelitian ini sebagai penerapan dari teori dan ilmu yang diperoleh selama ini sehingga menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam bidang kultur jaringan khususnya embryogenesis somatik yang menjelaskan proses embryogenesis somatik tanaman kopi secara lengkap serta asal-usul pembentukan embryo somatik. Beberapa tahapan penting dalam teori embryogenesis somatik dapat diamati sehingga akan memudahkan penulis dalam memahami proses tersebut dan dapat menambah wawasan khususnya mengenai embryogenesis somatik kopi. 6
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperoleh konsentrasi zat pengatur tumbuh khususnya NAA dan BAP yang terbaik untuk memacu induksi embryogenesis somatik pada daun kopi sehingga teknik kultur jaringan dapat digunakan sebagai acuan untuk teknik budidaya kopi secara konvensional. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi kepada umum khususnya petani kopi bahwa menggunakan bibit kopi yang berasal dari hasil kultur jaringan mempunyai nilai positif. Walaupun harganya relatif mahal bila dibandingkan dengan bibit yang berasal dari biji maupun hasil perkembangbiakkan vegetatif seperti stek, okulasi dan sambung pucuk, bibit yang diperoleh dari hasil kultur jaringan memiliki kualitas yang lebih baik dan akan meningkatkan produksi serta produktivitas kopi yang selama ini menjadi kendala utama bagi petani kopi sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani kopi. 7