1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu masa saat individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder ketika telah mencapai tingkat kematangan seksual. Individu mulai mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi kekanak-kanakan sampai dewasa. Pada masa ini individu menjadi lebih mandiri dengan peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh menjadi tanggung jawab sendiri. Bangsa primitif dan orang-orang jaman purbakala mempunyai pandangan bahwa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Seorang anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 1991, dalam Ali, Ansori, 2006). Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa. Sebanyak 63,4 juta diantaranya merupakan remaja, yang terdiri dari remaja laki-laki yang berjumlah 32.164.436 jiwa (50,70%) dan perempuan sebanyak 31.279.012 jiwa (49,30%). Populasi penduduk remaja akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Penduduk usia remaja perlu mendapat perhatian khusus karena remaja termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja serta telah memasuki umur reproduksi dan dalam masa seksual aktif. 1
2 Apabila tidak dipersiapkan dengan baik akan menimbulkan resiko hubungan seksual pra nikah (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2011) Pada masa remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dalam fisik, psikologis, serta intelektual. Rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan adalah sifat khas remaja yang cenderung membuat mereka berani mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Kesalahan dalam mengambil keputusan dapat membawa remaja terjerumus ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dari masalah kesehatan fisik dan psikososial (Infodatin, 2015). Usia remaja merupakan masa saat seseorang berada pada kondisi masa peralihan antara anak-anak dan dewasa. Perubahan yang terjadi pada usia remaja terjadi secara fisik dan non fisik. Menurut Survey Demografi Kependudukan Indonesia-Remaja (SDKI-R) 2007 remaja perempuan yang tidak mengetahui tentang perubahan fisik yang terjadi pada perempuan sebanyak 13,3% lebih tinggi di bandingkan hasil SDKI- R tahun 2002/2003 sebesar 10,7%. Hampir separuh (47,9%) dari remaja perempuan, tidak mengetahui kapan seorang perempuan memiliki hari atau masa suburnya (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2011) Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap fungsi seksualnya. Menurut data dari Survey Demografi Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, sebanyak 6.835 remaja laki-laki dan 6.018 remaja perempuan mulai melakukan hubungan seksual untuk pertama kali pada rentang usia 15-19 tahun. Semakin dini
3 seseorang melakukan hubungan seksual, maka semakin berisiko untuk terinfeksi penyakit menular seksual. Infeksi menular seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. IMS merupakan penyakit yang penularannya menyebar terutama melalui hubungan seksual. Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus dan parasit berbeda yang dapat menyebabkan IMS. Jenis penyakit yang paling umum terjadi adalah gonorrhoea, syphilis, trichomoniasis, chancroid, human immunodeficiency virus (HIV), chlamydia, herpes genital, kutil kelamin, dan infeksi hepatitis B. Menurut laporan World Health Organization (WHO) beberapa penderita HIV dan syphilis tertentu, dapat ditularkan secara menurun dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan, melalui produk darah dan transfer jaringan (WHO, 2016). Setiap tahun kurang lebih terdapat 357 juta kasus infeksi baru pada salah satu IMS; klamidia 131 juta kasus, gonorrhoea 78 juta kasus, syphilis 5,6 juta kasus, trichomoniasis 143 juta kasus. Kemudian terdapat lebih dari 500 juta orang terinfeksi HSV (Herpes Simplex Virus) (genital), terdapat lebih dari 290 juta perempuan terinfeksi HPV (Human Papiloma Virus). HSV tipe 2 dan syphilis memiliki resiko tinggi terkena HIV (Human Immunodeficiency Virus) (WHO, 2016). Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus dan parasit berbeda yang ditularkan melalui hubungan seksual. Delapan diantaranya paling besar, yang dapat disembuhkan adalah syphilis, gonorrhoea, chlamydia, trichomoniasis dan yang tidak dapat disembuhkan adalah Hepatitis B, HSV, HIV, HPV. Cara penularan penyakit IMS dapat melalui
4 hubungan seksual (vaginal, anal, oral) dan non-seksual (darah atau produk darah). Beberapa penyakit IMS yang dapat ditularkan yang diturunkan oleh ibu ke anak melalui kandungan yaitu chlamydia, gonorrhoea, syphilis, hepatitis B primer, HIV. Gejala yang muncul pada saat terinfeksi penyakit IMS diantaranya dapat dilihat dari cairan vaginal, cairan urethral, rasa terbakar dan ulserasi pada daerah genitalia, dan nyeri abdomen. Secara epidemiologi, IMS tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi ditemukan di Asia Selatan, dan Asia Tenggara, kemudian diikuti oleh Afrika bagian Sahara, Amerika Latin dan Karibia. Setiap tahunnya terjadi jutaan IMS yang disebabkan oleh virus, diantaranya HIV, virus herpes, HPV dan virus hepatitis B (WHO, 2012). Di Amerika jumlah wanita yang menderita infeksi klamidial, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Dari seluruh wanita yang menderita infeksi klamidial, golongan umur yang memberikan kontribusi yang besar ialah umur 15-24 tahun (CDC, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sridana (2012), jumlah penderita IMS di puskesmas II Denpasar Selatan diperoleh perempuan lebih banyak dibandingkan lakilaki dengan perbedaan yang sangat jauh yaitu 561 orang perempuan (93,3%) dan 40 orang laki-laki (6,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian CDC tahun 2010, yang menyatakan jumlah penderita IMS wanita jauh lebih banyak daripada pria (Sridana, 2012). Sebagian besar penderita IMS dari laporan rumah sakit adalah perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk terkena IMS dibanding dengan laki-laki. Sedangkan menurut golongan umur kasus terbanyak pada
5 umur 21-30 tahun, hal tersebut dapat diperkirakan karena aktivitas seksual pada kelompok umur tersebut lebih tinggi (Febiyantin, 2014). Infeksi menular seksual termasuk salah satu faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Akan sulit untuk memutus rantai penularan HIV/AIDS apabila kejadian infeksi menular seksual tidak mendapat intervensi yang tepat sasaran. Strategi utama yang dilakukan dalam pencegahan infeksi menular seksual adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang; gejala penyakit, cara pencegahan dan dimana dapat memperoleh informasi yang akurat mengenai infeksi menular seksual bilamana diperlukan (SDKI, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiani (2015) dengan judul Hubungan Jenis Kelamin dan Sumber Informasi dengan Pengetahuan Remaja Mengenai Penyakit Menular Seksual (PMS) menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki pengetahuan yang rendah, sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai pengetahuan yang tinggi. Remaja perempuan memiliki pengetahuan yang kurang sebesar (82,4%) dibandingkan dengan remaja laki-laki. Begitu pula hasil penelitian Wahyuni (2012) yang menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih rendah pengetahuannya dibandingkan dengan remaja laki-laki yang lebih tinggi. Menurut SDKI 2012, KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja), pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja masih belum memadai. Hal tersebut dapat dilihat dengan data 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. Begitu juga tentang gejala PMS yang kurang diketahui
6 oleh remaja. Informasi tentang HIV relatif lebih banyak diterima oleh remaja, meskipun hanya 9,9% remaja perempuan dan 10,6 remaja laki-laki memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai HIV-AIDS. Tempat pelayanan untuk remaja juga belum banyak diketahui oleh remaja (BKKBN, 2011). Tenaga kesehatan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pengembangan sumber daya manusia yang produktif secara soasial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-undang No 36, tahun 2014). Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika, moral dan kemampuan yang ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki kemampuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis (UU No 36, tahun 2014). Pendidikan Diploma III keperawatan merupakan salah satu pendidikan tinggi keperawatan yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga Perawat Profesional pemula dengan sebutan Ahli Madya Keperawatan. Dalam proses pendidikan, beban studi yang diberikan sebesar 110-120 SKS yang terdiri kurikulum inti dan kurikulum
7 instansional yang ditempuh dalam enam semester (Kurikulum Program Pendidikan Diploma III Keperawatan). Hasil penelitian Husna (2016) menyatakan bahwa pengetahuan perawat tentang HIV/AIDS berada pada kategori rendah. Hal ini sesuai dengan temuan lain pada penelitian yaitu kurangnya kompetensi perawat dalam merawat pasien HIV/AIDS. Kedua hal tersebut dapat saling berhubungan. Kurangnya pengetahuan perawat dapat menjadi salah satu sebab perawat memiliki kompetensi yang rendah. Oleh karena itu, diharapkan calon-calon perawat yang sedang menempuh pendidikan keperawatan, khususnya mahasisiwi D3 keperawatan memiliki pengetahuan yang baik tentang IMS. Agar kedepannya dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif serta melakukan pendidikan kesehatan bagi pasien maupun keluarga. Berdasarkan uraian data di atas, penulis ingin meneliti gambaran pengetahuan tentang infeksi menular seksual pada mahasiswi jenjang D3 Keperawatan di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang IMS?
8 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang chlamydia 2) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang gonorrhoea 3) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang syphilis 4) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang trichomoniasis D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Institusi: a) Dapat digunakan untuk melihat gambaran pengetahuan mahasiswi di perguruan tinggi menganai IMS b) Sebagai evaluasi terhadap metode pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswi mengenai IMS 2. Bagi Mahasiswa Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa/peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai IMS
9 3. Bagi peneliti sendiri Dapat menambah wawasan mengenai IMS lebih mendalam dan menemukan issue terbaru terkait IMS serta menambah pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian dan membuat laporan penelitian. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian dengan tema tingkat pengetahuan tentang IMS pada mahasiswi jenjang D III Keperawatan di DIY, belum pernah diteliti, penelitian yang sejenis diantaranya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Zubeyde dan Nuran (2014), dengan judul Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Penyakit Menular Seksual. Penelitian deskriptif dan prospektif ini bertujuan untuk menentukan tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dibutuhkan oleh mahasiswa tingkat pertama mengenai STD. Populasi pada penelitian ini sebanyak 4.310 mahasiswa tahun pertama di universitas Marmara, 888 diantaranya yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian, dijadikan sampel penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan 45 pertanyaan tentang karakteristik sosiodemografi dan infeksi menular seksual yang telah disiapkan oleh peneliti dan dapat diselesaikan dalam waktu 20 menit. Analisis data menggunakan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa menerima informasi mengenai IMS melalui buku, koran, majalah (79.3%), radio/televisi (61.6%), pendidikan di sekolah (19.3%), dan dari petugas kesehatan (15.2%). Ketika
10 kecukupan dari pengetahuan ditanyakan, hanya 16% dari mahasiswa ditemukan memiliki pengetahuan yang tidak cukup mengenai IMS. Ketika gejala ditanyakan, jawabannya cairan keluar dari vagina (55%), kutil/luka/borok pada area genital (48.1%), tidak tedapat gejala (28.9%), dan nyeri perut, demam, kelelahan (15.7%). Total dari 66.1% dari mahasiswa menyatakan bahwa mereka ingin diberitahukan mengenai STD di universitas. Persamaan dengan penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada variabel penelitian yaitu pengetahuan mengenai IMS. Sedangkan perbedaan pada populasi yaitu menggunakan seluruh mahasiswa pada tingkat pertama di semua jurusan. 2. Penelitian Triningtyas (2015) tentang Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Infeksi Menular Seksual Di SMA Al-Asiyah Cibinong Bogor. Penelitian kuantitatif dengan desain analisis deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang infeksi menular seksual di SMA Al-Asiyah Cibinong Bogor. Sampel dalam penelitian sebanyak 132 responden usia 15-17 tahun dengan teknik pengambilan sampel disproporsional stratified sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validitasnya. Analisis data menggunakan teknik univariat dengan bantuan program analisis statistik dalam pengolahannya. Hasil analisis dari kuesioner menunjukkan bahwa 37.9% responden mengetahui dengan benar mengenai tanda dan gejala infeksi menular seksual. Pengetahuan remaja tentang gejala dan tanda memberikan hasil <70%. Secara keseluruhan tingkat pengetahuan remaja di SMA Al-Asiyah berada di kategori cukup. Persamaan penelitian di atas dengan
11 penelitian ini adalah metode penelitian dan variable yang diteliti. Sedangkan perbedaannya adalah populasi dan teknik sampling. Populasi pada penelitian di atas adalah siswa SMA, sedangkan pada penelitian ini adalah mahasiswi perguruan tinggi D3 keperawatan. Peneliti menggunakan consecutive sampling, sedangkan penelitian di atas menggunakan disproporsional stratified sampling. 3. Penelitian Pratika (2013) tentang Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pentingnya Asam Folat Bagi Kehamilan di BPM Sang Timur Klaten. Penelitian deskriptif kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya asam folat bagi kehamilan di BPM Sang Timur Klaten tahun 2013 pada tingkat pengetahuan baik, tingkat pengetahuan cukup dan tingkat pengetahuan kurang. Penelitian dilakukan pada bulan Maret Juni 2013. Populasi dalam penelitian sebanyak 118 responden dan sampel sebanyak 40 responden yang ditentukan menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan oleh peneliti adalah kuesioner. Variabel dalam penelitian merupakan variabel tunggal yaitu Pengetahuan Ibu Hamil tentang Pentingnya Asam Folat Bagi Kehamilan. Analisis menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya asam folat bagi kehamilan di BPM Sang Klaten tahun 2013 terdapat 7 responden (17,5%) dengan tingkat pengetahuan baik, tingkat pengetahuan cukup sebanyak 24 responden (60%) dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 9 responden (22,5%). Persamaan penelitian terletak pada variabel dan metode penelitian. Perbedaan terletak pada teknik sampling dan populasi. Teknik sampling pada
12 penelitian diatas dengan accidental sampling sedangkan pada penelitian ini menggunakan simple random sampling. Populasi pada penelitian di atas adalah Ibu hamil di BPM Sang Timur Klaten sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah masiswa D3 jurusan keperawatan. 4. Penelitian Budiono (2009) yang berjudul Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit HIV/AIDS pada Kelompok Risiko Tinggi di Sambusa Distrik Nabire Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Penelitian deskriptif cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penyakit HIV/AIDS kelompok risiko tinggi pada pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Sampel pada penelitian sebanyak 98 responden menggunakan teknik pengambilan sampel proportional random sampling dengan pendekatan accidental. Variabel dalam penelitian adalah variabel tunggal. Analisis pengetahuan dari responden dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh terhadap jawaban pertanyaan tentang HIV/AIDS. Hasil pengolahan data menunjukkan dari 98 responden, 73 (74,5%) responden mempunyai pengetahuan yang baik; 17 (17,3%) responden pengetahuannya cukup; dan 8 (8,2%) responden tingkat pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS berada pada kategori kurang. Berdasarkan rerata yang diperoleh, sebesar 78,57%. Pengetahuan terhadap pengertian penyakit, 85,7% responden pada kategori cukup. Pengetahuan terhadap penyebab penyakit, 85,7% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap gejala penyakit, 76,5% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap penularan penyakit, 90,8% responden pada kategori baik. Pengetahuan
13 terhadap risiko tertular penyakit, 77,6% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap pencegahan penyakit, 72,4% responden pada kategori cukup. Pengetahuan terhadap pemeriksaan laboratorium, 88,8% responden pada kategori cukup. Secara keseluruhan tingkat pengetahuan penyakit HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi di Sambusa Distrik Nabire dalam kategori baik, rentang skor 78,57. Persamaan penelitian terletak pada variable (tingkat pengetahuan) dan jenis penelitian cross sectional. Perbedaan penelitian terletak pada populasi, sampel dan hal yang diteliti. Populasi dan sampel pada penelitian di atas adalah kelompok risiko tinggi di Sambusa Distrik Nabire. Hal yang diteliti dalam penelitian di atas adalah penyakit HIV/AIDS, sedangkan pada penelitian ini adalah IMS selain HIV/AIDS.