BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

dokumen-dokumen yang mirip
2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, seseorang paling tepat dan murah apabila tidak menunggu

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

Pengaruh Promosi Kesehatan Tentang HIV/AIDS Terhadap Tingkat Pengetahuan Remaja

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah negara kepulauan yang didiami oleh 222,6 juta jiwa, yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

DINAS KESEHATAN KOTA MOJOKERTO PUSKESMAS KEDUNDUNG Jl. BY PASS KEDUNDUNG, TELP.(0321) MOJOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN menyepakati perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kondisi inilah akan mudah terkena infeksi jamur. Keputihan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah,

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terselesaikan hingga sekarang. Pada tahun 2013 Wolrd Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. masuk dan berkembang biak di dalam tubuh yang ditularkan melalui free

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

PEMERINTAH KOTA DENPASAR DINAS KESEHATAN KOTA DENPASAR PUSKESMAS IV DENPASAR SELATAN JALAN PULAU MOYO NO 63A PEDUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Akibat pesatnya pembangunan fisik dan pertambahan penduduk di suatu kota

GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG DAMPAK PERNIKAHAN DINI TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI DI SMA NEGERI 1 PEUSANGAN KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB I PENDAHULUAN. dari dua jenis virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan kelompok remaja tidak dapat diabaikan begitu saja. World Health

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN KONSEP DIRI PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL YANG MENGALAMI PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama pada wanita, sehingga. mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini 1

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital intercouse

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. Immuno Deficiency Syndrom) merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan remaja di perkotaan. Dimana wanita dengan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak

PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA TENTANG HIV/AIDS DI SMU NEGERI 1 WEDI KLATEN. Sri Handayani* ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I. PENDAHULUAAN. pada masa ini terjadi peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Batubara,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

SURAT PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan reproduksi remaja (Kemenkes RI, 2015). reproduksi. Perilaku seks berisiko antara lain seks pranikah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL (PMS) DI SMA N 1 GEYER KABUPATEN GROBOGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN. di jalanan termasuk di lingkungan pasar, pertokoan, dan pusat-pusat. keluarga yang berantakan dan ada masalah dengan orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3740 kasus AIDS. Dari jumlah kasus ini proporsi terbesar yaitu 40% kasus dialami oleh golongan usia muda yaitu tahun (Depkes RI 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu personal yang artinya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu masa saat individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder ketika telah mencapai tingkat kematangan seksual. Individu mulai mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi kekanak-kanakan sampai dewasa. Pada masa ini individu menjadi lebih mandiri dengan peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh menjadi tanggung jawab sendiri. Bangsa primitif dan orang-orang jaman purbakala mempunyai pandangan bahwa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Seorang anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 1991, dalam Ali, Ansori, 2006). Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa. Sebanyak 63,4 juta diantaranya merupakan remaja, yang terdiri dari remaja laki-laki yang berjumlah 32.164.436 jiwa (50,70%) dan perempuan sebanyak 31.279.012 jiwa (49,30%). Populasi penduduk remaja akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Penduduk usia remaja perlu mendapat perhatian khusus karena remaja termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja serta telah memasuki umur reproduksi dan dalam masa seksual aktif. 1

2 Apabila tidak dipersiapkan dengan baik akan menimbulkan resiko hubungan seksual pra nikah (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2011) Pada masa remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dalam fisik, psikologis, serta intelektual. Rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan adalah sifat khas remaja yang cenderung membuat mereka berani mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Kesalahan dalam mengambil keputusan dapat membawa remaja terjerumus ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dari masalah kesehatan fisik dan psikososial (Infodatin, 2015). Usia remaja merupakan masa saat seseorang berada pada kondisi masa peralihan antara anak-anak dan dewasa. Perubahan yang terjadi pada usia remaja terjadi secara fisik dan non fisik. Menurut Survey Demografi Kependudukan Indonesia-Remaja (SDKI-R) 2007 remaja perempuan yang tidak mengetahui tentang perubahan fisik yang terjadi pada perempuan sebanyak 13,3% lebih tinggi di bandingkan hasil SDKI- R tahun 2002/2003 sebesar 10,7%. Hampir separuh (47,9%) dari remaja perempuan, tidak mengetahui kapan seorang perempuan memiliki hari atau masa suburnya (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2011) Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap fungsi seksualnya. Menurut data dari Survey Demografi Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, sebanyak 6.835 remaja laki-laki dan 6.018 remaja perempuan mulai melakukan hubungan seksual untuk pertama kali pada rentang usia 15-19 tahun. Semakin dini

3 seseorang melakukan hubungan seksual, maka semakin berisiko untuk terinfeksi penyakit menular seksual. Infeksi menular seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. IMS merupakan penyakit yang penularannya menyebar terutama melalui hubungan seksual. Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus dan parasit berbeda yang dapat menyebabkan IMS. Jenis penyakit yang paling umum terjadi adalah gonorrhoea, syphilis, trichomoniasis, chancroid, human immunodeficiency virus (HIV), chlamydia, herpes genital, kutil kelamin, dan infeksi hepatitis B. Menurut laporan World Health Organization (WHO) beberapa penderita HIV dan syphilis tertentu, dapat ditularkan secara menurun dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan, melalui produk darah dan transfer jaringan (WHO, 2016). Setiap tahun kurang lebih terdapat 357 juta kasus infeksi baru pada salah satu IMS; klamidia 131 juta kasus, gonorrhoea 78 juta kasus, syphilis 5,6 juta kasus, trichomoniasis 143 juta kasus. Kemudian terdapat lebih dari 500 juta orang terinfeksi HSV (Herpes Simplex Virus) (genital), terdapat lebih dari 290 juta perempuan terinfeksi HPV (Human Papiloma Virus). HSV tipe 2 dan syphilis memiliki resiko tinggi terkena HIV (Human Immunodeficiency Virus) (WHO, 2016). Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus dan parasit berbeda yang ditularkan melalui hubungan seksual. Delapan diantaranya paling besar, yang dapat disembuhkan adalah syphilis, gonorrhoea, chlamydia, trichomoniasis dan yang tidak dapat disembuhkan adalah Hepatitis B, HSV, HIV, HPV. Cara penularan penyakit IMS dapat melalui

4 hubungan seksual (vaginal, anal, oral) dan non-seksual (darah atau produk darah). Beberapa penyakit IMS yang dapat ditularkan yang diturunkan oleh ibu ke anak melalui kandungan yaitu chlamydia, gonorrhoea, syphilis, hepatitis B primer, HIV. Gejala yang muncul pada saat terinfeksi penyakit IMS diantaranya dapat dilihat dari cairan vaginal, cairan urethral, rasa terbakar dan ulserasi pada daerah genitalia, dan nyeri abdomen. Secara epidemiologi, IMS tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi ditemukan di Asia Selatan, dan Asia Tenggara, kemudian diikuti oleh Afrika bagian Sahara, Amerika Latin dan Karibia. Setiap tahunnya terjadi jutaan IMS yang disebabkan oleh virus, diantaranya HIV, virus herpes, HPV dan virus hepatitis B (WHO, 2012). Di Amerika jumlah wanita yang menderita infeksi klamidial, tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Dari seluruh wanita yang menderita infeksi klamidial, golongan umur yang memberikan kontribusi yang besar ialah umur 15-24 tahun (CDC, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sridana (2012), jumlah penderita IMS di puskesmas II Denpasar Selatan diperoleh perempuan lebih banyak dibandingkan lakilaki dengan perbedaan yang sangat jauh yaitu 561 orang perempuan (93,3%) dan 40 orang laki-laki (6,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian CDC tahun 2010, yang menyatakan jumlah penderita IMS wanita jauh lebih banyak daripada pria (Sridana, 2012). Sebagian besar penderita IMS dari laporan rumah sakit adalah perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk terkena IMS dibanding dengan laki-laki. Sedangkan menurut golongan umur kasus terbanyak pada

5 umur 21-30 tahun, hal tersebut dapat diperkirakan karena aktivitas seksual pada kelompok umur tersebut lebih tinggi (Febiyantin, 2014). Infeksi menular seksual termasuk salah satu faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Akan sulit untuk memutus rantai penularan HIV/AIDS apabila kejadian infeksi menular seksual tidak mendapat intervensi yang tepat sasaran. Strategi utama yang dilakukan dalam pencegahan infeksi menular seksual adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang; gejala penyakit, cara pencegahan dan dimana dapat memperoleh informasi yang akurat mengenai infeksi menular seksual bilamana diperlukan (SDKI, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiani (2015) dengan judul Hubungan Jenis Kelamin dan Sumber Informasi dengan Pengetahuan Remaja Mengenai Penyakit Menular Seksual (PMS) menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki pengetahuan yang rendah, sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai pengetahuan yang tinggi. Remaja perempuan memiliki pengetahuan yang kurang sebesar (82,4%) dibandingkan dengan remaja laki-laki. Begitu pula hasil penelitian Wahyuni (2012) yang menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih rendah pengetahuannya dibandingkan dengan remaja laki-laki yang lebih tinggi. Menurut SDKI 2012, KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja), pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja masih belum memadai. Hal tersebut dapat dilihat dengan data 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. Begitu juga tentang gejala PMS yang kurang diketahui

6 oleh remaja. Informasi tentang HIV relatif lebih banyak diterima oleh remaja, meskipun hanya 9,9% remaja perempuan dan 10,6 remaja laki-laki memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai HIV-AIDS. Tempat pelayanan untuk remaja juga belum banyak diketahui oleh remaja (BKKBN, 2011). Tenaga kesehatan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pengembangan sumber daya manusia yang produktif secara soasial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-undang No 36, tahun 2014). Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika, moral dan kemampuan yang ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki kemampuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis (UU No 36, tahun 2014). Pendidikan Diploma III keperawatan merupakan salah satu pendidikan tinggi keperawatan yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga Perawat Profesional pemula dengan sebutan Ahli Madya Keperawatan. Dalam proses pendidikan, beban studi yang diberikan sebesar 110-120 SKS yang terdiri kurikulum inti dan kurikulum

7 instansional yang ditempuh dalam enam semester (Kurikulum Program Pendidikan Diploma III Keperawatan). Hasil penelitian Husna (2016) menyatakan bahwa pengetahuan perawat tentang HIV/AIDS berada pada kategori rendah. Hal ini sesuai dengan temuan lain pada penelitian yaitu kurangnya kompetensi perawat dalam merawat pasien HIV/AIDS. Kedua hal tersebut dapat saling berhubungan. Kurangnya pengetahuan perawat dapat menjadi salah satu sebab perawat memiliki kompetensi yang rendah. Oleh karena itu, diharapkan calon-calon perawat yang sedang menempuh pendidikan keperawatan, khususnya mahasisiwi D3 keperawatan memiliki pengetahuan yang baik tentang IMS. Agar kedepannya dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif serta melakukan pendidikan kesehatan bagi pasien maupun keluarga. Berdasarkan uraian data di atas, penulis ingin meneliti gambaran pengetahuan tentang infeksi menular seksual pada mahasiswi jenjang D3 Keperawatan di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang IMS?

8 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang chlamydia 2) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang gonorrhoea 3) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang syphilis 4) Mengetahui pengetahuan mahasiswi D3 keperawatan di Yogyakarta tentang trichomoniasis D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Institusi: a) Dapat digunakan untuk melihat gambaran pengetahuan mahasiswi di perguruan tinggi menganai IMS b) Sebagai evaluasi terhadap metode pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswi mengenai IMS 2. Bagi Mahasiswa Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa/peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai IMS

9 3. Bagi peneliti sendiri Dapat menambah wawasan mengenai IMS lebih mendalam dan menemukan issue terbaru terkait IMS serta menambah pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian dan membuat laporan penelitian. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian dengan tema tingkat pengetahuan tentang IMS pada mahasiswi jenjang D III Keperawatan di DIY, belum pernah diteliti, penelitian yang sejenis diantaranya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Zubeyde dan Nuran (2014), dengan judul Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Penyakit Menular Seksual. Penelitian deskriptif dan prospektif ini bertujuan untuk menentukan tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dibutuhkan oleh mahasiswa tingkat pertama mengenai STD. Populasi pada penelitian ini sebanyak 4.310 mahasiswa tahun pertama di universitas Marmara, 888 diantaranya yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian, dijadikan sampel penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan 45 pertanyaan tentang karakteristik sosiodemografi dan infeksi menular seksual yang telah disiapkan oleh peneliti dan dapat diselesaikan dalam waktu 20 menit. Analisis data menggunakan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa menerima informasi mengenai IMS melalui buku, koran, majalah (79.3%), radio/televisi (61.6%), pendidikan di sekolah (19.3%), dan dari petugas kesehatan (15.2%). Ketika

10 kecukupan dari pengetahuan ditanyakan, hanya 16% dari mahasiswa ditemukan memiliki pengetahuan yang tidak cukup mengenai IMS. Ketika gejala ditanyakan, jawabannya cairan keluar dari vagina (55%), kutil/luka/borok pada area genital (48.1%), tidak tedapat gejala (28.9%), dan nyeri perut, demam, kelelahan (15.7%). Total dari 66.1% dari mahasiswa menyatakan bahwa mereka ingin diberitahukan mengenai STD di universitas. Persamaan dengan penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada variabel penelitian yaitu pengetahuan mengenai IMS. Sedangkan perbedaan pada populasi yaitu menggunakan seluruh mahasiswa pada tingkat pertama di semua jurusan. 2. Penelitian Triningtyas (2015) tentang Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Infeksi Menular Seksual Di SMA Al-Asiyah Cibinong Bogor. Penelitian kuantitatif dengan desain analisis deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang infeksi menular seksual di SMA Al-Asiyah Cibinong Bogor. Sampel dalam penelitian sebanyak 132 responden usia 15-17 tahun dengan teknik pengambilan sampel disproporsional stratified sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validitasnya. Analisis data menggunakan teknik univariat dengan bantuan program analisis statistik dalam pengolahannya. Hasil analisis dari kuesioner menunjukkan bahwa 37.9% responden mengetahui dengan benar mengenai tanda dan gejala infeksi menular seksual. Pengetahuan remaja tentang gejala dan tanda memberikan hasil <70%. Secara keseluruhan tingkat pengetahuan remaja di SMA Al-Asiyah berada di kategori cukup. Persamaan penelitian di atas dengan

11 penelitian ini adalah metode penelitian dan variable yang diteliti. Sedangkan perbedaannya adalah populasi dan teknik sampling. Populasi pada penelitian di atas adalah siswa SMA, sedangkan pada penelitian ini adalah mahasiswi perguruan tinggi D3 keperawatan. Peneliti menggunakan consecutive sampling, sedangkan penelitian di atas menggunakan disproporsional stratified sampling. 3. Penelitian Pratika (2013) tentang Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pentingnya Asam Folat Bagi Kehamilan di BPM Sang Timur Klaten. Penelitian deskriptif kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya asam folat bagi kehamilan di BPM Sang Timur Klaten tahun 2013 pada tingkat pengetahuan baik, tingkat pengetahuan cukup dan tingkat pengetahuan kurang. Penelitian dilakukan pada bulan Maret Juni 2013. Populasi dalam penelitian sebanyak 118 responden dan sampel sebanyak 40 responden yang ditentukan menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan oleh peneliti adalah kuesioner. Variabel dalam penelitian merupakan variabel tunggal yaitu Pengetahuan Ibu Hamil tentang Pentingnya Asam Folat Bagi Kehamilan. Analisis menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya asam folat bagi kehamilan di BPM Sang Klaten tahun 2013 terdapat 7 responden (17,5%) dengan tingkat pengetahuan baik, tingkat pengetahuan cukup sebanyak 24 responden (60%) dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 9 responden (22,5%). Persamaan penelitian terletak pada variabel dan metode penelitian. Perbedaan terletak pada teknik sampling dan populasi. Teknik sampling pada

12 penelitian diatas dengan accidental sampling sedangkan pada penelitian ini menggunakan simple random sampling. Populasi pada penelitian di atas adalah Ibu hamil di BPM Sang Timur Klaten sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah masiswa D3 jurusan keperawatan. 4. Penelitian Budiono (2009) yang berjudul Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit HIV/AIDS pada Kelompok Risiko Tinggi di Sambusa Distrik Nabire Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Penelitian deskriptif cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penyakit HIV/AIDS kelompok risiko tinggi pada pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Sampel pada penelitian sebanyak 98 responden menggunakan teknik pengambilan sampel proportional random sampling dengan pendekatan accidental. Variabel dalam penelitian adalah variabel tunggal. Analisis pengetahuan dari responden dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh terhadap jawaban pertanyaan tentang HIV/AIDS. Hasil pengolahan data menunjukkan dari 98 responden, 73 (74,5%) responden mempunyai pengetahuan yang baik; 17 (17,3%) responden pengetahuannya cukup; dan 8 (8,2%) responden tingkat pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS berada pada kategori kurang. Berdasarkan rerata yang diperoleh, sebesar 78,57%. Pengetahuan terhadap pengertian penyakit, 85,7% responden pada kategori cukup. Pengetahuan terhadap penyebab penyakit, 85,7% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap gejala penyakit, 76,5% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap penularan penyakit, 90,8% responden pada kategori baik. Pengetahuan

13 terhadap risiko tertular penyakit, 77,6% responden pada kategori baik. Pengetahuan terhadap pencegahan penyakit, 72,4% responden pada kategori cukup. Pengetahuan terhadap pemeriksaan laboratorium, 88,8% responden pada kategori cukup. Secara keseluruhan tingkat pengetahuan penyakit HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi di Sambusa Distrik Nabire dalam kategori baik, rentang skor 78,57. Persamaan penelitian terletak pada variable (tingkat pengetahuan) dan jenis penelitian cross sectional. Perbedaan penelitian terletak pada populasi, sampel dan hal yang diteliti. Populasi dan sampel pada penelitian di atas adalah kelompok risiko tinggi di Sambusa Distrik Nabire. Hal yang diteliti dalam penelitian di atas adalah penyakit HIV/AIDS, sedangkan pada penelitian ini adalah IMS selain HIV/AIDS.