TINJAUAN PUSTAKA Onggok sebagai Limbah Agroindustri Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sudah dikenal dan merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting dalam makanan. Berdasarkan Biro Pusat Statistik (2011) terdapat sekitar 24 juta ton singkong segar per tahun. Pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan berbagai produk seperti tepung gaplek, gula cair dan tepung tapioka. Produk pengolahan ubi kayu yang paling banyak adalah tepung tapioka. Dalam proses pembuatan tepung tapioka dihasilkan limbah cairan dan limbah padat. Limbah padat terdiri atas : a) kulit hasil pengupasan ubi kayu; b) sisasisa potongan ubi kayu yang tidak terparut; c) limbah hasil pengendapan air buangan; dan d) onggok merupakan hasil samping penyaringan/pemerasan ubi kayu yang terdiri dari serat-serat, pati, dan air (Ciptadi, 1980). Bagan alir proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Ubi Kayu menjadi Tepung Tapioka Industri Rakyat Sumber : Halid (1991) 15
Ketersediaan jumlah onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka dan penanganannya. Pada proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka diperoleh hasil sampingan berupa padatan yang disebut onggok dan hasil buangan berupa cairan disebut sludge. Menurut Hidayat (2010), dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah kulit ubi kayu sekitar 16% dari total bobot ubi kayu dan onggok sekitar 11,4% dari total bobot ubi kayu. Berdasarkan pernyataan Hidayat (2010), maka jumlah onggok untuk tahun 2011 dapat mencapai 2,736 ribu ton. Bentuk onggok murni dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Onggok Murni Sumber : Dokumentasi Penelitian (2011) Permasalahan dan Potensi Onggok sebagai Bahan Baku Pakan Onggok merupakan limbah pertanian yang sering menimbulkan masalah lingkungan, karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Sebagai bahan pakan, onggok merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat mudah larut (BETA-N) yang cukup tinggi, namun kandungan protein onggok masih sangat rendah dengan kadar serat kasar yang cukup tinggi (Rasyid, 1996). Salah satu teknologi alternatif untuk dapat memanfaatkan onggok sebagai bahan baku pakan ternak adalah dengan cara mengubahnya menjadi produk yang berkualitas, yaitu melalui proses fermentasi. Komposisi zat makanan onggok berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. 16
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Onggok dari Beberapa Literatur Berdasarkan Bahan Kering Zat Makanan 1 2 3 Abu 0,85 0,83 1,44 Protein Kasar 2,21 2,04 1,15 Lemak Kasar 0,33 0,36 0,26 Serat Kasar 11,16 9,28 15,06 BETN 85,45 87,49 82,09 Energi Bruto(kal/g) 3558 3426 3472 Sumber: 1. Lubis, et al (2007) 2. Suhartono (2000) 3. Taram (1995) Hasil analisis zat makanan pada onggok sangat tergantung pada varietas, cara pengolahan, mutu ubi kayu yang diolah menjadi tepung tapioka, dan cara penanganan onggok tapioka yang dihasilkan (Halid, 1991). Phong et al. (2003) melaporkan bahwa onggok yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan pertumbuhan dan konversi pakan ketika digunakan dalam ransum babi, baik di laboratorium maupun di lapang. Mereka menggunakan onggok fermentasi untuk menggantikan dedak padi sebanyak 30%. Marquest et al. (2005) melaporkan bahwa onggok dapat menggantikan jagung sebanyak 50% tanpa pengaruh negatif pada performa dan karakteristik karkas pada ternak sapi dara yang dipelihara di feedlot. Cassabio (Onggok Urea Zeolit Fermentasi) Cassabio adalah inovasi dalam pembuatan ransum, terbuat dari campuran onggok, urea, dan zeolit yang difermentasi dengan mikroorganisme tertentu. Beberapa peneliti melaporkan bahwa di antara mikroorganisme, Aspergillus niger sangat baik dalam menggunakan onggok sebagai substrat dan sekaligus meningkatkan kualitasnya (Iyayi dan Losel, 2001; Lubis et al., 2007; Pandey, 2000). Keunggulan dari kapang Aspergillus niger adalah dapat menggunakan onggok sebagai substrat dengan baik dan sekaligus dapat meningkatkan kualitas onggok. Aspergillus niger dapat menggunakan berbagai macam nutrien dari yang sederhana hingga komplek, sehingga mudah untuk menumbuhkan dan memeliharanya. 17
Walaupun demikian, pada proses fermentasi, Aspergillis niger membutuhkan unsur-unsur utama seperti nitrogen, karbon, fosfor, dan sulfur, serta mineral seperti Fe, Zn, Mn, Cu, Li, Na, K dan Rb untuk pertumbuhan dan reproduksinya (Hardjo et al., 1989). Menurut Fardiaz (1992), nitrogen dalam media fermentasi mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam nukleat dan koenzim. Urea merupakan salah satu sumber nitrogen bukan protein (NBP) yang mengandung 45% nitrogen (Parakkasi, 1995). Garraway dan Evans (1984) menyatakan, urea di dalam fermentasi akan diurai menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia yang dihasilkan akan digunakan oleh mikroorganisme untuk pembentukan sel tubuh mereka. Produksi amonia dari urea mempunyai kecepatan empat kali lebih besar dari pembentukan sel tubuh mikroorganisme sehingga konsentrasi amonia akan tinggi yang selanjutnya bisa menjadi racun untuk proses fermentasi itu sendiri (Hendriksen dan Ahrig, 1991). Oleh karena itu, Parakkasi (1995) menyatakan, pada penambahan urea sebagai sumber nitrogen bukan protein (NBP) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan karbohidrat yang mudah dicerna, harus dicampur dengan baik dengan bahan pakan lain, diberikan pada waktu adaptasi dua sampai dengan tiga minggu, tidak memakai urea lebih besar dari 1% dari ransum lengkap atau tidak lebih besar 5% dari konsentrat serta pemberiannya disarankan disertai dengan penambahan mineral. Zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir untuk menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi. Lubis et al. (2007) menggunakan zeolit alam jenis Clinoptilolit yang berasal dari Bayah Jawa Barat sebagai sumber mineral yang murah. Zeolit (jenis Clinoptilolit) mempunyai keistimewaan dalam menyerap ion yang besar seperti amonia (NH + 4 ), dengan demikian zeolit dapat berperan sebagai satu reservoir amonia yang memperlambat perpindahan dan kemudian melepaskannya berangsur-angsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. (Lubis et al., 2007). Lubis et al. (2007) melaporkan bahwa onggok-urea-zeolit yang difermentasi dengan Aspergillus niger meningkatkan protein kasar dari 2% menjadi 14%. Hasil tersebut jauh lebih tinggi dari hasil penelitian Iyayi dan losel (2001) yang meningkatkan protein kasar onggok dari 3.6% menjadi 7.8 % setelah difermentasi 18
dengan Aspergillus niger. Sofyan et al. (1999) bahkan bisa meningkatkan protein kasar onggok hingga mencapai 25% setelah difermentasi dengan Aspergillus niger, namun untuk mencapai protein kasar setinggi itu mereka menggunakan campuran mineral seperti yang disarankan oleh Ramos et al. (1983) yaitu campuran (NH 4 ) 2 SO 4 75 gram; urea 40 gram; NaH 2 PO 4 15 gram; MgSO 4. 7H 2 O 5 gram; KCl 1,5 gram; CaCl 2 0,5 gram; dan FeSO 4. 7H 2 O 0,75 gram. Larutan mineral tersebut biayanya relatif mahal, sehingga akan meningkatkan biaya produksi. Konsentrasi protein kasar dalam penelitian tersebut (Iyayi dan Losel, 2001; Lubis et al., 2007) belum optimal karena diduga adanya komponen yang sangat diperlukan dalam pembentukan asam amino bersulfur tidak tersedia. Penambahan sulfur diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi protein dalam fermentasi. Phong et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan sulfur dalam bentuk amonium sulfat sebanyak 1.5% dapat meningkatkan protein dari 4,6 % menjadi 9,4% dengan menggunakan Aspergillus niger. Perbandingan hasil analisis proksimat onggok dan cassabio berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Onggok dan Cassabio Berdasarkan Bahan Kering Zat Makanan Abu Protein Kasar Kandungan (% BK) Onggok Kering 1,18 2,80 Cassabio 2,73 11,61 Lemak Kasar 0,76 0,31 Serat Kasar 4,26 2,82 BETA-N 91,00 82,53 TDN 1) 85,99 79,23 Keterangan: 1) Sumber Perhitungan TDN: Harris et al., (1972); Hasil Analisis Laboratorium Teknologi Pengolahan Pakan Fakultas Peternakan, IPB (2011). 19
Perbandingan bentuk fisik antara onggok murni dan cassabio dapat dilihat pada Gambar 3. (a) Gambar 3. Bentuk Fisik (a) Onggok Murni dan (b) Cassabio Sumber: Dokumentasi Penelitian (2011) (b) Kecernaan Ransum secara In Vitro Salah satu metode penentuan fermentabilitas (kandungan NH 3 dan VFA) serta kecernaan ransum yang lazim digunakan di laboratorium adalah teknik in vitro. Teknik in vitro merupakan suatu kegiatan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan mengikuti keadaan yang sesungguhnya pada ternak tersebut. Sehingga secara tidak langsung kita dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan cara in vitro (Makkar, 2002). Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan pakan pada ruminansia dapat diukur di laboratorium dengan perlakuan cairan rumen (pertama) yang dilanjutkan dengan pemberian pepsin, metode ini dikenal juga dengan two stage in vitro. Menurut Maryanto (1995), kombinasi cassabio dengan 2,5% zeolit dan 3% urea menghasilkan kompleks onggok-urea-zeolit (cassabio) terbaik ditinjau dari hasil analisis in vitro (NH 3 dan VFA). Konsentrasi Amonia Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1995). Sekitar 3,5-14mM amonia digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Enzim proteolitik mikroba rumen akan menghidrolisis protein menjadi oligopeptida yang kemudian menjadi asam amino dan diserap melalui dinding rumen yang secara cepat 20
mengalami deaminasi menjadi amonia, metan, dan CO 2 (Sutardi, 1979). Proses metabolisme protein pada rumen ternak dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: Mc. Donald et al. (2002). Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi berkisar antara 6-21mM (McDonald et al., 2002). Kelarutan nitrogen asal protein di dalam larutan buffer menunjukkan ketahanan protein tersebut terhadap degradasi mikroba rumen. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80% atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna dan ini merupakan protein by pass yang akan dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH 3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai energi untuk pembentukan protein mikroba. Menurut Sutardi (1977), agar NH 3 dapat dimanfaatkan oleh mikroba penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi yang mudah difermentasi. Kekurangan N yang dibutuhkan oleh mikroba rumen akan menimbulkan efek negatif 21
pada perombakan komponen pakan lainnya, khususnya dinding sel yang kaya akan selulosa. Aktivitas fermentasi mikroba yang optimum perlu lebih banyak konsentrasi amonia daripada yang dibutuhkan untuk produksi maksimum protein mikroba (Oosting et al., 1989). Konsentrasi VFA Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa, difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) berupa asetat, propionat dan butirat, serta gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen dan gas CH4 serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonal et al., 2002). Proses ini disebut juga glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1991). Proses fermentasi karbohidrat pada rumen ternak dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: Mc. Donald et al. ( 2002) 22
Menurut Arora (1995), peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi bagi ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Namun, selain itu VFA juga merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba. Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonal et al., 2002). Ransum dengan komposisi 40% hijauan : 60% konsentrat, akan menghasilkan VFA total sebesar 96mM dengan perbandingan 61% asetat, 18% propionat, dan 8% butirat pada sapi, sedangkan pada domba akan menghasilkan VFA total sebesar 76mM dengan perbandingan 52% asetat, 34% propionat, dan 12% butirat (McDonal et al., 2002), sedangkan konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen, yaitu 80-160mM (Sutardi, 1979). Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). produksi VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekusor produksi VFA total) yang difermentasikan oleh mikroba rumen. Sakinah (2005) menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tumbuhnya. Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK dan KCBO) Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil (Sutardi, 1980). Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan di dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut terserap oleh tubuh hewan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbedabeda dalam mendegradasi pakan (Sutardi, 1979). Tingkat kecernaan zat-zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut, dengan demikian KCBK dan KCBO dapat dijadikan salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan. Nilai dari KCBK dan KCBO menunjukkan seberapa besar zat makanan dalam pakan 23
dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1977). Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (McDonald et al.,2002). Kecernanan bahan organik sama seperti kecernaan bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar. Serat termasuk komponen dari bahan organik pakan. Apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada mikroba rumen. Produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan nilai kecernaan bahan organik pakan yang dikonsumsi, semakin tinggi produksi amonia dan VFA dalam rumen menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik semakin tinggi pula (Rahmawati, 2001). Sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien cerna bahan kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya koefisien cerna bahan organik (KCBO) pakan. Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran ransum, cairan rumen, ph, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sample, dan larutan penyangga (Selly, 1994). Sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi pakan di dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produksi saliva, dan ph optimum (Kaufman et al., 1980). Penambahan karbohidrat mudah terdegradasi dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan degradasi bahan organik pakan dan miningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang berimplikasi terhadap peningkatan produktifitas ternak. Amonium Sulfat Amonium sulfat mempunyai rumus molekul (NH 4 ) 2 SO 4 termasuk garam anorganik. Amonium sulfat mengandung 21% kation amonium dan 24% sulfur sebagai anion sulfat. Nama lain dari amonium sulfat adalah diamonium sulfat, sulfuric acid diamonium salt, maskagnit, aktamaster dan dolamin. Bahan ini sering digunakan dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan menurunkan ph tanah. Dalam tanah, ion sulfat dihasilkan dalam bentuk bisulfat sehingga dapat menurunkan keseimbangan ph tanah serta berkontribusi menyediakan nitrogen esensial untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Tisdale et al. (1990), diperkirakan 90% sulfur dalam tanaman ditemukan sebagai asam amino yang salah satu fungsi utamanya dalam 24
protein adalah dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida. Dalam bidang pertanian, bahan ini digunakan sebagai larutan untuk insektisida, herbisida dan fungisida. Amonium sulfat dapat dibuat dengan mereaksikan amonium sintetis dengan asam sulfat (2 NH 3 + H 2 SO 4 (NH 4 ) 2 SO 4 ). Campuran antara gas amonia dan air dimasukkan ke dalam reakto yang mengandung larutan yang larut dalam amonium sulfat dan 2% - 4% asam sulfat bebas dalam oven 60 C. Konsentrasi asam sulfat ditambahkan untuk menjaga keasaman larutan dan untuk mengurangi level asam sulfat bebas. Reaksi pemanasan tersebut tetap berada dalam oven 60 C (George, 1971). Menurut Phong et al. (2003), penambahan amonium sulfat sebanyak 1% pada onggok yang difermentasi dengan Aspergillus niger selama 6 hari dapat memberikan hasil yang optimal yaitu dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan protein murni onggok yaitu sekitar 8,9% dan 5,1% yang mengalami peningkatan kandungan protein kasar sebesar 6,1%. 25