1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE), atau rare earth (RE) adalah kelompok 17 elemen logam, yang mempunyai sifat kimia yang mirip, yang terdiri dari unsur-unsur skandium (Sc), yttrium (Y) dan 15 unsur Lantanida (Spedding, 1978). Unsur-unsur LTJ tersebut mempunyai sifat unik yang unggul, sehingga saat ini LTJ banyak digunakan pada pembuatan barangbarang inovatif berteknologi tinggi, seperti magnet permanen, elektronik, paduan logam, keramik, katalis, bidang medis dan nuklir, sehingga kini unsur LTJ dianggap sebagai bahan abad ke-21 (Morais & Ciminelli, 2004). Beberapa dekade terakhir, kebutuhan logam tanah jarang di dunia terus meningkat, namun Cina sebagai produsen 95% LTJ dunia membatasi ekspor LTJ hingga 35% sehingga harga LTJ di dunia melambung naik (Forbes, 2012). Others Ceramics 5% 5% Others 8% Magnets 21% Phosphors 7% USA 12% Catalysts 20% Metal Alloys 18% Glass 9% Polishing 15% China 60% Japan & Asia 20% (a) (b) Gambar 1. Penggunaan logam tanah jarang dunia tahun 2010 (a) dan negara produsen logam tanah jarang (b) (IMCOA, 2010)
2 Secara geologis LTJ tidak ditemukan dalam bentuk unsur bebas melainkan dalam bentuk paduan senyawa kompleks. Sumber utama LTJ berasal dari mineral bastnaesit, monasit dan senotim. Bastnaesit merupakan mineral RE fluorocarbonat, sedangkan monasit dan senotim merupakan mineral RE fosfat. Bastnaesit dan monasit merupakan sumber dari light RE, sedangkan senotim merupakan sumber heavy RE. Selain kandungan RE fosfat, monasit dan senotime juga mengandung sedikit uranium dan thorium, sehingga digolongkan sebagai naturally occuring radioactive material, atau NORM (Amer dkk, 2013). Potensi monasit dan senotim di Indonesia dijumpai di sepanjang sabuk timah yang memanjang ke selatan dari kepulauan Riau sampai Bangka-Belitung, serta di Kalimantan Barat. Saat ini, monasit umumnya diperoleh sebagai produk samping dalam penambangan timah di Pulau Bangka. Mineral ini diketahui sebagai sumber terbesar kedua untuk ekstraksi LTJ. Kandungan RE oksida (REO) pada monasit Bangka diketahui sebesar sekitar 60-70%, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian mengenai recovery LTJ dari monasit Bangka sangat potensial untuk dilakukan. Pengolahan mineral monasit Bangka ini sesuai dengan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 (UU MINERBA) tentang larangan ekspor mineral mentah. Recovery LTJ dari monasit dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pelarutan mineral metode alkali dan metode asam. Metode asam menggunakan asam sulfat pada proses digesti, dilanjutkan leaching dengan air untuk menghilangkan kandungan fosfat, kemudian dilakukan pengenceran dan pengendapan selektif thorium dan LTJ sebagai double sulphat (Castor dan
3 Hedrick, 2006). Metode alkali merupakan metode pelarutan mineral ke dalam larutan NaOH pekat pada suhu 140-150 C atau menggunakan NaOH padat yang dilebur bersama dengan mineral pada suhu tinggi. Reaksi antara monasit dengan NaOH menghasilkan RE hidroksida, natrium fosfat dan thorium hidroksida. Natrium fosfat merupakan senyawa larut air sehingga pemisahannya dilakukan dengan melarutkan hasil digesti dalam air. Pelarutan parsial dengan HCl pekat akan memisahkan LTJ dengan thorium. Pada proses ini, LTJ merupakan fraksi terlarut, sedangkan thorium dan material yang tidak larut disaring dan membentuk limbah thorium cake (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Recovery LTJ dengan metode asam sulfat telah digunakan sejak lama. Saat ini, metode alkali lebih banyak dipilih utuk recovery LTJ karena metode alkali mampu menghasilkan LTJ dengan kemurnian yang lebih tinggi. Selain itu, natrium fosfat dalam air cucian hasil leaching/roasting dalam metode alkali dapat diambil sebagai produk samping yang bernilai ekonomis. Natrium fosfat dapat digunakan sebagai pupuk. Pada metode asam senyawa fosfat tidak dapat diambil sebagai produk (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Beberapa penelitian pemisahan LTJ dari monasit Bangka dengan metode alkali telah dilakukan. Penelitian tersebut umumnya menggunakan larutan NaOH pekat pada suhu rendah untuk dekomposisi fosfat, namun recovery LTJ dari proses tersebut masih relatif rendah, yaitu sebesar 70%. Pada penelitian ini, pemisahan LTJ dari monasit Bangka akan dilakukan dengan metode alkali menggunakan NaOH padat. Roasting campuran monasit/naoh alkali pada suhu tinggi akan melelehkan padatan NaOH, diikuti dengan dekomposisi fosfat pada
4 pasir monasit dalam lelehan NaOH. Setelah proses dekomposisi fosfat, proses leaching dengan aquades dilakukan terhadap sampel hasil roasting. Dengan metode ini, jumlah fosfat yang terdekomposisi akan lebih banyak dari metode alkali dengan larutan NaOH pekat sehingga recovery LTJ yang diperoleh akan lebih tinggi. Kinetika reaksi dekomposisi fosfat pada penelitian ini dianalisis berdasarkan model shrinking core. 1.2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pemisahan LTJ dari monasit menggunakan metode alkali menggunakan larutan NaOH pekat sudah banyak dilakukan, diantaranya ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa penelitian rekoveri LTJ metode alkali suhu rendah Sumber Referensi Keterangan proses Monasit Abdel Rahim, Leaching monasit dalam ball mill autoclave pada Mesir 2002 suhu 150 C dan 175 C, dimana proses grinding dan Monasit India Monasit Australia Monasit Korea Gupta dan Krishnamurty, 2005 Gupta dan Krishnamurty, 2005 (Panda 2014) dkk., leaching terjadi simultan Pemisahan REE di Kerala menggunakan 4 stage leaching monasit dengan NaOH pada suhu 140 C Proses leaching menggunakan 80% berat/volum NaOH pada suhu 140 C selama 3 jam, rasio monasit:naoh 1,5:1 berhasil memisahkan 98% REE Leaching menggunakan larutan NaOH 50% pada suhu 170 C Pemisahan LTJ menggunakan metode alkali untuk monasit Indonesia menggunakan larutan NaOH pada suhu rendah juga pernah dilakukan. Purwani dan Suyanti (2014), menggunakan larutan NaOH 23,09 M untuk leaching monasit Bangka pada suhu 140 C, mencapai kondisi optimum rekoveri LTJ rata-rata sebesar 70%.
5 Beberapa penelitian mengenai pemisahan LTJ metode alkali pada suhu tinggi telah dilakukan. Xing dkk (2010) menggunakan metode ini untuk defosforisasi konsentrat monasit Tiongkok menggunakan batubara pada suhu 1400 C dan berhasil memisahkan 98% fosfor. Suchen dkk (2007) mempelajari pengaruh penambahan NaCl-CaCl2 pada dekomposisi fosfat monasit Tiongkok pada suhu tinggi dengan CaO. Dekomposisi fosfat sebesar 79% fosfat diperoleh setelah roasting pada suhu 750 C selama 1 jam dengan penambahan NaCl-CaCl2 sebanyak 10%. Kumari dkk (2015) melaporkan bahwa kondisi optimum dekomposisi fosfat pada monasit Korea diperoleh dengan roasting pada suhu 400 C pada campuran monasit/naoh dan pada suhu 900 C untuk campuran monasit/na2co3. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena studi dekomposisi fosfat menggunakan material monasit dari Pulau Bangka menggunakan metode alkali pada suhu tinggi. Studi mengenai kondisi operasi dan model untuk mendekati peristiwa dekomposisi fosfat pada proses roasting akan menjadi tinjauan dari penelitian ini. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh rasio NaOH/monasit terhadap dekomposisi fosfat; 2. Mempelajari pengaruh suhu roasting terhadap dekomposisi fosfat; 3. Memilih model matematis yang dapat digunakan untuk mendekati peristiwa roasting-leaching yang terjadi.
6 1.4. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai kondisi operasi optimum untuk proses dekomposisi fosfat dari monasit Bangka dengan metode alkali pada suhu tinggi. Informasi tersebut diharapkan dapat mendorong penelitian dan pemanfaatan monasit Bangka sebagai sumber LTJ.