BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gina Gusliana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini semakin pesat.

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS TERPADU DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMAN 2 PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

I. PENDAHULUAN. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pusat kajian statistik pendidikan Amerika (National Center for Educational

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

OMEGA Jurnal Fisika dan Pendidikan Fisika Vol 1, No 2 (2015) ISSN:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika. Vol 02 No 01 Tahun 2013, 20-25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Penelitian

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA TEMA PEMANASAN GLOBAL UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 2008). Pendidikan formal

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

PENERAPAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

2015 PENGARUH METODE GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DITINJAU DARI KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

tingkatan yakni C1, C2, C3 yang termasuk dalam Lower Order Thinking dan C4, C5, C6 termasuk dalam Higher Order Thinking Skills.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengambilan keputusan adalah proses kognitif kritis di setiap bidang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X

PENGARUH MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X SMAN 02 BATU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Melya Dwi Gardiantari, 2013

PENGARUH MODEL GUIDED INQUIRY DISERTAI FISHBONE DIAGRAM TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI

Yuniar Fikriani Amalia, Zainuddin, dan Misbah Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

Jurnal Titian Ilmu Vol. IX, No. 1, 2015

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

Tersedia online di EDUSAINS Website: EDUSAINS, 7 (2), 2015,

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

Transkripsi:

A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini prestasi belajar (achievement) sains siswa Indonesia secara internasional masih berada pada tingkatan yang rendah, hal tersebut dapat terindikasi melalui hasil survei internasional yang bernama TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) (Kemendiknas, 2011, hlm.1; Tjalla, 2010, hlm.2). TIMSS merupakan survei internasional yang mengukur prestasi belajar siswa kelas 4 SD, 8 SMP dan 12 SMA meliputi dimensi konten dan dimensi kognitif (knowing, applying dan reasoning) dalam bidang matematika dan sains yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali (Mullis,I.V.S & Martin,M.O, 2013, hlm.30-31). Berdasarkan hasil TIMSS, pada tahun 1999 prestasi sains siswa Indonesia hanya mampu menduduki peringkat ke-32 dari 38 negara peserta, tahun 2003 menduduki peringkat ke- 37 dari 46 negara peserta, tahun 2007 menduduki peringkat ke-35 dari 49 negara peserta dan tahun 2011 hanya mampu menduduki peringkat ke-40 dari 42 negara peserta (Balitbang Kemendikbud, 2011; Kompas, 2012). Perolehan hasil TIMSS tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar sains siswa Indonesia selalu berada pada peringkat sepuluh terbawah kecuali di tahun 2007 dan berada pada tingkatan yang rendah (low international benchmark) yaitu siswa hanya mampu mengenali sejumlah fakta dasar namun belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik sains, apalagi dapat menerapkan konsep yang kompleks dan abstrak (Mullis,I.V.S & Martin,M.O, 2011, hlm.4-6). Indikasi lain yang menunjukkan rendahnya prestasi belajar siswa khususnya pada kemampuan knowing, applying dan reasoning terlihat dari hasil tes studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan mengujikan enam item soal TIMSS kepada siswa kelas VIII di salah satu SMPN Kota Bandung yaitu hanya 66,67% siswa menjawab soal domain knowing dengan benar, 44,44% siswa menjawab soal domain applying dengan benar dan 33,33% siswa menjawab soal domain reasoning dengan benar,

2 padahal kemampuan knowing, applying dan reasoning merupakan kemampuan berpikir yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan di abad 21 ini. Salah satu faktor penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah proses pembelajaran di sekolah yang kurang memfasilitasi siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir (Kitot, Ahmad & Seman, 2010, hlm.2). Pernyataan tersebut ternyata sejalan dengan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti selama enam bulan di salah satu SMPN Kota Bandung dimana diperoleh temuan bahwa selama proses pembelajaran fisika siswa kurang difasilitasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir seperti kemampuan knowing (kemampuan menyatakan suatu fakta maupun mendeskripsikan fenomena), kemampuan applying (kemampuan mengaplikasikan pengetahuan pada situasi fisika yang berbeda) dan kemampuan reasoning (kemampuan menganalisis masalah ilmiah ataupun merancang suatu penyelidikan). Adapun aktivitas siswa selama pembelajaran hanya mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan oleh guru, bahkan ketika diberikan pertanyaan oleh guru, respon siswa hanya diam dan bingung. Faktor lainnya yang menjadi penyebab rendahnya prestasi belajar siswa yaitu didasarkan dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan dua orang guru fisika di salah satu SMPN Kota Bandung, beliau menyatakan bahwa siswa sesekali melakukan kegiatan eksperimen tetapi pembelajaran fisika lebih sering menggunakan pendekatan konvensional seperti ceramah, padahal beberapa ahli seperti Costenson & Lawson, McDermott, dan NRC (dalam Wenning, 2005, hlm.9) menyatakan bahwa cara mengajar secara konvensional atau teaching by telling sangat tidak efektif untuk mengembangkan pengetahuan (content knowledge) dan keterampilan proses (process skills). Proses pembelajaran seharusnya berorientasi pada siswa aktif belajar yaitu siswa melakukan pengamatan, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2012, hlm.7), serta pembelajaran seharusnya menggunakan pendekatan scientific sehingga dapat mengembangkan kemampuan siswa (Permendikbud No 68, 2013, hlm 2).

3 Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rendahnya prestasi belajar siswa yaitu pada umumnya siswa kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal dengan karakteristik berpikir tingkat tinggi seperti soal TIMSS (Kemendiknas, 2011, hlm.1-2), hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan siswa yang telah mengerjakan tes studi pendahuluan soal TIMSS, siswa menyatakan bahwa bentuk soal yang diteskan unik, baru pertama kali mengerjakan soal dengan bentuk seperti itu, namun lebih terbiasa dengan soal hitungan dibandingkan dengan soal yang diteskan. Selain itu, faktor lain yang juga menjadi penyebab rendahnya prestasi belajar siswa yaitu instrumen penilaian yang digunakan untuk menguji prestasi belajar peserta didik biasanya diambil dari berbagai buku atau kumpulan soalsoal ujian sehingga cenderung lebih banyak menguji aspek ingatan siswa (Kamalia Devi.P, 2011, hlm.2). Pernyataan tersebut ternyata juga sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan dua orang guru fisika di salah satu SMPN Kota Bandung, beliau menyatakan bahwa tipe soal yang diujiankan biasanya berbentuk hafalan dan hitungan, bahkan substansi dalam instrumen penilaian prestasi belajar kurang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata yang dihadapi siswa serta kurang memfasilitasi siswa dalam mengungkapkan proses berpikir dan berargumentasi (Kemendiknas, 2011, hlm.2), padahal seharusnya instrumen penilaian prestasi belajar yang dibuat harus dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Kamalia Devi.P, 2011, hlm.1). Temuan-temuan yang sudah dipaparkan di atas semakin menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada proses pembelajaran fisika di sekolah yang belum terlaksana dengan optimal untuk dapat memfasilitasi siswa dalam melatihkan kemampuan knowing, applying, reasoning, selain itu peneliti juga akan mengembangkan satu set instrumen yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa. Permasalahan tersebut memang harus cepat ditemukan solusinya agar pembelajaran Fisika menjadi lebih bermakna dan lebih berorientasi kepada siswa aktif belajar, sehingga achievement siswa Indonesia tidak semakin tertinggal jauh dengan bangsa lain.

4 Alternatif solusi yang dipandang dapat mengatasi masalah tersebut dan dapat meningkatkan kemampuan knowing, applying dan reasoning siswa ialah dengan menerapkan pendekatan inkuiri. Telah banyak guru-guru yang menggunakan beragam jenis pendekatan inkuiri seperti discovery learning, guided inquiry ataupun free inquiry di dalam pembelajaran fisika. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa mereka hanya sekedar menggunakan beragam pendekatan pembelajaran inkuiri tanpa disertai adanya pemahaman yang komprehensif mengenai penggunaanya (Wenning, 2010, hlm.11). Akibatnya banyak pembelajaran inkuiri di sekolah yang diterapkan secara terputus-putus (disconnected process), prosesnya tidak sistematis (random inquiry processes) dan seringkali mengalami kegagalan dalam melatihkan intellectual processes skills yang berguna untuk mengembangkan pemahaman siswa (Wenning, 2010, hlm.11 ; 2011, hlm.17). Apalagi jika pendekatan inkuiri tiba-tiba diterapkan pada siswa yang tidak terbiasa belajar melalui proses inkuiri atau bahkan pada siswa yang seringkali diberikan pengetahuan secara langsung oleh gurunya, maka dapat dipastikan akan timbul kebingungan pada siswa dan bahkan mereka tidak dapat mengkonstruksi pengetahuannya dengan baik. Oleh karena itu, seharusnya guru lebih selektif dalam memilih jenis inkuiri mana yang akan digunakan dalam pembelajaran serta harus disesuaikan dengan kemampuan intelektual siswa dan konten materi yang akan diajarkan, sehingga penerapan pembelajaran inkuiri di kelas menjadi lebih sistematis, logis, koheren dan bertahap mulai dari pembelajaran yang melibatkan kemampuan dasar menuju pada kemampuan yang komplek. Salah satu cara yang digunakan untuk menerapkan pendekatan inkuiri secara sistematis dan komprehensif yaitu dengan menerapakan pembelajaran levels of inquiry (LOI). Levels of inquiry merupakan hierarki pembelajaran yang dimulai dari tahap discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-word application, dan diakhiri pada tahap hypothetical inquiry (Wenning, 2005, hlm.4; 2010, hlm.12; 2011, hlm. 10). Melalui tahapan discovery learning, siswa diberikan kesempatan untuk menyatakan suatu fakta dan mendeskripsikan fenomena, sehingga diharapkan

5 tahap ini melatihkan kemampuan knowing siswa. Tahap interactive demonstration memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat membuat prediksi dan menerapkan pengetahuannya, sehingga diharapkan tahap ini melatihkan kemampuan applying siswa. Pada tahap inquiry lesson siswa dilatihkan untuk merancang suatu penyelidikan hingga mengidentifikasi prinsip atau hubungan dan melalui tahap inquiry lab siswa diberikan kesempatan untuk menetapkan hukum empiris berdasarkan pengukuran variabel, sehingga diharapkan pada kedua tahap ini dapat melatihkan kemampuan reasoning siswa. Telah terdapat beberapa penelitian yang berhasil menerapkan levels of inquiry dalam proses pembelajaran fisika, salah satunya yaitu dilakukan oleh Rahmat Hidayat (2012) tentang Profil Kemampuan Berinkuiri Siswa SMP dan Hasil Belajar Siswa Setelah Diterapkan Model Pembelajaran Level of Inquiry. Hidayat melakukan penelitian dengan menggunakan desain penelitian one group pretest-posttest design dan menunjukkan terjadinya peningkatan hasil belajar dengan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0,53 dengan kategori sedang. Akan tetapi belum ada penelitian yang menerapkan tahapan levels of inquiry secara sekaligus dalam satu pertemuan pada pokok bahasan optik. Alasan peneliti tertarik melakukan penelitian pada pokok bahasan optik dikarenakan (1) berdasarkan dari hasil wawancara dengan guru fisika di lokasi studi pendahuluan didapatkan informasi bahwa materi optik adalah materi yang tersulit untuk diajarkan di kelas VIII; (2) karakteristik materi optik cocok diajarkan dengan pembelajaran levels of inquiry karena konten pada materi optik banyak yang dapat dijelaskan melalui penyelidikan ilmiah dan (3) banyaknya aplikasi optik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerapan Levels of Inquiry Untuk Meningkatan Achievement Siswa SMP Pada Pokok.

6 B. Identifikasi Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, diperoleh temuan masalah bahwa pembelajaran yang kurang memfasilitasi siswa dalam melatihkan kemampuan knowing, applying dan reasoning berdampak pada rendahnya achievement siswa. Alternatif solusinya yang rasional dan memungkinkan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu diterapkannya levels of inquiry. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu : 1. Variabel bebas : penerapan levels of inquiry 2. Variabel terikat : achievement siswa SMP Sedangkan, untuk batasan masalah dalam penelitian ini antara lain yaitu (1) levels of inquiry yang digunakan mengacu pada karya Carl J. Wenning, dengan tahapan levels of inquiry yang digunakan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada tahap discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson dan guided inquiry laboratory. Hal tersebut disesuaikan dengan keterkaitan antara aspek achievement yang dipilih dengan intellectual process skills serta disesuaikan dengan karakteristik berpikir sampel penelitian yang digunakan yaitu siswa SMP. Siswa SMP yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII A di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung; (2) Variabel achievement yang diukur didasarkan pada dua dimensi yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Dimensi konten yang digunakan dibatasi hanya konten Fisika tentang optik yaitu topik pemantulan pada cermin cekung dan cembung, pembiasan pada lensa cekung dan cembung serta aplikasi optik tentang kamera pinhole, sedangkan dimensi kognitif yang dimaksud ialah terdiri dari tiga domain yaitu domain knowing, applying dan reasoning. Untuk aspek domain knowing dibatasi pada aspek recall/recognize, describe dan provide example, sedangkan aspek pada domain applying dibatasi pada aspek compare/contrast/classify, relate, use models, interpret information dan explain, dan untuk aspek pada domain reasoning dibatasi pada aspek analyze, formulate questions/hyphothesize/predict, design investigations, evaluate dan draw conclusions.

7 C. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah penelitian, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada pokok bahasan optik setelah diterapkan levels of inquiry? Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi pertanyaanpertanyaan penelitian yang dikembangkan sebagai berikut ini: 1. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP setelah diterapkan levels of inquiry? 2. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry? 3. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada setiap aspek domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry? 4. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada setiap topik domain konten optik setelah diterapkan levels of inquiry? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP setelah diterapkan levels of inquiry. 2. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry. 3. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada setiap aspek domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry. 4. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada setiap topik domain konten optik setelah diterapkan levels of inquiry.

8 E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi sebuah pembelajaran yang memungkinkan melatihkan kemampuan knowing, applying dan reasoning siswa, sebagai bukti empirik tentang potensi penggunaan levels of inquiry dalam meningkatkan achievement siswa SMP, serta memperkaya hasil penelitian sejenis sehingga nantinya dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, praktisi pendidikan, peneliti dan lain-lain, baik sebagai pembanding, pendukung atau bahkan sebagai rujukan bagi penelitian sejenis. F. Struktur Organisasi Skripsi Struktur organisasi skripsi ini terdiri dari BAB I berisi mengenai uraian tentang pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Bab II berisi mengenai kajian pustaka tentang levels of inquiry, achievement serta kerangka pemikiran tentang keterkaitan levels of inquiry dengan achievement siswa. Bab III berisi metode penelitian termasuk lokasi dan sampel penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data hingga analisis data. Bab IV berisi pemaparan hasil penelitian dan pembahasan. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai hasil dan analisis achievement siswa, keterlaksanaan levels of inquiry setiap pertemuannya dan penilaian LKS. Bab V merupakan simpulan dan saran.