BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

2014 PENGEMBANGAN PROGRAM PERKULIAHAN FISIKA SEKOLAH BERORIENTASI KEMAMPUAN BERARGUMENTASI CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pusat kajian statistik pendidikan Amerika (National Center for Educational

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

2015 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI COMPETING THEORIES TERHADAP KETERAMPILAN ARGUMENTASI SISWA SMA PADA MATERI ELASTISITAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab I ketentuan umum pada pasal 1 dalam UU ini dinyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau. kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman globalisasi saat ini pengetahuan dan teknologi mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. sebelumnya. UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa fungsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan komponen utama dalam membentuk generasi muda yang

1 PENDAHULUAN. memfasilitasi, dan meningkatkan proses serta hasil belajar siswa. Hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Afifudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. langkah-langkah observasi, perumusan masalah, pengujian hipotesis melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mei Indah Sari, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. penerus yang akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya dimasa

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

I. PENDAHULUAN. Saat ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa: kecerdasan peserta didik semata, tetapi juga untuk mengembangkan semua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan penelitian ilmu pendidikan mengisyaratkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN FISIKA PADA POKOK BAHASAN LISTRIK DINAMIS MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Model Pembelajaran Kreatif-Produktif Dalam pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Hasil Belajara Siswa SMA

PROFIL KEMAMPUAN ARGUMENTASI SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN ARGUMEN-BASED SAINS INQUIRY (ABSI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada awalnya, kemampuan dasar yang dikembangkan untuk anak didik

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. moral, ketrampilan dan akhlak antara pendidik dan murid. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

BAB I PENDAHULUAN. Metode konvensional (ceramah) kurang mengena untuk diterapkan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. penyampaian informasi (transfer of knowledge) dari guru ke siswa. Padahal

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan utuh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI TERHADAP KREATIVITAS SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tingkat kemajuan dari suatu bangsa dapat dilihat dari sektor pendidikannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang mempelajari gejala-gejala

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu diperlukan profil kualifikasi kemampuan lulusan untuk mencapai tujuan tersebut yang tertuang dalam Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan merupakan kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013). Keterampilan yang merupakan salah satu kualifikasi dari Standar Kompetensi Lulusan mengharuskan siswa agar memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri (Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013). Fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang bisa mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Pada tingkat SMA, mata pelajaran fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri, selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, juga sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk SMA mengisyaratkan bahwa pembelajaran fisika hendaknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap

2 ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006). Salah satu kemampuan berpikir yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran fisika adalah kemampuan argumentasi. Billig dan Kuhn (dalam Osborne,2002) menyatakan bahwa argumentasi merupakan proses berpikir yang dapat dikembangkan melalui penalaran dalam diskusi kelompok. Dalam beragumentasi siswa perlu memberikan bukti-bukti (data) dan teori yang akurat untuk mendukung klaim mereka terhadap suatu permasalahan. Kemampuan berpikir siswa sangat diperlukan dalam menganalisis bukti dan teori yang diberikan sehingga argumen yang mereka ajukan bisa diterima oleh orang lain. Dengan demikian kemampuan argumentasi berhubungan erat dengan kemampuan berpikir siswa yang merupakan salah satu kompetensi standar yang harus dimiliki oleh setiap lulusan (siswa). Perkembangan masalah-masalah sosio-ilmiah dalam lingkungan masyarakat pada zaman sekarang seperti rekayasa genetik, pemanfaatan nuklir, bayi tabung, dan lain sebagainya menuntut siswa untuk bisa memberikan argumentasinya agar tidak terjebak dalam isu-isu negatif yang menyebar di masyarakat. Klaim (claim) yang diajukan terkadang menimbulkan perdebatan dikalangan masyarakat sehingga perlu pembuktian dan pembenaran yang jelas agar klaim yang diajukan menjadi sah dan dapat diterima. Oleh karena itu, proses pembelajaran di sekolah, khususnya pembelajaran fisika, perlu membekali dan melatih siswa dengan kemampuan argumentasi yaitu kemampuan membuat klaim (claim) sesuai permasalahan, kemampuan memberikan dan menganalisis datadata, kemampuan memberikan pembenaran (warrant), dan kemampuan memberikan dukungan (backing) yang rasional dari teori-teori yang ada sehingga mendukung klaim yang diajukan. Pembelajaran sains (fisika) harus mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami dan mempraktekan cara berargumentasi dalam konteks ilmiah (Osborne et al, 2002). Gagasan pengembangan kemampuan argumentasi bagi siswa SMA merupakan kreativitas guru fisika yang dianjurkan untuk mengurangi bercerita dalam pembelajaran, tetapi lebih banyak mengajak siswa untuk aktif dalam

3 mengkonstruksi pengetahuan (Wenning, 2006). Landasan teoretis tersebut menekankan pula pentingnya guru melakukan perubahan paradigma dalam memfasilitasi siswa, dari cara pandang: mengajar adalah berceritera tentang konsep menjadi sebuah perspektif ilmiah: mengajar adalah menggubah lingkungan belajar dan menyiapkan rangsangan-rangsangan kepada siswa (Wenning, 2006). Trent (2009) menyatakan bahwa siswa perlu mempelajari bagaimana mengkonstruksi struktur argumentasi yang benar, yaitu membuat klaim, menyertakan dan menganalisis data yang mendukung, membuat pembenaran dan dukungan. Argumentasi memainkan peran penting dalam membangun eksplanasi, model dan teori, sebagaimana yang diungkapkan oleh Erduran & Jimenez (2007) Scientists use arguments to establish theories, models and explanations of the natural world. Contemporary philosophy of science perspectives emphasize that science is not only the accumulation of evidence of the way the world works. Science includes the construction of theories explaining the way in which the world should be. Thus, science progresses from disputes, conflicts and arguments Dengan demikian argumentasi merupakan sebuah proses yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan harus diterapkan dalam pembelajaran sains di sekolah. Namun, pada kenyataanya proses pembelajaran fisika kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan argumentasinya. Dari hasil studi pendahuluan berupa observasi kegiatan pembelajaran fisika di salah satu SMA di Garut, diketahui bahwa selama proses pembelajaran siswa kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan argumentasinya. Permasalahan yang diberikan kepada siswa selama kegiatan pembelajaran tidak mengarahkan siswa untuk membuat sebuah klaim, tetapi hanya sebatas permasalahan yang mengarahkan siswa kepada kegiatan penyelesaian soal kuantitatif. Selain itu, siswa juga tidak memperoleh kesempatan untuk menggunakan teori atau konsep yang diperolehnya untuk memperkuat jawaban yang dibuatnya karena penyelesaian masalah atau soal hanya cukup sampai menemukan jawaban berupa angka hasil perhitungan. Dengan demikian dapat

4 diambil kesimpulan bahwa dari keempat aspek argumentasi, yaitu klaim, data, pembenaran, dan dukungan, hanya aspek data yang biasa dilatihkan kepada siswa yaitu mengerjakan soal-soal untuk memperoleh angka yang akan menjadi jawaban dari permasalahan yang diberikan. Sedangkan ketiga aspek lainnya, yaitu klaim, pembenaran, dan dukungan tidak dilatihkan kepada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hasil studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa kemampuan argumentasi siswa masih rendah. Dari hasil tes kemampuan argumentasi kepada siswa dalam studi pendahuluan, diperoleh hasil sebagai berikut: (1) nilai rata-rata kemampuan siswa dalam membuat klaim adalah 32,2 dari nilai maksimal yaitu 100. (2) nilai rata-rata kemampuan siswa dalam menyertakan dan menganalisis data adalah 29,4 dari nilai maksimum yaitu 100. (3) nilai rata-rata kemampuan siswa dalam membuat pembenaran adalah 22,7 dari nilai masksimum yaitu 100. (4) nilai rata-rata kemampuan siswa dalam menyertakan dukungan untuk melandasi pembenaran adalah 24,5 dari nilai maksimum yaitu 100. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di atas, maka diperlukan sebuah proses pembelajaran yang bisa memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan argumentasinya. Osborne (2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran yang melibatkan argumen dalam pembelajaran harus melibatkan siswa dalam kegiatan diskusi kelompok. Model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk melatih kemampuan argumentasi siswa adalah model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains. Model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dikembangkan oleh Sampson (2010). Model ini dirancang untuk melibatkan siswa dalam kegiatan argumentasi ilmiah. Dalam model ini siswa dibentuk kedalam beberapa kelompok dan diberi kesempatan untuk mengembangkan argumentasi mereka dimulai dengan membuat klaim (claim) terhadap permasalahan yang diberikan. Klaim tersebut memerlukan data sebagai bukti untuk memverifikasi kebenarannya. Data yang diperlukan bisa diperoleh dari data-data hasil eksperimen. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, siswa melakukan

5 penyelidikan ilmiah (investigasi sains) pada proses pembelajaran sehingga mereka bisa memperoleh data-data yang diperlukan dalam membangun argumentasi. Landasan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains adalah teori konstruktivisme yang memandang bahwa pengetahuan tidak dipindahkan dari guru kepada siswa tetapi pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi dalam Hamzah, 2008). Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif siswa bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya (Poedjiadi dalam Hamzah, 2008). Oleh karena itu proses pembelajaran yang dilakukan harus lebih mengedepankan keaktifan siswa. Guru dalam hal ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Langkah-langkah dalam model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains lebih banyak melibatkan aktivitas siswa selama pembelajaran karena siswa harus mengembangkan sendiri argumentasinya mulai dari membuat klaim, melaksanakan kegiatan eksperimen untuk mencari data-data, membuat pembenaran dan dukungan, dan menyampaikan argumentasinya kepada kelompok yang lain. Sementara itu peran guru adalah memberikan permasalahan kepada siswa dan membimbing siswa selama kegiatan eksperimen berlangsung. Kegiatan eksperimen merupakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam sains khususnya fisika. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa para ilmuwan fisika mempelajari berbagai fenomena alam yang terjadi melalui serangkaian kegiatan eksperimen sampai akhirnya mereka menemukan konsep dibalik terjadinya sebuah fenomena alam. Namun, ada juga ilmuwan fisika yang mengemukakan terlebih dahulu ide atau gagasannya sampai kemudian pendapatnya tersebut memang terbukti benar berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan setelahnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran fisika harus lebih mengedepankan keaktifan siswa melalui proses penyelidikan berupa kegiatan eksperimen agar mereka bisa membangun pemahamannya terhadap sebuah

6 konsep sesuai hasil pengalaman belajar yang didapatnya. National Science Educational Standard berorientasi penyelidikan (inquiry) sebagai berikut: (Wenning, 2004) mendefinisikan kegiatan siswa the activities of students in which they develop knowledge and understanding of scientific ideas, as well as an understanding of how scientists study the natural world Ada beberapa definisi kemampuan yang diperlukan bagi siswa untuk melaksanakan penyelidikan (investigasi) ilmiah menurut National Science Educational Standard (Wenning, 2004), yaitu: identify questions and concepts that guide scientific investigations, design and conduct scientific investigations, use technology and mathematics to improve investigations and communications, formulate and revise scientific explanations using logic and evidence, recognize and analyze alternative explanations and models, and communicate and defend a scientific argument. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang memfokuskan pada analisis wacana argumentasi dalam konteks pembelajaran sains (Kelly & Takao, 2002; Zohar & Nemet, 2002). Grooms (2011) dalam penelitiannya menggunakan model Argumen-Driven Inquiry (ADI) memperoleh hasil bahwa ada peningkatan kualitas argumen siswa menggunakan model tersebut. Pembelajaran sains tidak hanya fokus pada hasil seperti pemecahan masalah, penguasaan konsep atau keterampilan proses sains semata, tetapi juga perlu melibatkan penggunaan alat lain seperti kemampuan argumentasi. Berdasarkan pada kondisi seperti yang telah diuraikan di atas dan mengingat pentingnya kemampuan argumentasi bagi siswa, maka perlu dilakukan penelitian untuk membekali siswa agar mereka dapat memiliki kemampuan argumentasi yang baik. Hal inilah yang memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penerapan Model Pembangkit Argumen Dengan Metode Investigasi Sains Terhadap Peningkatan Kemampuan Argumentasi Siswa Pada Materi Fluida Statis.

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan argumentasi siswa SMA pada materi fluida statis? Masalah tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana peningkatan kemampuan argumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi fluida statis? 2. Bagaimana peningkatan setiap aspek kemampuan argumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi fluida statis? C. Batasan Masalah Untuk memperjelas ruang lingkup masalah yang akan diteliti maka perlu dijelaskan batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Kemampuan argumentasi dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan siswa dalam menuliskan klaim, data, pembenaran, dan dukungan terhadap permasalahan yang diberikan. 2. Peningkatan kemampuan argumentasi pada penelitian ini dibatasi pada perubahan nilai tes kemampuan argumentasi siswa sebelum dan sesudah pembelajaran berdasarkan rata-rata gain yang dinormalisasi (<g>). D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan argumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi fluida statis.

8 2. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan setiap aspek kemampuan argumentasi siswa sebagai impak penerapan model dengan metode argumen berbasis investigasi sains pada materi fluida statis. E. Manfaat Penelitian Data hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti tentang potensi model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dalam meningkatkan kemampuan argumentasi siswa yang nantinya dapat memperkaya referensi tentang hasil penelitian yang sejenis dan dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang berkepentingan seperti peneliti, guru, mahasiswa dan LPTK. F. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap berbagai istilah, maka perlu dijelaskan beberapa definisi operasional sebagai berikut: 1. Model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk aktif mengembangkan argumentasi dengan metode investigasi sains melalui lima tahapan pembelajaran, yaitu tahap: (1) penyajian masalah, (2) menguji penjelasan melalui kegiatan investigasi sains, (3) pembangkitan argumen tentatif, (4) sesi argumentasi, dan (5) perumusan argumen hasil pemikiran kelompok. Keterlaksanaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains diobservasi menggunakan lembar observasi. 2. Kemampuan argumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk memberikan bukti dan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat atau gagasan (claim). Kemampuan memberikan bukti dan alasan yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam membuat klaim (claim), memberikan data, memberikan pembenaran (warrant), dan memberikan dukungan (backing) untuk memperkuat atau menolak pendapat atau gagasan (claim). Kemampuan argumentasi diukur melalui tes kemampuan argumentasi berupa soal uraian.