LAPORAN UOP 2 WETTED WALL COLUMN

dokumen-dokumen yang mirip
PRAKTIKUM OPERASI TEKNIK KIMIA II MODUL 7 WETTED WALL COLUMN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Rumusan Masalah I.3 Tujuan Instruksional Khusus I.4 Manfaat Percobaan

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

/ Teknik Kimia TUGAS 1. MENJAWAB SOAL 19.6 DAN 19.8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

/ Teknik Kimia TUGAS 1. MENJAWAB SOAL 19.6 DAN 19.8

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

Wusana Agung Wibowo. Prof. Dr. Herri Susanto

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

Aliran Fluida. Konsep Dasar

2 yang mempunyai posisi vertikal sama akan mempunyai tekanan yang sama. Laju Aliran Volume Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu juml

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2015

ALIRAN FLUIDA. Kode Mata Kuliah : Oleh MARYUDI, S.T., M.T., Ph.D Irma Atika Sari, S.T., M.Eng

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. bisa mengalami perubahan bentuk secara kontinyu atau terus-menerus bila terkena

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

WATER TO WATER HEAT EXCHANGER BENCH BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tujuan Pengujian

Laporan Praktikum Operasi Teknik Kimia I Efflux Time BAB I PENDAHULUAN

JUDUL TUGAS AKHIR ANALISA KOEFISIEN GESEK PIPA ACRYLIC DIAMETER 0,5 INCHI, 1 INCHI, 1,5 INCHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dan Peralatan Pengering

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

...(2) adalah perbedaan harga tengah entalphi untuk suatu bagian. kecil dari volume.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Before UTS. Kode Mata Kuliah :

PENERAAN ALAT UKUR LAJU ALIR FLUIDA

BAB II LANDASAN TEORI

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

2 a) Viskositas dinamik Viskositas dinamik adalah perbandingan tegangan geser dengan laju perubahannya, besar nilai viskositas dinamik tergantung dari

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KIMIA IV DINAMIKA PROSES PADA SISTEM PENGOSONGAN TANGKI. Disusun Oleh : Zeffa Aprilasani NIM :

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA DI DALAM FALLING FILM EVAPORATOR CAMPURAN BLACK LIQOUR-UDARA

MEKANIKA FLUIDA DI SUSUN OLEH : ADE IRMA

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR (FFE) DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA DITINJAU DARI PENGARUH ARAH ALIRAN UDARA

LABORATORIUM PERLAKUAN MEKANIK

KIMIA FISIKA I TC Dr. Ifa Puspasari

PRAKTIKUM OPERASI TEKNIK KIMIA II MODUL 3 CONDENSING VAPOR

PENGARUH DIAMETER NOZEL UDARA PADA SISTEM JET

SIMULASI PROSES EVAPORASI NIRA DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

Teori Kinetik Gas. C = o C K K = K 273 o C. Keterangan : P2 = tekanan gas akhir (N/m 2 atau Pa) V1 = volume gas awal (m3)

BAB III METODE PENELITIAN

VI. DASAR PERANCANGAN BIOREAKTOR. Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat membuat dasar rancangan bioproses skala laboratorium

PERPINDAHAN MASSA KONVEKTIF DENGAN KONTROL TURBULENSI MENGGUNAKAN GANGGUAN DINDING PADA SEL ELEKTROKIMIA PLAT SEJAJAR SKRIPSI

Losses in Bends and Fittings (Kerugian energi pada belokan dan sambungan)

BAB II DASAR TEORI. ke tempat yang lain dikarenakan adanya perbedaan suhu di tempat-tempat

PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA

PENGERINGAN BAHAN PANGAN (KER)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Gadjah Mada

A. Pengertian Psikometri Chart atau Humidty Chart a. Terminologi a) Humid heat ( Cs

MODUL KULIAH : MEKANIKA FLUIDA DAN HIROLIKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA. beberapa sifat yang dapat digunakan untuk mengetahui berbagai parameter pada

BAB II SISTEM VAKUM. Vakum berasal dari kata latin, Vacuus, berarti Kosong. Kata dasar dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian leaching

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN

PENGANTAR TRANSFER MASSA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

Teori Kinetik Gas Teori Kinetik Gas Sifat makroskopis Sifat mikroskopis Pengertian Gas Ideal Persamaan Umum Gas Ideal

BAB IV PENGUKURAN KEHILANGAN ENERGI AKIBAT BELOKAN DAN KATUP (MINOR LOSSES)

Menurut Brennan (1978), pengeringan atau dehidrasi didefinisikan sebagai pengurangan kandungan air oleh panas buatan dengan kondisi temperatur, RH, da

MODEL ABSORPSI MULTIKOMPONEN GAS ASAM DALAM LARUTAN K 2 CO 3 DENGAN PROMOTOR MDEA PADA PACKED COLUMN

BAB II DASAR TEORI. FeO. CO Fe CO 2. Fe 3 O 4. Fe 2 O 3. Gambar 2.1. Skema arah pergerakan gas CO dan reduksi

SATUAN OPERASI FOOD INDUSTRY

TRANSPORT MOLEKULAR TRANSFER MOMENTUM, ENERGI DAN MASSA RYN. Hukum Newton - Viskositas RYN

UJI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN TEMPERATUR LORONG UDARA TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI PELAT DATAR

VISKOSITAS DAN TENAGA PENGAKTIFAN ALIRAN

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

STUDY PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA PADA EVAPORASI NIRA DI DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan

BAB IV PENGOLAHAN DATA

SUHU DAN KALOR OLEH SAEFUL KARIM JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI

BAB IV. PERHITUNGAN STAGE CARA PENYEDERHANAAN (Simplified Calculation Methods)

PENGARUH KECEPATAN UDARA TERHADAP TEMPERATUR BOLA BASAH, TEMPERATUR BOLA KERING PADA MENARA PENDINGIN

FENOMENA PERPINDAHAN LANJUT

Transkripsi:

LAPORAN UOP 2 WETTED WALL COLUMN Andre Nicolas I. 1006679421 Arif Variananto 1006679440 Ariz Kiansyahnur H. 1006679453 Febrian Tri A. W. 1006679586 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2013

DAFTAR ISI DAFTAR ISI...2 BAB I PENDAHULUAN...3 1.1 Tujuan...3 1.2 Teori Dasar...3 1.2.1 Hukum Fick Pertama dan Kedua...5 1.2.2 Perpindahan Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi...6 1.2.3 Neraca Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi...7 1.2.4 Bilangan Sherwood, Reynold, dan Schmidt...9 1.2.5 Dry Bulb & Wet Bulb Temperature...10 1.2.6 Kelembaban Udara...10 BAB II PROSEDUR PERCOBAAN...12 2.1 Skema Alat...12 2.2 Prosedur Percobaan...13 BAB III DATA PERCOBAAN DAN PENGOLAHAN DATA...15 3.1 Data Pengamatan...15 3.2 Pengolahan Data...16 BAB IV ANALISIS...32 4.1 Analisis Percobaan...32 4.2 Analisis Hasil dan Perhitungan...33 4.4 Analisis Kesalahan...43 BAB V PENUTUP...44 5.1 Kesimpulan...44 5.2 Saran...45 DAFTAR PUSTAKA...46 Laporan UOP 2 WWC 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Percobaan Menentukan besarnya koefisien perpindahan massa rata-rata dari lapisan tipis air ke dalam aliran udara, serta mengamati karakteristik perpindahan massa air-udara pada suatu dinding kolom yang terbasahi. Mengamati dan memahami hubungan antara kelembaban udara relative (H R ) dan absolute (H) terhadap laju alir fluida di kolom dinding terbasahi (Wetted Wall Column). Mengamati dan memahami laju alir fluida terhadap koefisien perpindahan massa (k G ) dari lapisan tipis air ke dalam aliran udara. Memahami hubungan antara bilangan Sherwood terhadap koefisien perpindahan massa (k G ) air ke udara dalam wetted wall column. 1.2. Teori Dasar Difusi merupakan peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah secara konstan. Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida. Sebagian besar operasi perpindahan massa digunakan untuk memisahkan komponen-komponen di dalam suatu larutan dengan jalan mengkontakkan larutan tersebut dengan suatu larutan lain yang tak dapat larut. Kecepatan larutan masing-masing komponen dari suatu fasa ke fasa lain bergantung pada apa yang disebut sebagai koefisien perpindahan massa serta gradient konsentrasi kesetimbangannya. Harga koefisien perpindahan massa bergantung kepada komponen fasa yang ditinjau, kecepatan aliran kedua fasa, waktu kontak antar kedua fasa, serta keadaan system itu sendiri. Koefisien perpindahan massa adalah besaran empiris yang diciptakan untuk memudahkan persoalanpersoalan perpindahan massa antar fase, yang akan dibahas disini adalah koefisien perpindahan

massa dari fase gas ke fase cair atau sebaliknya dari sifat -sifat zat untuk menekan. Karakteristik perpindahan massa pada keadaan laminar akan berbeda dengan perpindahan massa pada keadaan turbulen. Seperti kita ketahui, aliran pada fluida dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni: 1. Aliran Laminer Aliran laminer merupakan aliran dengan fluida yang bergerak dalam lapisan lapisan, atau lamina lamina dengan satu lapisan yan bergerak secara sejajar dalam satu arah alir. Dalam aliran laminar ini viskositas berfungsi untuk meredam kecendrungan terjadinya gerakan relatif antara lapisan. Sehingga aliran laminar memenuhi hukum viskositas Newton yaitu: = (1) 2. Aliran transien Aliran transisi merupakan aliran peralihan dari aliran laminar ke aliran turbulen. 3. Aliran turbulen Aliran dimana pergerakan dari partikel partikel fluida sangat tidak menentu karena mengalami percampuran serta putaran partikel antar lapisan, yang mengakibatkan saling tukar momentum dari satu bagian fluida kebagian fluida yang lain dalam skala yang besar. Dalam keadaan aliran turbulen maka turbulensi yang terjadi membangkitkan tegangan geser yang merata diseluruh fluida sehingga menghasilkan kerugian kerugian aliran. Pada dasarnya, proses difusi dapat terjadi melalui dua mekanisme, yakni mekanisme Secara teoritis proses difusi molekular (molecular diffussion) dan Mekanisme perpindahan massa konveksi (mass transfer convection). Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai keduanya: Mekanisme difusi molekular (molecular diffussion): Proses ini sering terjadi pada fluida yang tidak mengalir. Banyak hal yang ada di sekitar kita melibatkan mekanisme difusi jenis ini, diantaranya adalah gula pasir yang dimasukkan ke dalam air akan melarut dan berdifusi ke dalam larutan air, begitu juga dengan kasus pakaian basah yang dijemur akan menjadi kering secara perlahan akibat adanya difusi dari air ke udara.

Mekanisme perpindahan massa konveksi (mass transfer convection) adalah mekanisme perpindahan yang melibatkan adanya konveksi paksaan untuk meningkatkan laju perpindahan. Contoh: zat pewarna yang diteteskan ke dalam segelas air akan berdifusi secara perlahan-lahan melalui mekanisme difusi molekular, apabila secara mekanik larutan tersebut diaduk maka akan terjadi mekanisme perpindahan massa konveksi. Dalam dinding kolom yang terbasahi (Wetted Wall Column), perpindahan massa terjadi melalui pengontakkan air dan udara yang saling tidak larut. Dalam hal ini, perpindahan massa berdasarkan sifat pengontakkan larutannya diklasifikasikan menjadi dua: 1. Operasi perpindahan massa dengan zat-zat pengontaknya secara langsung. Operasi ini dilakukan jika ingin menghasilkan pemisahan dua fasa dan larutan fasa tunggal dengan adanya penambahan atau perpindahan panas. 2. Operasi perpindahan massa dengan pengontakan zat-zatnya secara tidak langsung. Operasi jenis ini memerlukan zat-zat lain yang harus ditambahkan sehingga pemisahan zatnya dapat lebih sempurna dan dihasilkan produk hasil pemisahan yang lebih murni. Dalam dinding kolom yang terbasahi (Wetted Wall Column), prinsip yang digunakan adalah bahwa pada kenyataannya pada sistem dua fasa beberapa komponen dalam kesetimbangan memiliki komposisi fasa yang berbeda-beda, sehingga karena dalam fasa kesetimbangan tidak akan ditemukan komponen murni akibatnya saat dua fasa dikontakkan, mereka tidak akan mencapai komposisi kesetimbangan. Sistem akan berusaha mencapai kesetimbangan dengan pergerakan difusif antara molekul yang berkontakkan dan tentunya sesuai dengan hukum Fick tentang difusi. 1.2.1 Hukum Fick Pertama dan Kedua Bila ditinjau komponen A bergerak di dalam suatu larutan, maka laju pindah massa A dalam arah z per-satuan luas (flux A 0 ) didefinisikan sebagai berikut: = = (2) Persamaan di atas biasa disebut sebagai Hukum Fick pertama. Hukum Fick Pertama didasarkan adanya pemahaman mengenai gradien konsentrasi antara dua titik akibat terjadinya difusi Laporan UOP 2 WWC 5

molekular (molecular diffusion), yang dapat didefinisikan sebagai proses perpindahan atau gerakan molekul-molekul secara individual yang terjadi secara acak. D AB disebut sebagai difusifitas zat A melalui zat B. Jika komponen A dan komponen B bergerak, maka perpindahan massa harus didefinisikan terhadap suatu posisi yang tertentu, berkas aliran komponen A disebut N A dan berkas B berharga negatif dan disebut N B. Sehingga berkas aliran total menjadi: N = N A + N B (3) Persamaan ini menunjukkan gerakan berkas molar komponen A yang merupakan jumlah resultan berkas molar total (molar total flux) yang memiliki fraksi A sebesar x A = C A /C dan pergerakan komponen A yang dihasilkan dari difusi J A. Persamaan 3 dapat ditulis ulang sebagai berikut: = ( + ) (4) Persamaan di atas disebut sebagai Hukum Fick kedua. Pada persamaan Hukum Fick kedua mekanisme perpindahan massa konveksi mulai diperhitungkan karena fluida mengalami pergerakan sehingga mempengaruhi proses difusi. Untuk gas ideal berlaku: =, =, ( ) = ( ) (5) maka persamaan 4 dapat diturunkan sebagai berikut: = ( + ) (6) Pada suatu perpindahan massa WWC, laju perpindahan massa pada lokasi tertentu dapat dihitung dengan mengintegrasikan persamaan di atas dengan menganggap N A = 0 (tidak ada perpindahan massa udara ke air). 1.2.2 Perpindahan Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi (Wetted Wall Column) Proses difusi dalam percobaan ini berlangsung pada daerah antar muka (interface) antara aliran udara dan aliran air. Aliran air yang menyusuri dinding kolom diusahakan membentuk lapisan tipis atau film yang kemudian akan kontak dengan aliran udara yang mengalir di tengah kolom. Laporan UOP 2 WWC 6

Gambar 1.1 Diagram Perpindahan Massa WWC Perpindahan massa sangat dipengaruhi dengan waktu kontak antara aliran air dan udara, selain itu banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti keadaan aliran air yang laminer atau turbulen. Pada percobaan ini divariasikan pula aliran udara dengan merubah laju alirnya dan variasi laju air dari laminer, transisi, dan turbulen. Hasil perpindahan massa yang terjadi diukur melalui humiditas (kelembaban) udara yang telah melakukan kontak dengan air. 1.2.3 Neraca Massa pada Dinding Kolom yang Terbasahi (Wetted Wall Column) Laju perpindahan massa pada lokasi tertentu dapat dihitung dengan mengintegrasikan dan mengatur ulang persamaan 6 dengan menganggap N A = 0 karena diasumsikan tidak ada perpindahan massa dari udara ke air. = ( 1 ) (7) 2 1 = 1 (8) (1 ) = ( ) = ( ) (9) ( ) 1 1 dengan 1 = = ) ) ( ( (10) Laporan UOP 2 WWC 7

Persamaan 7 dapat ditulis ulang dengan berdasarkan satuan konstanta perpindahan massa, seperti N A = k y (y Ai y A1 ) = k G (P Ai P A1 ) = k c (c Ai c A1 ). Dengan k y, k G, k c adalah koefisien perpindahan massa lokal dengan satuan yang sesuai. Laporan UOP 2 WWC 8

Perpindahan massa terjadi sepanjang kolom seperti terlihat pada gambar 3 dibawah, maka berkas molar NA dapat dituliskan sebagai berikut: =, ( 1) =, ( 1) (11) ky,av dan kg,av adalah koefisien perpindahan massa rata-rata. Dan dengan: ( ( ) ( = beda konsentrasi logaritmik 1 ) = ) [ ( ) ( ] ) (12) Gambar 1.2 Perpindahan Massa pada WWC Neraca massa berdasarkan Gambar 2 diatas adalah: d (Lx) = d(gy) d L = G dy + y dg dl y dg = G dy apabila kondisi tunak maka dl= dg, sehingga dl (1-y) = G dy

= = = dl = G dy diasumsikan 1 dan yi konstan, maka: ( ) = ( ) (1 )( ) 1 = )] (13) (1 ) (1 )( ) (1 ) = = 1 [( 0 1 0 ) ( 1 1.2.4 Bilangan Sherwood, Reynold, dan Schmidt Konstanta perpindahan massa dipengaruhi oleh banyak factor, seperti: jenis fluida, kecepatan fluida, dan geometri. Untuk itu seringkali dalam percobaan factor-factor ini dihubungkan dengan menggunakan bilangan tidak berdimensi (dimensionless number) sebagai berikut: dengan, h = (14 )h = = = (15) (16) (17) Sherwood number merupakan bilangan tak berdimensi yang menyatakan gradient konsentrasi pada permukaan yang dapat digunakan untuk menghitung konveksi perpindahan massa. Sherwood number menggambarkan besarnya kemampuan untuk terjadinya perpindahan massa melalui mekanisme difusi. Besar kecilnya bilangan Sherwood menunjukkan fenomena perpindahan massa yang terjadi. Bilangan Sherwood merupakan bilangan yang paling berperan dalam penentuan karakteristik fluida yang diteliti.

Schmidt Number adalah bilangan tak berdimensi yang merupakan perbandingan antara viskositas kinematik dengan difusivitas massa. Schmidt Number biasanya digunakan untuk menentukan karakter aliran fluida jika ada momentum secara simultan dan difusi massa selama proses konveksi.

Reynold Number adalah bilangan tak berdimensi yang paling sering dijumpai untuk menjelaskan kasus mikrofluida. Meskipun demikian, bilangan Reynolds merupakan bilangan yang paling tidak menarik, karena hampir di setiap kasus mikrofluida nilainya sangat kecil-yang berarti bahwa gaya inersia tidak berpengaruh pada perilaku sistem, yang dominan adalah gaya viskosnya. Jika nilai bilangan Reynolds rendah, maka aliran yang terjadi bersifat linear dan dapat dengan mudah diprediksi. Jika nilai bilangan Reynolds bertambah, maka akan mulai muncul pengaruh gaya inersia pada aliran tersebut. Fenomena aliran laminar ditandai dengan nilai Re lebih kecil dari 2100. Untuk nilai Re diatas 10.000 termasuk ke dalam aliran turbulen. Aliran turbulen terlihat memiliki aliran yang bergejolak. Sedangkan nilai Re antara rentang 2100-10.000 termasuk kedalam aliran transisi. Dalam percobaan ini, akan diatur alirannya agar menghasilkan aliran laminar, transisi, dan turbulen. 1.2.5 Dry Bulb & Wet Bulb Temperature Temperatur dry bulb adalah temperatur yang terukur dengan termometer terkena udara bebas namun terlindung dari radiasi dan kelembaban. Temperatur dry bulb sering kita sebut sebagai temperatur udara. Temperatur dry bulb tidak menunjukkan jumlah uap air di udara. Sedangkan temperatur wet bulb adalah temperatur dalam keadaan steady dan tidak setimbang yang dicapai oleh sedikit liquida yang dimasukkan pada keadaan adiabatis di dalam aliran gas yang kontinu. 1.2.6 Kelembaban Udara Pada dasarnya, kelembaban merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah kandungan air dalam udara atau bisa disebut juga dengan persentasi jumlah air dalam udara. Kelembaban berhubungan dengan suhu. Semakin rendah suhu, umumnya akan meningkatkan nilai kelembaban. Angka konsentasi ini dapat diekspresikan dalam kelembaban absolut, kelembaban spesifik atau kelembaban relatif. 1. Kelembaban Absolut (Absolute Humidity) Kelembaban absolute didefinisikan sebagai jumlah kandungan uap air didalam udara dibanding dengan udara kering. Kelembaban absolute bergantung volume udara. Meskipun kandungan air sama, kelembaban absolute bisa berbeda. 2. Kelembaban Spesifik

Kelembaban Spesifik merupakan masa uap air atau massa total paket udara. Kelembaban spesifik adalah pengukuran kelembaban yang banyak digunakan dalam klimatologi. 3. Kelembaban Relatif (Relative Humidity) Pada dasarnya, kelembaban relatif merupakan perbandingan kandungan uap air aktual dengan keadaan jenuhnya. Kelembaban ini tidak menunjukkan jumlah uap air yang sebenarnya di udara. Kelembaban relative tergantung pada suhu udara.

BAB II PROSEDUR PERCOBAAN 2.1 Skema Alat Berikut merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini,antara lain: Kompresor yang digunakan untuk mengalirkan udara masuk ke dalam sistem, yaitu menuju ke arah atas melalui sepanjang kolom yang terbasahi. Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu udara masuk dan keluar kolom, suhu yang digunakan adalah temperatur kering dan basah. Temperatur basah didapatkan dengan melapisi pangkal termometer dengan kapas yang dibasahi air. Relative humidity display merupakan alat digital higrometer yang digunakan untuk mengukur dan menampilkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara. Kolom panjang, merupakan sarana percobaan berupa dinding bagian dalam kolom akan dialiri air yang dialirkan melalui selang kecil, kemudian dari bawah akan dialirkan udara ke atas dengan kompresor. Gambar 2.1 Skema Peralatan Unit WWC

Air masuk Air masuk Udara masuk Gambar 2.1 Skema Sederhana WWC 2.2 Prosedur Percobaan 1. Menghidupkan kompresor untuk mengisi persediaan udara pasokan. 2. Mengalirkan udara ke dalam kolom lalu mengatur kecepatan aliran yang sesuai dengan menggunakan katup jarum. Mencatat temperatur, tekanan udara dalam kolom. 3. Mengalirkan air ke dalam kolom sesuai dengan kecepatan yang diinginkan (laminer, transisi, atau turbulen) dan menjaganya supaya seluruh kolom dapat terbasahi secara merata. 4. Membiarkan keadaan ini berlangsung sampai keadaan steady tercapai. Kemudian mencatat temperatur udara masuk, udara keluar, air masuk, air keluar, tekanan operasi dan kelembaban relatif udara keluar. 5. Mengulangi percobaan dengan mengubah laju alir sebanyak dua kali yaitu untuk aliran transisi dan turbulen, masing-masing dengan perubahan laju alir udara

sebanyak enam kali. Lalu mencatat senua data yang diperlukan seperti pada poin empat.

BAB III DATA PERCOBAAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Pengamatan Percobaan ini dilakukan dengan kondisi operasi sebagai berikut. Kolom: Diameter = 4.825 cm Panjang = 142 cm Diameter selang = 1.588 cm Massa jenis air = 1 gr/ml Viskositas air = 0.01 gr/cm.det Berikut data-data yang didapat dari percobaan. 1. Aliran Laminer Laju alir air = 30 ml/s Re Number = 792.0567 Δh Tin dry ( o C) Tout wet ( o C) Tout dry ( o C) Humidity Out 1 28.2 29.25 29 61 2 25.5 29 28.6 61 3 25.25 28.8 28.2 61 4 25 28.6 27.9 62 2. Aliran Transisi Laju alir air = 100 ml/s Re Number = 2640.2189 Δh Tin dry ( o C) Tout wet ( o C) Tout dry ( o C) Humidity Out 1 28.8 29.8 29 61 2 28.5 29.5 28.8 61

3 28 29.1 28.6 60 4 27.5 29 28.5 60 3. Aliran Turbulen Laju alir air = 240 ml/det Re Number = 6336.5253 Δh Tin dry ( o C) T out wet ( o C) T out dry ( o C) Humidity Out 1 29 30.3 29.5 60 2 28.75 30.1 29.2 60 3 26 30 29 59 4 25 29.5 28.5 59 3.2 Pengolahan Data Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Microsoft Excel sehingga mendapatkan hasil yang ingin dicari. Parameter yang ingin dicari nilainya adalah sebagai berikut. 1. Mencari T bulk dan T int = + = 2 ln ( ) 2. Menghitung kelembaban absolut aliran udara masuk (H A0 ), kelembaban absolut aliran udara keluar (H AL ) dan kelembaban absolut aliran udara pada suhu interface (H int ). Langkah-langkah: a. Pada psychometric chart, T wet dtarik vertikal ke atas sampai bertemu garis kelembaban 100%. Dari titik temu ini, kemudian dibuat garis yang sejajar dengan garis adiabatic saturation curve.

b. Mencari titik potong dengan menarik T in dry secara vertikal ke atas sampai berpotongan dengan garis sejajar yang telah dibuat di atas. Kemudian tarik garis horizontal ke kanan untuk melihat kelembaban absolut H A0.

c. Hal yang sama berlaku untuk H AL dan H int dimana masing-masing digunakan T out dry dan T int. 3. Menghitung fraksi mol uap air (Y A0, Y AL, Y Ai ) = 1 + Dengan M A = 18 gr/mol dan M B = 29 gr/mol 4. Menghitung tekanan parsial (P A0, P AL, P Ai ) = Dengan Pt = tekanan total + 5. Menghitung densitas udara, udara = Keterangan: Suhu yang digunakan pada perhitungan densitas adalah T in dry. Tekanan yang digunakan pada perhitungan densitas adalah tekanan total, Pt. Di sini diasumsikan Pt dapat digunakan karena perubahan tekanan yang terjadi adalah kecil. 6. Menghitung laju alir volume udara (Q) dalam ml/detik. Laju alir udara ditentukan dari grafik yang ada di bagian paling belakang modul WWC di buku panduan praktikum POT. Disini diasumsikan bahwa grafik tersebut merupakan hasil kalibrasi dari zat A dan sudah merupakan laju alir udara ketika melalui kolom, bukan laju alir udara ketika melewati manometer. 7. Menghitung laju udara, v =

8. Menghitung laju alir massa udara (G) dalam satuan gmol/detik = 9. Menghitung koefisien perpindahan massa (k G ) 1 0 = ln ( (1 ) ) ( ) 1 10. Menghitung Difusivitas air di udara, D AB D AB Dengan: 3.64x10 4 CA. T in t TCB 2.334 T CA = temperatur kritis air = 647.35 K T CB = temperatur kritis udara = 132.45 K P CA = tekanan kritis air = 218.29 atm P CB = tekanan kritis udara = 37.2465 atm P t = tekanan total (atm) T t 0 0.5 0.5 P CA.P CB.T.T 2.5 1 1. CA CB P M A M B 11. Menghitung P BM P P BL P Bi BM P ln BL P Bi Dimana: P BL = (P t P AL ) dan P Bi = (P t - P Ai ) 12. Menghitung bilangan Sherwood (Sh) Sh k G.P BM.R.T int.d P t.d AB 13. Menghitung bilangan Reynold (Re)

= 14. Menghitung bilangan Schmidt (Sc) = Dengan persamaan-persamaan di atas, didapatkan hasil pengolahan data di bawah ini.

a) Untuk Aliran Laminar Δh Tin dry ( o C) Tout wet ( o C) Tout dry ( o C) humidity (%) Tbulk ( o C) Tint ( o C) HA0 HAL HInt YA0 YAL YAi 1 28.2 29.25 29 61 28.73 28.86 0.0147 0.0255 0.0187 0.02314 0.03946 0.02923 2 25.5 29 28.6 61 27.25 27.92 0.0125 0.0248 0.0163 0.01974 0.03842 0.02558 3 25.25 28.8 28.2 61 27.03 27.61 0.0123 0.0242 0.0163 0.01943 0.03753 0.02558 4 25 28.6 27.9 62 26.80 27.35 0.0123 0.0237 0.0163 0.01943 0.03678 0.02554 Δh Pt (atm) PA0 (atm) PAL (atm) PAi (atm) ρudara (gr/l) Qudara (ml/det) vudara (cm/det) G (gmol/det) kg (gmol/cm 2.det.atm) DAB (cm 2 /det) PBM 1 1.00007 0.02314 0.03947 0.02923 1.1730 950 52.0 0.0384 9.850E-06 2.278E+10 0.9657 2 1.00015 0.01974 0.03843 0.02559 1.1836 1350 73.9 0.0551 2.119E-05 2.261E+10 0.9681 3 1.00022 0.01944 0.03753 0.02559 1.1847 1850 101.2 0.0756 2.460E-05 2.256E+10 0.9686 4 1.00030 0.01944 0.03679 0.02555 1.1858 2250 123.1 0.0920 2.750E-05 2.251E+10 0.9691 Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 4.99E-11 1,585.54 6.944E-12-10.3017 3.2001761-11.158 2 1.081E-10 2,273.67 6.932E-12-9.96617 3.3567271-11.159 3 1.258E-10 3,118.61 6.943E-12-9.90043 3.4939609-11.158 4 1.408E-10 3,796.36 6.951E-12-9.85142 3.5793679-11.158

b) Untuk Aliran Transisi Δh Tin dry ( o C) Tout wet ( o C) Tout dry ( o C) humidity (%) Tbulk ( o C) Tint ( o C) HA0 HAL HInt YA0 YAL YAi 1 28.8 29.8 29 61 29.30 29.15 0.0152 0.0253 0.0086 0.02390 0.03916 0.01372 2 28.5 29.5 28.8 61 29.00 28.90 0.0149 0.025 0.0088 0.02344 0.03872 0.01404 3 28 29.1 28.6 60 28.55 28.57 0.0142 0.0248 0.0091 0.02237 0.03842 0.01451 4 27.5 29 28.5 60 28.25 28.37 0.0138 0.0246 0.0093 0.02175 0.03812 0.01476 Δh Pt (atm) PA0 (atm) PAL (atm) PAi (atm) ρudara (gr/l) Qudara (ml/det) vudara (cm/det) G (gmol/det) kg (gmol/cm 2.det.atm) DAB (cm 2 /det) PBM 1 1.00007 0.02391 0.0392 0.01372 1.17053 51.9828 950 0.0383 1.683E-05 2.283E+10 0.9736 2 1.00015 0.02345 0.0387 0.01404 1.17170 73.8702 1350 0.0545 2.521E-05 2.279E+10 0.9737 3 1.00022 0.02237 0.0384 0.01452 1.17364 101.2296 1850 0.0749 3.989E-05 2.273E+10 0.9737 4 1.00030 0.02176 0.0381 0.01476 1.17560 123.1171 2250 0.0912 5.264E-05 2.269E+10 0.9738 Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 8.588E-11 1,582.27 6.943E-12-10.066125 3.19928-11.1585 2 1.288E-10 2,250.72 6.950E-12-9.8899909 3.35232-11.158 3 2.041E-10 3,089.44 6.956E-12-9.6901556 3.48988-11.1576 4 2.696E-10 3,763.68 6.956E-12-9.5693122 3.57561-11.1576 Laporan UOP 2 WWC 21

c) Untuk Aliran Turbulen Δh Tin dry ( o C) Tout wet ( o C) Tout dry ( o C) humidity (%) Tbulk ( o C) Tint ( o C) HA0 HAL HInt YA0 YAL YAi 1 29 30.3 29.5 60 29.65 29.57 0.0151 0.0261 0.0090 0.02375 0.04035 0.01424 2 28.75 30.1 29.2 60 29.43 29.31 0.0149 0.0255 0.0087 0.02344 0.03946 0.01385 3 26 30 29 59 28.00 28.50 0.0124 0.0252 0.0076 0.01959 0.03902 0.01208 4 25 29.5 28.5 59 27.25 27.87 0.0117 0.0244 0.0071 0.01850 0.03782 0.01131 Δh Pt (atm) PA0 (atm) PAL (atm) PAi (atm) ρudara (gr/l) Qudara (ml/det) vudara (cm/det) G (gmol/det) kg (gmol/cm 2.det.atm) DAB (cm 2 /det) PBM 1 1.0001 0.02375 0.04036 0.01424 1.1698 51.9828 950 0.0383 1.856E-05 2.291E+10 0.9727 2 1.0001 0.02345 0.03947 0.01385 1.1707 73.8702 1350 0.0545 2.564E-05 2.286E+10 0.9734 3 1.0002 0.01959 0.03902 0.01208 1.1815 101.2296 1850 0.0754 4.602E-05 2.271E+10 0.9746 4 1.0003 0.01851 0.03784 0.01131 1.1855 123.1171 2250 0.0920 5.727E-05 2.260E+10 0.9757 Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 9.443E-11 1,581.22 6.925E-12-10.024867 3.19899-11.1596 2 1.307E-10 2,248.86 6.934E-12-9.8835808 3.35196-11.15904 3 2.357E-10 3,110.10 6.914E-12-9.6275716 3.49277-11.16025 4 2.945E-10 3,795.24 6.925E-12-9.5308945 3.57924-11.15956 Laporan UOP 2 WWC 22

Menghitung Nilai k, a, b dari Hubungan antara Sh, Re dan S c a) Untuk Aliran Laminar Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 4.99E-11 1,585.54 6.944E-12-10.3017 3.2001761-11.158 2 1.081E-10 2,273.67 6.932E-12-9.96617 3.3567271-11.159 3 1.258E-10 3,118.61 6.943E-12-9.90043 3.4939609-11.158 4 1.408E-10 3,796.36 6.951E-12-9.85142 3.5793679-11.158 Untuk Sc konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Re pada Aliran Laminer -9.7 3. 15 3.2 3.25 3.3 3.35 3.4 3.45.6 3.5 3.55 3-9.8 Log Sh -9.9-10 -10.1-10.2-10.3-10.4 Log Re y = 1.1503x - 13.925 R² = Sedangkan untuk Re konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Sc pada Aliran Laminer -9.8-11.1592-11.159-11.1588-11.1586-11.1584-11.1582-11.158-11.1578-9.85 y = 49.937x + 547.22 R² = 0.0148 Log Sc -9.9-9.95-10 -10.05-10.1-10.15-10.2-10.25-10.3-10.35 Laporan UOP 2 WWC 23 Log Sh

Dengan mengasumsikan Sc konstan maka, log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 1 + 1 Dari grafik hubungan log Sh dan log Re, didapat: 1 = 1.1503 1 = 13.925 Dengan mengasumsikan Re konstan: log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 2 + 2 Dari grafik hubungan log Sh dan log Sc, didapat: 2 = 49.937 2 = 547.22 Kedua persamaan di atas disubstitusikan menjadi: log log = 1 2 log = log + 1 2 Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 3 + 3 Grafk Hubungan Log Sc dan Log Re pada Aliran Laminer -11.1578 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6-11.158 Log Sc -11.1582-11.1584-11.1586-11.1588-11.159-11.1592

Log Re y = 0.0014x - 11.163 R² = 0.2081 Dari grafik hubungan log Sc dan log Re, didapat: 3 = 0.001

4 3 = 11.163 Dari hubungan-hunbungan persamaan di atas, dapat ditarik kesimpulan: 1 3 = 2 1 2 = 3 = ( 13.925) (547.22) 11.163 = 50.628 3 = 3 = 3 = (0.0014) (50.6283) = 0.0704 Sehingga dapat dicari harga k dengan persamaan: h = (1.0615 10 10 ) = (2693.54442) 0.0704 (6.943 10 12 ) 50.6283 Karena nilai Sc sangat kecil, maka ketika dipangkatkan dengan b hasilnya akan sangat kecil (mendekati nol). Oleh karena itu, perhitungan dengan Ms. Excel tidak akan memberikan nilai (#DIV/0!). Pada percobaan ini, nilai k tidak bisa dicari.

b) Untuk Aliran Transisi Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 8.588E-11 1,582.27 6.943E-12-10.066125 3.19928-11.1585 2 1.288E-10 2,250.72 6.950E-12-9.8899909 3.35232-11.158 3 2.041E-10 3,089.44 6.956E-12-9.6901556 3.48988-11.1576 4 2.696E-10 3,763.68 6.956E-12-9.5693122 3.57561-11.1576 Untuk Sc konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Re pada Aliran Transisi -9.5 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6-9.6 log Sh -9.7-9.8-9.9-10 -10.1-10.2 log Re y = 1.3286x - 14.327 R² = 0.9969 Sedangkan untuk Re konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Sc pada Aliran Transisi -9.5-11.1586-11.1584-11.1582-11.158-11.1578-11.1576-11.1574-9.6 log Sh -9.7-9.8-9.9-10 y = 531.61x + 5921.9 R² = 0.9269 log Sc -10.1-10.2 Dengan mengasumsikan Sc konstan maka, log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 1 +

1 Dari grafik hubungan log Sh dan log Re, didapat: 1 = 1.3286 1 = 14.327 Dengan mengasumsikan Re konstan: log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 2 + 2 Dari grafik hubungan log Sh dan log Sc, didapat: 2 = 531.61 2 = 5921.9 Kedua persamaan di atas disubstitusikan menjadi: log log = 1 2 log = log + 1 2 Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 3 + 3 Grafk Hubungan Log Sc dan Log Re pada Aliran Transisi -11.1574 3.1 3.2 3.3 6 3.4 3.5 3. -11.1576 log Sc -11.1578-11.158-11.1582-11.1584-11.1586 log Re Dari grafik hubungan log Sc dan log Re, didapat: 3 = y = 0.0023x - 11.166 R² = 0.0023

3 = 11.166 Dari hubungan-hunbungan persamaan di atas, dapat ditarik kesimpulan: 1 3 = 2 1 2 = 3 = ( 14.327) (5921.9) 11.166 = 531.634

2 3 = = 3 = (0.0023) (531.63416) = 1.2228 Sehingga dapat dicari harga k dengan persamaan: h = (1.721 10 10 ) = (2671.529) 1.2228 (6.951 10 12 ) 531.6342 Karena nilai Sc sangat kecil, maka ketika dipangkatkan dengan b hasilnya akan sangat kecil (mendekati nol). Karena itu perhitungan dengan Ms. Excel tidak akan memberikan nilai (#DIV/0!). Pada percobaan ini, nilai k tidak bisa dicari.

c) Untuk Aliran Turbulen Δh Sh Re Sc log Sh log Re log Sc 1 9.443E-11 1,581.22 6.925E-12-10.024867 3.19899-11.1596 2 1.307E-10 2,248.86 6.934E-12-9.8835808 3.35196-11.15904 3 2.357E-10 3,110.10 6.914E-12-9.6275716 3.49277-11.16025 4 2.945E-10 3,795.24 6.925E-12-9.5308945 3.57924-11.15956 Untuk Sc konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Re pada Aliran Turbulen -9.5 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6-9.6 log Sh -9.7-9.8-9.9-10 -10.1 log Re y = 1.3525x - 14.373 R² = 0.9815 Sedangkan untuk Re konstan, diperoleh grafik sebagai berikut. Grafk Hubungan Log Sh dan Log Sc pada Aliran Turbulen -9.5-11.1604-11.1602-11.16-11.1598-11.1596-11.1594-11.1592-11.159-11.1588-9.6 log Sh -9.7-9.8-9.9 y = -201.87x - 2262.6 R² = 0.1922-10 -10.1 log Sc Dengan mengasumsikan Sc konstan maka, log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 1 + 1 Dari grafik hubungan log Sh dan log Re, didapat:

1 = 1.352

5 1 = 14.373 Dengan mengasumsikan Re konstan: log h = log + (log + log ) Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 2 + 2 Dari grafik hubungan log Sh dan log Sc, didapat: 2 = 201.87 2 = 2262.6 Kedua persamaan di atas disubstitusikan menjadi: log log = 1 2 log = log + 1 2 Persamaan di atas ekivalen denga persamaan garis berikut = 3 + 3 Grafk Hubungan Log Sc dan Log Re pada Aliran Turbulen -11.1588 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6-11.159 log Sc -11.1592-11.1594-11.1596-11.1598-11.16-11.1602-11.1604 y = -0.001x - 11.156 R² = 0.1074 log Re Dari grafik hubungan log Sc dan log Re, didapat: = 3 0.001 3 = 11.156 Dari hubungan-hunbungan persamaan di atas, dapat ditarik kesimpulan:

1 2 = 3 = 1 3 = 2 ( 14.373) ( 2262.6) 11.156 = 201.526 3 =

3 = 3 = ( 0.001) ( 201.5263) = 0.20153 Sehingga dapat dicari harga k dengan persamaan: h = (1.889 10 10 ) = (2683.854) 0.20153 (6.924 10 12 ) 201.5263 Karena nilai Sc sangat kecil, maka ketika dipangkatkan dengan b hasilnya akan sangat kecil (mendekati nol). Karena itu perhitungan dengan Ms. Excel tidak akan memberikan nilai (#DIV/0!). Pada percobaan ini, nilai k tidak bisa dicari.

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Percobaan Percobaan wetted wall column (WWC) bertujuan untuk menentukan besarnya koefisien perpindahan massa rata-rata dari lapisan tipis air yang mengalir secara turbulen ke dalam aliran udara serta mengamati karakteristik perpindahan massa air-udara pada suatu dinding kolom yang terbasahi. Fluida yang digunakan untuk dikontakkan satu dengan yang lainnya adalah air dan udara. Kedua fluida tersebut akan dikontakkan melalui sebuah kolom atau pipa transparan. Percobaan ini pada air aliran laminar, transisi, turbulen. Kontak yang terjadi antara air dan udara ini merupakan salah satu peristiwa perpindahan massa, yaitu perpindahan air dari kolom ke udara. Saat udara dan air saling berkontak di dalam kolom, molekul-molekul air berdifusi ke dalam udara sehingga mengakibatkan kandungan air dalam udara meningkat. Saat dua buah zat tesebut saling berkontak di dalam kolom, sistem akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan dengan pergerakan difusi antara molekul yang berkontakkan. Selain itu, perbedaan konsentrasi pada dua larutan mengakibatkan pergerakan molekul konponen dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah yang dikenal sebagai difusi molekular. Pada percobaan ini yang menjadi variabel bebas adalah besar perbedaan tekanan (Δh), yaitu bernilai 1 cm, 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Tujuannya ialah untuk melihat pengaruhnya terhadap proses perpindahan massa. Pengaturan tekanan dilakukan dengan mengatur tekanan dari kompresor (laju alir udara) dengan melihat perbedaan ketinggian cairan dalam manometer. Kompresor dinyalakan terlebih dahulu dan digunakan untuk mengalirkan udara ke kolom. Setelah itu, air dialirkan dari atas kolom hingga melapisi seluruh dinding kolom secara merata dan membentuk suatu lapisan film pada kolom. Untuk menentukan jenis aliran yang digunakan dalam percobaan ialah aliran laminar, transisi, atau turbulen, bukaan valve untuk mengalirkan air diatur besar bukaannya. Setelah besar bukaan valve diatur, dihitung volume air yang keluar tiap detik dan dari sana dapat dihitung laju alir air dengan membagi volume dengan luas permukaan di mana d = 4,825 cm. Jika sudah diketahui laju alir air, maka dapat dihitung besar bilangan Reynoldnya. Bilangan Reynold (Re) ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis aliran air yang digunakan. Pada percobaan ini, variabel yang diamati adalah suhu udara masuk (T in dry ), suhu udara keluar (T out dry ), T wet, dan kelembaban udara (H). T in dry merupakan suhu udara kering

sebelum berinteraksi dengan air (sebelum masuk kolom) sedangkan T out dry merupakan suhu udara setelah berinteraksi dengan air (keluaran kolom). T wet merupakan suhu yang dianggap sebagai referensi dimana pada T wet, kelembaban relatifnya diasumsikan bernilai 100 %. Proses perpindahan massa yang terjadi diamati dari perubahan kelembaban udaranya. 4.2 Analisis Hasil dan Perhitungan 4.2.1 Aliran Laminar Laju alir air laminar ditentukan terlebih dahulu dengan mengukur volume air yang keluar kolom dalam waktu tertentu (dalam percobaan ini 5 detik). Suhu udara masuk (T in dry ) dengan termometer raksa dan pada aliran keluar diukur T out dry yang merupakan suhu udara keluar dan T wet yang termometernya dengan ujung kapas dibasahi. T in dry merupakan suhu udara kering sebelum berinteraksi dengan air, sedangkan T out dry merupakan suhu udara kering setelah berinteraksi dengan air dan T wet merupakan suhu yang dianggap mewakili keadaan dengan kelembaban relatif 100%. Pada data percobaan bisa dilihat T out dry > T wet > T in dry, seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini. Temperature ( 0 C) 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 Laju Udara vs Temperatur 0.0 25.0 50.0 75.0 100.0 125.0 150.0 Laju Udara (cm/det) T-in Dry T-out Dry T-wet Gambar 4.1 Hubungan laju alir udara dengan temperatur pada aliran laminar Dari hasil percobaan yang ditunjukkan dengan grafik 4.1, dapat disimpulkan bahwa untuk setiap h tertentu, maka T out dry > T wet > T in dry. Nilai h merupakan parameter yang menunjukkan laju alir udara yang masuk ke dalam kolom. Harga h itu sendiri adalah nilai beda tekanan pada orifice antara kompresor dan kolom, dimana semakin tinggi nilai h maka semakin banyak pula udara yang mengalir ke dalam kolom.

Secara teoritis, grafik 4.1 seharusnya menunjukkan untuk h tertentu temperatur yang dihasilkan T in dry > T out dry > T wet, hal ini terjadi karena pada sesaat sebelum udara masuk (belum ada kontak dengan air) kandungan air dalam udara masih sangat sedikit, dengan besar kelembabannya sama dengan kelembaban udara lingkungan (yang mengakibatkan suhu udara masukkan kolom sama dengan suhu udara lingkungan). Setelah udara masukkan melewati kolom (kontak dengan air), menyebabkan kandungan air pada udara keluaran kolom lebih banyak daripada pada udara saat masuk ke dalam kolom. Hal ini karena telah terjadinya kontak antara udara dengan air di dalam kolom, yang menyebabkan suhu udara air keluaran kolom memiliki suhu yang lebih rendah karena adanya perpindahan kalor dari aliran udara kepada aliran air. Sedangkan untuk T wet (temperatur yang menunjukkan asumsi keadaan pada saat humidity 100 %) yang berarti kadar air yang di udara mencapai titik jenuhnya. Asumsi tersebut berarti kandungan air di udara lebih banyak, maka semakin banyak kalor yang berpindah dari udara ke air, sehingga terjadi kesetimbangan yang lebih kecil daripada ke air, sehingga terjadi kesetimbangan yang lebih kecil daripada T in dry dan T out dry. Namun, grafik yang didapat menunjukkan bahwa untuk setiap h tertentu, maka T out dry > T wet > T in dry. Hal ini menunjukkan penyimpangan secara teoritis, yang diakibatkan oleh berbagai kesalahan yang akan dijelaskan di bagian analisis kesalahan. Difusivitas (cm 2 /det) 2.280E+10 2.275E+10 2.270E+10 2.265E+10 2.260E+10 2.255E+10 2.250E+10 2.245E+10 Laju Udara vs Difusivitas Difusivitas 0.0 25.0 50.0 75.0 100.0 125.0 150.0 Laju Udara (cm/det) Gambar 4.2 Hubungan Laju Alir Udara dengan Difusifitas Laporan UOP 2 WWC 34

Laju alir air (laminar) dan kecepatan udara mempengaruhi hubungan laju alir udara dan difusivitas. Pada grafik di atas dapat terlihat bahwa, semakin besar laju alir udaranya maka konstanta difusifitasnya semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh semakin besar Laporan UOP 2 WWC 35

kecepatan udara maka waktu kontak antara udara dengan air semakin cepat sehingga menyebabkan semakin sedikitnya air yang akan berdifusi ke udara (laju difusi kecil) sehingga nilai konstanta difusifitas akan menurun. Kemudian, untuk aliran air yang laminar, nilai D AB relatif konstan untuk setiap kecepatan udara yang berbeda karena kondisi pengamatan pada keadaan yang belum steady sehingga perbedaannya tidak terlalu terlihat. 3.000E- 05 Laju Udara vs K G 2.500E-05 K G 2.000E-05 1.500E- 05 1.000E- 05 Koefisien Perpindah an Massa 5.000E- 06 0.000E+ 00 0.0 25.0 50.0 75.0 100.0 125.0 150.0 Laju Udara (cm/det) Gambar 4.3 Hubungan Laju Alir Udara dengan Koefisien Pindah Massa Meningkatnya kecepatan aliran udara menyebabkan waktu kontak antara udara dengan air di dalam kolom menjadi lebih singkat sehingga interaksi antara air-udara di dalam kolom pun menjadi lebih singkat. Akibatnya proses kesetimbangan sulit untuk tercapai dan perpindahan massa air dari fasa cair ke gas menjadi semakin sedikit. Keadaan tersebut ditunjukkan dengan semakin menurunnya nilai K G. Akan tetapi, terdapat beberapa titik yang tidak sesuai dengan analisis tersebut yang nanti akan dijelaskan faktor penyebabnya pada analisis kesalahan. Pada grafik terlihat bahwa saat Sc (bilangan schmidt) konstan Sh (bilangan sherwood) akan semakin kecil seiring dengan kenaikan Re (bilangan reynold). Kemudian pada saat Re konstan kenaikan Sh akan menyebabkan penurunan nilai Sc. Ketidakakuratan alat dalam menunjukkan harga humiditas maupun temperatur menyebabka terjadinya sedikit error. Pada percobaan ini, nilai k tidak bisa dicari karena terlalu kecil (pangkat pada penyebut terlalu besar) ~ 0. Niliai K ini dicari dengan rumus K = Sh/(Re a Sc b ). Hal ini menunjukan semakin besar nilai a dan b maka Nilai K akan semakin kecil. Nilai K akan Laporan UOP 2 WWC 35

sebanding dengan nilai bilangan Sherwood (Sh) dan berbanding terbalik dengan bilangan Schmidt (Sc) dan bilangan Reynold (Re). Sh 1.6E-10 1.4E-10 1.2E-10 1E-10 8E-11 6E-11 4E-11 2E-11 0 Laju Udara vs Bilangan Sherwood Bilangan Sherwood 0.0 25.0 50.0 75.0 100.0 125.0 150.0 Laju Udara (cm/det) Gambar 4.4 Hubungan Laju Alir Udara dengan Bilangan Sherwood Pada grafik di atas terlihat bahwa bilangan Sh berbanding terbalik dengan nilai laju alir udara. Bilangan Sherwood merupakan bilangan tak berdimensi yang menunjukkan besarnya kemampuan terjadinya perpindahan massa melalui proses difusi. Bilangan Sherwood (Sh) dinyatakan dengan hubungan: h = Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbandingan antar koefisien transfer massa dengan nilai difusivitas dari air ke udara. Bilangan Sherwood adalah suatu angka yang menunjukkan besarnya perpindahan massa yang terjadi. Jika nilai dari koefisien perpindahan massa k G besar, menunjukkan bahwa perpindahan massa yang terjadi pada sistem juga besar. Nilai k G yang besar akan menyebabkan bilangan Sh yang besar. Sebelumnya juga telah diketahui dari percobaan bahwa nilai k G berbanding terbalik dengan nilai laju alir udara. Jadi, angka Sh yang besar menunjukkan lebih banyak massa yang berpindah antar sistem (dalam percobaan ini yaitu dari air ke udara). Hubungan bilangan Sherwood dengan bilangan Reynold dan Schmidt adalah sebagai berikut: Sh = k Re a Sc b dengan k, a, dan b adalah suatu konstanta. Laporan UOP 2 WWC 36

Re vs Sc 6.960E- 12 6.950E-12 Sc 6.940E- 12 Re vs Sc 6.930E- 12 0.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 Re) Gambar 4.5 Kurva Bilangan Reynold vs Bilangan Schmidt Semakin besar laju alir udara maka alirannya semakin turbulen sehingga nilai bilangan Reynoldnya semakin besar dan nilai bilangan Schmidt semakin besar. Bilangan Schmidt menunjukkan hubungan karakteristik fluida dengan kemampuannya berdifusi. Ketika aliran udara semakin cepat maka waktu kontak antara air dan udara semakin sedikit sehingga kemampuan berdifusi air ke udara semakin kecil sesuai dengan rumus berikut: = Dengan kata lain, bilangan Schmidt berbanding terbalik dengan koefisien difusifitas. Maka dari itu, semakin besar laju alir udara akan meningkatkan nilai bilangan Schmidt. Dengan meningkatnya bilangan Reynold dan Schmidt maka bilangan Sherwoodnya juga akan semakin meningkat sehingga dapat diketahui dengan meningkatnya laju alir udara, bilangan Sherwoodnya juga akan cenderung semakin meningkat. 4.2.2 Aliran Transisi Kontak antara air dan udara secara counter current flow diikuti oleh adanya transfer massa antara air dan udara yang diidentifikasi oleh menggambarkan harga koefisien perpindahan massa. Koefisien perpindahan massa (k G ) dapat diidentifikasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi perpindahan massa itu sendiri. Bila perpindahan massa dipandang sebagai akibat pengaruh laju alir (Δh), maka koefisen perpindahan massa disimbolkan dengan k G. Bila dipandang sebagai akibat pengaruh konsentrasi dari fluida yang dikontakkan maka koefisien perpindahan massanya disimbolkan dengan k c (untuk gas) dan k L (untuk liquid). Laporan UOP 2 WWC 37

Bila transfer massa dipengaruhi oleh fraksi mol konstituen yang berkontakkan maka disimbolkan dengan k y (gas) atau k L (liquid). 6.000E-05 Laju Udara vs K G 5.000E-05 4.000E-05 K G 3.000E-05 2.000E-05 Koefisien Perpindah an Massa 1.000E-05 0.000E+00 0.0000 50.0000 100.0000 150.0000 Laju Udara (cm/detik) Gambar 4.6 Hubungan Laju Alir Udara dengan Koefisien Pindah Massa Dalam percobaan ini koefisien perpindahan massa disimbolkan dengan k G karena transfer massa diakibatkan oleh beda tekanan (ΔP) antara air dan udara. Secara teori, semakin kecil laju alir air maka harga k G semakin besar. Hal ini terjadi karena pada laju alir yang kecil, kontak antara air dan udara akan semakin besar, yang mempermudah transfer massa antara keduanya sehingga koefisien transfer massanya pun besar. Bilangan Sherwood dapat didefinisikan sebagai: h = Bilangan ini menggambarkan besarnya kemampuan terjadinya perpindahan massa melalui mekanisme difusi. Besar kecilnya bilangan Sherwood menunjukkan fenomena perpindahan massa yang terjadi (dalam percobaan ini antara air dan udara). Bilangan Sherwood merupakan gabungan dari bilangan Reynold dan bilangan Schmidt. Bilangan Reynold merupakan bilangan yang berperan dalam menentukan karakteristik fluida yang diteliti, apakah fluida tersebut bersifat laminer, transisi atau turbulen dan diformulasikan dengan: = = Laporan UOP 2 WWC 38

Laporan UOP 2 WWC 39

Re 4,000.00 3,500.00 3,000.00 2,500.00 2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 Sh vs Re 0.00 0.000E+00 1.000E-10 2.000E-10 3.000E-10 Sh Sh vs Re Gambar 4.7 Hubungan Bilangan Sherwood dengan Bilangan Reynold Sedangkan bilangan Schmidt merupakan bilangan yang menghubungkan karakteristik fluida yang mengalir dengan kemampuan berdifusinya. Bilangan Schmidt diformulasikan sebagai: = 6.960E-12 Sh vs Sc 6.950E-12 Sc Sh vs Sc 6.940E-12 0.000E+00 1.000E-10 2.000E-10 3.000E-10 Sh Gambar 4.8 Hubungan Bilangan Sherwood dengan Bilangan Schmidt Bilangan Sherwood menjadi penghubung transfer massa dalam percobaan ini di mana Bilangan Sherwood akan merefleksikan fenomena transfer massa yang terjadi, yaitu untuk laju alir yang rendah menghasilkan transfer massa yang besar dengan nilai bilangan Laporan UOP 2 WWC 40

Sherwood yang besar. Bilangan Sherwood sendiri merupakan kombinasi dari bilangan Schmidt dan Reynold dengan kostanta tertentu. Semakin besar bilangan Reynold maka akan semakin turbulen alirannya. Semakin turbulennya suatu aliran, maka laju perpindahan massanya meningkat sehingga bilangan Schmidtnya akan semakin tinggi bila dibandingkan dengan laminer. Sherwood akan lebih besar pada aliran turbulen bila dibandingkan dengan aliran laminer sebab bilangan Reynold dan bilangan Schmidt juga meningkat. 6.960E-12 Re vs Sc 6.950E-12 Sc Re vs Sc 6.940E-120.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 Re Gambar 4.9 Hubungan Bilangan Reynold dengan Bilangan Schmidt Bilangan Reynold yang terjadi dalam percobaan bervariasi. Mekanisme transfer massa yang terjadi karena bilangan reynold hanya mengidentifikasikan karakteristik aliran fluida yang terjadi. Untuk aliran fluida yang cenderung tidak bergelombang dan mempunyai bilangan Reynold kecil dari 2100 disebut fenomena aliran laminer. Sedangkan aliran transisi memiliki bilangan Reynold antara 2100 sampai 3000, dan untuk Re lebih besar dari 3000 dikatakan fenomena aliran turbulen. Bilangan Schmidt dalam percobaan sangat bergantung pada mekanisme kontak dan transfer massa yang terjadi serta karakteristik aliran fluida sehingga untuk laju alir udara dan laju alir yang semakin tinggi bilangan Schmidt cendserung semakin menurun. Begitu pula sebaliknya. Konstanta penghubung dalam bilangan Sherwood (k, a, dan b dilakukan dengan menentukan bilangan Sherwood, Reynold, dan Schmidt secara terpisah). Untuk mendapatkan nilai k digunakan persamaan: h = Laporan UOP 2 WWC 40

4.2.3 Aliran Turbulen Perpindahan konsentrasi air ke udara yang tinggi akan terjadi pada aliran air yang turbulen karena tingginya laju alir air sehingga perbedaan konsentrasi air dan udara pada setiap waktu juga besar. Hal ini menyebabkan tingginya konsentrasi air yang berpindah ke udara. 7.000E-05 Laju Udara vs K G 6.000E-05 5.000E-05 K G 4.000E-05 3.000E-05 Koefisien Perpindah an Massa 2.000E-05 1.000E-05 0.000E+00 0.0000 50.0000 100.0000 150.0000 Laju Udara (cm/detik) Gambar 4.10 Hubungan Laju Alir Udara dengan Koefisien Pindah Massa Dari grafik terlihat bahwa laju alir udara berbanding lurus dengan koefisien perpindahan massa. Semakin banyak udara yang dialirkan ke dalam kolom, semakin tinggi koefisien perpindahan massa yang berarti semakin tinggi pula konsentrasi air yang berpindah ke udara. Hal ini disebabkan oleh tingginya gradien konsentrasi air dan udara sehingga air akan cenderung untuk berpindah ke udara sampai dicapai konsentrasi kesetimbangan. Selain itu, pada laju alir yang semakin turbulen, maka arus eddy juga semakin banyak terjadi. Hal ini menyebabkan permukaan kontak udara-air pada lapisan film tipis semakin luas sehingga jumlah air yang berpindah dari fasa cair ke fasa gas semakin banyak. Setelah didapat nilai dari koefisien perpindahan massa dari masing-masing laju alir (pada bagian ini aliran turbulen), langkah berikutnya ialah menghitung bilangan-bilangan yang tidak berdimensi untuk aliran turbulen, seperti bilangan Schmidt (Sc), Sherwood (Sh), dan Reynold (Re). Ketiga bilangan tersebut memiliki hubungan satu sama lain melalui persamaan-persamaan matematis yang sudah ada. Kemudian dibuat grafik (basis log) untuk mengetahui hubungan antara ketiganya, yaitu grafik hubungan bilangan sherwood dan bilangan reynold untuk aliran turbulen, grafik hubungan bilangan sherwood dan bilangan Laporan UOP 2 WWC 41

schmidt untuk aliran turbulen, dan grafik hubungan bilangan reynold dan bilangan schmidt untuk aliran turbulen. Bilangan Sherwood merupakan bilangan tak berdimensi yang menggambarkan besarnya kemampuan terjadinya perpindahan massa melalui mekanisme difusi. Bilangan Sherwood merefleksikan fenomena transfer massa yang terjadi, untuk laju alir yang rendah menghasilkan transfer massa yang besar dan direfleksikan oleh bilangan Sherwood yang besar. Bilangan Reynold merupakan bilangan yang paling berperan dalam penentuan karakteristik fluida yaitu fluida alir bersifat turbulen, transisi atau laminar. Sedangkan bilangan Schmidt merupakan bilangan yang menghubungkan karakteristik fluida yang mengalir dengan kemampuan berdifusinya. Bilangan Schmidt dalam percobaan sangat bergantung pada mekanisme kontak dan transfer massa yang terjadi juga pada karakteristik aliran fluida sehingga untuk laju alir udara dan laju alir yang rendah bilangan Schmidt cenderung semakin besar. Begitu pula sebaliknya. Konstanta penghubung dalam bilangan Sherwood (k, a, dan b dilakukan dengan menentukan bilangan Sherwood, Reynold, dan Schmidt secara terpisah). Dari hasil perhitungan di atas nilai konstanta k pada jenis aliran turbulen tidak didapatkan nilainya dikarenakan data yang diperoleh tidak menunjukan hasil yang baik. 3.500E-10 Laju Udara vs Bilangan Sherwood 3.000E-10 2.500E-10 Sh 2.000E-10 1.500E-10 Bilangan Sh 1.000E-10 5.000E-11 0.000E+00 0.0000 50.0000 100.0000 150.0000 Laju Udara (cm/detik) Gambar 4.11 Hubungan Laju Alir Udara dengan Bilangan Sherwood Laporan UOP 2 WWC 42

Untuk memperoleh nilai a, b, dan K digunakan persamaan bilangan Sherwood. Jika dilihat pada data maupun grafik, nilai bilangan Schmidt cenderung konstan. Bilangan Schmidt merupakan bilangan yang berbanding terbalik dengan difusivitas. 6.940E-12 Re vs Sc 6.930E-12 Re vs Sc Sc 6.920E-12 6.910E-120.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 Re Gambar 4.12 Hubungan Bilangan Reynold dengan Bilangan Schmidt 4.3 Analisis Kesalahan Beberapa kesalahan yang mungkin dilakukan pada percobaan ini sehingga didapat hasil perhitungan yang kurang baik: Kesalahan paralaks saat membaca temperatur pada termometer, saat mengatur perbedaan ketinggian pada manometer, maupun saat menentukan volume air pada gelas ukur serta waktunya (penentuan jenis aliran). Kelembaban (humidity) yang ditunjukkan pada alat tidak konstan dan terus mengalami perubahan sehingga sulit ditentukan nilai kelembaban yang tepat. Karena hal inilah, maka nilai kelembaban yang digunakan adalah nilai perkiraan yang sering muncul pada pembacaan alat. Sebagai akibatnya, data yang diperoleh menjadi kurang akurat dan mengalami penyimpangan. Kemungkinan kondisi steady state belum tercapai sehingga data yang diperoleh belum menunjukkan kondisi setimbang dan proses difusi yang terjadi belum selesai. Perubahan suhu yang terjadi sangat kecil dan sulit diamati (ketelitian dari alat pengukur yang digunakan sebesar 0,5 o C) sehingga data yang diperoleh menjadi kurang akurat dan tentunya hal ini akan mempengaruhi hasil perhitungan.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Bilangan Reynold semakin meningkat seiring dengan peningkatan laju alir udara, semakin turbulen alirannya maka semakin besar bilangan Reynoldnya. 2. Konsentrasi mengalami perpindahan dari konsentrasi tingi ke konsentrasi yang rendah atau dengan kata lain perpindahan dari air ke udara. Hal ini membuktikan bahwa peristiwa perpindahan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi. 3. Bilangan Sherwood, Schmidt, dan Reynold berhubungan satu sama lainnya melalui persamaan, dan hal ini dibuktikan dalam pengolahan data. 4. Bilangan Sherwood ialah sebuah bilangan tak berdimensi yang menggambarkan besarnya kemampuan terjadinya perpindahan massa melalui mekanisme difusi. 5. Bilangan Reynold merupakan bilangan tak berdimensi yang paling sering dijumpai untuk menjelaskan kasus mikrofluida dari segi alirannya. 6. Bilangan Schmidt merupakan bilangan tak berdimensi yang merupakan perbandingan antara viskositas kinematik dengan difusivitas massa. 7. Berikut merupakan hasil perhitungan nilai Sh, Re dan Sc untuk percobaan kali ini: Nilai Sh,Re,dan Sc untuk aliran laminer: Δh Sh Re Sc 1 4.99E-11 1,585.54 6.944E-12 2 1.081E-10 2,273.67 6.932E-12 3 1.258E-10 3,118.61 6.943E-12 4 1.408E-10 3,796.36 6.951E-12 Nilai Sh,Re,dan Sc untuk aliran transisi: Δh Sh Re Sc 1 8.588E-11 1,582.27 6.943E-12 2 1.288E-10 2,250.72 6.950E-12 3 2.041E-10 3,089.44 6.956E-12 4 2.696E-10 3,763.68 6.956E-12