NETLABEL SEBAGAI ALTERNATIF DISTRIBUSI KARYA MUSIK (STUDI PADA DISTRIBUSI MUSIK DI NETLABEL HUJAN! REKORDS)

dokumen-dokumen yang mirip
( Word to PDF Converter - Unregistered ) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak separuh dekade yang lalu, terdapat suatu aktivitas baru pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Obyek Studi Profil PT. MelOn Indonesia

menyaksikan pertunjukan musik tersebut secara langsung atau live.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi

MUSIK INDIE DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS PADA MUSISI FRAU) TUGAS AKHIR Program Studi S-1 Seni Musik. Oleh: ANDRYAN ADE KURNIA NIM.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya. Musik meliputi berbagai jenis aliran yang ada dengan

BAB I PENDAHULUAN. Musik adalah bunyi yang diatur menjadi pola yang dapat menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ekonomi gelombang ke-4 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Deddy Mulyana

negeri namun tetap menuntut kinerja politisi yang bersih.

BAB V KESIMPULAN. waktu). Tetapi, ternyata terdapat hal lain yang membuat gig itu menjadi sebuah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Artwork Mini Album Hahawal,

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Oleh: Qoriah A. Siregar

BAB V KESIMPULAN & SARAN. penelitian ini. Pertama, bagaimana praktik pembajakan digital dalam budaya

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Media massa (media cetak, media elektronik dan media bentuk baru)

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pengunduhan MP3 secara ilegal yang dilakukan oleh. mahasiswa, perumusan masalah, manfaat dari penelitian, batasan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan rekaman yang besar disebut juga dengan istilah Major Label

BAB I PENDAHULUAN. masyarakarat Indonesia. Terlebih kamera aksi ini banyak dimiliki oleh kalangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya yaitu dalam bentuk media poster, spanduk, baliho, billboard dan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif atau industri kreatif. Perkembangan industri kreatif menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semenjak media massa dikenal mampu menjangkau khalayak dengan

BAB I PENDAHULUAN. baru, baik yang bergabung dalam major label maupun indie label. Indie label dan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok setiap manusia, karena

I. PENDAHULUAN. Berbicara di depan umum atau lebih dikenal dengan public speaking adalah

Laporan Hasil Penelitian. PENGGUNAAN MEDIA DIGITAL DI KALANGAN ANAK-ANAK DAN REMAJA DI INDONESIA Ringkasan Eksekutif

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. penggemar K-Pop di Indonesia untuk mengunduh secara ilegal melalui internet

BAB I PENDAHULUAN. ( Pada zaman orde baru pemerintah melarang

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

PENDAHULUAN Latar belakang Penelitian

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara

BAB I. bereksplorasi dengan bunyi, namun didalamnya juga termasuk mendengarkannya

BAB I PENDAHULUAN. Oxford University, 1997), Dieter Mack, Apresiasi Musik Musik Populer (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama,

HAK CIPTA SOFTWARE. Pengertian Hak Cipta

Makalah. Lisensi Freeware, Shareware dan Opensource Software. Daeng X-5. SMA Negeri 1 Kota Bandung * 1 *

BAB 3 PENGUMPULAN DATA

ANALISIS ISI PROGRAM TELEVISI LOKAL BERJARINGAN DI BANDUNG (STUDI PADA PROGRAM KOMPAS TV, TVRI, DAN IMTV)

Mendayagunakan Kreativitas Untuk Menciptakan Peluang Usaha dan Memperoleh Penghasilan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era digital saat ini, masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan ekonomi melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudah menjadi kenyataan bahwa kemajuan suatu bangsa akan ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Comment [g1]: Integrate dengan jurnal mantap musisi indie jobin. 1. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. meresap banyak informasi secara langsung dari media. berubah sesuai dengan situasi yang berlaku. 2 Komunikasi mengacu tindakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

SEJARAH KOMUNIKASI MASSA

BAB I PENDAHULUAN. Aliran musik Grunge merupakan sebuah inovasi dari aliran musik rock

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. Teknologi merupakan salah satu aspek yang sangat mempengaruhi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat. Musik juga menjadi warna tersendiri yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang mencolok untuk dijadikan daya tariknya. Selain kemasan. hal yang penting dalam pemasaran produk.

Intellectual Property Rights and Ethics. Dahlia Widhyaestoeti, S.Kom dahlia74march.wordpress.com

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

Review Buku : Rozaqul Arif

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

Bab I. Pendahuluan. pemahaman secara mendalam dari fenomena yang terjadi pada gitaris rock dalam

BAB I PENDAHULUAN. dinamika komunikasi masyarakat. Pada kehidupan sehari-hari seorang yang dulu

BAB I PENDAHULUAN. Sementara itu, istilah politik pada konteks ini berarti kekuasaan. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam era informasi sekarang ini, masyarakat sangat membutuhkan

BAB V IDEOLOGI ARMADA RACUN

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok

BAB I PENDAHULUAN. daya alam dan sumber daya manusia harus maksimal agar bisa menyejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. yang secara signifikan berlangsung dengan cepat khususnya teknologi internet.

I. PENDAHULUAN. kebutuhan mereka (Body dkk, 2000: 3). Bagian penting dari instrument

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Artinya, hampir semua kajian sosial selalu melibatkan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. ternyata dihabiskan di media digital antara lain untuk mengelola website personal

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menciptakan inovasi-inovasi serta kreasi-kreasi yang baru dan dapat berguna bagi

Pengenalan Teknologi Informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai

BAB I PENDAHULUAN. Radio merupakan salah satu media informasi sebagai unsur dari proses

2016 PERSEPSI PEMIRSA TENTANG OBJEKTIVITAS BERITA DI KOMPAS TV

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kini, film merupakan salah satu pilihan utama masyarakat untuk mencari

Mengapa Saya Harus Mempelajari Manajemen Pemasaran?

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Isaac & Michael

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu konflik kemanusiaan yang berujung kepada perang atau tindak

Transkripsi:

NETLABEL SEBAGAI ALTERNATIF DISTRIBUSI KARYA MUSIK (STUDI PADA DISTRIBUSI MUSIK DI NETLABEL HUJAN! REKORDS) JURNAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Komunikasi Massa Oleh: Ardhita Purnama 0710020046 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

NELABEL SEBAGAI ALTERNATIF DISTRIBUSI KARYA MUSIK (STUDI PADA DISTRIBUSI MUSIK DI NETLABEL HUJAN! REKORDS) Oleh: Ardhita Purnama FISIP, Universitas Brawijaya ABSTRAKSI Industri musik memiliki peran sentral dalam mengatur apa dan bagaimana jenis musik hadir di masyarakat. Perkembangan teknologi internet menawarkan hal yang lain. Semangat free culture dari internet label (netlabel) menawarkan cara-cara baru dalam mendistribusikan musik. Penelitian ini mencoba memaparkan bagaimana netlabel menjadi sebuah alternatif distribusi musik bagi musisi. Menggunakan pendekatan kualitatif interpretif, keberadaan netlabel Hujan! Rekords akan digunakan sebagai obyek dalam penelitian ini. Kerangka konsep Theodore Adorno mengenai Industri Budaya; Standarisasi, Komodifikasi dan Spasialisasi digunakan sebagai kerangka untuk melihat bagaimana netlabel ini merilis karya musik. Beberapa isu mengenai cara kerja kapitalisme, homogenisasi musik dan posisi pencipta dalam isu hak cipta dilihat sebagai konteks sosial yang mengiringi keberadaan netlabel tersebut. Penelitian ini menunjukan bahwa Hujan! Rekords menggunakan indikator yang sama dengan yang digunakan industri, seperti komodifikasi, standarisasi dan massifikasi. Akan tetapi bentuk-bentuk tersebut tidak bekerja sebagai sebuah motif ekonomi, melainkan bekerja sebagai sebuah nilai guna. Hujan! Rekords tidak menempatkan musik sebagai sebuah komoditas yang diperjual belikan. Dengan demikian, netlabel dengan semangat free culture dapat menjadi alternatif distribusi karya musik yang menempatkan kembali musisi sebagai sebuah komoditas. Kata Kunci: Industri Musik; Musisi, Netlabel; Free Culture A. PENDAHULUAN Industri musik memiliki peran sentral dalam mengatur apa dan bagaimana jenis musik hadir di masyarakat. Apa yang menjadi trend di masyarakat dikemas untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin (dalam Strinati, 2009, h.209). Tidak heran ketika Kangen band muncul dengan membawa genre musik pop melayu pada awal tahun 2000an, puluhan band lain muncul dengan genre yang sama. Kesamaan genre ini merupakan konsekuensi langsung dari kontrol tunggal oleh industri dengan mengacu pada standar tertentu. Standarisasi ini merupakan mekanisme industri dengan menjadikan musik semata sebagai komoditas untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya. Callahan (dalam Wasko dkk, 2011, h.335) menilai, sistem pasar kapitalis selalu mengacu pada besaran keuntungan yang dihasilkan melalui cara produksi tertentu. 1 Cara produksi ini meliputi bagaimana pengaturan royalti, mekanisme penjualan, penentuan pasar dan standarisasi selera tertentu. Berdasarkan data yang dirilis David Byrne's Survival Strategies for Emerging Artists and Megastars pada 2007 lalu, musisi hanya mendapatkan 14% dari nilai jual sebuah lagu yang diunggah melalui itunes. Sisa hasil dari total nilai jual lagu tersebut masuk pada label (56%) dan itunes (30%). Di titik ini, musisi semata ditempatkan sebagai komoditas utama industri musik. Pihak yang mendapatkan keuntungan lebih besar selalu industri, sedangkan musisi semata dijadikan komoditas industri itu sendiri. Selain itu, kontrol hak cipta yang dipegang industri ini turut berdampak terhadap penggunaan musik tersebut bagi publik. Penggunaan musik untuk karya bentuk lain akan membutuhkan proses izin yang sangat panjang dan negoisasi nominal

yang tidak kecil jumlahnya. Ketika publik menggunakan musik tanpa izin dari industri, kegiatan ini bisa dinilai sebagai bentuk ilegal dan melanggar hukum. Wacana pembajakan digunakan industri untuk melegitimasi perbuatan yang dianggap melanggar hak cipta. Beberapa permasalahan di atas merupakan masalah yang lahir dari industri musik secara langsung. Musisi yang seharusnya menjadi pusat utama (subjek) ditempatkan semata menjadi komoditas (objek) pendulang keuntungan. Standarisasi musik hanya akan melahirkan selera musik merata dan meminggirkan keberagaman. Selanjutnya, mekanisme hak cipta hanya menjadi faktor penghambat kreativitas di level publik.. Sebagai kritik terhadap label mayor di atas, beberapa label muncul dengan memanfaatkan internet (Netlabel). Menurut Smiers (2009, h.74) Netlabel sudah mulai melakukan penetrasi ke dalam semua bidang penciptaan, produksi, distribusi, promosi dan penerapan di bidang artistik. Melalui internet, akses, berbagi dan pemanfaatan atas sebuah konten kreatif sangat mudah dilakukan. Kemunculan Netlabel memberikan cara baru terhadap persebaran karya musik. Tawaran kebebasan melalui internet memunculkan sebuah bentuk label baru diantara label-label konvensional yang sudah ada, yaitu internet label (Netlabel). Memiliki cara kerja berbeda dengan label mayor, netlabel memberikan kesempatan bagi musisi untuk lebih mudah menyebarkan karya musiknya tanpa adanya kontrol ketat seperti yang terjadi di label mayor. Kemudahan persebaran musik ini melahirkan keberagaman bentuk musik, budaya, hingga besaran insentif yang menitikberatkan pada musisi itu sendiri. Sehingga, musisi tidak lagi sekedar menjadi objek dalam dunia industri musik, tapi bergeser menjadi subjek yang bebas. Musisi dapat lebih mudah mengenalkan karya musiknya hingga dengan merilis musik secara gratis melalui web. Netlabel memungkinkan seorang musisi mempunyai kesempatan yang sama besar dengan musisi lainnya untuk 2 mengantarkan musik hingga sampai kepada pendengar. Bagi musisi yang tidak berada dalam industri, pilihan merilis karya melalui netlabel bisa dijadikan kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak pendengar bagi karya mereka. Penggunaan lisensi publik melalui Creative Commons (CC) menjadi keuntungan tersendiri bagi musisi. Creative Commons merupakan jenis lisensi yang dilahirkan dari gerakan free culture. Cara kerja lisensi ini sama sekali berbeda dengan hak cipta pada umumnya. CC memberikan ruang pada semua kalangan, termasuk musisi, untuk memberikan izin penggunaan atas produk pekerjaan kreatif mereka (musik) secara lebih terbuka (www.creativecommons.org, 2014). Seorang musisi dapat menciptakan standar tersendiri atas musik yang diciptakan. Di Indonesia sendiri, setelah Netlabel Yes No Wave dari Yogyakarta berdiri, muncul berbagai netlabel lain di kota-kota besar di Indonesia, seperti InMyRoom dan StoneAge Records (Jakarta), Mindblsting (Jember), Valetna (Semarang), Kanal30 (Malang) dan Hujan! Rekords di kota Bogor. Dalam laman webnya, Hujan! Rekords menyebut, aktifitas yang dijalaninya sebagai bentuk nyata dari gerakan free culture. Hujan! Rekords merilis musik artisnya secara gratis dengan menggunakan lisensi creative commons untuk melindungi karya-karyanya. Jika pemanfaatan netlabel oleh para musisi dilakukan dalam skala beragam, lalu bagaimana dengan netlabel itu sendiri? Apakah nantinya bentuk netlabel ini benarbenar menjadi media alternatif yang memberikan keuntungan tersendiri bagi musisi yang ada di Hujan! Rekords tersebut, ataukah pada akhirnya bentuk lisensi ini pada akhirnya tidak menawarkan sesuatu yang istimewa bagi seorang musisi. Jika demikian, bagaimana kemudian netlabel Hujan! Rekords dapat dikatakan sebagai media distribusi alternatif terhadap persebaran karya musik? Beberapa netlabel seperti Hujan! Penelitian ini ingin melihat bagaimanakah netlabel Hujan! Rekords menjadi sebuah alternatif distribusi karya

musik bagi musisi dalam industri budaya saat ini. B. TINJAUAN PUSTAKA 3 1. Industri Budaya Diskusi dari industri budaya seperti yang dijelaskan O'Connor (2010, h.11) dimulai dari Theodor Adorno, bersama koleganya Max Horkheimer, pertama mengenalkan terminologi tersebut pada tahun 1947 dengan essay The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception (bagian tiga dalam Adorno and Horkheimer, 1979). Tulisan-tulisan Adorno berikutnya - dalam film, radio, koran, dan yang paling terkenal adalah musik jazz dan musik populer, semua kembali menegaskan pesan bahwa di bawah kapitalisme monopoli, seni dan budaya sekarang telah menjadi benar-benar diserap oleh perekonomian. Menurut Mazhab Frankfurt (dalam Strinati 2010, h.107), industri budaya mencerminkan konsolidasi, dominasi atas pertukaran dan meningkatnya kapitalisme monopoli negara. Industri budaya membentuk selera dan kencenderungan massa sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keingingan mereka atas kebutuhan kebutuhan palsu. Adorno (dalam Stinarti 2010, h.111) menilai massa sama sekali tak berdaya. Kekuatan terletak pada industri budaya. Produk-produknya mendorong terjadinya konformitas dan kesepahaman yang menjamin adanya kepatuhan pada pihak yang berwenang maupun stabilitas sistem kapitalis. Kellner (2003, hal.29) menjelaskan bahwa artefak dari industri budaya memiliki mempunyai fitur yang sama dengan produk lainnya dari produksi massal, yaitu komodifikasi, standardisasi, dan massifikasi. Komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh industri budaya menurut Adorno (dalam Strinati, 2010, h.109) diarahkan oleh kebutuhan untuk menyadari nilainya dipasaran. motif keuntungan menentukan sifat berbagai bentuk budaya. Secara industrial, produksi budaya merupakan sebuah proses standarisasi tempat produkproduk tersebut mendapatkan bentuk yang sama pada semua komoditas. Komersialisasi dan komodifikasi budaya menurut Kellner (2003, hal.29) menyebabkan banyak konsekuensi penting. Karena produksinya untuk kepentingan profit, ini dapat berarti bahwa eksekutif dari industri budaya menargetkan produksi dari produk tersebut akan menjadi popular, mempunyai nilai jual atau dalam kasus radio dan televisi, akan menarik banyak audiens. Stasndarisasi itu sendiri menurut Adorno (dalam Strinati 2010, h.112) mendefinisikan cara bagaimana industri budaya mengatasi segala macam tantangan, orisinalitas, autentisitas, ataupun rangsangan intelektual dari musik yang dihasilkannya, sementara individualisasi semu memberikan umpannya, keunikan atau kebaruan nyata dari lagu tersebut bagi konsumen. Adorno (dalam Strinati 2010, h.114) melanjutkan bahwa standarisasi lagu-lagu terbaik menjaga konsumen agar tetap sejalan dengan mendengarkan lagulagu itu, sebagaimana adanya. Individualisasi semu, sebagian, menjaga mereka agar tetap sejalan dengan cara membuat mereka melupakan bahwa apa yang mereka dengar sudah diperdengarkan kepada mereka atau sudah dicerna dulu. Menurut O'Connor (2010, hal.14) hal yang utama dari industri budaya Adorno sebenarnya bukan tentang komodifikasi dari budaya, akan tetapi tentang pengorganisasian dari produksi komoditas budaya dalam skala industri massal. Dengan demikian bermain kompleks antara seni sebagai komoditas dan bentuk sebagai otonom runtuh seperti artis independen memberi jalan ke pabrik budaya. Dalam kajian Industri rekaman, Callahan (2005) dalam (Wasko, Murdock, Sousa, 2011, h.335) menyebut bisnis musik hanya peduli dengan uang yang berasal dari eksploitasi musisi dan hak cipta. Industri menjadi "tuan" diatas musisi. Dalam sistem pasar kapitalis, produktivitas kerja [musisi] tidak berada dalam penciptaan artistik, tetapi dilihat melalui keuntungan yang dihasilkan untuk perusahaan rekaman atau

penerbit melalui produksi masal, promosi dan penjualan. Banyak peneliti misalnya, Fabbri (1993), Cvetkovski (2007), Hesmondhalgh (2007) dalam (Wasko dkk, h.336) berpendapat bahwa, untuk benarbenar memahami industri rekaman sebagai perusahaan kapitalis yang mengeksploitasi tenaga kerja terkomodifikasi, analisis ekonomi politik dari industri ini harus menekankan pada hak cipta. Fabbri percaya bahwa peneliti harus mengeksplorasi hak cipta karena sebagian besar dari omset keseluruhan industri musik didasarkan pada pertukaran barang immaterial. Menurut Cvetkovski, Hak cipta harus dianggap sebagai benang merah yang mengikat seluruh industri, tanpa itu tidak ada bisnis musik. Sanjek (1998) dalam (Wasko dkk, 2011, h.336) berpendapat bahwa musik tidak lebih dari sebuah "paket hak" dan dengan demikian kita harus meneliti industri rekaman pada dua tingkatan yang saling berkaitan: (1) rezim korporasi merger dan pengaruh dalam produksi dan konsumsi, dan (2) rezim hukum-legislatif, deregulasi kepemilikan serta peningkatan cakupan dan durasi hak kekayaan intelektual. 2. Open Culture Framework Sejarah industri rekaman musik pada dasarnya adalah tentang teknologi, seperti rekaman musik yang merupakan sebuah produk dari ilmu pengetahuan. Millard (2005) dalam (Wasko dkk, 2011, h.338) melihat bahwa ini adalah kisah utama dari sebuah perubahan, bagi industri yang membangun diatas fonograf diganggu secara konstan melalui inovasi baru. Satu per satu penemuan datang untuk mengganggu keseimbangan diantara perusahaan besar dan mengubah hubungan dari kekuasaan lama dengan kekuasaan yang baru. Dalam Industri musik, digitalisasi dan kemajuan internet pada akhirnya menuntun manusia pada umumnya untuk melakukan penyesuaian dalam memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi musik. Kehadiran Internet 4 label (netlabel) yang membawa pendekatan free culture merupakan salah satu dari bentuk penyesuaian dalam distribusi musik. Lessig (2011, h.xiv) menjelaskan Argumen di dalamnya, banyak diilhami oleh karya Richard Stallman dan Free Software Foundation), utamanya esai-esai adalah dalam Free Software, Free Society. Budaya bebas (free culture) menurut Lessig (2011, h.xii) bukan free dalam pengertian free beer atau bir gratis, tapi bebas seperti dalam kebebasan berpendapat, pasar bebas, perdagangan bebas, usaha bebas, kehendak bebas dan pemilihan suara bebas. Free Culture mendukung dan melindungi pencipta dan penemu. Budaya ini melakukannya secara langsung dengan mengakui hak milik intelektual, tapi budaya ini melakukannya dengan cara tidak langsung, membatasi jangkauan dari hak-hak tersebut, menjamin bahwa para pencipta dan penemu selanjutnya sebisa mungkin terbebas dari kekangan masa lalu. Free culture menawarkan sistem hak cipta alternatif bernama Creative Commons bagi karya digital yang penggunaanya lebih fleksibel daripada sistem hak cipta yang ada saat ini. Creative Commons adalah sebuah korporasi nirlaba yang didirikan di Massachusetts, namun berasal dari Universitas Stanford. Tujuannya adalah untuk membangun lapisan hak cipta yang masuk akal di atas ekstrem-ekstrem yang sekarang mendominasi. Cara yang ditempuhnya adalah memudahkan orang membangun di atas karya orang lain, dengan cara memudahkan para pencipta untuk membebaskan orang lain mengambil dan membangun di atas karya-karya mereka. Kode-kode sederhana yang disertai dengan penjelasan yang mudah dibaca manusia dan terikat pada lisensi yang tahan peluru membuat usaha ini mungkin dilakukan. (Lessig, 2011, h.135) Hal yang mendasari lahirnya Creative Commons seperti yang dijelaskan dalam web mereka creativecommons.org adalah akses secara universal untuk riset, edukasi dan budaya memungkinkan dibuat oleh internet, tetapi sistem legal dan sosial

tidak selalu memungkinkan ide tersebut terjadi. Hukum hak cipta diciptakan jauh sebelum munculnya internet, dan dapat membuat sulit untuk melakukan sesuatu yang diambil dari internet, seperti menyalin, menyalin, mengedit sumber dan mempublikasikannya kembali dalam sebuah di web. Pada dasarnya Lessig (2004, h.47) hanya menekankan pada pembebasan penggunaan isi, meski pada awalnya kemunculan lebih kepada pembebasan dari copyright dan menfasilitasi kreativitas bebas. Lessig berargumen bahwa seiring kita menciptakan teknologi yang memudahkan kita untuk meleburkan gambar bergerak dan suara, serta menambahkan ruang opini dan kesempatan menyebarkan kreativitas, hukum diciptakan untuk menutup teknologi tersebut. 3. Netlabel dalam perspektif Komunikasi Laswell dalam Mulyana (2005, h.69) menyebutkan bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? Sedangkan Menurut Shannon & Weaver dalam Cangara (1998, h.20) komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. Secara umum, komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui medium tertentu dan mendapatkan kesamaan makna. Akan tetapi komunikasi juga dapat dilihat sebagai makna pertukaran sosial yang hasilnya adalah ukuran atau tanda hubungan sosial. Dari prespektif ini Mosco (2009, h.6) menjelaskan komunikasi lebih dari sekedar transmisi data atau informasi. Komunikasi adalah produksi makna sosial yang membentuk sebuah hubungan. Mosco (2009, h.2) melihat ada beberapa poin penting untuk melihat komunikasi sebagai bentuk nilai pertukaran 5 sosial. Pertama, komunikasi pada tataran tertentu akan mengalami komodifikasi. Komodifikasi disini dapat diartikan sebagai sebuah proses transformasi nilai guna menjadi sebuah nilai tukar. Kedua, Spasialisasi adalah bagaimana proses mengatasi kendala ruang geografis dengan, antara lain melalui media massa dan teknologi komunikasi. Dan yang ketiga adalah strukturisasi, adalah proses menciptakan hubungan sosial, terutama pengaturan kelas sosial, gender dan ras. Bentuk-bentuk dalam melakukan komunikasi pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui musik. Musik adalah sarana fundamental dari komunikasi. MacDonald, Hargreaves, Miell (2002, h.1) menilai musik menyediakan sarana dimana orang dapat berbagi emosi, niatan dan makna meskipun bahasa lisan mereka mungkin tidak saling mengerti. Bradley (1981) dalam (Burnett, 1996, h.1) menjelaskan bahwa musik juga memberikan sebuah garis hidup yang penting untuk interaksi manusia bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus sebuah cara lain dalam mengatasi kesulitan berkomunikasi. Musik banyak dianalisa oleh para peneliti dalam berbagai kajian, baik melalui kajian secara tekstual maupun melalui kajian budaya. Musik itu sendiri menurut Burnett (1996, h.29) dapat dan telah digambarkan dalam berbagai cara, seperti budaya rakyat, budaya tinggi, sebagai budaya massa dan budaya populer. Untuk menemukan definisi tunggal yang akan memenuhi semua itu merupakan hal yang tidak mungkin dan memang tidak ada gunanya. Sebagaimana pesan yang bisa terkomodifikasi, melalui proses distribusi dan akhirnya dikonsumsi. Sirois dan Wasko dalam (Wasko dkk, 2011, h.332) menilai musik dengan diperkenalkannya teknologi rekaman, dengan cara apapun pada akhirnya dikomodifikasi dan industri rekaman musik tumbuh menjadi komponen yang tangguh dalam industri budaya. Teknologi terkini dalam konteks saat ini adalah teknologi digital yang mengurangi baik biaya produksi dan

distribusi, dan, menurut Fox (2004) dalam (Wasko dkk, 2011, h.349) meihat berkurangnya kontrol industri atas produksi musik dan hegemoni sejarah mayor label atas metode distribusi tradisional. Akhirnya, pada tahun 2009, industri rekaman mulai memanfaatkan distribusi digital, merupakan sebuah contoh nyata lainnya tentang bagaimana perusahaan rekaman besar mengikuti tren daripada mengatur mereka. Industri mencoba menguasai alur distribusi bukan tanpa sebab. Alur distribusi utamanya kini melalui distribusi digital masih menjadi ladang uang bagi industri. Setelah mengatur pendapatan dari musisis melaui hak cipta kini industri berusaha menguasai alur ditribusi digital melalui internet. Sebuah jaringan distribusi yang kuat akan memastikan bahwa album akan berakhir di pengecer dan akhirnya berada di tangan konsumen. Oleh karena itu, kontrol atas distribusi mengarah pada kontrol pasar dan industri. Dengan demikian perusahaanperusahaan besar sedang berusaha untuk menemukan cara untuk mendominasi saluran distribusi digital. (Wasko, Murdock, Sousa, 2011, h.349) Digitalisasi dan kemajuan internet pada akhirnya menuntun manusia pada umumnya untuk melakukan penyesuaian dalam memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi pesan. Dalam Industri musik kehadiran Internet label (netlabel) merupakan salah satu dari bentuk penyesuaian tersebut. Netlabel pada akhirnya menghadirkan pilihan baru bagi musisi dalam melakukan produksi dan distribusi karya musik. Penikmat musik pun kini diberikan cara-cara baru dalam mengonsumsi karya musik. Netlabel adalah sebuah tanda protes terhadap komersialisasi berlebihan industri musik, dimana uang yang selalu berbicara, dan merupakan perlawanan terhadap menurunnya ruang publik (Timmers, 2005, h.8). Netlabel dekat dengan ide-ide free Culture dalam melakukan kegiatannya, baik produksi, distribusi maupun bentuk konsumsi oleh pendengarnya. Ide ini menawarkan sebuah konsep dasar yaitu penggunaan karya secara bebas. Pengertian bebas adalah bebas untuk digunakan, 6 dipelajari, dibagi dan dimodifikasi. Bentuk lisensi bebas yang digunakan netlabel juga dibawa dari ide free Culture, berbeda dengan label dalam industri musik yang menitik beratkan untuk meraih keuntungan dari musisi dengan kontrol hak cipta, dan distribusinya. Penelitian ini mencoba menjelaskan netlabel Hujan! Rekords sebagai bentuk free Culture dan melihat bagaimana keterkaitan netlabel dan pemain utama dalam bidang musik yaitu industri. Melalui teori-teori yang dibangun dalam kerangka penelitian, diharapkan penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana netlabel menjadi sebuah alternatif distribusi musik bagi musisi dengan menggunakan studi netlabel Hujan! Rekords. C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Sebagaimana menurut Moleong (2006, h.6) Penelitian kualitati didasarkan pada upaya membangun pandangan untuk memahami fenomena secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sebagai salah satu ciri riset kualitatif, dalam penelitian ini berusaha menjelaskan sedalam-dalamnya bagaimana netlabel menjadi sebuah alternatif dalam distribusi musik. Keberadaan industri musik, musisi dan keberadaan pendengar musik juga tidak dapat dipisahkan konteks sosialnya karena aspek tersebut termasuk dalam satu konteks sosial yang utuh dan menyebabkan netlabel itu hadir sebagai sebuah alternatif dalam distribusi musik. Menurut Kriyantono (2013, h.1) penelitian kualitatif yang berangkat dari paradigma subjektif/interpretif (konstruktivis dan kritis) memiliki kekuatan pada kemampuan menggali dan memaknai data. Kehidupan sosial dimaknai sebagai hasil konstruksi dan pemahaman yang bervariasi dari individu dan jarang mengubahnya dalam bentuk bilangan-bilangan. Sedangkan dalam penjelasan yang lain, Neuman (2000,

h.40) menjelaskan bahwa penjelasan interpretif digunakan untuk menemukan makna dari seuatu peristiwa sosial dengan menempatkannya dalam sebuah konteks khusus. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Netlabel Hujan! Rekords sebagai bentuk Free Culture Awal mula berdirinya Netlabel Hujan! Rekords adalah melalui pengalaman Gilang Nugraha sebagai pendiri Netlabel Hujan! Rekords ketika bandnya dirilis oleh netlabel Trashfuck.net yang berbasis di Michigan, Amerika. Melalui pengalaman tersebut, Pada tahun 2006 Gilang mencoba membuat sebuah netlabel yang berbasis di kota Bogor. Gilang melihat netlabel pada umumnya sebagai sebuah bentuk Open platform. Sebuah wadah terbuka dimana netlabel dapat menjembatani komunikasi yang terjadi antara Hujan! Rekords, artis dan pendengarnya. Hujan! membuka peluang artis bertemu dengan orang-orang baru, membuka peluang terjadinya kerja kolaborasi dan inovasi didalamnya. Siklus interaksi sudah terjadi ketika penggemar mengunduh sebuah album dari artisnya. Dengan bentuk platform terbuka karya tersebut memungkinkan untuk di distribusikan secara bebas dan dirubah menjadi karya turunan yang lainnya. Logo Hujan! Rekords Perkembangan internet dan digitalisasi merupakan sebuah faktor bagi Hujan! Rekords untuk mendistribusikan musik melalui internet. Ketika awalnya tonggak distribusi musik berbentuk rilisanrilisan fisik seperti vinyil, kaset dan cd, kini bentuk distribusi musik mulai bergeser melalui distribusi bentuk musik secara digital. Dengan kemungkinan distribusi yang luas diharapkan musisi yang berada dalam Hujan! Rekords mampu 7 mendapatkan pendengar yang lebih luas pula. Sehingga pada akhirnya Hujan! Rekords melihat musik dari musisi didalamnya sebagai sebuah portofolio untuk mendapatkan sebuah tawaran mempresentasikan karyanya secara langsung. Free Culture bagi netlabel Hujan! Rekords merupakan sebuah terapan pemikiran dalam melakukan aktivitasnya. Gilang sebagai pengelola Hujan! Rekords pada awalnya tidak mengerti secara penuh konsep free Culture dan bentuk netlabel. Akan tetapi seiring banyaknya literatur dan jaringan antar netlabel yang yang terbangun di Indonesia, Hujan! Rekords akhirnya mampu mengadaptasi bentuk free culture didalam kegiatannya Proses memberikan musik gratis yang dilakukan oleh Hujan! Rekords dan kebanyakan netlabel merupakan satu semangat yang mengacu pada bentuk gift economy. Secara lebih sederhana, gift economy dipahami para penggerak netlabel seperti Gilang, sebagai sebuah sedekah yang dilakukannya dalam bidang musik. Pengaplikasian gift cconomy yang digunakan oleh netlabel menurut Nuraini Juliastuti 1 dalam diskusi INFTALK 2012 tidak bisa dilepaskan dari karya klasik antropologi The Gift (2012) karya Marcel Mauss. Dalam The Gift, Mauss menjelaskan dalam masyarakat Polynesia apabila ada kewajiban memberi, ada pula kewajiban untuk menerima dan ada juga kewajiban untuk memberi balasan. Praktik ekonomi ini deterapkan oleh netlabel dan musisi sebagai pemberi musik gratis. Lalu pihak yang diberi musik bisa sesama musisi atau pendengar yang berada diluar lingkaran tersebut. Nuraini melanjutkan bahwa daalam The Gift karya Mauss menyebutkan bahwa "hadiah tidak ada yang gratis". sehingga ada kewajiban memberi balasan atas hadiah yang diterima dalam hal ini adalah kotak 1 Merupakan peneliti dari KUNCI Cultural Studies Center. Dimana KUNCI berkecimpung dalam proses produksi dan berbagai pengetahuan kritis melalui publikasi media, perjumpaan lintas disiplin dan riset aksi, intervensi artistik dan pendidikan baik di dalam maupun di ruang komunitas.

donasi. Sebagai bentuk balasan atas praktikpraktik pemberian maka reaksi yang layak atas praktik tersebut adalah donasi. Akan tetapi tujuan yang lebih besar dari gift economy adalah membangun persekutuanpersekutuan baru, jaringan-jaringan persahabatan atau networking. Dalam praktik lanjutannya, Hujan! rekords melihat praktik balasan juga bisa diaplikasikan dalam bentuk yang beragam. Misalnya dengan menerapkan pay what you want, dalam artian memberi semaunya atas musik yang di unduh. Atau bisa juga menerapkan pay with tweet yang kita harus membagi ulang link unduhan dari musik tersebut di jejaring sosial pribadi kita, sehingga praktik-praktik berbagi bisa berjalan secara konsisten. Titik berat Hujan! Rekords dalam berbagi musik dan ilmu pengetahuan juga dilihat dari pengguanaan lisensi bebas bagi karya-karyanya. Hujan Rekords menggunakan lisensi Creative Commons yang pertama kali diperkenalkan oleh Lawrence Lessig 2. Ide dari Creative Commons (CC) adalah lisensi yang diterjemahkan dalam bentuk Layers atau lapisan. Dalam web www.creativecommons.org disebutkan bahwa Lisensi hak cipta CC merupakan paduan desain "tiga lapisan". Setiap lisensi dimulai dengan alat hukum tradisional, dalam bahasa dan format yang familiar bagi para ahli hukum. Lapisan ini disebut sebagai lapisan Lisensi Lengkap dari tiap lisensi yang ada. Selanjutnya Lisensi Ringkas, yaitu sebuah bentuk ringkas dari lisensi lengkap. Lisensi Ringkas adalah panduan singkat untuk pemberi dan penerima lisensi. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan cara sederhana 2 Lawrence Lessig adalah Profesor Roy L. Furman Hukum dan Kepemimpinan di Harvard Law school, dan direktur Edmond J. Safra Center for Ethics di Harvard University. Sebelum bergabung kembali dengan fakultas Harvard, Lessig adalah seorang profesor di Stanford Law School, di mana ia mendirikan Pusat sekolah untuk Internet dan Masyarakat, dan di University of Chicago. Dia dikenal dengan tulisannya tentang free culture dan kontribusinya sebagai dewan penasihat dari Creative Commons 8 sehingga dapat dipahami. Lapisan akhir dari desain lisensi mengakui bahwa perangkat lunak, dari mesin pencari yang ada di internet memainkan peran besar dalam penciptaan, penyalinan, penemuan, dan distribusi ciptaan. Versi lisensi yang "terbaca mesin" digunakan untuk memudahkan Web menemukan ciptaan yang ada dibawah lisensi Creative Commons. Hujan! Rekords menggunakan lisensi CC Unported 3.0 Atribusi- NonKomersial-Berbagi Serupa dalam merilis karya-karya artisnya. Artinya disetiap rilisan Hujan! Rekords, pendengar atau pengunduh karyanya dapat mengopi ulang rilisannya termasuk membuatnya dalam bentuk kepingan CD dan disebar secara luas secara nonkomersial secara legal. Materi-materi musik yang dirilis tadi diharapkan tidak digunakan oleh orangorang yang memanfaatkannya secara komersial. Akan tetapi kontrol kembali kepada artis tersebut, negoisasi penggunaan karya bagi kepentingan komersial dikembalikan pada artisnya. Lisensi CC tidak mengatur hak royalti, atau nilai materi yang didapkan melalui penjualan musik. karena netlabel dan lisensi CC ini tidak bermaksud menjual atau mendapatkan nilai materi dari menjual produk musik. Free Culture yang besar dengan teknologi digital, menekankan pentingnya berbagi ilmu pengetahuan. Dalam kajian netlabel adalah berbagi musik. Di dalamnya berkumpul orangorang dengan semangat berbagi, merangkul satu sama lain, tidak memprivatisasi suatu karya atau ilmu begitu dan itu menjadi ciri Hujan! Rekords. Hujan! Rekords dan free culture ini berupaya yang berjalan beriringan diantara label konvensional yang ada di industri. Hujan! Rekords diharapkan menjadi sebuah alternatif bagi musisi dan pendengar. Free culture diharapkan menjadi sebuah pilihan baru bagi musisi dalam memeperlakukan karyanya. Ketika musik sudah tidak lagi dijual, diharapkan musisi mampu memaksimalkan setiap tawaran untuk mempresentasikan musiknya baik secara motif ekonomi dan performa artistik.

Untuk saat ini yang menjadi perhatian Hujan! Rekords adalah bagaimana netlabel ini mendapat sebuah perhatian dari media dan masyarakat atas apa yang diakukannya. Sebuah perhatian yang nantinya akan membawa musisi yang bernaung didalamnya sebuah kesempatan untuk memperdengarkan musik yang lebih luas lagi dan berjejaring secara lebih besar lagi. Jaringan-jaringan tadi pada akhirnya membawa pengelola, pembuat, penikmat dan orang-orang yang peduli akan keberadaan musik netlabel mewadahi dirinya melalui Indonesian Netlabel Union dimana netlabel-netlabel ini berkolaborasi untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang memajukan dan utamanya menyebarkan semangat berbagi musik di Indonesia melalui netlabel. Tidak hanya menyediakan musik bebas melalui media internet, akan tetapi setiap individu memiliki kebebasan untuk menggandakan, mendistribusikan, dan mengubah musik untuk keperluan pribadi yang nonkomersil sesuai dengan filosofi musik bebas. Logo Indonesian Netlabel Union Sumber : www.indonesiannetlabelunion.net Web utama meraka yang bernama www.indonesiannetlabelunion.net memberikan daftar yang lengkap tentang keberadaan netlabel yang ada di Indonesia. Mereka juga memberikan informasi kegiatan yang sedang dilakukan dan juga info rilisan musik terbaru. Netlabel, musisimusisi yang ada dalam didalam netlabel dan penikmat dari musik tersebut kemudian menjadi sebuah jejaring besar yang dinamakan komunitas netaudio. 9 2. Netlabel dalam kajian Industri Budaya Seni utamanya musik di masa kini oleh industri ditempatkan sebagai sebuah komoditi yang memiliki nilai jual. Hal ini menyebabkan musik menjadi salah satu jenis produk untuk dikonsumsi bahkan lebih daripada arti musiknya sendiri. Adorno dalam O'Connor (2010, h.11) melihat di bawah kapitalisme monopoli, seni dan budaya sekarang telah direduksi pada semangat ekonomi. Industri mayor menempatkan musik sebagai sebuah komoditi yang diperjual belikan, melalui penjualan fisik, digital maupun dalam bentuk-bentuk pertunjukan panggung dan pengelolaan marchendising. Adorno dalam Strinati (2010, h.101) berpendapat kunci kapitalis yang berputarputar disekitar produksi, pemasaran, dan konsumsi akan selalu mendominasi kebutuhan riil manusia. Dalam hal ini musik tidak ditempatkan sebagai apresiasi dari sebuah karya artistik. Horkheimer & Adorno dalam Burnett (1996, h. 30) berargumen bahwa budaya massa menuntun kepada hemogenitas. Standarisasi dan produksi massa menghasilkan kurangnya bentukbentuk budaya yang tersedia bagi khalayak. Bukannya menghasilkan ide-ide baru, pesan dan nilai-nilai yang diekspresikan melalui seni dan musik, disini ada pengurangan secara sistematis dalam jumlah ide-ide baru yang disajikan. Keseragaman musik yang dibawa oleh pasar mayor, membuat netlabel merasa berkebutuhan untuk menyampaikan musik lain diluar pasar mainstream yang juga berkualitas atau bahkan lebih baik secara kualitasnya. Dengan melakukan kegiatan berbagi musik dalam konteks gift economy, Hujan! Rekords digunakan oleh pengelolanya untuk berekspresi dalam bidang musik, menyebarkan rilisan musik yang dianggap bagus dan membuat kepuasan tersendiri bagi Hujan! Rekords dibanding memanfaatkan musik dalam motif ekonomi. Musik popular sebagaimana halnya sebuah budaya yang diproduksi massal mempunyai karakteristik yang sama dengan

bentuk lain yang dihasilkan industri budaya. Kellner (2003, hal.29) menjelaskan bahwa artefak dari industri budaya memiliki mempunyai fitur yang sama dengan produk lainnya dari produksi massal, yaitu melalui proses komodifikasi, standardisasi, dan massifikasi. Dalam melakuakan kegiatannya, sebenarnya apa yang dilakukan Netlabel juga tidak lepas dari pola-pola yang dibawa oleh label mayor pada umumnya, dalam Hujan! Rekords ada pola-pola komodifikasi, standarisasi dan massifikasi bagi musik rilisannya. Akan tetapi motif dalam menjalankan bentuk labelnya menjadi sebuah pembeda bagaimana proses tersebut akan berlangsung. Komodifikasi Netlabel Hujan! Rekords Komodifikasi yang menurut Adorno (Strinati, 2010, h.108) merupakan produkproduk yang dihasilkan untuk konsumsi oleh massa dan pada suatu takarannya besar menentukan sifat konsumsi itu, yang dibuat kurang lebih sesuai rencana. Atau yang disebutkan Mosco (2009, h.2) sebagai sebuah proses transformasi nilai guna menjadi sebuah nilai tukar. Musik ketika berada dalam kajian musik populer tidak dipandang sebagai sebuah bentuk artistik akan tetapi sebagai sebuah komoditi untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya. Sebagaimana Burnett (1996, h.35) lihat Untuk memaksimalkan keuntungan satu hal yang harus dicapai adalah kemungkinan mencapai jumlah terbesar konsumen. Perusahaan rekaman, musisi dan stasiun radio sangat menyadari fakta ini dan kemudian sering mencoba untuk mengarahkan produk mereka sehingga untuk menyenangkan sebanyak mungkin (orang) dan dengan demikian memaksimalkan keuntungan. McQuail dalam Burnett (1996, h.35) menunjukkan bahwa komersialisme berlebih dalam komunikasi massa pasti mengintensifkan persaingan untuk khalayak yang besar dan dalam kondisi saluran "langka" akan lebih mengarah ke pengabaian kepentingan-kepentingan minoritas dan selera. Dalam pengertian ini, bisa ditekankan bahwa musik yang mempunyai kemungkinan kecil untuk 10 terjual di pasaran maka akan terpinggirkan dengan sendirinya karena tidak menghasilkan uang. Grup musik Afternoon talk asal Lampung dan album Self titled. Hujan! Rekords sebagai salah satu dari sekian banyak bentuk memfasilitasi musik-musik yang lepas di pasaran, netlabel dengan bebas merilis genre musik yang beragam dan tidak tertendensi oleh selera pasar. Genre musik folk yang dibawa oleh Afternoon talk, toytronic yang dibawakan oleh Bottlesmoker ataupun kompilasi dari musik digital bertajuk milisi digital dirilis oleh netlabel Hujan! Rekords yang mungkin apabila dilepas di pasar mainstream tidak dapat terjual secara masif. Bottlesmoker dan Album Let's Die Together Hujan! Rekords sebenarnya juga melakukan pola-pola komodifikasi yang terjadi di industri major bada umumnya, hanya saja dengan motif dan semangat yang berbeda dengan mayor label membuat komodifikasi ini juga berbeda bentuknya. Komodifikasi yang dilakukan Hujan! Rekords menempatkan musik tidak dalam tataran merubah nilai guna dari musik tersebut menjadi nilai yang materi yang diukur oleh uang. Free culture yang menjadi paham berpikir Hujan! Rekords menitik beratkan kepada musik untuk penyebaran musik yang lebih luas. Hujan! Rekords melepas secara bebas dan gratis musiknya sampai dalam tataran penggunaan bebas yang legal di ranah non-komersil bagi konsumennya. Penjualan album untuk saat ini dirasa tidak signifikan karena bentuk perhitungan royalti juga tidak mewakili musisi kebanyakan. Courtney Love dalam

David (2009, h. 124) berbicara jumlah pendapatan musisi di Amerika, dimana ratusan ribu orang Amerika membuat uang dari musik, hanya sekitar lima belas persen yang melakukannya sebagai sarana utama mereka mencari nafkah dan besarnya pendapatan yang diterima bukan dari sistem kerja royalti. Argumen Love selanjutnya adalah jika perhitungan penjualan gold dan platinum diperlukan oleh musisi untuk hidup sehari-hari, hanya sejumlah kecil seniman saja yang sanggup mencapai tingkat keberhasilan tersebut. Disini jelas terlihat bahwa dari semua miliaran dolar yang dibayarkan oleh pendengar, dan ratusan jutaan dolar yang dibuat laba, industri rekaman adalah mekanisme yang tidak efektif untuk menghargai seniman kreatif. Dalam artikelnya di Wired.com, David Byrne 3 melihat bahwa kecilnya insentif yang masuk bagi musisi, dalam kasus penjualan album CD, Perusahaan rekanaman menangani pembuatan, distribusi, media dan promosi, sehingga artis mendapatkan presentasi royalti setelah semua biaya-biaya ini dibayarkan. Dan label (dimana musisi bernaung) mempunyai hak cipta rekaman dari artis tersebut selamanya. Dan untuk beberapa kasus yang dialami Pop Star dikemukakan Byrne seringkali hidup dalam hutang kepada label rekamannya. Michael Jakcson, MC Hammer dan TLC merupakan salah satu contoh nyatanya. Hujan! Rekords dengan gagasan free culture melihat musik dibiarkan menyebar tanpa harus dibayarkan secara komersil, tapi itu adalah bagian dari modal bagi artis dan diletakkan juga sebagai komoditas. Nilai ekonomis dalam musik tersebut tidak bekerja tidak secara langsung, musisi masih 3 David Byrne adalah musisi Skotlandia yang tinggal di Amerika. Merupakan pendiri dan songwriter di band new wave Taking Heads yang merilis sendiri musik yang dihasilkan. Salah satu tulisannya mengenai industri musik yang berjudul David Byrne's Survival Strategies for Emerging Artists and Megastars ditulis di wired.com portal berita tentang transportasi, teknologi, produk baru, games, bisnis, budya dan ilmu pengetahuan. 11 dapat menggunakan modal tersebut untuk kepentingan dikenal oleh masyarakat. Ketenaran ini yang selanjutnya mendatangkan nilai ekonomis yaitu dengan menjual penampilan panggung. Model distribusi Netlabel Hujan! Rekords Hujan! Rekords melihat bentuk konsumsi tersebut sebagai bentuk apresiatif penggemar atas rilisan musik gratis yang diberikan musisi. Netlabel memanfaatkan pola konsumsi kebanyakan masyarakat yang lebih memilih marchendise musisi dibanding musiknya sendiri sebagai jalan bagi musisi untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Musisi dengan bebas dapat mengeksplorasi kemungkinankemungkinan mendapatkan keuntungan tersebut untuk kelangsungan bermusik. Hujan! rekords hanya berkebutuhan menyampaikan musik yang dianggap bagus dan perlu diperdengarkan kepada khalayak luas. Motif bermusik dari seorang musisi atau band juga tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana akhirnya pola penjualan beserta konsumsinya dijalankan. Musisi yang ada di Hujan! Rekords kebanyakan berkarya untuk menyalurkan apresiasi dibanding untuk menjual karya seninya. Sehingga terkadang bagi musisi seperti ini, hal-hal semacam penjualan dan bagaimana musik ini digunakan bukan menjadi sebuah prioritas yang utama. Metode Hujan! Records dan free Culturenya pada akhirnya membentuk sebuah konsumen musik bebas itu sendiri. Konsumen yang megonsumsi musik dan mengapresiasinya lebih lanjut. Hilangnya kesadaran atas konsumsi musik dan pernakperniknya oleh masyarakat karena diarahkan oleh industri sebagaimana yang dilihat Adorno bisa tak terjadi dalam pola yang dibawa oleh netlabel. Munculnya pendengar setia dan orang-orang yang dengan sukarela, mendistribusikan dan menggunakannya, juga memunculkan

konsumen musik yang secara tulus mengapresiasi dengan membeli pernakpernik yang ditawarkan. Melalui penyebaran musik secara bebas, diharapkan akhirnya musisi tersebut bisa menjadi dikenal secara luas dan mempunyai kesempatan untuk menjual dirinya dalam kepentingan materi ataupun dalam hal presentasi karya secara artistik. Komunitas netaudio dan penggemarnya kini telah hadir untuk membantu distribusi peredaran musik bebas tersebut. Kegiatan offline dalam bentuk festival juga sudah berjalan secara rutin dilakukan oleh indonesia netlabel union sebagai wadah besar netlabel di Indonesia, dan seberapa banyak partisipasi peserta dalam even tersebut bisa menjadi indikator bagaimana musik bebas ini pada akhirnya terus berkembang. Standarisasi dan Massifikasi Netlabel Hujan! Rekords Sejalan dengan terjadinya komodifikasi, dalam hal ini juga terjadi standarisasi karya-karya dalam industri budaya. Adorno (Strinati, 2010, h.109) melihat secara Industrial, produksi budaya merupakan sebuah proses standarisasi tempat produk-produk tersebut mendapatkan bentuk yang sama pada semua komoditas. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Label dalam industri musik mempunyai standar untuk mengkontrol produk sebelum akhirnya menjual produk musik tersebut. Standarisasi sebagai kontrol ini menjadi sangat penting karena hal ini yang menjadi modal awal dimana nantinya label memainkan kebutuhan selera pasar. Sebagaimana budaya yang terindustrialisasi mengharuskan adanya keuntungan ekonomi. Standarisasi yang dilakukan industri sudah ditentukan sebelumnya, yaitu musik yang dijual laku dipasaran. Adorno (dalam Strinati, 2010, h.112) seperti kritiknya terhadap musik pop, melihat ada sebuah standar, sehingga musik pop terdengar mirip satu sama lainnya. Sebuah keseragaman yang orientasinya berakhir 12 pada rumusan banyaknya keuntungan yang diperoleh dari musik yang terjual. Mayor label lebih berkebutuhan pada banyaknya keuntungan yang diperoleh dan bagaimana mayor label menjalankan penjualan di pasar industri musik dengan menerapkan desain standarisasi dan keseragaman tipe serta kualitas musik. Standar mayor label tersebut membekukan ruang gerak musisi untuk berkarya dalam konteks ragam karya yang dihasilkan. Standarisasi tersebut mengarahkan para musisi untuk membuat keseragaman jenis karya. Karena keseragaman tersebut juga merupakan sebuah elemen untuk pemenuhan kualitas sebelum produk musik tersebut dijual dipasaran. Dalam penerapan standariasi, netlabel melakukan hal yang sedikit berbeda. Kontrol yang dijalankan oleh netlabel Hujan! Rekords adalah bentuk standarisasi musik dari artis yang akan dirilis. Musik yang masuk ke Hujan! Rekords sebelum di rilis akan melalui proses kurasi. Dimana proses ini berjalan dengan cara mendengarkan bersama-sama dengan tim lalu menentukan apakah musik tersebut layak dan cocok mewakili jenis musik Hujan! Rekords. Tidak ada indikator khusus untuk menentukan rilisan Hujan! Rekords. Bagi Hujan! Rekords kualitas rekaman musik yang baik untuk didengar, dan genre musik yang tidak banyak ditemukan dipasaran menjadi bahan pertimbangan bagi Hujan untuk merilis karya musik dari seorang musisi. Tahapan rilis musik Hujan! Rekords Hujan! Rekords mencoba merilis genre musik yang tidak popular di industri musik. Dalam artian Hujan! Rekords mencoba menawarkan jenis musik lepas dari keseragaman yang ditawarkan oleh industri budaya. Pemilihan genre musik yang akan dirilis juga tidak terlepas dari selera yang dimiliki oleh Gilang dan tim

yang melakukan proses kurasi. Oleh karena itu budaya selera dari netlabel mewakili jenis rilisan musik netlabel tersebut. Musik bisa menjadi bagus menurut selera kurator dan jelek menurut kurator yang ada di Hujan! Rekords. Standarisi yang dilihat oleh peniliti adalah standar yang sifatnya teknis seperti format rilisan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan identitas bahwa musik tersebut telah dirilis melalui netlabel Hujan! Rekords. Kode rilisan ini juga bertujuan untuk merapikan data digital rilisan yang nantinya akan di unggah kedalam web Hujan!. Seperti misalnya dalam rilisan hujan terdapat sebuah kode rilis dengan format Hujan00X- musisi - judul album - tahun rilis. Dalam setiap rilisan Hujan! juga ada desain artwork, halaman CD digital dan penulisan linear notes atau prakata mengenai rilisan musik tersebut. Disini musisi dan Hujan! berkolaborasi. Ketika musisi kehabisan tenaga kreatif, Hujan! mencoba menawarkan alternatif seperti menulis rilisan itu sendiri ataupun ditulis oleh orang-orang dalam jaringan pertemanan Hujan!, seperti blogger musik, pengamat musik maupun jurnalis-jurnalis musik independen. kerja sama antara label dan musisi, mengontrol kreatifitas musisi dengan argumennya membuat musik untuk laku di pasaran. Seperti yang dijelaskan Albini dalam David(2009, h.123) Band dengan kontrak jutaan dolar mengikat mereka untuk empat tahun dengan jumlah album yang spesifik. Penandatanganan kontrak baru berarti band mendapat promosi dan distribusi yang lebih baik, dan ini berarti mereka dapat bermain tempat yang lebih besar dengan merchandising dan penerbitan penawaran yang lebih baik. Dengan asumsi penjualan dari seperempat juta album per tahun, pada akhir tahun pertama band ini masih akan berutang uang perusahaan rekaman. Royalti mengumpulkan penjualan tidak akan menutupi prosentase biaya produser, anggaran promo dan pelepasan band tersebut dari label independen. Sementara biaya rekaman, musik video, sampul album dan peralatan band menghabiskan hampir semua biaya. Dalam tabel penjualan CD yang dikemukakan Byrne, dapat dilihat prosentase royalti yang didapatkan musisi hanya sebesar 10 persen dari total 100 persen penerimaan penjualan CD. Biaya dan keuntungan lebih besar masuk kepada label dan produser yang menaungi band tersebut. Model format rilisan Hujan! Rekords [Hujan010]Chamberlain_- _The_Wild_And_The_Innocent_EP_(2010) Standarisasi yang menjaga dominasi dari industri budaya juga terlihat dari bagaimana hak cipta memainkan peranannya. Industri menjadikan hak cipta sebagai kendaraan untuk meraih profit yang sebesar-besarnya bagi industri. Pendapatan dari hak cipta jumlahnya tidak seberapa bagi musisi yang menciptakan karya. Label menggunakan hak cipta sebagai pengikat 13 Grafik penerimaan royalti dari penjualan album cd Sumber : David Byrne's Survival Strategies for Emerging Artists and Megastars (Wired.com) Perkembangan internet dan kemudahan file sharing yang tidak dilirik oleh industri musik, kini mulai melakukan distribusi jalur online dan melakukan penjualan berbasis internet. Menurut Tschmuck (2012, h.190) perkembangan berbagi file dapat diartikan dalam konteks ini bukan sebagai penyebab tetapi sebagai

gejala dari revolusi digital dalam industri musik. Munculnya lisensi resmi yang bersifat online juga distribusi melalui mobile menyebabkan dipercepatnya pergeseran dari penjualan album musik ke penjualan single musik. Industri kini mulai mencoba mendominasi pasar musik yang sebelumnya tidak terjamah. Dalam kelanjutannya merk dagang Apple dapat mengatur semua lisensi musik penting, terutama dari label rekaman mayor dan menyediakan kalalog musik. ITunes diibaratkan sebagai medium unduhan musik cepat saji yang menyediakan musik dalam format AAC (Advance Audio Coding) yang merupakan suksesor dari format MP3. Menurut Byrne dalam tabel penerimaan royalti dari penjualan musik Itunes, penjualan digital memungkinkan konsumen bisa membeli satu album rekaman dengan harga 10 Dolar terlihat adil pada awalnya. Apple Itunes mengeambil 30 persen saham presentase royalti yang didapat artis justru lebih kecil dibanding menjual rilisan CD. Penerimaan royalti dari penjualan musik melalui itunes Sumber : David Byrne's Survival Strategies for Emerging Artists and Megastars (Wired.com) Hujan! Rekords tidak mengatur pemasukan bagi musisi termasuk penghitungan royalti didalamnya. Melalui free Culture, musik yang dirilis akan dilinsesikan melalui Creative Commons. Tujuannya seperti yang dijelaskan dalam bahasan sebelumnya adalah untuk kepentingan penggunaan karya musik tersebut. Budaya berbagi ilmu pengetahuan dan musik agar bisa diakses siapa saja, menjadi bangunan utama dalam rilisanrilisan album musik yang dirilis netlabel Hujan! Rekords. Free Culture alih-alih berusaha mengontrol rilisan tersebut justru menempatkan musisi sebagai pemilik 14 kontrol penuh terhadap rilisan musiknya. Ketika menggunakan Lisensi yang dibawa netlabel yaitu lisensi Creative Commons, maka karya tersebut pada akhirnya bebas digunakan, didistribusikan ulang, dan ditransformasikan dalam bentuk lain sebatas kepentingan non-komersial. Netlabel tidak memiliki kepentingan terhadap bentuk penggunaan komersial rilisan tersebut, musisi memiliki hak penuh atas penggunaan karyanya. Peneliti melihat bahwa sebenarnya dalam industri musik yang didalamnya ada jalur utama yang digunakan sebelumnya yaitu mayor label dan digagas oleh netlabel sama-sama punya standar meskipun berbeda orientasi. Jika dianalogikan industri musik itu adalah sebuah pasar, mayor label dengan orientasi keuntungan materi yang lebih menguntungkan mayor label daripada musisi. Sebuah alternatif baru muncul dan coba dibuka oleh netlabel yang berorientasi pada free Culture dan semangat berbagi musik. Tanpa mengatur perhitungan royalti, netlabel membebaskan metode penjualan yang dilakukan artisnya Standarisasi lain yang dilakukan kedua bentuk label ini adalah sebagai kontrol kualitas produk yang akan dipasarkan. Akan tetapi kembali lagi meskipun ada standarisasi, pembeda keduanya adalah orientasi dan motif dalam merilis musik dari artisnya. Salah satu kekuatan industri budaya dalam melangsungkan hegemoninya adalah melalui kontrol baik dalam masyarakat maupun pencipta untuk mengonsumsi komoditas yang dihasilkannya yan didasari semangat kapitalistik. Dalam rangka menjaga hal tersebut industri menuntut proses penyebaran dan konsumsi komoditi yang massif melalui berbagai media. Netlabel yang ditujukan sebagai budaya alternatif tidak dimaksudkan untuk melawan dominasi tersebut. Netlabel Hujan! Rekords lebih mendeskripsikan dirinya sebagai sidestream dari dominasi industri musik mainstream.