TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

BAB I PENDAHULUAN I.1

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

PENGUKURAN LOW WATER SPRING (LWS) DAN HIGH WATER SPRING (HWS) LAUT DENGAN METODE BATHIMETRIC DAN METODE ADMIRALTY

BAB 2 DATA DAN METODA

Bathymetry Mapping and Tide Analysis for Determining Floor Elevation and 136 Dock Length at the Mahakam River Estuary, Sanga-Sanga, East Kalimantan

III - 1 BAB III METODOLOGI

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

STUDI PEMETAAN BATIMETRI DAN ANALISIS KOMPONEN PASANG SURUT UNTUK PENENTUAN ALUR PELAYARAN DI PERAIRAN PULAU GENTING, KARIMUNJAWA

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SUNGAI CARANG KOTA TANJUNG PINANG. Harmi Yuniska Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH,

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

KONDISI BATIMETRI DAN SEDIMEN DASAR PERAIRAN DI KOLAM PELABUHAN CARGO PT. PERTAMINA RU VI BALONGAN, JAWA BARAT

BAB 3 METODOLOGI. Gambar 3.1 Foto stasiun pengamatan pasut di Kecamatan Muara Gembong

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN BREAKWATER DI PELABUHAN BANTAENG

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

PEMETAAN BATIMETRI DAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LUNCI, KABUPATEN SUKAMARA, KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode pengukuran kedalaman menggunakan alat perum gema untuk menghasilkan peta batimetri

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling System 8.

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016, Halaman Online di :

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

Analisis Perbandingan Latency Hasil Patch Test dengan Latency Real Titik Fiks Perum pada Survei Hidrografi (Studi Kasus: Pelabuhan Tanjung Benoa Bali)

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

BAB I PENDAHULUAN I.1.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

PEMETAAN KEDALAMAN PERAIRAN SEBAGAI DASAR EVALUASI ALUR PELAYARAN PLTU SUMURADEM KABUPATEN INDRAMAYU

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di :

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

Studi Pemetaan Batimetri dan Analisis Komponen Pasang Surut Untuk Menentukan Elevasi dan Panjang Lantai Dermaga di Perairan Keling, Kabupaten Jepara

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

SURVEI BATHIMETRI UNTUK PENGECEKAN KEDALAMAN PERAIRAN WILAYAH PELABUHAN KENDAL TUGAS AKHIR. Oleh: AHMAD HIDAYAT L2M009036

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

Batimetri dan Cara Penentuannya

BAB III METODOLOGI. Start. Persiapan Survey Lokasi Studi Pustaka Nota Desain Studi Dan Perencanaan Teknik Pengaman jalur pipa Mundu.

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SURVEY PELABUHAN DAN PERAIRAN PANTAI

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman Online di :

Pemetaan Batimetri dan Sedimen Dasar di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI DAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN DALAM USAHA TRANSPORTASI HASIL PERTAMBANGAN BATUBARA

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu pada tingkat kepercayaan 95 % untuk dikaji dan dilaporkan pada akhir survei. Di bawah ini adalah ringkasan standar ketelitian pengukuran pada survei hidrografi : Contoh jenis-jenis daerah/ area Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi ORDO KHUSUS 1 2 3 Pelabuhan, tempat Pelabuhan, alur Area yang tidak sandar dan alur kritis pendekat pelabuhan disebut pada ordo yang berhubungan haluan yang dianjurkan khusus dan ordo 1 dengannya dimana dan daerah-daerah atau area dengan kedalaman air dibawah pantai dengan kedalaman s/d 200 m. lunas minim. kedalaman s/d 100 m. Daerah lepas pantai yang tidak disebut dalam ordo khusus, dan ordo 1 serta ordo 2. Ketelitian Horisontal (95% Confidence level) (1) Ketelitian kedalaman yang disurutkan (95% CL) (1) 2 m 5 m + 5% kedalaman 20 m + 5 % kedalaman a = 0,25 m b = 0,0075 a = 0,5 m b = 0,013 a = 1,0 m b = 0,023 150 m + 5 % kedalaman sama dengan ordo 2 Penelitian dasar laut secara 100 % Kemampuan sistem deteksi Maximum jarak antara lajur perum (4) wajib (2) benda-benda > 1 m2 Tidak berlaku karena diwajibkan pemeriksaan dasar laut secara 100% Diperlukan pada area mungkin diperlukan tertentu (2) pada area tertentu benda-benda > 2 m2 sama dengan ordo 1 pada kedalaman s/d 40 m atau benda-benda berukuran 10% kedalaman pada kedalaman lebih dari 40 m (3) 3 x kedalaman ratarata atau 25 m, mana kedalaman atau 200 3-4 x rata-rata yang lebih besar m, mana yang lebih besar tidak diperlukan tidak diperlukan 4 x rata-rata kedalaman

2 Catatan: a. Untuk menghitung batas kesalahan ketelitian kedalaman, nilai a dan b sesuai pada tabel 1 harus dimasukan dalam rumus : a 2 + ( 2 Dimana : a : Konstanta kesalahan kedalaman, yaitu jumlah dari semua konstanta kesalahan. b x d : Kesalahan kedalaman lain, yaitu jumlah semua kesalahan kedalaman yang lain. b : Faktor pengganti kesalahan kedalaman lain. d : Dalam. b. Dengan maksud keamanan pelayaran, untuk menjamin kedalaman minimum di daerah tersebut, penggunaan alat pemaritan mekanik tertentu yang dipilih dengan cermat, dianggap cukup memadai bagi survei ordo khusus dan ordo 1. c. Nilai 40 m dipilih dengan mempertimbangkan draft kapal maximum yang diharapkan lewat. d. Jika digunakan prosedure yang meyakinkan adanya kecukupan data perum jarak antara lajur perum dapat diperlebar. Baris-baris pada tabel dapat dijelaskan sebagai berikut : Baris ke 1, Contoh tipe-tipe area memberikan contoh dimana ordo survei tersebut umum diperlakukan. Baris ke 2, Ketelitian horisontal daftar ketelitian alat penentu posisi yang harus dipenuhi dalam setiap ordo.

3 Baris ke 3 Ketelitian kedalaman parameter yang ditentukan untuk digunakan dalam menghitung ketelitian kedalaman yang disurutkan dalam setiap ordo survei. Baris ke 4 Penelitian 100% dasar laut menyebutkan keadaan dimana penelitian dasar laut secara menyeluruh harus dilakukan. Baris ke 5 Kemampuan sistim deteksi menyebutkan kemampuan sistim deteksi yang digunakan dalam penelitian dasar laut. Baris ke 6 Maximum jarak antar lajur perum harus diartikan sebagai : o Jarak antar lajur perum untuk Single Beam Sounder. o Jarak antar batas terluar satuan bagi Swath Sounding System. Tabel 2 Standar Minimal Untuk Alat Bantu Navigasi dan Obyek obyek Penting Alat bantu navigasi tetap dan benda-benda penting bagi navigasi ORDO KHUSUS SURVEI ORDO 1 SURVEI ORDO 2 DAN 3 2 m 2 m 5m Garis pantai 10 m 20 m 20 m Posisi rata-rata alat bantu 10 m 10 m 20 m navigasi terapung Benda-benda topografi 10 m 20 m 20 m 2. Datum Horisontal Datum horisontal harus menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95). 3. Datum Vertikal Titik Tetap Perum (Sounding datum) Penentuan datum vertikal mengacu pada muka surutan yang ditentukan melalui pengamatan pasut pada stasiun permanen atau temporal yang dilakukan minimal selama 29 hari. Nilai datum ditetapkan dari nilai hitungan Lowest Low Water (LLW) pada stasiun-stasiun pasut tersebut.

4 4. Penentuan Posisi Penentuan posisi dilakukan untuk semua titik perum, alat bantu navigasi serta kenampakan-kenampakan yang diperlukan atau direkomendasikan dalam survei hidrografi dengan ketelitian sesuai ordenya. Ketentuan ketelitian pengukuran disajikan pada Tabel 1. 5. Titik Kontrol Horisontal Agar sistem koordinat hasil pengukuran atau penentuan posisi terikat dalam sistem koordinat nasional, maka harus dibuat titik-titik kontrol horisontal dan diikatkan pada sistem kerangka horisontal nasional. Dalam hal ini dapat diikatkan pada sistem kerangka horisontal nasional pada orde yang lebih tinggi dari pada orde survei hidrografi yang dilakukan. Lokasi titik kontrol horisontal dinyatakan oleh suatu pilar titik kontrol yang dilengkapi dengan deskripsinya. Pembuatan titik kontrol di darat harus mengikuti spesifikasi titik kontrol horisontal yang telah ditetapkan (SNI No. 19-6724-2002) Spesifikasi Titik Kontrol (BM) utama (menurut standar Pilar GPS orde-1) adalah: Ukuran BM adalah : (30 x 30 x 100) cm Ukuran sayap bawah : (80 x 80 x 10) cm Bagian yang muncul di permukaan tanah 35 cm dan bagian yang ditanam 75 cm. Rangka BM dibuat dari besi begel diameter 9 mm dan ring-rangka dari besi begel dengan diameter 6 mm. BM dicor di tempat dengan perbandingan adukan (semen:pasir:batu) adalah (1:2:3). Di bagian atas tengah BM dipasang Brass-tablet yang memuat tanda silang posisi horisontal dan nomor tugu penjelasan kepemilikan. BM dicat warna biru.

5 Spesifikasi BM bantu adalah sebagai berikut: BM dibuat dari pralon dicor dengan diameter 10 cm dan panjang 100 cm. Di bagian atas tengah BM dipasang baut bersilang. Masing-masing BM diberi nomor. BM dicor di tempat dengan perbandingan adukan (semen:pasir:batu) adalah (1:2:3). Bagian yang muncul di permukaan tanah 30 cm dan yang ditanam 70 cm. BM dicat warna biru 6. Titik Fix Perum Posisi titik fix perum jika diperlukan, terikat pada kerangka kontrol horisontal yang telah dibuat seperti tersebut di atas. Adapun ketelitian posisi fix perum harus memenuhi standar ketelitian international seperti tertera pada tabel 1. Ketelitian posisi tetap perum pada survei dengan menggunakan singlebeam echosounder adalah ketelitian posisi tranduser. Global Positioning System (GPS) merupakan salah satu sistem penentuan posisi yang banyak digunakan dalam survei hidrografi. Untuk penentuan posisi yang memerlukan ketelitian tinggi menggunakan metode RTK-DGPS, maka harus dipenuhi kriteria berikut untuk menjaga kualitas penentuan posisi, Jumlah minimal satelit aktif/ terpantau hingga bisa diteruskan dengan pekerjaan pemeruman adalah 4 PDOP tidak melebihi 6 untuk perekaman dan pemeruman, jika lebih hendaknya survei ditunda hingga dipenuhi syarat tersebut. Sudut minimal untuk elevation mask 10 derajat dari horison. Integritas signal GPS harus selalu dipantau. Dilakukan kalibrasi terhadap peralatan penentuan posisi yang digunakan serta dilakukan pengecekan paling sedikit seminggu sekali selama survei. Pengecekan dilakukan dengan kondisi alat tetap pada posisinya.

6 7. Sarana Navigasi dan Obyek-Obyek Penting Posisi alat bantu navigasi tetap, sarana navigasi apung, garis pantai dan fitur topografis penting (seperti gosong, bagan ikan dsb.) harus diikatkan dalam kerangka kontrol horisontal yang telah dibuat (datum DGN-95). Pengukuran posisi horisontal menggunakan metode pengukuran GPS pada ketelitian seperti pada tabel 2. 8. Pemeruman dengan menggunakan Singlebeam Echosounder Sebelum pelaksanaan pemeruman harus dibuat rencana lajur utama dan lajur silang. Berikut ini adalah kriteria pemeruman untuk singlebeam echosounder. Lajur utama satu dengan yang lainnya paralel, sedapat mungkin tegak lurus garis pantai dan interval adalah 1cm skala survei. Jarak antar lajur silang adalah 10 kali lebar lajur utama dan membentuk sudut antara 60 O sampai 90 O terhadap lajur utama. Dan lajur silang tambahan bisa ditambahkan pada daerah yang direkomendasikan atau terdapat keraguraguan. 9. Pengamatan Pasang Surut Pengamatan pasang surut pada kegiatan survei hidrografi bertujuan untuk menentukan bidang acuan kedalaman (muka surutan), analisa serta menentukan reduksi hasil pemeruman, dengan ketentuan sebagai berikut : Dilaksanakan dengan menggunakan palem atau tide gauge yang lain. Pengamatan mencakup area survei batimetri. Untuk keperluan analisa dan peramalan lama pengamatan tidak boleh kurang dari 29 hari dengan interval pengamatan maksimal 60 menit, jika perubahan ketinggian air berjalan dengan cepat dan amplitudo airnya besar, interval pengamatan dapat ditingkatkan. Untuk keperluan reduksi data pemeruman, pengamatan dilakukan selama pemeruman berlangsung.

7 Satuan pengukuran dalam cm. dengan total kesalahan pengukuran tidak melebihi 5 cm untuk orde khusus dan tidak melebihi 10 cm untuk orde yang lain pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai ketinggian merupakan rata-rata sampel ketinggian yang diambil minimum tiga puluh detik pengamatan berpusat di waktu pengamatan (misalnya: 15 detik sebelum sampai 15 detik setelah waktu pengamatan). Bidang acuan tinggi muka laut harus diikatkan pada benchmark terdekat dengan leveling orde dua. Untuk keperluan koreksi kedalaman dibuat co-tidal charts daerah survei. Konstanta pasut dihitung dengan menggunakan metode admiralty atau perataan kuadrat terkecil (least square adjustment). 10. Pengambilan sampel dasar laut Hal-hal yang harus dipenuhi dalam pengambilan sampel dasar laut adalah : Pemilihan alat sampling harus bisa memenuhi tujuan pengambilan sampel yaitu untuk mengetahui jenis material dasar laut di daerah survei. Misalnya dilakukan dengan grabing yaitu mengambil sample dengan menggunakan grab sampler atau peralatan yang lain, pengamatan profil dasar laut serta survei gaya berat laut. Pada perairan dengan kedalaman kurang dari 200 m jarak antar titik pengambilan sampee adalah 10 kali interval antar lajur perum utama. Kepadatan bisa ditingkatkan untuk daerah-daerah yang sering digunakan untuk lego jangkar dan daerah yang direkomendasikan. 11. Pengukuran Sifat Fisik Air Laut Pengukuran ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan dan memastikan ada atau tidaknya perubahan sifat fisik tersebut pada media, dimana gelombang bunyi dipancarkan sehingga ada kemungkinan terjadi perubahan kecepatan gelombang bunyi selama penjalarannya serta memberikan informasi tambahan mengenai parameter-parameter tersebut di daerah survei.

8 Pengukuran sifat fisik air laut meliputi pengukuran konduktivitas, temperatur, kecerahan dan tekanan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat pengukur Conductivity Temperature Depth (CTD) meter atau Sound Velocity Profile (SVP) 12. Pengamatan Arus Pengamatan arus meliputi pengamatan kecepatan dan arah arus di daerah-daerah seperti gerbang pelabuhan, terusan, daerah-daerah yang sering digunakan untuk tempat lego jangkar serta daerah laut dan pantai yang diperkirakan arusnya dapat membawa pengaruh pada navigasi permukaan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan currentmeter pada kedalaman antara 3-10 m di bawah permukaan air diharapkan 29 hari atau lebih dan minimal 15 hari pengamatan dengan interval tidak lebih dari satu jam. Kecepatan dan arah arus diukur dengan satuan ketelitian bacaan 0.1 knot dan 10 derajat Pengamatan arus dilakukan bersamaan pengamatan pasut