1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal bopticus. Sepanjang abad ke-19, dengue menyebar secara sporadik dan menimbulkan epidemik dalam waktu lama. Hal ini menjadikan dengue sebagai penyakit virus terpenting yang ditularkan melalui perantara nyamuk (WHO, 1999; Malavige, 2004). Pada dekade terakhir, prevalensi infeksi dengue global meningkat secara dramatis dan menjadi endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, bagian Timur Mediterania, Asia Tenggara, dan bagian Barat Pasifik. Sekitar 2,5 3 milyar penduduk dunia, terutama yang hidup di daerah tropis maupun sub tropis berisiko terinfeksi virus dengue (WHO, 1999). Setiap tahun, kejadian baru infeksi dengue diperkirakan sekitar 100 juta kasus. Satu setengah juta kasus diantaranya berupa DBD, dengan angka keparahan penyakit (case fatality rate) 0,5 %-3,5% di negara-negara Asia, sembilan puluh persen diantaranya terjadi pada anak-anak dibawah usia 15 tahun (Malavige, 2004). Lebih kurang 500.000 kasus DBD memerlukan rawat inap di rumah sakit setiap tahunnya. Kematian dapat terjadi setidaknya pada 2.5% kasus. Perawatan dan pengobatan yang tidak adekuat meningkatkan angka kematian lebih dari 20%, namun terapi suportif yang intensif 1
2 menurunkan angka kematian di bawah 1% (Endy, 2002; Deen, 2006; Singhi, 2007). Di Indonesia, penyakit ini mulai ditemukan pada tahun 1968, yaitu di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seluruh wilayah Republik Indonesia. Sejak saat itu, angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27.09 per 100.000 penduduk. Jumlah penderita dilaporkan sebanyak 47.573 orang, dan 1.527 orang penderita meninggal. Setelah epidemi tahun 1988, insidens DBD cenderung menurun, yaitu 12,7 (1990) dan 9,2 (1993) per 100.000 penduduk. Namun demikian, syok pada DBD tetap sering terjadi, yakni pada 35,2% dari seluruh kasus (WHO, 1997). Virus dengue memiliki spektrum klinis yang luas dengan evolusi klinis dan luaran yang tidak dapat diprediksi. Luaran dapat berupa sembuh atau mengalami progresi ke derajat berat dengan perjalanan dari derajat ringan menuju berat yang sulit didefinisikan. Secara klinis, diagnosis dini infeksi dengue, terutama DBD merupakan hal yang sulit. Kriteria klinis dan laboratorium DBD dari WHO tidak selalu muncul pada hari-hari pertama sakit, sehingga sangat sulit untuk mengenali pasien pada stadium awal dan lebih sulit lagi menduga yang akan berkembang menjadi derajat yang lebih parah. (Juffrie, 1999). Gambaran khas pembeda DBD dari DD dan penyakit viral lainnya adalah peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan hemostasis, hingga kebocoran serum luas pada rongga-rongga serosa. Penumpukan cairan di rongga seperti efusi
3 pleura, asites, dan penebalan pada dinding kandung empedu merupakan tanda kebocoran serum (WHO, 2007). Patogenesis DBD hingga saat ini belum sepenuhnya dipahami. Selama beberapa dekade terakhir, sejumlah besar penelitian menemukan kemungkinan respon imun pejamu sebagai dasar pathogenesis DBD. Pada percobaan invitro dengan kultur sel endotel ditemukan bahwa sel endotel mengalami aktivasi setelah terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus dengue. Monosit yang terinfeksi memproduksi sitokin seperti TNFα, IFNγ, IL-1β, IL-4, IL-6, IL-7, IL-10, IL-13. Sitokin lainnya juga mengalami peningkatan pada infeksi dengue dan menyebabkan aktivasi sel endotel. Hipotesis Halstead menyatakan infeksi sekunder oleh strain virus dengue yang berbeda akan menyebabkan lebih banyak infeksi sel monosit yang tergantung pada antibodi, dengan akibat kadar sitokin lebih tinggi pada infeksi sekunder daripada infeksi primer. Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh monosit akan menginduksi disfungsi sel endotel vaskular, sehingga terjadi gangguan keseimbangan hemostasis. Perubahan hemostatik pada penderita DBD meliputi tiga factor utama, yaitu kelainan vaskular, trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit. (Kumar, dkk 2012). Beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan kemungkinan peran kuat IL-10 pada kejadian keparahan DBD, dimana didapatkan korelasi yang positif antara kadar IL-10 dengan derajat keparahan klinis pada DBD. Penelitian oleh Burke, dkk (2001) tersebut menemukan kadar IL-10 lebih tinggi pada pasien dengan DBD dibandingkan dengan DD dan meningkat secara signifikan pada pasien SSD.
4 Malavige, dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan sitokin serum dengan derajat keparahan infeksi dengue. Penelitian tersebut dilakukan pada 112 pasien klinis DBD dengan konfirmasi serologi antibodi dengan menggunakan subset limfosit dengan metode ELISA. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa serum IL-10 secara signifikan memiliki korelasi negatif dengan jumlah sel T absolut, dimana kadar IL-10 yang tinggi berhubungan dengan rendahnya CD3+, CD4+, dan CD8+ sel T. Hal ini menunjukkan bahwa IL-10 serum secara signifikan memiliki korelasi terbalik dengan jumlah leukosit (R=-0,03). Selain itu didapatkan IL-10 memiliki korelasi positif dan signifikan dengan DBD fase kritis (R=0,67, P<0,0001) sehingga disimpulkan IL-10 dapat dihubungkan dengan respon imun dan derajat keparahan infeksi DBD. Penelitian yang dilakukan Palmer, dkk (2005) menemukan bahwa sel dendritik yang diinfeksi oleh virus dengue akan teraktivasi dan menghasilkan TNF-, INF-, dan IL-10. Peningkatan IL-10 dalam serum bervariasi antara 35-300 pg/ml. Hung, dkk pada tahun 2004, melakukan penelitian prospektif pada 107 anak yang dirawat dengan DBD berdasarkan kriteria WHO, didapatkan profil sitokin IL-10 rata-rata lebih tinggi pada SSD daripada DBD. Ditemukan juga bahwa meningkatnya IL-10 pada anak berhubungan dengan beratnya penyakit, derajat kebocoran kapiler dan adanya efusi pleura. Interleukin-10 diperkirakan mampu menghambat replikasi virus dengan cara memperantarai respon anti viral interferon (Tsai, 2013), yang didapatkan jika
5 kadar IL-10 meningkat saat demam tubuh mulai turun, sehingga IL-10 dapat dicurigai sebagai salah satu sitokin yang berperan dalam perburukan klinis infeksi dengue terjadi (Feng, 2005). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : Apakah kadar IL-10 serum berhubungan dengan derajat keparahan klinis pada DBD? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Melihat kadar IL-10 serum pada berbagai derajat keparahan klinis DBD. 1.3.2 Tujuan khusus Melihat hubungan antara kadar IL-10 dengan derajat keparahan klinis DBD. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis Menambah wawasan keilmuan mengenai peranan sitokin dalam patogenesis perburukan derajat keparahan klinis pada DBD serta dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
6 1.4.2 Manfaat parktis Data penelitian ini tidak akan memberi manfaat langsung terhadap klinis. Namun di kemudian hari, dengan makin baiknya pemahaman akan patogenesis DBD, yang diantaranya diharapkan dari penelitian ini, maka tatalaksana DBD dapat menjadi lebih baik.