ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof. Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy Permadi, SIP, MA yang secara garis besar membahas pengertian ilmu sosial dan ilmu politik, hubungan ilmu sosial dan ilmu politik, filsafat ilmu sosial dan ilmu politik, teori-teori dalam ilmu sosial dan ilmu politik, serta metodologi riset suatu ilmu sosial dan ilmu politik. Namun, selanjutnya dalam critical review ini penulis ingin memfokuskan masalah yang dibahas dan ditanggapi pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dan tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis). Pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan axiologi) penulis ingin mengkritisi dan membahas mengenai hubungan antara tiga landasan tersebut dalam kategori ilmu sosial. Pada fokus ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, penulis ingin menganalisis lebih dalam mengenai prinsip-prinsip ilmu alam yang diserap ke dalam teori ilmu politik. Dan dalam tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis), penulis ingin menelaah lebih dalam mengenai hubungan kedua tradisi tersebut terhadap terjadinya revolusi keilmuan. Pada pembahasan pertama mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan axiologi), dijelaskan bahwa antara ilmu sosial dan ilmu lain terdapat perbedaan pemahaman tentang realitas, perbedaan pemilihan data yang relevan dengan realitas tersebut, dan perbedaan strategi dalam mencari data. Perbedaan tersebut melahirkan ciri khas dari setiap ilmu berdasarkan tiga buah landasan, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan axiologi. Landasan ontologi, berusaha menjawab pertanyaan: apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau dengan kata lain, landasan ini membahas pertanyaan-pertanyaan mengenai objek apakah yang ditelaah oleh ilmu.
Landasan epistemologi, berusaha menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara/ metode agar diperoleh ilmu yang benar? Atau dengan kata lain, landasan ini membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Landasan axiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan: apakah manfaat ilmu bagi manusia? Landasan ini mempunyai hubungan yang erat dengan nilai (teori tentang nilai) dan etika. Dari tiga penjelasan di atas, dapat kita pertajam kembali bahwasanya landasan ontologi yang membahas mengenai objek apa yang dibahas dalam ilmu sosial. Maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa seluruh fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, merupakan objek yang dibahas dalam ilmu sosial, seperti tingkah laku, interaksi, kejahatan, psikologi, sejarah, dan lain-lain. Lebih jelasnya, dalam ilmu sosial dikenal dua macam objek, yaitu objek formal dan objek material. Objek material merupakan pokok persoalan yang dikaji dalam penerapan ilmu sosial, seperti perang (bentuk konkret) dan kekuasaan (bentuk abstrak). Sedangkan objek formal merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji objek material. Misalnya ketika objek materialnya berupa interaksi manusia, maka objek formalnya merupakan sosiologi. Di lain sisi, landasan epistemologi yang membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa proses memperoleh pengetahuan dari objek yang abstrak adalah nalar (reason), intuisi (intuition), otoritas (authority), wahyu (revelation), dan keyakinan (faith), sedangkan dari objek yang konkret adalah pengalaman inderawi (sense of experience). Kedua sumber pengetahuan tersebut kemudian melahirkan dua paham utama dalam pencarian pengetahuan. Aliran pertama dipelopori oleh Plato, dan aliran kedua yang dipelopori oleh Aristoteles. Plato mengutamakan kekuatan rasio manusia di mana pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri. Sedangkan Aristoteles memperhatikan peranan empiris terhadap obyek pengetahuan. Penalaran Plato berkembang menjadi rasionalisme yang kemudian didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza, Leibnis, dan Wolff. Sedangkan penalaran Aristoteles berkembang menjadi empirisme dan berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Hobbes, Locke, Berkely, dan Hume. Yang selanjutnya dikenal dengan istilah Deduktif-Rasional dan Induktif- Empiris. Dalam Deduktif-Rasional terdapat anggapan dasar kaum rasionalis
bahwa manusia memiliki sistem pemikiran yang diturunkan dari adanya ide atau gagasan. Ide atau gagasan tersebut telah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. Menurut Plato, dalam diri manusia, rasio lah yang paling penting, sehingga Descartes mengemukakan pendapatnya yang sangat terkenal yaitu Cogito, ergo sum (aku sadar, maka aku ada). Descartes juga sangat menghargai intuisi yang dianggap sebagai sesuatu yang muncul dari akal jernih dan bukan timbul dari khayalan yang membingungkan sehingga mengakibatkan pendapat yang keliru. Oleh karena itu, dalam melakukan penalaran, kaum rasional selalu membandingkan dengan teori umum sehingga paham rasionalisme terutama melakukan penalaran secara deduktif, yaitu dari umum ke khusus. Di sisi lain, dalam Induktif-Empiris terdapat anggapan kaum empiris bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Artinya, pernyataan tentang ada dan tidaknya sesuatu harus dibuktikan melalui pengujian publik. Aspek lain dalam penalaran ini adalah perbedaan antara yang mengetahui (subjek penelitian) dan yang diketahui (objek penelitian). Setidaknya terdapat dua prinsip lain yang dipegang oleh kaum empiris yaitu keteraturan dan keserupaan. Keteraturan berarti bahwa alam memiliki keteraturan dari masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Melalui konsep ini, kaum empiris memberikan ruang untuk melakukan prediksi atau perkiraan untuk masa yang akan datang. Sedangkan keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan tentang hal itu. Jadi pengetahuan harus dijabarkan menjadi pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dijabarkan dalam pengalaman bukanlah pengetahuan. Karenanya kaum empiris menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran dari yang khusus ke yang umum. Sedangkan landasan axiologi yang membahas mengenai manfaat ilmu sosial. Maka secara otomatis dapat dikatakan ilmu sosial bernanfaat bagi manusia dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk sosial. Sehingga di sini ilmu sosial bermanfaat bagi terciptanya sebuah pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Selanjutnya ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dimaksudkan bahwa pada ilmu politik mengalami tantangan besar agar dapat diakui sebagai sebuah ilmu yang seutuhnya, maka dari itu muncul tuntutan untuk mengakomodasi prinsipprinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik. Hal ini disebabkan karena objek kajian ilmu politik yang terkadang agak samar dan sulit untuk ditelaah. Selain itu,
dalam perkembangannya, ilmu politik berusaha memetakan tujuan, menjawab permasalahan yang ada, dan mengevaluasi penemuannya dengan menggunakan framework analisis filsafat ilmu, dalam hal ini tujuan yang ditetapkan merupakan penjelasan dari sebuah fenomena empiris. Namun demikian, ilmu politik mendapatkan kritik karena dianggap telah gagal menyerap standar intelektual karena dalam banyak kasus, sangat mustahil bagi ilmu politik untuk mendekati standar kualitatif seperti yang dikembangkan dalam ilmu alam. Oleh karena itu, terdapat upaya-upaya untuk menyerap prinsip-prinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik. Penyerapan ilmu alam ini tidak lain dan tidak bukan berupa rekonstruksi metodologi. Yang lebih jelasnya, William Bennet Muro, pelopor studi politik ilmiah, dengan tegas menginginkan ilmu politik bisa menciptakan apa yang disebut fundamental laws atau hukum yang mampu menjelaskan gejala politik, khususnya perilaku politik. Menurutnya, There is must be laws of politics, for laws are the most universal of all phenomena. Everything in nature inclines to move in seasons, or in undulations, or in cyrcle. Selanjutnya, Munro menegaskan bahwa hukum-hukum atau laws tersebut akan dapat diungkapkan dengan lebih jelas jika ilmuwan politik tidak lagi mengafiliasikan dirinya dengan filsafat dan sosiologi, dan lebih banyak mengadopsi metodologi dan obyektivitas ilmu alam (natural science). Munro membuat analogi yang menarik antara fisika dan ilmu politik. Menurutnya, ilmu politik sudah selayaknya meminjam analogi dari ilmu fisika dalam rangka menghilangkan ketidakjujuran intelektual yang menyangkut kebenaran, persamaan, persaingan, dan lain sebagainya. Ilmu politik harus mencari konsep-konsep yang mampu melakukan tes yang senyatanya dan untuk itu ilmu politik harus menekankan pada pengamatan kehidupan yang aktual. Kemudian yang terakhir mengenai tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis), sebenarnya terdapat sebuah alur yang nantinya mengakibatkan sebuah revolusi keilmuan. Positivis yang memiliki kecenderungan untuk membandingkan dua fenomena (dua variabel) yang terjadi dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai sebuah ilmu, ditentang oleh antipositivis yang menganggap bahwa hal tersebut tidak cukup akurat. Antipositivis cenderung memiliki pikiran yang lebih aktif jika dibandingkan dengan positivis. Lalu para antipositivis menganggap bahwa kebenaran positivis adalah kebenaran relatif. Sehingga ilmu sosial yang berakar dari pemikiran positivis bersifat temporal dan tidak absolut. Dan pada akhirnya para antipositivis terus mencari sebuah kebenaran sehingga terjadilah revolusi keilmuan, dimana ilmu
tidak lagi didapat dengan cara yang sederhana, tetapi sudah melalui beberapa pencarian dan pengujian. Yang memunculkan paradigma baru untuk memberikan kesempatan kepada munculnya penyimpangan-penyimpangan (anomali) pada ilmu dan tidak dibatasi oleh paradigma yang telah ada, melainkan harus dicari lebih dalam kebenaran dari penyimpangan tersebut. Kesimpulannya, seperti yang telah dipaparkan di atas, ada tiga hal unik dari tulisan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof. Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy Permadi, SIP, MA yang menjadi fokus bahasan, yaitu mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dan tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis). Bahwasanya landasan ontologi, epistemologi dan axiologi dapat digunakan sebagai indikator untuk membedakan ilmu sosial dengan ilmu lain. Ilmu politik menyerap prinsip ilmu alam untuk mencapai keabsahannya. Dan terakhir tradisi ilmu politik juga merupakan salah satu awal terjadinya revolusi keilmuan.