BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penggunaan produk darah autolog sudah banyak digunakan untuk membantu proses penyembuhan luka. Pada awalnya platelet diperkirakan hanya berguna pada proses pembekuan darah, namun ternyata platelet juga melepaskan protein bioaktif yang dapat menarik makrofag, sel punca mesenkimal dan osteoblas yang tidak hanya membantu menghilangkan jaringan nekrotik, namun juga meningkatkan regenerasi dan penyembuhan jaringan (Sampson, 2008). Platelet adalah bagian dari darah berbentuk diskoid yang dibentuk di sumsum tulang. Di dalam platelet dapat ditemukan struktur intrasel berupa glikogen, lisosom, dan granul. Granul alfa dari platelet memiliki faktor pembekuan dan faktor pertumbuhan (growth factor, GF) yang akan dilepaskan pada saat proses penyembuhan (Everts dkk., 2006). Di dalam platelet, sitokin dan GF disimpan pada bentuk tidak lengkap dalam α-granul. Pada kondisi fisiologis, melalui aktivasi platelet, sitokin dan GF ini akan berubah menjadi bentuk bioaktif dan secara aktif disekresikan dalam waktu 10 menit setelah terjadi pembekuan darah, dan dalam jangka waktu satu jam >95 % dari GF akan dilepaskan (Marx dkk., 2001). Setelah waktu satu jam, platelet akan terus membuat sitokin dan GF dari cadangan mrna hingga tujuh hari berikutnya (Senzel, 2009). Lebih dari 800 protein yang berbeda akan disekresikan ke lingkungan sekitarnya (Senzel, 2009; Macaulay, 2005). Protein ini akan memiliki efek parakrin bagi sel-sel disekitarnya : sel-sel otot (Mazocca dkk., 2012), sel 1
2 tendon (Mazocca dkk., 2012; de Mos dkk.,2008; Jo dkk., 2012; Carofino dkk., 2012; Visser dkk., 2010), beberapa sel mesenkimal dari asal yang berbeda (Cho dkk., 2011; Dohan dkk., 2010; Mishra dkk., 2009; Xie dkk., 2012), sel kondrosit (Drengk dkk., 2009; Spreafico dkk., 2009; van Buul dkk., 2011), sel osteoblast (Mazocca dkk., 2012; Graziani dkk., 2005; Garcia dkk., 2012), fibroblast (Anitua dkk., 2009; Kushida dkk.; Browning dkk.,2012) dan sel endotelial (Freire dkk., 2012). Dari berbagai GF yang ada, beberapa yang terpenting adalah : 1) plateletderived growth factor (PDGF), 2) transforming GF-beta (TGF-β), 3) vascular endothelial GF (VEGF), dan 4) epidermal GF (EGF) (Eppley dkk., 2006; Kazakos dkk., 2009). Proliferasi sel, angiogenesis, dan migrasi sel akan terstimulasi, menghasilkan regenerasi jaringan (Amable dkk., 2013). Peristiwa berikutnya setelah terjadi stimulasi pertumbuhan vaskular, makrofag akan berkumpul dan mulai memproduksi sitokin dan GF sendiri, beberapa serupa dengan yang diproduksi oleh platelet. Proses ini akan menghasilkan perbaikan dan pertumbuhan kembali jaringan yang rusak (Sommeling dkk., 2013). Salah satu cara untuk dapat memberikan sejumlah besar GF dalam volume lebih kecil diperlukan konsentrat platelet salah satunya adalah dengan pembuatan platelet-rich plasma (PRP) Platelet-rich plasma (PRP) adalah bagian dari plasma yang dipisahkan dari darah autolog dengan kadar platelet diatas normal (Pietrzak dkk., 2005; Marx, 2001). Produk darah berupa PRP pertama kali digunakan pada tahun 1987 oleh Ferrari, dkk setelah operasi jantung terbuka, untuk menghindari pemberian transfusi produk homolog darah dalam jumlah yang besar (Ferrari, 1987). Penggunaan PRP
3 autolog semakin banyak digunakan dalam berbagai macam bidang kedokteran, seperti ortopedi, kedokteran olahraga, kedokteran gigi, bagian telinga,hidung dan tenggorakan, bagian mata, bedah syaraf, bagian urologi, begitu juga pada bagian kosmetik, bedah thoraks dan wajah (Sampson, 2008). Pembuatan PRP adalah dengan melakukan sentrifugasi seluruh komponen darah (whole blood) yang diambil dari darah vena dan disimpan dengan antikoagulan. Proses sentrifugasi ini akan memisahkan berbagai komponen darah dari whole blood tergantung dari berat molekul masing masing, termasuk juga akan meningkatkan konsentrasi dari platelet (Sommeling dkk., 2013). Platelet-rich plasma dapat digunakan sebagai pengganti fetal bovine serum (FBS) untuk menjaga dan mengembangbiakkan fibroblast manusia pada media kultur. Setelah penelitian itu kemudian banyak penggunaan PRP pada proses penyembuhan luka (Kakudo dkk., 2008). Proses penyembuhan luka terjadi seiring waktu, dengan urutan tertentu dan bisa dibagi menjadi empat fase : inflamasi, granulasi, re-epitelialisasi, dan remodeling jaringan. Ketika proses ini terputus, akan menjadi luka kronis yang didefinisikan sebagai luka yang tidak bisa kembali ke fungsi dan bentuk anatomis semula, atau luka yang setelah melalui proses penyembuhan tidak mencapai fungsi akhir semula (Telgenhoff dkk., 2005). Luka kronis secara luas dibagi menjadi tiga kategori, ulkus akibat tekanan, ulkus diabetikum, dan ulkus akibat insufisiensi vena (Mustoe, 2004). Semua jenis luka ini memiliki etiologi yang berbeda, dan faktor yang berpengaruh antara lain : 1) efek penuaan, 2) kejadian iskemia-reperfusi berulang, dan 3) kontaminasi bakteri, yang berakibat pada respon peradangan pada jaringan (Mustoe, 2004; Vande Berg dkk., 2003). Sebagian besar luka kronis akan
4 berespon baik pada perawatan luka konvensional, namun sebagian pasien dengan luka kronis (15%-20%) penyembuhan tidak akan sempurna walaupun sudah dengan perawatan luka terbaik (Mustoe, 2004). Walaupun terdapat banyak teori mengenai etiologi luka kronis yang susah sembuh, namun ada persamaan diantara semua luka kronis, yaitu pada luka kronis akan didapatkan penurunan GF (EGF, KGF, PDGF, dan IGF), penurunan migrasi keratinosit, peningkatan pembentukan reactive oxygen species (ROS), peningkatan protease jaringan dan kontaminasi mikroba (Agren dkk., 1999). Peran fibroblas pada penyembuhan luka juga sangat penting. Pada luka kronis ditemukan adanya penuaan prematur dari fibroblas (Ivan dkk., 2008). Proliferasi dari fibroblas sangat penting dalam langkah proses penyembuhan luka, selain itu kontraksi dari luka, yang terjadi setelah pembentukan jaringan granulasi adalah peristiwa penting yang akan mengurangi ukuran dari luka sehingga luka dapat menutup. Myofibroblas mempunyai peran dalam peristiwa kontraksi luka ini (Grinnel, 1994; Hinz, 2007). Kushida dkk. menunjukkan bahwa PRP dapat meningkatkan proliferasi, melakukan diferensiasi fibroblast kulit manusia menjadi myofibroblas dan memicu kontraksi pada luka, sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka. Penelitian-penelitian mengenai efisiensi klinis PRP sampai saat belum mendapatkan hasil yang pasti, dan salah satu alasan utamanya adalah karena proses pembuatan dari PRP itu sendiri belum terstandarisasi. Berbagai macam prosedur telah dicobakan namun menghasilkan berbagai respon yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain (Amable dkk., 2013). Produk darah berasal dari
5 platelet (termasuk PRP) sudah digunakan sejak tahun 1970-an dan mulai meningkat tajam penggunaanya pada tahun 1990-an (Marx, 2001). Sejak saat itu beberapa cara untuk pembuatan PRP sudah pernah dicoba, mulai dari cara konvensional dengan melakukan sentrifugasi darah secara langsung hingga dengan menggunakan peralatan yang dapat dibeli, aktivasi dengan menambahkan kolagen, kalsium dan atau trombin, dengan menggunakan gelas kaca atau dengan melakukan siklus pembekuan, penerapan dengan menggunakan suspensi atau dalam bentuk gel, dan hingga saat ini cara-cara pembuatan PRP semakin banyak macamnya (Mazucco dkk., 2009; Le dkk., 2011; Castillo dkk., 2010). Diperlukan standarisasi proses pembuatan PRP untuk bisa mendapatkan jumlah platelet serta jumlah GF secara pasti sehingga dapat menentukan kekuatan regenerasi dari (Amable dkk., 2013). Amable dkk. telah menunjukkan bahwa pembuatan PRP dengan sentrifugasi pertama pada suhu 12 C dengan relative centrifugation force (RCF) sebesar 300 g dan dalam waktu lima menit akan didapatkan PRP hasil sentrifugasi pertama (PRP-1) dalam jumlah optimal dengan yield fold 5,2 kali dan platelet recovery sebesar 82,7%. Kemudian pada sentrifugasi kedua digunakan kecepatan 700 g dalm waktu 17 menit untuk didapatkan yield fold sebesar 3,6 kali dengan platelet recovery sebesar 97,4%. Protokol pembuatan PRP ini dianggap memberikan hasil yang paling optimal dibandingkan dengan proses pembuatan PRP pada kecepatan dan waktu yang lain. Refrigerated centrifuge adalah proses sentrifugasi dengan mengatur suhu sesuai yang diharapkan, sedangkan non-refrigerated centrifuge adalah proses sentrifugasi yang dilakukan
6 pada suhu ruangan. Proses pembuatan PRP oleh Amable dkk., pada proses pembuatan diatur pada suhu 12 C. Penggunaan refrigerated centrifuge untuk bisa memproses PRP pada suhu tertentu jarang ada di Indonesia, dikarenakan mahalnya peralatan yang ada, sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan suhu di Propinsi Jawa Tengah berkisar antara 22,6-33,9 C dengan rerata suhu 27,4 C (Badan Pusat Statistik, 2010). Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk menentukan ukuran kecepatan RCF dan waktu yang paling optimal untuk pembuatan PRP tanpa menggunakan refrigerated centrifuge (PRP nonrefrigerated). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat yield fold dan platelet recovery dari pembuatan PRP non-refrigerated pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pembuatan PRP refrigerated? 2. Apakah terdapat perbedaan tingkat proliferasi fibroblas tua dengan pemberian PRP non-refrigerated pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pemberian PRP refrigerated? 3. Apakah terdapat perbedaan antara proses penyembuhan luka yang mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) dengan
7 pemberian PRP non-refrigerated centrifuge pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pemberian PRP refrigerated? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui perbedaan tingkat yield fold dan platelet recovery dari pembuatan PRP non-refrigerated pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pembuatan PRP refrigerated. 2. Mengetahui perbedaan tingkat proliferasi fibroblas tua dengan pemberian PRP non-refrigerated centrifuge pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pemberian PRP refrigerated. 3. Mengetahui perbedaan antara waktu dan proses penyembuhan luka yang mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) dengan pemberian PRP non-refrigerated pada kecepatan dan durasi sentrifugasi tertentu dibandingkan dengan pemberian PRP refrigerated. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, dapat meningkatkan pengetahuan mengenai proses pembuatan PRP tanpa menggunakan refrigerated centrifuge dengan kecepatan dan waktu sentrifugasi yang lebih rendah sehingga didapatkan jumlah platelet paling banyak. 2. Bagi institusi, dapat sebagai masukan dalam pembuatan standar operasional prosedur pembuatan PRP yang terbaik tanpa menggunakan refrigerated
8 centrifuge, sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasien. 3. Bagi klinisi, dapat membuat PRP secara praktis tanpa menggunakan refrigerated centrifuge, dengan pengaturan kecepatan dan waktu yang tepat bisa didapatkan PRP yang optimal. 4. Bagi pelayanan kepada masyarakat adalah dengan semakin mudahnya pembuatan PRP tanpa menggunakan refrigerated centrifuge maka aplikasi penggunaan PRP akan semakin luas. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran melalui internet yang dilakukan melalui http://search.ebscohost.com/ dengan menggunakan kata kunci Platelet-rich plasma preparation dan fibroblast didapatkan 4 artikel. Hasil penelusuran melalui http://www.sciencedirect.com/ dengan kata kunci Platelet-rich plasma preparation dan fibroblast didapatkan 269 artikel. Berikut ini adalah artikel penelitian yang dijadikan dasar penyusunan penelitian serta perbedaanya dengan penelitian ini : Tabel 1. Daftar Penelitian Mengenai Optimalisasi Pembuatan PRP Nama peneliti, tahun Amable et.al (2013) Judul Metode Penelitian Hasil Perbedaan dengan penelitian ini Platelet-rich plasma preparation for regenerative medicine : optimization and quantification of cytokines and growth factors Optimalisasi pembuatan PRP dengan menyesuaikan variable kecepatan, waktu dan suhu kemudian mengukur growth factor yang dihasilkan Didapatkan konsistensi hasil pada pembuatan PRP dengan 46,9-69,5% dari total platelet awal serta kenaikan 5,4-7,3 kali jumlah platelet awal Pada penelitian ini proses pembuatan PRP membandingkan hasil sentrifugasi pada suhu 12 C dan suhu ruangan
9 Nugraha et.al (2012) Perez et.al (2014) Platelet Rish Plasma Preparation Protocols : A Preliminary Study Relevant Aspect of Centrifugation Step in the Preparation of Platelet-rich plasma Proses pembuatan PRP dengan mengatur variabel kecepatan dan waktu sentrifugasi sehingga didapatkan hasil yang paling optimal Dilakukan dua langkah sentrifugasi dengan menganalisa konsentrasi platelet, integritas, dan viabilitas Pada proses pembuatan PRP pada sentrifugasi pertama 1300 RCF selama 5 menit dan sentrifugasi kedua 2300 rcf selama 7 menit didapatkan jumlah platelet 4,11 kali lipat Semakin lambat kecepatan sentrifugasi menghasilkan proses pemisahan platelet yang lebih baik Pada penelitian ini proses sentrifugasi dilakukan pada kecepatan yang relatif lebih lambat dan membandingkan juga variabel suhu dengan membandingkan hasil sentrifugasi pada suhu 12 C dan suhu ruangan Pada penelitian ini dilakukan proses sentrifugasi pada kecepatan yang relatif rendah dengan membandingkan hasil sentrifugasi pada suhu 12 C dan suhu ruangan Berdasarkan pengetahuan peneliti, walaupun sudah dilakukan penelitian terhadap optimalisasi pembuatan PRP, namun belum pernah ada yang melakukan perbandingan antara PRP yang diproses pada suhu 12 C dengan PRP yang diproses tanpa menggunakan refrigerated centrifuge pada suhu ruangan.