BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB I PENDAHULUAN. perampokan dan lain-lain sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya telah dijamin hak-haknya baik manusia sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana maka keterlibatan ilmu kedokteran dalam hal ini Visum Et Repertum, yang khusus terletak pada daya buktinya yaitu untuk memberikan penilaian secara ilmu kedokteran terhadap barang bukti, dalam arti membuktikan apakah perkara pidana menyangkut tubuh dan nyawa manusia itu memang benar terjadi atau sebaliknya tidak dapat dibuktikan telah terjadi suatu tindak pidana. Tentang adanya bukti dari Visum Et Repertum dapat ditemukan dalam Lembaran Negara tahun 1937 no 350 pasal 1, tentang peninjauan kembali mengenai daya bukti dari Visum Et Repertum dinyatakan dengan jelas. Visum Et Repertum mempunyai daya bukti sebab yang dimuat dalam pemberitaannya merupakan kesaksian karena memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukannya pemeriksaan. Sedangkan kesimpulan dalam Visum Et Repertum dibuat untuk memudahkan bagi jaksa atau hakim dengan mencatat apabila 1

2 kesimpulan itu logis maka dapat diterima, begitu pula sebaliknya jika dianggap tidak logis maka jaksa atau hakim yang bersangkutan dapat menolaknya. Dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan, para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikannya sendiri, oleh karena masalah itu memang diluar kemampuan atau keahliannya maka dalam hal ini aparat penegak hukum meminta bantuan pihak lain yang lebih ahli. Bantuan seorang ahli seperti dokter ahli kehakiman di dalam peristiwa pidana merupakan suatu bantuan untuk menambah keberhasilan para penegak hukum dalam mencari kebenaran materiil. Pengertian secara hukum dari Visum Et Repertum adalah Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada barang bukti yang diperiksanya. Serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. 1 Dengan demikian di dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, Visum Et Repertum sebagai suatu keterangan dari hasil pemeriksaan seorang ahli yang mempunyai arti penting bagi penegak hukum, sebagai alat bukti yang dapat memeriksa suatu tindak pidana dan kepastian terhadap suatu perkara pidana. Dalam rangka pelaksanaan hukum acara pidana diperlukan keahlian yang lebih dalam bagi para penegak hukum. Adanya kekeliruan dalam menyelesaikan sengketa perkara pidana terutama yang berkaitan dengan ilmu kesehatan serta nyawa seseorang. Penyidik dalam melakukan penyidikan selalu memerlukan bantuan 1 A. Mun im Idris, pedoman ilmu kedokteran, PT Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm 2.

3 seorang ahli terutama dalam menanggani kasus-kasus penganiayaan dan kematian. Pihak-pihak kejaksaan sebagai penuntut umum meskipun tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan bukan berarti aparat kejaksaan mengetahui hal-hal mengenai penyidikan. Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter bukan ahli kedokteran kehakiman, tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun kematian yang diduga karena peristiwa tindak pidana. Penyidik setelah selesai melakukan penyidikan akan melimpahkan perkaranya ke kejaksaan untuk dilakukannya penuntutan. Bahan-bahan yang diperoleh penyidik yang berupa Visum Et Repertum itulah yang akan dipakai oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai pengganti barang bukti yang dijadikan bahan untuk melakukan penuntutan pidana terhadap tersangka. Bertumpu pada pentingnya peran serta Visum Et Repertum dalam kaitannya dengan pembuktian dalam perkara pidana, maka penulis memilih judul skripsi Peranan Visum Et Repertum Terhadap Hilangnya Nyawa Akibat Penganiayaan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan Visum Et Repertum bagi penuntut umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa?

4 2. Kendala apa sajakah untuk Visum Et Repertum atas hilangnya nyawa akibat penganiayaan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peranan Visum Et Repertum bagi penuntut umum dalam melakukan tuntutan pidana terhadap kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala untuk Visum Et Repertum atas hilangnya nyawa akibat penganiayaan. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis, untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peran Visum Et Repertum dalam proses pemeriksaan pidana terhadap kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. 2. Bagi praktisi hukum, penulisan ini bertujuan untuk memberikan petunjuk dan semangat bahwa mereka memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam lembaga peradilan pidana pada khususnya. 3. Bagi masyarakat, penulisan ini memberikan informasi kepada masyarakat mengenai peran Visum Et Repertum yang sangat penting dalam mengungkap

5 kasus tindak pidana terutama dalam hal kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. E. Keaslian Karya Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan hukum ini merupakan hasil karya penulis dari keinginan penulis sendiri untuk melihat secara dari sudut pandang praktek tentang peran Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan pidana terhadap hilangnya nyawa sebagai akibat dari penganiayaan. F. Batasan Konsep a. Pengertian Visum Et Repertum Pengertian Visum Et Repertum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Lembaran Negara tahun 1937 Nomor : 350 pasal 1 yang terjemahannya adalah : Visa Et Reperta pada dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti yang tercantum pada dalam pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah dalam perkara pidana selama Visa Et Reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal yang diamati oleh dokter itu pada benda benda yang diperiksa. b. Pengertian Hilangnya Nyawa Dalam Undang Undang tidak terdapat mengenai pengertian hilangnya nyawa tetapi ada beberapa pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai hilangnya nyawa antara lain dalam pasal 338 : Barangsiapa

6 sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dalam pasal 340 : barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selam waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika penganiayaan itu dengan rencana terlebih dahulu maka akan dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun yang terdapat didalam pasal 353 ayat (3). Dalam pasal 354 ayat (2 ) : Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain dengan mengakibatkan kematian, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun, serta dalam pasal 355 ayat (2) : Penganiayaan berat yang dilakukan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan kematian, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. c. Pengertian Penganiayaan Pengertian penganiayaan yang dimaksud dalam penulisan ini, menurut Undang-Undang tidak memberikan ketentuan apa yang diartikan dengan penganiayaan (Mishandeling) itu akan tetapi menurut Yurisprudensi maka yang dimaksud dengan penganiayaan adalah perbuatan yangt disengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka atau dapat menghilangkan nyawa seseorang. Jika perbuatan penganiayaan itu mengakibatkan hilangnya atau matinya seseorang dia dapat dihukum selama-lamanya tujuh tahun. Jadi yang

7 dimaksud penganiayaan dalam penulisan ini adalah perbuatan yang disengaja atau sudah direncanakan oleh seseorang terhadap si korban sehingga korban mengalami rasa sakit atau bahkan bisa mengakibatkan hilangnya nyawa. G. Metode Penelitian Dalam menyusun usulan penelitian hukum ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan penulis dalam usulan penulisan ini adalah penelitian hukum Normatif yaitu penelitian yang berfokus pada norma hukum positif yang berupa peraturan perundang undangan dan penelitian ini memerlukan data sekunder ( bahan hukum ) 2. Sumber Data Data yang dipergunakan oleh penulis adalah data sekunder yang terdiri dari : A. Bahan Hukum Primer yang berupa peraturan perundang undangan yang meliputi: 1. Undang Undang republik Indonesia Nomor 1 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76. 2. Undang Undang Nomor 73 tahun 1958, Lembaran Republik Indonesia tahun 1958 Nomor 127, menyatakan berlakunya Undang Undang Nomor 1 tahun

8 1946, Lembaran Negara republik Indonesia 1999 Nomor 74 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Indonesia. 3. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M. 04. UM. 01. 06 tahun 1983. B. Bahan Hukum Sekunder yang meliputi : 1. Buku buku yang berkaitan dengan obyek penelitian. 2. Hasil penelitian. 3. Pendapat hukum. 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian yang dilakukan terdiri dari penelitian studi kepustakaan dan wawancara dengan nara sumber. Penelitian studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari buku buku, peraturan perundang undangan, literatur, dan kamus yang relevan dengan materi yang diteliti. 4. Narasumber Bapak Arief Basuki selaku Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Yogyakarta. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan secara deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat dari individu, keadaan, gejala atau suatu kelompok tertentu antara gejala yang satu dengan gejala yang lain dalam suatu masyarakat.

9 I. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk lebih memudahkan dalam memahami usulan penulisan hukum ini maka penulis akan mengemukakan tentang sistematika usulan penulisan dari bab pertama sampai dengan bab yang terakhir. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN Dalam bab ini dibahas mengenai : - Tinjauan Umum tentang Visum Et Repertum sebagai alat bukti yang terdiri dari : Pengertian Visum Et Repertum, pengertian hilangnya nyawa, pengertian penganiayaan, tata cara permintaan Visum Et Repertum, macam macam Visum Et Repertum, beberapa peraturan yang berkaitan dengan Visum Et Repertum, Pembuktian dalam perkara pidana, Dokter yang berhak membuat Visum Et Repertum. - Peranan Visum Et Repertum bagi Penuntut Umum dalam melakukan tuntutan terhadap kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa.

10 - Kendala kendala Visum Et Repertum dalam menangani penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. BAB III PENUTUP Dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari uraian uraian, serta berisi saran saran yang sedikit banyak mungkin dapat berguna dalam menangani kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa.