PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia memiliki banyak ragam tumbuhan hijauan, diantaranya adalah jenis ketela pohon. Ketela pohon merupakan salah satu jenis tanaman pertanian utama di Indonesia. Tanaman ini termasuk famili Euphorbiacea yang mudah tumbuh sekalipun pada tanah kering dan miskin serta tahan terhadap serangan penyakit maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Produksi daun singkong berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah 0,92 ton/ha/tahan bahan kering (Lebdosukoyo, 1983). Jumlah tersebut diperkirakan akan dapat menampung ternak sapi potong sebanyak 552,505 ekor apabila daun singkong itu sepenuhnya diberikan pada sapi potong. Perhitungan ini didasarkan pada rata-rata kebutuhan sapi potong akan pakan hijauan sebanyak 2,184 ton/ekor/tahun bahan kering. Penyebaran tanaman ubi kayu di Nusantara, terjadi pada sekitar tahun 1914 sampai 1918, yaitu saat terjadi kekurangan atau sulit pangan. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki ketinggian sampai dengan 2.500 m dari permukaan laut. Demikian pesatnya tanaman ubi kayu berkembang di daerah tropis, sehingga ubi kayu dijadikan sebagai bahan makanan pokok ketiga setelah padi dan jagung. Pada daerah yang kekurangan pangan 1
tanaman ini merupakan makanan pengganti dapat pula dijadikan sebagai sumber kabohidrat utama. Sentra produksi ubi kayu di Nusantara adalah Jawa, Lampung, dan NTT (Sunarto, 2002) Keberadaan ketela pohon sangat membantu terhadap pemenuhan pangan ataupun pakan yang berupa energi yang didapat dari umbinya. Daun ketela pohon memiliki kandungan protein yang tinggi dan memiliki kontribusi yang tinggi dalam pemenuhan kebutuhan ternak sebagai bahan pakan. Disamping kandungan protein yang tinggi, ketela pohon juga mengandung anti kualitas atau anti nutrisi. Anti kualitas atau anti nutrisi yang dikenal dengan nama asam sianida atau asam biru pada tanaman ketela pohon dapat menggangu kesehatan dari ternak yang mengkonsumsinya. Pada ketela pohon, tinggi rendahnya kandungan asam sianida tergantung pada spesies ataupun dari varietasnya, selain itu dapat juga dipengaruhi oleh bagian tanaman dan kesuburan tanah dimana tanaman itu tumbuh (lingkungan) serta pemupukan yang dilakukan (Prasojo, 2013) Ketela pohon (cassava) spesies Esculenta maupun Utilisima (Mannihot utilisima atau esculenta) dikenal dengan dua varieties yaitu varieties pahit dan manis. Pada varietes pahit kandungan asam sianida (HCN) dikatakan cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi ternak yang mengkonsumsinya. Produksi daun ketela 2
pohon pada sentra produksi ketela akan sangat melimpah pada saat panen raya, sehinggga akan sulit untuk menanganinya. Mannihot utilisima ataupun esculenta selain ketelanya, juga daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, selain itu terdapat ketela pohon dengan spesies yang berbeda yang memiliki produksi daun yang lebat yang dikenal dengan nama ketela karet (Manihot glaziovii). Ketela pohon ini berpotensi sebagai sumber hijauan yang berkualitas tinggi kerena kandungan protein kasarnya yang tinggi namun memiliki kandugan HCN yang tinggi juga. Tingginya kandungan HCN sehingga perlu dilakukan penelitian tentang upaya penurunan HCN pada daun ketela pohon (Mannihot glaziovii). Kandungan asam sianida dapat dikurangi salah satunya dengan fermentasi (ensilase) Menurut Prasojo (2013) upaya mengurangi kandungan sianida agar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang potensial, antara lain dengan cara fermentasi. Silase adalah bahan yang dihasilkan dari proses fermentasi secara terkontrol dari hijauan dengan kadar air yang tinggi (McDonald et al., 2002). Kualitas silase dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kedewasaan hijauan, kandungan karbohidrat terlarut, kadar air hijauan, dan oksigen yang terdapat dalam silo (Williamson dan Payne, 1993). Silase dari daun ketela pohon mengalami kendala karena karbohidrat 3
terlarut yang dikandung rendah sedangkan kandungan proteinnya tinggi sehingga kapasitas buffernya tinggi. Penggunaan bahan aditif dalam pembuatan silase merupakan salah satu alternatif usaha untuk mengatasi kendala tersebut. Aditif silase berupa karbohidrat terlarut adalah material yang ditambahkan pada pembuatan silase. Menurut Utomo (1999), aditif silase berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu untuk memperlancar fermentasi, memperbaiki nilai makanan, dan menurunkan ph. Penambahan jagung giling dalam pembuatan silase adalah sebagai sumber karbohidrat terlarut. Ensilase dapat berjalan dengan baik jika tersedia cukup karbohidrat mudah terlarut dan tercapainya kondisi anaerobik secepat mungkin. Pada proses silase, kandungan karbohidrat yang mudah larut dalam bahan pakan akan dimanfaatkan oleh mikrobia dan akan diubah menjadi asam laktat oleh mikrobia pembentuk asam laktat. Terbentuknya asam laktat menyebabkan ph silase turun. Turunnya nilai ph bila mencapai 4,2 akan menghambat pertumbuhan mikrobia merugikan sehingga bahan pakan menjadi lebih awet (Hartadi, 1992). Kecernaan didefinisikan bagian dari nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dan diabsorbsi oleh ternak, dinyatakan dalam persentase bahan kering (McDonald et al., 2002). Kecernaan nutrien pakan dapat dievaluasi salah satunya dengan metode in vitro. 4
Kecernaan in vitro pada prinsipnya menginkubasikan sampel bahan pakan ke dalam cairan rumen sebagai sumber mikrobia. Cairan rumen diambil dari ternak donor melalui fistula yang dibuat pada rumen ternak. Menurut Utomo (2012), penggunaan ternak untuk penetapan nutrien yang tercerna dengan menempatkan ternak dalam kandang metabolisme, sebenarnya sudah termasuk isu animal welfare walaupun belum sampai menyakiti, karena sudah mengurangi kebebasan ternak. Tujuan Mengetahui asam sianida pada ketela karet (Mannihot glaziovii), Pengaruh pembuatan silase terhadap kandungan asam sianida (HCN), komposisi kimia serta kecernaan in vitronya. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap kandungan asam sianidapada ketela karet (Mannihot glaziovii) dan tentang teknologi yang tepat untuk menurunkan kandungan sianida pada daunketela karet (Mannihot glaziovii). 5