BAB I PENDAHULUAN. mendiami daerah Simalungun begitu juga dengan yang lainnya. marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni pihak parboru atau sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku

BAB I PENDAHULUAN. menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna bagi mereka. Fenomena dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, yang lahir dari

BAB I PENDAHULUAN. bentukan manusia yang tidak lahir begitu saja yang bertujuan untuk

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. memahami wacana dengan baik dan tepat diperlukan bekal pengetahuan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan antara sesama manusia berlangsung sebagai bentuk

11. TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi di masyarakat yang. bersangkutan. Koentjaranigrat (1984: )

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing,

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok

BAB I PENDAHULUAN. istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Batak Toba sangat mengapresasi nilai-nilai budaya yang mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Mandailing. Keenam suku

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa berperanan penting dalam kehidupan manusia dengan fungsinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah suatu hal yang suci, karena itu selalu diusahakan agar dapat berjalan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Suku Batak dari sekian banyak suku yang ada di negeri ini termasuk salah satu suku yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA. Oleh MIKAWATI INDRYANI HUTABARAT

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam ikatan suatu perkawinan.ikatan perkawinan adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN)

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang

BAB I PENDAHULUAN. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti melakukan batasan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh keturunan maka penerus silsilah orang tua dan kekerabatan keluarga

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat tersebut yang berusaha menjaga dan melestarikannya sehingga

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. Dekke naniarsik (ikan mas arsik) atau dekke naniura. Dekke dalam bahasa

I. PENDAHULUAN. negara ini memiliki beragam adat budanya dan hukum adatnya. Suku-suku

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. kelompok-kelompok suku ini berawal dari bagian Provinsi Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, sebuah tindakan yang telah disyari atkan oleh Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara multikulturalis yang memiliki ribuan pulau,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suku tertua. Dalam suku Batak terdapat beberapa sub-suku-suku yang

BAB I PENDAHULUAN. proses dalam merencanakan keuangan pribadi untuk dapat memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Dari yang terendah: Mate di Bortian (meninggal dalam kandungan), Mate Posoposo

BAB IV PENUTUP. atau maskawin. Nikah sirri artinya nikah secara rahasia atau dirahasiakan

2. Wanita. a. Sebelum mengisi pertanyaan terlebih dahulu tulislah dahulu identitas Bapak/Ibu/Saudara/I pada tempat yang telah disediakan.

BAB I PEDAHULUAN. tersebut telah menjadi tradisi tersendiri yang diturunkan secara turun-temurun

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. lain yang berhubungan dengan perasaan dari orientasi seleksinya.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah Simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat,2007). Perkawinan pada masyarakat Batak Toba merupakan perkawinan antar marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni pihak parboru atau sebagai pihak pemberi wanita dengan pihak paranak atau sebagai pihak pembeli wanita (Simanjuntak,2006). Proses perkawinan eksogami (perkawinan di luar kelompok marga) menjadi ciri khas proses perkawinan masyarakat Batak Toba (Bushar,2004). Perkawinan pada suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan. Selain itu, perkawinan juga mengikat hubungan kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat dari perempuan (parboru). Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas memilih jodohnya (Bangun, 1982). Perkawinan yang dianggap ideal yaitu seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya (matrilateral 1

cross cousin) dalam bahasa daerah disebut marpariban. Namun dalam kenyataan akhir-akhir ini kawin marpariban sudah semakin berkurang kuantitasnya (Bruner, 1986). Untuk melaksanakan perkawinan, suku Batak Toba mempunyai cara atau proses perkawinan yang dimulai dengan meminang dalam bahasa daerah marhusip hingga upacara puncak memberi dan menerima adat. Sepintas diperhatikan seluruh proses ini merupakan hal yang lumrah, dan sudah sering dilaksanakan tetapi jika diamati lebih jauh sebenarnya pelaksanaan upacara tersebut tidak ada yang baku, bermacam-macam model tergantung dari tokoh adat setempat dan kedua hasuhuton (kedua belah pihak) yaitu pihak pengantin lakilaki dan pihak pengantin perempuan. Bagi suku Batak Toba, adat perkawinan merupakan hal yang sangat penting, sebab melalui upacara ini keluarga bersangkutan berhak mengadakan siklus hidup seperti menyambut anak yang baru lahir,perkawinan, kematian, dan lain-lain. Keluarga yang belum melangsungkan upacara adat perkawinan dalam bahasa Batak Toba mangadati tidak berhak memberi adat kepada orang lain dan juga tidak berhak menerima adat dari orang lain. Upacara perkawinan merupakan jembatan yang mempertemukan tungku yang tiga dalam bahasa daerah dalihan na tolu pihak pengantin laki-laki dengan dalihan na tolu pihak pengantin perempuan (Siahaan, 1982). Dalihan na tolu secara harafiah ialah tungku yang tiga yang merupakan lambang sistem sosial masyarakat Batak. Tungku adalah tempat memasak yang terdiri atas tiga buah batu yang dijadikan penopang alat masak dan di atas tungku 2

ini diletakkan alat memasak makanan. Ketiga batu itu sama tinggi dan sama besar supaya ada keseimbangan, menunjukkan bahwa ketiga unsur dalihan na tolu (dongan tubu, hula-hula, dan boru) sama penting dan harus seimbang yang membedakannya adalah peran. Dalihan na tolu adalah dongan tubu atau dongan sabutuha yaitu pihak yang semarga, boru yaitu pihak yang menerima isteri, dan hula-hula yaitu pihak yang memberi isteri. Ketiga unsur ini tidak ada yang lebih penting, dengan kata lain hula-hula, dongan tubu, dan boru ketiganya sama perlunya (Sinaga, 2012). Secara adat seluruh masyarakat Batak harus masuk ke dalam dalihan na tolu. Sesuai dengan prinsipnya segala upacara adat harus berdasarkan adat dalihan na tolu. Jika ada salah satu unsur dalihan na tolu tidak lengkap, maka upacara adat yang dilaksanakan adalah cacat atau bercela. Merupakan suatu hal yang sangat perlu dijaga hubungan baik antara boru, dongan tubu dan hula- hula sehingga segala upacara adat dapat berlangsung dengan sempurna. Kesempurnaan suatu adat Batak diukur dari kelengkapan dan hubungan baik antara dalihan na tolu (Siahaan,1982). Di era globalisasi upacara perkawinan Batak Toba mengalami banyak pergeseran.sebelum globalisasi upacara perkawinan merupakan hal yang sakral, tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin memudar. Pada kehidupan tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang harus dilewati setiap orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki tahap baru. Tahapantahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang tertentu, namun di era globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya dapat dipertukarkan 3

bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran. Menurut Piliang (2011) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat setiap orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat dilakukan semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna sosiologisnya. Upacara yang dilakukan menuju pernikahan sampai ke hari pernikahan dipenuhi dengan makna. Makna-makna yang terdapat dalam proses ini mengalami perubahan akibat globalisasi. Salah satu contoh dapat dilihat dari proses awal pernikahan yaitu marhusip. Marhusip merupakan acara yang dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan yang sangat rahasia sekali tentang rencana anak mereka untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini sangat rahasia karena dimungkinkan rencana perkawinan tersebut batal untuk dilangsungkan, untuk itu sangat dirahasiakan. Tetapi pada saat sekarang marhusip bukan lagi rahasia empat mata antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan tetapi sudah transparan kepada khalayak umum. Ketika segala sesuatunya transparan dan berputar dalam sirkuit global, maka hukum yang mengatur masyarakat global bukan lagi hukum kemajuan, melainkan hukum orbit seperti yang dikatakan Jean Baudrillard (dalam Piliang, 2011). Menurut hukum orbit, segala sesuatu berputar secara orbital dan global, berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Pada upacara adat perkawinan Batak, makna-makna yang terkandung dalam seluruh proses upacara perkawinan sudah tidak jelas. Kebanyakan proses itu dilakukan berdasarkan kebiasaan bahkan pencitraan bukan berdasarkan makna 4

sebenarnya. Budaya lain yang bukan miliknya dikonsumsi seakan-akan identitasnya akibat globalisasi. Misalnya pola makan prasmanan yang disajikan pada pelaksanaan upacara perkawinan. Dengan sistem prasmanan peran dalihan na tolu sudah memudar, dan hormat menghormati menjadi hilang. Seperti pendapat Robertson (dalam Barker, 2004), globalisasi sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung di semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, dan kultural. Semua aspek kehidupan ini berkembang melampaui batas tradisional dan mengikat satuan masyarakat yang sebelumnya terpisah dan sekarang menjadi satu sistem global. Globalisasi bukan hanya soal ekonomi saja namun juga makna kebudayaan yang terkandung dalam masing-masing budaya lokal. Nilai dan makna yang terdapat dalam kebudayaan semakin terjerat dalam jaringan yang luas. Budaya lokal mengidentifikasikan dirinya dengan proses global sehingga sulit dibedakan budaya lokal dan budaya global (Barker, 2004). Globalisasi sudah mempengaruhi pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sehingga mengakibatkan pergeseran makna. Namun demikian, upacara ini masih tetap berlangsung sampai saat ini dengan alasan jika satu keluarga belum melaksanakan adat perkawinan, maka seluruh keturunannya di kemudian hari tidak boleh melakukan adat perkawinan. Merupakan suatu hal yang memalukan bagi suatu keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum melaksanakan adat perkawinan. Dengan demikian bagaimanapun caranya setiap keluarga selalu berusaha untuk melaksanakan adat perkawinannya. 5

Yang menarik tentang adat ini, kemana orang Batak Toba pergi merantau, ke kota atau ke luar negeri adatnya selalu dibawa, bahkan sering terjadi adat lebih kuat dari agama (Castles, 1940). Bagi suku Batak Toba tidak beragama bukan soal, namun kalau tidak ber-adat merupakan masalah yang sangat besar. Adat merupakan suatu kebanggaan bagi suku Batak Toba untuk menunjukkan identitas yang sebenarnya. Pada perkembangan akhir-akhir ini hubungan antara adat dan agama sangat erat sekali ibarat dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan namun selalu beriringan. Pelaksanaan adat selalu diikuti oleh agama dalam hal ini agama kristen, dan pelaksanaan agama selalu diwarnai oleh adat. Yang menjadi masalah pelaksanaannya yang konsumerisme menghabiskan biaya ratusan juta bahkan ada sampai milyaran rupiah. Untuk menanggung biaya yang tidak sedikit ini usaha yang dilakukan yaitu : 1. Meminta bantuan dari keluarga dalam bahasa daerah disebut papungu tumpak. Jumlah yang terkumpul biasanya sangat kecil tidak mencukupi untuk menutupi biaya pesta perkawinan; 2. Meminjam ke pihak yang lain. Untuk mendapatkan pinjaman tentu mempunyai syarat misalnya punya jaminan sehingga tidak semua boleh mendapatkannya; 3. Menjual harta berharga yang dimiliki. Hal ini yang sering dilakukan para orang tua untuk melaksanakan upacara perkawinan anaknya. Menjual harta berharga misalnya perhiasan, kenderaan, tanah, dll. Perilaku yang 6

menjual harta berharga seperti ini merupakan hal yang biasa bagi komunitas Batak Toba. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat utama bagi kehidupan mereka. Pelaksanaan upacara perkawinan yang menggunakan biaya besar tetap dilakukan di daerah rantau untuk menunjukkan identitas. Kebanggaan untuk menunjukkan identitas di daerah rantau bagi suku Batak sangat berbeda dengan suku lain. Suku Batak mempunyai misi budaya (cultural mission) untuk membangun kerajaan-kerajaan pribadi didaerah rantau sehingga mereka memerlukan tanah, rumah, dan anak. Misi budaya adalah seperangkat tujuan yang didasarkan pada nilai-nilai yang dominan dari pandangan dunia (cosmology) dari suatu masyarakat tertentu, dimana anggota masyarakat itu diharapkan untuk mencapainya (Pelly, 1994). Pelaksanaan upacara perkawinan memerlukan biaya yang tinggi disebabkan sifat konsumerisme yang ada. Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan) dan juga segi kualitas (kualitas tertentu). Sifat konsumerisme tersebut dapat diamati dari objek yang dikonsumsi bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai utilitas tetapi lebih didominasi nilai tanda dan nilai simbol. Nilai tanda dan nilai simbol sangat perlu untuk menunjukkan identitasnya di daerah rantau. Seperti yang diutarakan Piliang (2012), manusia mengonsumsi objekobjek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi juga untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu. Demikian juga dalam upacara perkawinan Batak Toba banyak objek yang dikonsumsi di luar nilai guna budaya 7

adat Batak. Contoh-contoh ini dapat dilihat dari cenderamata yang dalam adat perkawinan Batak tidak mengenal hal itu. Contoh yang lain mendatangkan artis dengan bayaran mahal. Contoh-contoh ini tidak ada kaitannya dalam upacara perkawinan namun dalam pelaksanaannya cenderamata dan mengundang artis seakan kebutuhan primer. Padahal jika diperhatikan lebih jauh hal itu hanya merupakan pencitraan semata. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1983), persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan tersebut antara lain: kemampuan untuk membedakan, kemampuan untuk mengelompokkan dan kemampuan untuk memfokuskan. Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Leavit (1978) yang diambil dari Faradina,Triska (2007) persepsi memiliki pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit persepsi yaitu penglihatan : bagaimana seseorang melihat sesuatu, dan dalam arti luas persepsi yaitu: pandangan atau pengertian, bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Akibat dari munculnya sebuah persepsi, banyak orang yang beranggapan bahwa menikahi wanita batak membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pemberian sinamot yang biasanya dalam bentuk uang ini adalah simbol bahwa pihak perempuan menyetujui anak perempuannya dipinang oleh sang calon mempelai laki-laki. Pemberian sinamot sendiri dalam suku batak ditandai dengan pertemuan antara kedua belah pihak keluarga yang dikenal dengan kegiatan martuppol 8

(tunangan). Dalam sesi ini biasanya terjadi tawar menawar antara keluarga pria terhadap tawaran yang diajukan keluarga wanita (ataupun sebaliknya). Hal kompleks yang mesti dilalui suku ini juga yang menjadi penghambat bagi setiap pasangan yang mau menikah namun belum mempunyai dana cukup sehingga saat menikah usia sudah dikatakan tidak muda lagi. Tetap ada sisi baiknya toh, paling tidak bisa menekan angka kelahiran di Indonesia,heheheh. (wawancara personal 18 November 2015) Pengetahuan tentang pernikahan menjadi dasar terbentuknya persepsi terhadap pernikahan. Pengetahuan tentang pernikahan ini dapat diperoleh dari keluarga, teman atau pengalaman orang lain (Putrini, 2002). Pengetahuan yang baik mengenai pernikahan akan membentuk persepsi yang positif terhadap pernikahan. Persepsi tentang pernikahan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan fondasi awal yang harus dipersiapkan dalam membangun kehidupan keluarga (Hawa,2007). Tidak sembarang untuk bisa meminang wanita dari suku kami. Begitu banyak tahapan yang harus dilalui sampai dikatakan syah sebuah pernikahan dalam sisi adat maupun agama. Kalau saya pikir sih meski sering memberatkan pihak pria tapi dampak positif bisa dirasakan pasangan yang menikah ini. Rangkaian adat yang ribet ini lah nanti yang membuat pasangan untuk berfikir lagi jika mau bercerai. Banyak orang yang dilibatkan, dan memerlukan waktu yang tak sebentar juga untuk mempersiapkannya, tentunya menjadi pertimbangan lebih bagi pasangan yang hendak bercerai. Selain itu serangkaian adat yang banyak ini memiliki tujuannya sendiri yaitu bentuk dari penghormatan dan cinta kasih dari kedua orang tua, saudara sekandung, dan keluarga dekat, dan masyarakat sekitarnya serta mempererat hubungan cinta kasih dan kepedulian kedua orang tua/keluarga, saudara, kerabat dekat dan masyarakat sekitarnya kepada anaknya yang sangat dicintai. (dikutip dari blog pribadi) 9

Muncul pula persepsi mahasiswa mengenai pernikahan suku batak toba. Banyak yang beranggapan mengapa sangat perlu melakukan acara adat pada pernikahan suku batak toba, seperti kutipan wawancara berikut ini : saya heran, mengapa sangat penting melakukan proses adat di pernikahan, toh mereka kan sudah sah sebagai suami istri dalam agama. Saya melihat acara adatnya pun sangatlah lama, saya rasa tidak cukup waktunya hanya sehari dalam melakukan proses adat. Memangnya tidak bisa ditiadakan? Selain itu pasti lebih banyak dana yang akan dikeluarkan nantinya (wawancara personal 18 November 2015) Ada pula pendapat mahasiswa lainnya mengenai diadakannya acara adat pada pernikahan batak toba, seperti yang terlihat pada kutipan blog pribadi perempuan suku batak toba berikut ini: Dalam suku batak sendiri, sekarang ini banyak yang hanya melangsungkan pemberkatan secara gerejawi saja dulu tanpa adat. Tentunya karena terhalang masalah dana untuk membiayai prosesi adat tadi. Namun hal ini menjadi hutang dimana tetap lah harus terlaksana pernikahan secara adat. Selama hal ini belum terjadi ada beberapa larangan dalam masyarakat yang dilarang untuk dilakukan pasangan ini kelak. Misalnya, saat pihak keluarga wanita ada juga yang akan menyelenggarakan acara adat, maka si wanita diperbolehkan hadir namun tidak didampingi suaminya. Hal ini dikarenakan status mereka dalam adat belum sah sebagai suami istri. Meskipun saat ini sudah terjadi pergeseran nilai dalam menanggapi perkawinan suku batak yang belum melaksanakan adat batak (tidaklah strick seperti dulu), hal ini tetap menjadi buah bibir bagi masyarakat setempat. Hal kompleks yang mesti dilalui dua suku ini juga yang menjadi penghambat bagi setiap pasangan 10

yang mau menikah namun belum mempunyai dana cukup sehingga saat menikah usia sudah dikatakan tidak muda lagi (dikutip dari blog pribadi) Pengetahuan dan persepsi yang baik mengenai pernikahan akan berimplikasi pada kesiapan menikah. Kesiapan menikah merupakan kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal dan diakui secara agama, hukum dan masyarakat (Dewi,2006). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas bahwa acarapernikahan sangatlah penting diadakan secara agama dan adat. Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, pada zaman sekarang ini banyak persepsi orang-orang terkhususnya mahasiswa suku Batak Toba mengenai pemberian sinamot (mahar) pernikahan dan acara adat pada sukunya. Beberapa orang berpendapat bahwa sangatlah repot acara pernikahan di suku Batak Toba. Banyak rentetan acara yang harus dilakukan dan semua anggota keluarga memiliki perannya masing- masing. Sebelum pernikahan berlangsung pun, si mempelai pria diharuskan memberikan mahar kepada calon mempelai wanita dan ini harus di setujui oleh keluarga wanita lainnya. Belum tentu juga si mempelai pria sanggup untuk memberikan mahar yang diminta apalagi jika dia menikahi wanita yang memiliki pendidikan tinggi dan keluarga yang mapan. 11

C. Batasan Masalah Penelitian ini ditekankan pada masalah perbedaan persepsi mahasiswa terhadap pemberian sinamot (mahar) pada pernikahan suku Batak Toba yang ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa laki- laki ataupun perempuan di organisasi Solidaritas Mahasiswa Silindung. Agar penelitian ini tidak meluas maka peneliti membatasi penelitian ini pada mahasiswa yang berasal dari kota Tarutung dan menjadi anggota Solidaritas Mahasiswa Silindung. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbedaan persepsi mahasiswa terhadap pemberian sinamot (mahar) pada pernikahan suku batak toba ditinjau dari jenis kelamin di organisasi Solidaritas Mahasiswa Silindung. E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang sudah dipaparkan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melihat bagaimana perbedaan persepsi mahasiswa terhadap pernikahan suku Batak Toba ditinjau dari jenis kelamin di organisasi Solidaritas Mahasiswa Silindung. F. Manfaat Penelitian Penelitian bertujuan memberikan manfaat yang berarti secara teoritis dan praktis, manfaat tersebut yaitu: 12

1. ManfaatTeoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah perluasan teori di bidang ilmu psikologi mengenai perbedaan persepsi mahasiswa terhadap pemberian sinamot (mahar) pada pernikahan suku Batak Toba. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat : a. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai perbedaan persepsi mahasiswa terhadap pemberian sinamot (mahar) pada pernikahan suku Batak Toba sehingga dapat menjadi acuan bagi yang tertarik meneliti. b. Bagi Orang Tua Pihak- pihak yang terkait seperti pasangan yang sedang berpacaran, orang tua, pihak sekitar dapat mengetahui persepsi orang lain mengenai pemberian sinamot (mahar) pernikahan suku Batak Toba dan mendapatkan pengetahuan lebih. c. Bagi Individu Memberikan wacana dan informasi tentang pernikahan suku Batak Toba dengan tujuan agar individu yang akan menikah mampu mengetahui bagaimana pemberian sinamot (mahar) pada tata cara 13

pernikahan Batak Toba, siapa saja yang berperan dan apa saja yang dibutuhkan untuk acara pernikahan sehingga tidak adanya suatu penyesalan dikemudian hari dan serta mampu menjadi orang Batak yang mengetahui mengenai pemberian sinamot (mahar) dan tata cara pernikahan sukunya. d. Bagi Institusi Diharapkan penelitian ini memberikan informasi bagi instansi psikologi agar dapat digunakan untuk memberikan informasi bagi individu dan kelompok mengenai pernikahan Batak Toba. 14