BAB II KAJIAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM

BAB II LANDASAN TEORI. dalam berbagai lukisan-lukisan, seperti tempat siri (oko mama) dan tempat kapur (tiba). 1

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. yang diturunkan oleh Tuhan dengan terdapat suatu keistimewaan yang. memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM:

BAB IV PEMBAHASAN DATA PENELITIAN

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN

BATANG GARING TESIS. Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat. Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Bidang Sosiologi agama.

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN. berproses. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau

2 Berkarya Seni Rupa. Bab. Tiga Dimensi (3D) Peta Materi. Di unduh dari : Bukupaket.com. Jenis Karya. Berkarya Seni Rupa 3 D.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

MODUL SENI RUPA KELAS X TAHUN AJARAN BERKARYA SENI RUPA TIGA DIMENSI

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

I. PENDAHULUAN. Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni kebudayaan secara ideal

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB I PENDAHULUAN. dengan bangsa lainnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

MAKNA KULTURAL RAMBUT GIMBAL ALAMI (BOK GEMPEL) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN ORANG BALI. Bram Setiawan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan. untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang membuat kalangan lain merasa dirugikan.

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

BAB II LANDASAN TEORI. sudah tersebar diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Tembikar atau keramik atau porselen

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang. 1.1 Identifikasi Masalah. Maluku dengan Ibukota Ambon adalah salah satu provinsi yang terletak di

FAKTA SOSIAL DAN STRUKTUR KEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN EMILLE DURKHEIM. masyarakat Atoni tentang kuasa dan kepercayaan. Untuk mengenal fakta sosial dan

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

SAKRALITAS ALAM PERSPEKTIF MIRCEA ELIADE DAN RELEVANSINYA BAGI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI OLEH FRANSISKUS MAXIMILIANUS TAE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan,

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

Bab IV. Analisa. pemberian dari nenek moyang atau leluhur dari suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada penggunaan lambang suatu kerajaan (Zoest, 1993, hal. 6). Simbol

Bab I PENDAHULUAN. dihuni oleh roh-roh leluhur dan terdapat benda-benda peninggalan dari leluhur, serta nilai-nilai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,


BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN. A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. cukup kaya akan nilai sejarah kebudayaannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

AGAMA: FENOMENA UNIVERSAL

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL RITUAL KEMATIAN DAN PENGUBURAN JENAZAH. keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan hal ihwal ritus.

BAB I PENDAHULUAN. dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan

MAKNA PERAYAAN LIMBE DALAM MASYARAKAT DENGKA DULU DAN SEKARANG

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya, hingga pembahasan tentang yang sakral dan tidak sakral akan menjadi dasar untuk memahami bagaimana proses Batang Garing dipergunakan sebagai simbol Dayak Ngaju hingga menjadi simbol identitas kolektif atau identitas bersama bagi masyarakat di Kalimantan Tengah. A. Totemisme Totem atau dikenal dengan penyebutan simbol. Kata simbol sendiri berasal dari kata Yunani yaitu sumballeo, sumballein, atau sumballesthai yang berarti berunding, berdebat, merenungkan, bertemu, membantu, berwawancara, melemparkan menjadi satu, menyusun atau menyatukan, menetapkan, menggabungkan, menyetujui, membandingkan, menjelaskan, menafsir, atau mengapresiasi. 1 Simbol juga berarti menyatukan dua hal lalu menjadi satu. Kata ini berasal dari suatu kegiatan praktis pada masa lampau berupa sebuah cincin, koin, atau lempengan tanah liat yang dibagi menjadi dua, yang berarti untuk menggandakan perjanjian antara dua pihak. Setengah berarti pelengkap dari setengah yang lainnya. Kegiatan praktis dalam bentuk potongan suatu bagian dengan maksud untuk membandingkan dan 1 Thayer, Joseph Henry, A Greek English Lexicon of the New Testement, (Michigan:Zondervan Publishing House, 1981), 595. 8

mencocokkan pasangan adalah awal keberadaan simbol. Potongan-potongan dari suatu unit yang dibagi, keduanya disebut simbol. 2 Menurut Durkheim sendiri, dalam satu pemujaan terdapat sesuatu yang lebih primitif dan fundamental yaitu apa yang disebut sebagai totemisme. Kata totem baru muncul dalam etnografi menjelang abad ke-18. Pertama kali kata ini muncul dalam buku penafsiran Indian, J. Long yang diterbitkan di London tahun 1791. 3 Pemujaan totemisme ini ditemukan Durkheim ketika ia meneliti suku di Australia yang terbagi berdasarkan kolektif. Marga adalah satu kelompok yang memiliki tempat istimewa dalam kehidupan kolektif. Ada dua ciri marga yaitu, pertama individu-individu yang menjadi anggotanya merasa terikat oleh hubungan kekeluargaan. Ikatan ini sangat khas, karena mereka terikat dengan mamakai nama yang sama. Hal ini disebabkan karena secara kolektif mereka ditandai dengan kata atau nama yang sama. Setiap marga suku yang sama memiliki totem yang berbeda-beda dan objek-objek yang dijadikan sebagai totem berasal dari dunia binatang atau tumbuhan. Totem biasanya bukanlah bersifat individual, melainkan spesies atau ragam. Para leluhur dihadirkan dalam bentuk mitos sebagai bagian dari marga yang mengambil bentuk binatang atau tetumbuhan. 4 Akan tetapi ada pula totem yang berasal dari objek-objek yang dijadikan totem berasal dari benda-benda mati. Seperti yang dicatat oleh Howwit dari 500 nama-nama totemik, terdapat 40 nama yang berasal dari benda-benda mati seperti awan, hujan, matahari, bulan, api, asap, maupun air. Jadi, pemujaan totemisme terdapat di dalam masyarakat primitif yang masih sangat kaya dengan totem-totem yang biasanya mengambil wujud binatang sebagai 2 Savickas, Alfonsas, The Concept of SYMBOL in the Psychology of C.G.Jung, (Innsbruck: Resch Verlack, 1980), 2-3. 3 Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life, 126. 4 Ibid, 154. 9

representasi dari leluhur atau nenek moyang mereka. Ketika totem menjadi label kolektif maka dia sekaligus memiliki karakter religius. Segala sesuatu yang dikelompokkan sebagai Yang Sakral dan Yang Profan selalu ditujukan kepada totem. Totem bagi masyarakat primitif menduduki posisi sebagai yang sakral, oleh karena itu ia terpisah atau terisolasi dari hal yang profan. Sebagai suatu yang memiliki tingkat kesakralan yang tinggi tentu saja totem akan sangat berpengaruh dalam kehidupan individu maupun kelompok. 5 Ketika mereka memiliki totem maka mereka merasakan ada suatu keberanian di dalam diri mereka dan akan menjadikan totem sebagai identitas bagi mereka, maka disitulah mereka diikatkan dengan keyakinan bahwa apa yang menjadi totem adalah suatu yang sakral. Totem biasanya tidak bersifat individual, melainkan beragam. 6 Totem bukan hanya sekedar nama, melainkan sebuah lambang dan mirip dengan lencana pengenal untuk menunjukkan identitas yang tersebut. Jika terdapat dekorasi-dekorasi totemik, hal ini berarti bahwa totem bukanlah sekedar nama atau lambang saja, totem-totem tersebut digunakan dalam upacara-upacara religius sehingga totem itu kemudian memiliki lebel kolektif dan sekaligus memiliki karakter religius. Segala sesuatu yang diklasifikasikan sebagai yang Sakral dan yang Profan akan merujuk kepada totem tersebut. 7 Tumbuhan atau binatang yang sering dipakai sebagai totem berdasarkan objek yang riil, keprofanan tumbuhan dan binatang terletak pada fungsinya. Pada tahapan seseorang menggunakan tumbuhan atau binatang sebagai totemnya, keidentikan dalam nama juga menandakan keidentikan dalam hakikat. Bagi 5 Ibid, 154-155. 6 Ibid, 158. 7 Ibid, 170-178. 10

masyarakat primitif, nama bukan hanya sebuah kata namun nama menjadi sebuah being dan dia adalah bagian yang sangat esensial. 8 Totemisme individual muncul setelah totemisme marga, dan pada kenyataannya totemisme turun dari hal itu. Totemisme menempatkan representasi-representasi figuratif totem pada posisi tertinggi dari segala hal yang dianggap sakral, selanjutnya disusul oleh tumbuhan dan binatang. Perasaan yang muncul lahir dari kesadaran orang yang percaya dan yang membentuk kesakralan, hal-hal tersebut hanya bisa muncul dari satu prinsip yang samasama yang dipegang yaitu lambang-lambang totemik, anggota marga, dan tumbuhan atau binatang tertentu yang dijadikan totemik. Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tuju pemujaan. Totem adalah sumber kehidupan moral dari sebuah marga. 9 Bagi Durkheim, totem merupakan sebuah simbol, ungkapan, dan ekspresi yang kasat mata. Ia mengekspresikan dan menyimbolkan dua hal yang berbeda. 10 Pertama, totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari apa yang diistilahkan dengan prinsip totemik atau Tuhan. Kedua, totem juga merupakan sebuah simbol dari masyarakat. Namun, walaupun totem menyimbolkan dua hal yang berbeda, ada suatu respek yang sama yang ditimbulkannya dalam diri setiap individu. Respek yang ditimbulkan terhadap sesuatu yang divinitas sama dengan respek yang ditimbulkan setiap individu atau anggota terhadap masyarakatnya. Maka, prinsip totemik bagi marga adalah marga atau masyarakat itu sendiri, yaitu masyarakat yang diimajinasikan dalam wujud fisikal tetumbuhan atau binatang yang kemudian dijadikan totem. Oleh karena itu, setiap individu harus mematuhi aturan-aturan tingkah laku dan pikiran yang 8 Ibid, 191-200. 9 Ibid, 280-283. 10 Ibid, 155. 11

dibuat oleh masyarakat, sebagai bentuk rasa hormat dan respek yang tinggi terhadap masyarakat. 11 Menurut Eliade, ia kemudian menjelaskan bahwa bahasa yang sakral ditemukan dalam simbol dan juga mitos. Simbol berakar pada prinsip-prinsip seperti keserupaan atau analogi. Dalam bidang pengalaman agama, beberapa hal dilihat serupa dengan atau mengesankan yang Sakral dan dari hal itu memberi petunjuk pada yang supernatural. Mitos juga merupakan simbolik, tetapi dalam suatu cara yang sedikit lebih complicated. Mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita. Sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau benda, melainkan serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Contohnya seperti suatu dongeng tentang para dewa, leluhur, pahlawan, dan dunia supernaturalnya. 12 Eliade berpendapat bahwa di manapun lokasi yang kita pilih atau di manapun sejarah yang kita lihat, beberapa simbol, mitos, dan ritual yang umum akan terus muncul. Adapun cara dari simbol ini bekerja yaitu, hal pertama yang harus diperhatikan adalah mengenai segala sesuatu yang dapat menjadi satu. Sebagian besar hal yang merupakan kehidupan setiap hari adalah profan. Tetapi pada saat yang lain, segala yang profan dapat juga diubah menjadi sesuatu yang lebih atau menjadi sebuah tanda yang bukan profan, yaitu menjadi yang sakral. 13 Dalam menjelaskan hal yang Sakral dan yang Profan, Eliade mengemukakan bahwa sekat antara yang Sakral dan yang Profan akan jelas ketika sampai pada sebuah deskripsi ruang dan waktu dari yang Sakral. Menurutnya ruang dan waktu yang sakral adalah riil, nyata, permanen, dan abadi. Sedangkan ruang dan waktu dari yang Profan lebih labil dan selalu 11 Ibid, 305. 12 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, (Jogyakarta:2011), 284. 13 Ibid, 286. 12

berubah-ubah. 14 Ide tentang ruang yang sakral menggambarkan bagaimana ruang yang dianggap nyata. Ruang yang nyata menjadi pusat bagi ruang yang lainnya. Baginya, manusia mendiami sebuah dunia tengah, yaitu antara dunia luar yang kacau dan dunia dalam yang Sakral. Namun, diperbaharui oleh praktek dan ritual yang sakral. 15 B. Fungsi Totem Bagi Emile Durkheim totem adalah simbol klan dan Tuhan sekaligus, karena Tuhan dan klan pada dasarnya adalah hal yang sama. Penyembahan terhadap Tuhan atau Dewa-dewa sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitif mengekspresikan dan memperkuat kepercayaan mereka kepada klan. Binatang atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan menjadi totem karena klan tidak menginginkan sesuatu yang akan jadi simbol berasal dari hal-hal yang jauh dan membingungkan. Yang diperlukan adalah objek yang spesifik, nyata, dan dekat dengan keseharian masyarakat. Tujuan utama totemisme adalah untuk menyatakan kesalingterkaitan berbagai hal, hubungan-hubungan yang sangat rumit yang mengikat seseorang dengan orang lain di dalam klan, kaitan klan dengan alam fisik, dan akhirnya kaitan-kaitan antara berbagai fenomena alam itu sendiri. Maka, dipahami bahwa prinsip-prinsip totem ini juga dapat menjelaskan setiap agama. Kepercayaan terhadap roh atau jiwa adalah sama saja dalam perspektif ini. Totemisme akan memperlihatkan bagaimana sebuah kepercayaan tumbuh dan berkembang. Ide tentang jiwa sebenarnya adalah prinsip-prinsip totem yang dicangkokkan kepada setiap individu. 16 14 Ibid, 303. 15 Ibid, 304. 16 Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life, 154. 13

Durkheim menyatakan bahwa keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Pemujaan terhadap totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan kepada klan. Memakai totem adalah penegasan dan bantuan kepada kelompok, sebuah cara simbolis setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepentingan klan lebih utama dari kepentingan individu. 17 Dengan sendirinya, ritual-ritual totem akan menjelaskan perilaku- perilaku keagamaan sama dengan ide-ide tentang totem dapat menjelaskan keyakinan religius. Konsep tentang masyarakat sekali lagi akan memegang kata kunci. Fungsi ritual keagamaan yang jauh lebih penting daripada keyakinan ini akan memberikan kesempatan bagi setiap anggota masyarakat untuk memperbaharui komitmen mereka kepada komunitas, mengingatkan bahwa dalam keadaan apa pun, diri mereka akan selalu bergantung kepada masyarakat, sebagaimana masyarakat juga bergantung kepada keberadaan mereka. 18 Adapun fungsi simbol sendiri adalah fungsi bahasa. Maksudnya adalah seperti yang dinyatakan oleh J.A. Hostletler, fungsi simbol yaitu sebagai channel atau saluran untuk segala kepercayaan dan sikap yang dilalui dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Simbol juga sebagai saluran bagi emosi manusia, dimana simbol bukan saja dari hasil prosedur pemikiran, namun juga simbol dari suatu proses historis. Bagi Hostlether, fungsi simbol cenderung memperkuat budaya dan memelihara identitas. 19 Selain itu, fungsi dari simbol juga diuraikan oleh Godfrey Lienhardt. Fungsi simbol menurutnya yaitu suatu maksud untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan. Simbol tidak hanya mengusulkan perubahan atas status moral dan sosial tetapi juga membawa perubahan tersebut atas suatu masyarakat. Umumnya simbol 17 Ibid, 159. 18 Ibid, 160. 19 John Saliba, Homo Religiosus in Mercea Eliade, (Leiden: E.J.Brill, 1976), 83. 14

seperti ini seringkali identik dengan referensinya, sehingga masyarakat berperilaku terhadap simbol seperti terhadap yang disimbolisasikan. Simbol ini kemudian, tidak hanya membawa hasil yang diinginkan, tetapi tindakan dari simbol itu juga berfungsi sebagai pelengkap dan persiapan untuk tindakan praktis atau teknis. 20 Victor W. Turner juga membahas mengenai fungsi dari simbol ini. Ia menyatakan bahwa fungsi simbol tidak berada dalam alam sadar, melainkan di bawah alam sadar. Namun, tidak berarti simbol tidak masuk akal atau tanpa logika. Fungsi simbol yang ia maksudkan yakni simbol itu berjalan menurut aturan-aturan dan terstruktur. Simbol melibatkan mekanisme proyeksi alam bawah sadar, tetapi juga sebagian diatur oleh pemikiran konseptual alam sadar. Analisa struktur mitos dan ritual didasarkan pada logika terhadap presentasi simbolik dan berusaha menimbulkan makna dari ritual dan kepercayaan religius melalui suatu analisa kerangka simbol. Pendekatan ini menekankan bahwa simbol sering membentuk suatu pola yang terstruktur, yaitu bahwa makna suatu simbol tertentu berhubungan dengan simbol lain yang terdapat dalam suatu kelompok simbol itu sendiri. 21 Makna simbol dapat dicapai jika dilihat sebagai bagian dari suatu sistem kompleks dari ide-ide yang saling berhubungan. Oleh karena itu, bagi Turner simbol dapat menjadi multivalent yaitu menyatakan motivasi yang berbeda. Simbol juga dapat menjadi multivocal yaitu memiliki ideologi dan kognitif yang berbeda. Simbol dapat memiliki banyak makna pada saat yang sama. Namun simbol-simbol yang berbeda dapat pula mengandung suatu ide umum atau mengandung pola simbolik yang sama, yang terdapat dalam situasi-situasi ritual yang berbeda. Simbol-simbol yang dominan dalam konteks ritual adalah kunci utama dalam 20 Ibid, 84. 21 Ibid, 85. 15

menafsirkan motivasi, ideologi, dan kognitis suatu masyarakat. 22 C. Yang Sakral dan Yang Profan Durkheim menyatakan bahwa dasar dari kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak agama tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan. Dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural yakni pembedaan atas apa yang natural dan supernatural, melainkan konsep The Sacred atau Yang Sakral. Sehingga dalam masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu Yang Sakral dan Yang Profan. 23 Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu Yang Sakral dan Yang Profan. Yang sakral adalah sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa, dihormati. Sementara, Yang Profan adalah kehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja. Yang Sakral berada dalam masyarakat, sementara Yang Profan ada dalam konteks individu. Untuk menjelaskan konsepkonsep ini, Durkheim meneliti mengenai masyarakat dengan agama totemisme yaitu agama yang dianggap sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam sejarah manusia. 24 Durkheim menyebutkan bahwa yang sakral merupakan pengalaman kemasyarakatan yang menjadi lambang kebersatuan transenden yang dimanifestasikan dalam simbol-simbol masyarakat, sementara yang profan merupakan pengalaman individual yang dianggap lebih rendah dari pengalaman sakral. Baginya adalah sia-sia mencoba memahami individu hanya dengan memahami insting biologis, psikologi individu, atau kepentingan pribadi. Untuk memahami 22 Ibid, 86. 23 Pals, Daniel L, Seven Theories of Religion, 148. 24 Ibid, 149. 16

agama, ia berpaling dari studi mengenai individu, dan menyatakan bahwa ide tentang masyarakat adalah roh agama. 25 Dalam pengertian yang lebih luas, Yang Sakral adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, dan pengacauan atau pencemaran. Sesuatu Yang Sakral adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini, pengertian tentang Yang Sakral tidak hanya terbatas pada agama saja, melainkan objek yang banyak baik bersifat keagamaan atau bukan, tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan, dan gagasan-gagasan dapat dianggap sebagai Sakral. Pengertian sebaliknya, Yang Profan adalah suatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat sementara, atau di luar yang religius. 26 25 Ibid, 149. 26 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1995), 87. 17