171,9 Juta 78,6% 76,2%

dokumen-dokumen yang mirip
MEMANTAPKAN LANGKAH MENUJU INDONESIA YANG LEBIH SEHAT

PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN. Pembukaan Majenas II SPN

Upah Minimum atau Iuran PBI

PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Perbaikan sistem pembiayaan kesehatan era JKN menuju Universal Health Coverage

KEBIJAKAN DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN PRIMER. Dr. Maya A.Rusady,M.Kes,AAK Direktur Pelayanan

drg. Usman Sumantri, MSc. Dewan Jaminan Sosial Nasional

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat untuk memperoleh

VISI DAN MISI BPJS KESEHATAN TAHUN Fachmi Idris Direktur Utama

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN

Reformasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia

MEKANISME KAPITALISASI DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Maulana Yusup STIE Pasundan Bandung

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

AGENDA. PERAN MAHASISWA pada PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL- KARTU INDONESIA SEHAT 1/4/2018. Dr. Bimantoro R, AAK Kepala Cabang Semarang

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero)

DUKUNGAN REGULASI DALAM PENGUATAN PPK PRIMER SEBAGAI GATE KEEPER. Yulita Hendrartini Universitas Gadjah Mada

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Evaluasi Pelayanan JKN-KIS Tahun 2017 Wilayah DKI Jakarta Dan Implementasi Vedika. BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Jabodetabek

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BEBAN PENYAKIT TERKAIT ROKOK TERHADAP JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam rangka mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi jaminan kesehatan nasional

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

VI. PENUTUP A. Kesimpulan

PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang ditetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kasus-kasus Perselisihan antara Hak Pasien dan Standar Biaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. 6

DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Sambutan Ketua DJSN. Pada Pembukaan Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2017

Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN

PENGGUNAAN DATA DALAM MENDUKUNG PELAYANAN KESEHATAN. dr. TOGAR SIALLAGAN, MM KEPALA GRUP PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

dr. Mohammad Edison, MM., AAK

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan.

2017, No Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 200

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT

TATA KELOLA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT

HASIL MONITORING DAN EVALUASI SEMESTER I TAHUN Bandung, 25 Agustus 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Salah satu prinsip dasar pembangunan kesehatan yaitu setiap orang

IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL. dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang menganut prinsip negara

TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendapatan per kapita saat itu hanya Rp. 129,615 (sekitar US$ 14) per bulan.

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IMPLEMENTASI PELEPASAN INFORMASI MEDIS DALAM SISTEM PEMBAYARAN E KLAIM BPJS KESEHATAN DR BIMANTORO R, AAK

MATERI DJSN PELAKSANAAN PROGRAM JKN PROPINSI KALSEL Tahun

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN BUPATI DHARMASRAYA NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

EVALUASI PELAKSANAAN JKN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Peta Potensi Korupsi Dana Kapitasi Program JKN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

PENCEGAHAN FRAUD DALAM PELAKSANAAN JKN KOMISI VIII

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal

Peta Jalan Menuju JAMINAN KESEHATAN NASIONAL didukung oleh:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek

ESENSI DAN UPDATE RENCANA PENYELENGGARAAN BPJS KESEHATAN 1 JANUARI 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR : 39 TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Definisi kesehatan menurut undang-undang nomor 36 tahun 2009 adalah

POTENSI FRAUD DAN MORAL HAZARD DALAM PENYELENGGARAAN JKN BPJS KESEHATAN

PRIORITAS PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS BPJS KESEHATAN Chairul Radjab Nasution Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan. Dalam Undang Undang 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

Transkripsi:

2014 1. Mulai Beroperasi 2. 121,6 juta peserta (49% populasi) 3. Manfaat medis standar dan manfaat non-medis sesuai kelas rawat 4. Kontrak fasilitas kesehatan 5. Menyusun aturan teknis 6. Indeks kepuasan peserta 75% 7. Indeks kepuasan fasilitas kesehatan 65% 8. BPJS Dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel 2016 171,9 Juta 78,6% 76,2% KONDISI AWAL PROGRAM 2019 1. Kesinambungan Operasional 2. 257,5 juta peserta (100% populasi) 3. Manfaat medis dan non-medis standar 4. Jumlah fasilitas kesehatan cukup 5. Peraturan direvisi secara rutin 6. Indeks kepuasan peserta 85% 7. Indeks kepuasan fasilitas kesehatan 80% 8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel KONDISI AKHIR YANG DIHARAPKAN 2016

RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN PENGELOLAAN PROGRAM DAN LAPORAN KEUANGAN JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TAHUN 2016

Pengantar Universitas Indonesia, dalam hal ini Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI) menemukan bahwa dalam jangka pendek, program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kinerja sektor lainnya. Pada saat seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki KIS di tahun 2019, atau pada masa tercapainya Cakupan Sehat Semesta, program ini akan berkontribusi terhadap perekonomian nasional sebesar 269 triliun rupiah dan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja sebesar 2,3 juta orang. Multipier efeknya masuk ke semua sektor, terbesar pada sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Penelitian yang dilakukan di Tahun 2016 oleh LPEM UI ini, dengan topik Kajian Dampak Ekonomi Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-KIS bagi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, merekomendasikan agar penerapan Program JKN-KIS tidak dipandang sebagai biaya (cost), tetapi dipandang sebagai investasi jangka panjang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Juga disimpulkan bahwa program ini adalah wujud nyata dari peran serta Indonesia dalam menyukseskan Sustainable Development Goals (MDG). Selanjutnya didapatkan dari hasil kajian, bahwa dalam jangka panjang program JKN-KIS dapat meningkatkan modal manusia melalui peningkatan angka harapan hidup. Program JKN-KIS juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melalui peningkatan akses terhadap jasa layanan kesehatan. Dari sisi kesehatan, kenaikan kepemilikan KIS sangat berdampak, yaitu meningkatnya pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap, serta durasi rawat inap selama 0,86 hari. Atas hasil kajian bermakna LPEM FEB-UI dan adanya catatan positif dari Laporan Hasil Kinerja dari BPK RI, serta hasil-hasil lainnya, utamanya adalah rapor hijau dari Kantor Staf Kepresidenan, tentu saja masih ada hal-hal yang masih harus diperbaiki oleh BPJS Kesehatan sepanjang tahun 2016 dalam pelaksanaan program JKN-KIS Pencapaian Cakupan Sehat Semesta atau Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2019, akan meningkatkan angka harapan hidup (AHH) sebesar 2,9 tahun. Kenaikan 1% kepesertaan JKN-KIS akan meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebesar 1 juta rupiah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, juga melihat hal yang positif dalam pelaksanaan program ini. Dari Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tahun 2015 sampai dengan Semester I Tahun 2016, meskipun masih terdapat permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyelenggaraannya, BPK RI mencatat capaian yang telah diperoleh BPJS Kesehatan yang berhubungan dengan upaya mencapai UHC 2019, yaitu: telah meningkatnya aksesibilitas peserta terhadap informasi BPJS Kesehatan. Capaian lain yang dicatat BPK RI, BPJS Kesehatan: 1) telah mencapai target kepesertaan pada tahun 2015 untuk segmen peserta PPU PNS, PPU Eks Jamkesmas, PBPU, BP PP TNI/POLRI dan BP Perintis Kemerdekaan telah melebihi 100%; 2) telah menyusun tolok ukur efektifitas penggunaan dana kapitasi pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), berupa indikator Angka Kontak, Rasio Rujukan Non Spesialistik, dan Prolanis; 3) telah melaksanakan proses credentialing provider BPJS Kesehatan untuk memastikan bahwa provider BPJS Kesehatan layak melakukan pelayanan medis sesuai tingkatannya; serta 4) telah melaksanakan monitoring dan evaluasi capaian dan pemutakhiran data kepesertaan yang dilakukan secara periodik. Atas hasil kajian bermakna LPEM FEB-UI dan adanya catatan positif dari Laporan Hasil Kinerja dari BPK RI, serta hasil-hasil lainnya, utamanya adalah rapor hijau dari Kantor Staf Kepresidenan, tentu saja masih ada hal-hal yang masih harus diperbaiki oleh BPJS Kesehatan sepanjang tahun 2016 dalam pelaksanaan program JKN- KIS. Hal ini mengingat bahwa kinerja BPJS Kesehatan di tahun 2016, yang merupakan tahun ketiga implementasi strategi BPJS Kesehatan 2014-2019, akan sangat berdampak pada keberlangsungan program di tahun-tahun berikutnya. Kinerja BPJS Kesehatan sendiri pada tahun 2016, berorientasi pada tiga fokus utama, yaitu: Sustainabilitas Finansial, Pemantapan Pelayanan, dan Optimalisasi Revolusi Mental 2

di BPJS Kesehatan. Kinerja ini dapat dilihat dari ringkasan eksekutif laporan pengelolaan program dan laporan keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2016 yang akan disampaikan ini, dengan mengacu kepada tiga fokus utama tersebut. Dimulai dengan sub laporan tentang permasalahan mendasar, dilanjutkan dengan laporan atas sustainabilitas finansial, pemantapan pelayanan, dan optimalisasi revolusi mental. Kemudian ringkasan laporan ini akan diisi dengan sub laporan tentang kontribusi operasional, penghargaan yang didapat sepanjang tahun 2016, Tata Kelola yang Baik dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Distribusi KIS, serta hal-hal yang memerlukan perhatian Pemerintah untuk suksesnya program di masa mendatang. Permasalahan Mendasar BPJS Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan mendasar bahwa premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini. Kondisi ini menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) terhadap program jaminan kesehatan. Tantangan pelaksanaan program JKN-KIS saat ini dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS), yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. Penetapan iuran oleh pemerintah belum sesuai dengan besaran iuran yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy brief penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tahun 2015 (mismatch). Dalam bahasa sederhana, dapat dikatakan bahwa penetapan manfaat belum disesuaikan dengan kemampuan pendanaan program. Hal di atas kemudian diperparah dengan terjadinya adverse selection, insurance effect, lemahnya regulasi dalam kendali tingkat utilisasi dan potensi fraud yang terjadi. Untuk beberapa kondisi terakhir ini, setelah program berjalan selama 3 tahun, upaya untuk mengatasinya sudah semakin optimal, khususnya kemungkinan overconsume atas pemanfaatan program ini oleh masyarakat sudah mulai dikendalikan. Tabel 1: Perbandingan antara Angka Ideal Besarnya Iuran Program Berdasarkan Perhitungan Aktuaria dan Besarnya Penetapan Iuran oleh Pemerintah Segmen Peserta Perhitungan Aktuaria DJSN* Penetapan Pemerintah (Dalam Rupiah) Selisih 1 2 3 4=3-2 PBI 36.000 23.000 (13.000) PBPU a. Kelas I 80.000 80.000 - b. Kelas II 63.000 51.000 (12.000) c. Kelas III 53.000 25.500 (27.500) PPU a. Potongan Upah b. Batas Atas Upah c. Batas Bawah Upah *) perhitungan tahun 2015 6% 5% -1% 6xPTKP K/1 8.000.000 UMR per daerah Tidak ada Sumber: Policy Brief Penyesuaian Besaran Iuran Program JKN - Dewan Jaminan Sosial Nasional, Mei 2015 Jumlah dan bauran kepesertaan yang selalu diopinikan akan dapat menyelesaikan masalah kecukupan dana manakala semua peserta sehat bergabung dan seluruh penduduk Indonesia sudah terdaftar menjadi peserta JKN-KIS, setelah dihitung, ternyata terbukti tidak dapat menutup defisit yang terjadi, sepanjang iuran belum disesuaikan dengan hitungan aktuaria DJSN RI sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Perhitungan terbaru yang dilakukan bersama, Yves Guerard (International Actuary Expert) dan ahli lainnya. serta lembaga yang ada (Kasir Iskandar, Didit Achdiat, Prof. Budi Hidayat, Prof. Hasbullah T, World Bank, USAID), menunjukkan satu-satunya intervensi untuk mengatasi keberlangsungan program adalah penyesuaian iuran. Kesimpulan atas perhitungan ini juga sudah memasukkan intervensi pada sisi pengeluaran melalui kendali biaya yang sangat ketat, namun tetap dalam kerangka menjaga mutu layanan kesehatan untuk mencegah defisit. Pilihan lain untuk mengatasi defisit, adalah mengurangi manfaat program. Namun ini tidak direkomendasikan. Misalnya, cukup satu manfaat saja yang tidak ditangggung, contohnya hilangkan pelayanan untuk kelompok penyakit jantung, maka defisit akan selesai dengan sendirinya. Pilihan selanjutnya adalah, pemerintah 3

memberikan suntikan dana tambahan. Pilihan ini yang dilakukan pemerintah, mengingat pilihan menaikkan iuran harus memperhatikan kondisi masyarakat, dan pilihan mengurangi manfaat akan menimbulkan masalah sosial baru. Fokus Sustainabilitas Finansial Pengelolaan keuangan menjadi hal yang sangat substansial dalam penyelenggaraan program JKN oleh BPJS Kesehatan. Seiring bertambahnya peserta JKN-KIS yang berdampak pada peningkatan akses kepada fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan menghadapi situasi yang kontradiktif antara kualitas layanan dengan risiko keuangan yang harus dikelola. Setiap upaya peningkatan kualitas layanan kepada peserta membawa konsekuensi peningkatan risiko pembiayaan pelayanan kesehatan. Kecermatan dalam mengelola arus kas amat dibutuhkan karena: 1. Kondisi Likuiditas yang Ketat Pembiayaan pelayanan kesehatan adalah suatu hal mutlak yang harus dipenuhi oleh BPJS Kesehatan, mengingat ketentuan ketepatan waktu pembayaran klaim manfaat kepada fasilitas kesehatan bersifat mandatori, sesuai amanat Undang-undang. Sementara itu, terdapat risiko ketidakpastian BPJS Kesehatan dalam menerima pengumpulan dana iuran dari peserta. Ketatnya likuiditas keuangan tercermin pada kondisi dimana iuran yang diterima pada setiap bulannya langsung terserap untuk pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan di bulan tersebut. 2. Kondisi Likuiditas yang Sangat Dipengaruhi oleh Regulasi Sumber dana yang dapat dikelola oleh BPJS Kesehatan telah diatur secara spesifik oleh regulasi, termasuk di dalamnya pengaturan terkait besaran iuran yang dapat diterima dari peserta. Pengelolaannya pun harus mengacu pada ketentuan yang ada. Penggunaan dana, terutama untuk membayar pelayanan kesehatan yang telah diberikan fasilitas kesehatan kepada peserta telah diatur sesuai tarif dan jadwal pembayaran yang telah ditetapkan. Hal ini menyebabkan ruang gerak BPJS Kesehatan relatif terbatas untuk mengatur likuiditasnya. Namun demikian, BPJS Kesehatan tetap berupaya untuk mengelola keuangan dengan efektif dan efisien, serta melakukan adaptasi atas situasi di atas melalui berbagai kebijakan yang ada dalam kewenangannya, namun dengan tetap penuh kehati-hatian (prudent) dan taat azas (comply). Keberhasilan BPJS Kesehatan mempertahankan program JKN-KIS untuk terus berlangsung sampai saat ini, sangat didukung oleh komitmen pengelolaan keuangan yang cermat dan penuh kehati-hatian. Selama tiga tahun penyelenggaraan Program JKN-KIS, beberapa langkah sudah diambil guna memastikan BPJS Kesehatan tetap sustain secara finansial dalam mengelola Program JKN- KIS. Upaya yang telah dijalankan di tahun 2016, dan akan terus ditingkatkan dan diefektifkan, diantaranya: Peningkatan rekrutmen peserta potensial dan meminimalkan adverse selection Peningkatan kolektibilitas iuran peserta dari seluruh segmen Peningkatan kepastian dan kemudahan pembayaran iuran Penerapan penegakan hukum (law enforcement) bagi fasilitas kesehatan, peserta, atau Badan Usaha yang melanggar Efisiensi dan efektifitas pengelolaan dana program serta optimalisasi kendali mutu dan kendali biaya Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan. Sebagaimana diketahui, di tahun pertama berjalannya Program JKN-KIS, terjadi adverse selection yang menyebabkan tingginya tingkat pemanfaatan yang akhirnya berdampak pada biaya pelayanan kesehatan yang melonjak. Kecenderungan masyarakat untuk mendaftar ketika sakit masih terjadi, meskipun sudah diberlakukan masa aktif 14 hari. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan terus berupaya meminimalkan adverse selection, demi mendorong terjadinya subsidi silang secara adil. Terkait peningkatan kolektabilitas iuran peserta khususnya pada segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), telah dibangun sistem pembayaran iuran yang efektif. Tidak optimalnya tingkat kolektibilitas iuran selain disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk membayar (ability to pay) atau kesediaan untuk membayar (willingness to pay), tetapi juga dikarenakan informasi tentang saluran (channel) pembayaran dan tata cara pembayaran iuran belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh peserta. Oleh karena itu, selain sosialisasi yang berkesinambungan, ketersediaan payment point terus dikembangkan dan semakin diperluas, mulai dari kanal konvensional hingga digital, guna memastikan dan mempermudah masyarakat memahami tata cara pembayaran 4

iuran, sosialisasi secara cermat, kontinu dan efektif terus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan dalam membayar iuran. Fokus Pemantapan Pelayanan Pengembangan faskes dan penguatan sistem rujukan pada dasarnya telah menjadi fokus perhatian pemerintah ketika mempersiapkan operasional Program JKN. Hal ini tercantum dalam Peta Jalan JKN 2012-2019 yang disusun oleh DJSN, khususnya dalam aspek pelayanan kesehatan. Besarnya cakupan peserta dalam program JKN-KIS merupakan tantangan besar yang harus dijawab bersama melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata. Hal ini hanya dapat diwujudkan apabila Indonesia memiliki pelayanan primer yang kuat dan merata hingga seluruh pelosok negeri. Penguatan pelayanan primer telah mulai dilakukan sejak awal BPJS Kesehatan beroperasi. Meskipun tidak sedikit pihak yang memandang skeptis bahwa konsep penguatan layanan primer ini bukanlah solusi untuk membenahi pelayanan kesehatan di Indonesia, namun terbukti di negara-negara maju pelayanan kesehatan primer yang kuat dapat menunjang peningkatan derajat kesehatan masyarakat, sekaligus menjaga kendali biaya pelayanan kesehatan. Terkait pemantapan pelayanan, pada tahun 2016 telah ditetapkan strategi pengendalian mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan, diantaranya: - Peningkatan kerjasama fasilitas kesehatan - Pembayaran berbasis kinerja, dan - Penguatan peran dan fungsi Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB). Serta strategi pengendalian biaya pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan, yang meliputi: - Penataan rujukan berjenjang - Pencegahan kecurangan, dan - Audit klaim. Dari sisi pemantapan pelayanan, BPJS Kesehatan terus meningkatkan jumlah Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama agar dapat melayani Peserta JKN-KIS. Saat ini jumlah Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan telah mencapai 20.708 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), yang terdiri dari Dokter Prakter Perorangan, Klinik Pratama, Klinik TNI/POLRI, RS tipe D Pratama, serta Puskesmas di seluruh Indonesia. Sementara itu untuk pelayanan kesehatan di tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 2.068 Fasilitas Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), yang terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Swasta, TNI/POLRI, RS milik BUMN, dan Klinik Utama. Ditambah lagi, 3.094 Fasilitas Kesehatan Penunjang (Apotik dan Optik) yang dapat melayani Peserta JKN-KIS di seluruh Indonesia. Jumlah fasilitas kesehatan bekerja sama ini akan terus ditingkatkan, mengingat jumlah Peserta JKN-KIS yang akan terus bertambah setiap harinya seiring dengan perluasan kepesertaan menuju universal health coverage pada 1 Januari 2019. Disadari bahwa penguatan layanan fasilitas kesehatan di Indonesia bukanlah pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, namun membutuhkan proses yang panjang dan perlu dukungan kuat dan keterlibatan dari para stakeholder. Dari sisi internal BPJS Kesehatan, optimalisasi kualitas pelayanan terus dilakukan melalui penguatan strategi kendali mutu kendali biaya, termasuk dalam pendeteksian fraud dan abuse di tingkat layanan primer dan lanjutan. Fungsi ini tidak terlepas dari verifikator Manajemen Pelayanaan Kesehatan Primer di seluruh Divisi Regional dan Kantor Cabang se- Indonesia. Hal penting lainnya, upaya membangun kemitraan strategis dengan melibatkan Dinas Kesehatan, Organisasi Profesi, dan asosiasi faskes di wilayah kerja masing-masing untuk mendukung peningkatan komitmen Faskes, serta optimalkan peran dan fungsi TKMKB dalam meningkatkan mutu layanan dan menjaga kendali biaya di FKRTL termasuk dalam mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam penyelenggaraan Program JKN-KIS. Komunikasi dan kemitraan yang dibangun dengan faskes dijalankan berdasarkan asas kesamaan dan kesetaraan, serta saling menghargai. Apabila ada faskes yang tidak menjalankan komitmennya untuk melayani peserta JKN-KIS dengan optimal, akan dikomunikasikan dengan baik kepada Manajemen Rumah Sakit, dan dengan hadirnya form Walk Through Audit yang dapat dioptimalkan untuk menjaga komitmen faskes dalam memberikan pelayanan prima kepada peserta. 5

Fokus Optimalisasi Revolusi Mental Sebagai badan hukum yang melayani masyarakat dalam bidang jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan senantiasa berperan serta dalam mendukung setiap program Pemerintah. Maka, sebagai bentuk nyata dukungan terhadap Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), pada tanggal 23 Oktober 2015, BPJS Kesehatan melaksanakan Pencanangan GNRM terbesar di Indonesia, karena dilakukan secara serentak di 34 Provinsi dengan menggunakan sumber daya yang selaras dengan Program Manajemen Perubahan BJS Kesehatan. Pencanangan GNRM merupakan bentuk komitmen BPJS Kesehatan untuk senantiasa memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat, khususnya bagi peserta BPJS Kesehatan. Untuk tujuan tersebut, BPJS Kesehatan merumuskan indikator keberhasilan yang terukur dan kemudian melakukan program dan kegiatan untuk pencapaiannya. BPJS Kesehatan menjadi laboratorium pelaksanaan Revolusi Mental bagi seluruh Lembaga/Kementerian lainnya. BPJS Kesehatan menyederhanakan proses pendaftaran bagi peserta, dengan cara yang ringkas dan waktu yang singkat melalui mekanisme drop box. Mekanisme ini terus dikembangkan dan disempurnakan implementasinya di tahun 2017. Indikator-indikator keberhasilan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang disusun untuk memastikan pelaksanaan Revolusi Mental berjalan dibuat secara terukur. Penguatan layanan terus dilakukan melalui berbagai program dan inovasi seluruh unit operasional organisasi melalui penguatan change management yang telah dijalankan sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi. Beberapa Kantor Cabang kemudian ditunjuk sebagai Pilot Project dalam implementasi Gerakan Nasional Revolusi Mental. 6

Kontribusi Operasional Hasil jerih payah BPJS Kesehatan dalam melaksanakan program kegiatannya sepanjang tahun 2016 tercermin dalam gambaran hasil kegiatan operasional sebagai berikut: 1. Cakupan Kepesertaan Grafik 1: Pencapaian Jumlah Peserta Tahun 2014-2016 dan Perbandingan UHC dengan Negara Lain Keterangan: UHC: Universal Health Coverage (Jaminan Kesehatan Seluruh Penduduk) Selama periode 3 tahun cakupan kepesertaan terus mengalami peningkatan, sampai dengan 31 Desember 2016 mencapai 171.939.254 jiwa. Jumlah peserta pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 17,51% dibandingkan tahun 2014 (133.423.653 jiwa), dengan ratarata peningkatan jumlah peserta per triwulan sebesar 4,38% atau 5.841.659 jiwa. Pada tahun 2016, jumlah peserta mengalami sebesar 9,66% dibandingkan tahun 2015 (156.790.287 jiwa) dengan rata-rata peningkatan jumlah peserta per triwulan sebesar 2,42% atau 3.787.242 jiwa. Peningkatan jumlah cakupan peserta antara lain disebabkan semakin efektifnya program pemasaran sosial yaitu melalui kegiatan sosialisasi secara langsung (sosialisasi kepada komunitas, pekerja/pemberi kerja, tokoh masyarakat/tokoh agama/masyarakat umum, dan forum komunikasi para pemangku kepentingan utama) maupun tidak langsung (kegiatan promosi melalui berbagai media). Cakupan kepesertaan di Indonesia dalam rangka mencapai universal health coverage (UHC) dalam periode 3 tahun telah berkembang cukup pesat. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri mengingat apabila dibandingkan dengan negara lain penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia relatif jauh lebih singkat. Di Asia, dimana kultur dan kondisi wilayahnya relatif sama dengan Indonesia, negara Korea Selatan dan Jepang mencapai UHC setelah 26 tahun dan 36 tahun. Sedangkan yang periode pencapaian UHC paling lama adalah Jerman, yaitu dalam kurun waktu 127 tahun, namun negara Jerman juga merupakan negara yang paling dulu menerapkan sistem jaminan sosial kesehatan (social health insurance). 7

2. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Yang Bekerjasama Tahun 2014-2016 Grafik 2: Pencapaian Jumlah FKTP yang Bekerjasama Tahun 2014-2016 Dalam upaya meningkatkan hubungan kemitraan dengan FKTP, telah dilaksanakan beberapa program yaitu Supervisi FKTP, Pertemuan Koordinasi dengan Faskes Tingkat Pertama dan Pertemuan Kemitraan dengan Dinas Kesehatan/ Pemerintah Daerah Provinsi. 3. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) Yang Bekerja Sama Tahun 2014-2016 Grafik 4: Pencapaian Jumlah FKRTL yang Bekerjasama Tahun 2014-2016 Grafik 3: Jumlah FKTP yang Bekerjasama per Jenis FKTP Tahun 2016 Grafik 5: Jumlah FKRTL yang Bekerjasama per Jenis FKRTL Tahun 2016 Sejalan dengan bertambahnya jumlah peserta, sebagai upaya meningkatkan pelayanan kepada peserta maka terus dilakukan perluasan kerjasama dengan fasilitas kesehatan. Untuk faskes tingkat pertama, sampai dengan 31 Desember 2016 jumlah FKTP (termasuk FKTP Gigi) yang bekerjasama sebanyak 20.708 FKTP atau meningkat sebesar 3,70% dari tahun 2015 (19.969 FKTP), dengan rata-rata penambahan jumlah FKTP bekerjasama per triwulan sebanyak 185 FKTP. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah FKTP bekerjasama meningkat sebesar 8,31% dari tahun 2014 (18.437 FKTP) dengan rata-rata penambahan jumlah FKTP bekerjasama per triwulan sebanyak 383 FKTP. Untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), sampai dengan 31 Desember 2016 jumlah FKRTL yang bekerjasama sebanyak 2.068 FKRTL atau meningkat sebesar 11,97% dari tahun 2015 (1.847 FKRTL), dengan ratarata penambahan jumlah FKRTL bekerjasama per triwulan sebanyak 55 FKRTL. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah FKRTL bekerjasama 8

meningkat sebesar 9,88% dari tahun 2014 (1.681 FKRTL) dengan rata-rata penambahan jumlah FKRTL bekerjasama per triwulan sebanyak 42 FKRTL. Dalam upaya meningkatkan hubungan kemitraan dengan FKRTL, telah dilaksanakan beberapa program yaitu Supervisi Program Faskes Rujukan, Pertemuan Kemitraan FKRTL, Pertemuan Forum Kemitraan Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pertemuan Nasional dengan Manajemen RS. 4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gambar 1: Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan oleh Peserta JKN 2016 mencapai 4.106.939 kunjungan setiap bulannya. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah kunjungan RJTL meningkat sebesar 87,10% bila dibandingkan realisasi tahun 2014 (21.279.617 kunjungan), dengan rata-rata kunjungan RJTL per bulan sebanyak 3.317.785 kunjungan. Pada periode tahun 2016, jumlah kasus pada Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) mencapai 7.649.690 kasus atau meningkat sebesar 21,21% bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2015 (6.311.146 kasus), dengan rate kunjungan RITL tahun 2016 sebesar 3,85. Rata-rata jumlah kasus RITL pada tahun 2016 sebanyak 637.474 kasus per bulan. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah kasus RITL meningkat sebesar 50,40% bila dibandingkan realisasi tahun 2014 (4.196.371 kasus), dengan rata-rata kasus RITL per bulan sebanyak 525.929 kasus. 2014 (Audited) 2015 (Audited) 2016 (Audited) Pemanfaatan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik 66,8 Juta 100,6 Juta 120,9 Juta Perorangan/Klinik Pratama) Pemanfaatan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit 21,3 Juta 39,8 Juta 49,3 Juta Pemanfaatan Rawat Inap Rumah Sakit 4,2 Juta 6,3 Juta 7,6 Juta TOTAL PEMANFAATAN 92,3 JUTA 146,7 JUTA 177,8 JUTA* NOTE: Total Pemanfaatan adalah dalam kunjungan Total Peserta thn 2014: 133,4 Juta Total Peserta thn Total Peserta thn 2015: 156,79 Juta 2016: 171,9 Juta *Bila ditambah angka rujukan sebesar 15,1 juta maka total pemanfaatan JKN-KIS adalah 192,9 juta (Sumber: BPJS Kesehatan, 2017) KONTRIBUSI LANGSUNG KESEHATAN: Membantu pemulihan kesehatan dan pencegahan kecacatan(+ upaya promotif dan preventif): Menjaga masyarakat agar tetap produktif secara sosial dan ekonomis MENJAGA PRODUKTIVITAS MASYARAKAT Jumlah kunjungan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) merupakan jumlah peserta yang melakukan pemeriksaan ke FKTP. Jumlah kunjungan RJTP sampai dengan 31 Desember 2016 mencapai 120.922.433 kunjungan atau meningkat sebesar 20,18% bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2015 (100.617.378 kunjungan), dengan rate kunjungan RJTP tahun 2016 sebesar 65,31. Rata-rata kunjungan RJTP per bulan selama periode tahun 2016 sebanyak 10.076.869 kunjungan. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah kunjungan RJTP meningkat sebesar 50,62% bila dibandingkan realisasi tahun 2014, dengan rata-rata kunjungan RJTP per bulan sebanyak 8.384.782 kunjungan (Lihat Gambar 1). Jumlah kunjungan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) tahun 2016 mencapai 49.283.264 kunjungan atau meningkat sebesar 23,79% bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2015 (39.813.424 kunjungan), dengan rate kunjungan RJTL tahun 2016 sebesar 24,79. Rata-rata jumlah kunjungan RJTL pada tahun BPJS Kesehatan mendapat Rapor Hijau dari KSP atas capaian distribusi KIS 100% dari jumlah data peserta yang telah divalidasi oleh Kementerian Sosial Tahun 2016 Kartu Indonesia Sehat (KIS) KIS adalah nawacita ke-lima pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sesuai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar dan Program Indonesia Sehat Untuk Membangun Keluarga Produktif, untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program tersebut maka BPJS Kesehatan mendapat tugas untuk berkoordinasi dengan institusi terkait. Kartu Indonesia Sehat adalah bentuk identitas peserta yang menjadi hak dari setiap peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Di tahun 2016, pendistribusian KIS difokuskan pada pendistribusian sampai kepada end user/ penerima manfaat. Sampai dengan 31 Desember 2016, BPJS Kesehatan melakukan pencetakan dan pendistribusian KIS sebanyak 5.429.045 kartu. 9

Atas kerja keras dan upaya optimal dari BPJS Kesehatan untuk mendistribusikan KIS kepada penerima manfaat, telah diperoleh penilaian yang baik (Rapor Hijau) dari Kantor Staf Presiden (KSP) atas capaian distribusi KIS 100% dari jumlah data peserta yang telah divalidasi oleh Kementerian Sosial Tahun 2016 (5.429.045 kartu). Penghargaan Di tengah perjalanan pelaksanaan program kerja yang penuh tantangan, banyak hal yang patut disyukuri. Selain menjadikan BPJS Kesehatan sebagai organisasi yang tangguh dan terus maju, upaya kerja keras sepanjang tahun 2016 juga juga berhasil mendapatkan penghargaan yang menguatkan tekad bahwa program yang telah dijalankan ini harus terus diperjuangkan. Pada acara Indonesia Insurance Award V, BPJS Kesehatan berhasil memperoleh 4 penghargaan, yang meliputi, The Best Insurance Government Company 2016 (kategori Health Insurance), The Best Insurance Company 2016 (kategori Top 10 for CSR), The Best Insurance Company 2016 (kategori Top 10 for Risk Management), dan The Best Insurance Company 2016 (kategori Top 10 for IT). Penghargaan ini semakin membulatkan tekad untuk terus maju demi Indonesia yang lebih sehat. Kemudian, sebagai lembaga yang mengelola multi data, upaya BPJS Kesehatan dalam mengelola kearsipan juga menuai hasil yang positif, dimana BPJS Kesehatan mendapatkan Penghargaan Unit Kearsipan Terbaik dalam acara ANRI Awards 2016. Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan juga mendulang 3 penghargaan, yaitu Best Financial Performance, dan Special Mention for the Highest Next Premium Growth Social Insurance Company Category, dalam kegiatan Indonesia Insurance Consumer Choice Award 2016. Menyadari bahwa pengelolaan data yang semakin besar, serta model bisnis proses yang begitu beragam akan sulit dilakukan tanpa dukungan teknologi informasi (TI). Rasa syukur atas prestasi berupa penghargaan Top IT Implementation on Insurance Sector pada kegiatan Digital Information Top IT and Telecomunication 2016, merupakan apresiasi pada ikhtiar untuk membangun platform TI pengelolaan data, yang melingkupi data seluruh penduduk Indonesia. Tata Kelola yang Baik dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Upaya BPJS Kesehatan untuk melaksanakan Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) juga menorehkan hasil yang gemilang, dengan didapatkannya predikat Sangat Baik atau dengan skor 88,49 berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini menunjukkan tingkat implementasi prinsipprinsip Tata Kelola Yang Baik, yang dilaksanakan di BPJS Kesehatan telah secara menyeluruh dan konsisten dilakukan sebagai upaya untuk mencapai kriteria pengelolaan Badan yang sehat. Sebagai tambahan, BPJS Kesehatan juga mendapatkan pengakuan sebagai 25 Besar Perusahaan Asuransi (Pemerintah) di Indonesia, Sektor Keuangan Asuransi, yang menjalankan Good Governance Terbaik, dalam kegiatan Good Corporate Governance Award Tahun 2016. Prestasi lain yang juga membanggakan adalah berhasilnya BPJS Kesehatan di tahun 2016 mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Kantor Akuntan Publik untuk pengelolaan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) dan Dana BPJS Kesehatan selama tiga tahun berturut-turut, sejak tahun 2014. Hal ini juga merupakan raihan yang ke 25 kalinya sejak periode PT. Askes (Persero). Dengan memperoleh opini WTP berarti Kantor Akuntan Publik Mirawati Sensi Idris, yang berafiliasi dengan Moore Stephens International Limited, selaku auditor pada tahun 2016, berpendapat bahwa Laporan Keuangan baik Dana Jaminan Sosial (DJS) maupun Dana BPJS Kesehatan 10

telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, baik Posisi Keuangan tanggal 31 Desember 2016, Aktivitas/Kinerja Keuangan dan Arus Kas untuk yang berakhir pada tanggal tersebut, telah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. Keberhasilan ini merupakan wujud implementasi dari prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu keterbukaan, kehati-hatian dan akuntabilitas di BPJS Kesehatan, sekaligus membuktikan bahwa BPJS Kesehatan layak mendapatkan kepercayaan publik dalam penyelenggaraan program JKN-KIS. Hal Yang Memerlukan Perhatian Pemerintah Kesinambungan program JKN-KIS merupakan tanggung jawab bersama antara BPJS Kesehatan dengan seluruh pemangku kepentingan, dan tidak luput pula perlunya dukungan dari Pemerintah. Tanpa itu, mustahil program ini dapat terus berlangsung (sustainability) dan memberikan dampak positif bagi seluruh masyarakat (status kesehatan, proteksi finansial dan pertumbuhan ekonomi). Tantangan pelaksanaan program JKN-KIS saat ini dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. Untuk itu Pemerintah perlu mendukung upaya penanggulangan defisit, yaitu melalui penerbitan secara khusus Peraturan Presiden tentang pengendalian defisit program jaminan kesehatan yang memuat tentang upaya-upaya untuk mengatur: 1. Pengendalian utilisasi yang lebih efektif dan efisien Jaminan pelayanan kesehatan diberikan kepada setiap orang yang membutuhkan dengan prinsip efektif dan efisien. Pengendalian utilisasi dilakukan pada kasus-kasus yang dilayani di Rumah Sakit, namun sebenarnya dapat diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus Non Spesialistik dan kasus penyakit kronis stabil yang dapat dirujuk balik ke dokter di FKTP. Selain itu, penerapan sistem rujukan berjenjang dimaksudkan untuk menurunkan kunjungan langsung ke Rumah Sakit tipe A pada kasus-kasus yang ditangani baik di FKTP maupun RS tipe D, C ataupun B. a. Mengendalikan rasio kunjungan Kasus Non Spesialistik (KNS) Dalam program JKN-KIS ini fungsi fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai gate keeper harus dilaksanakan secara maksimal. Di dalam ketentuannya, 144 diagnosa penyakit harus dapat diselesaikan di fasilitas tingkat pertama tersebut (Puskesmas, Dokter Keluarga, fasilitas kesehatan tingkat pertama milik TNI/Polri, dan Klinik Pratama). Untuk mengoptimalkan fungsi FKTP, perlu dukungan infrastruktur dan alat kesehatan serta peningkatan kompetensi sumber daya manusia serta jumlahnya di fasilitas kesehatan tersebut. Peranan lintas stakeholder sangat dibutuhkan dalam hal ini. b. Penerapan Program Rujuk Balik (PRB) Pasien penderita penyakit kronis yang dirujuk ke rumah sakit dalam kondisi stabil dikembalikan ke FKTP untuk mengikuti PRB. Sehingga biaya konsultasi pasien di rumah sakit tidak dibayarkan. Selain efisiensi biaya, PRB juga dapat mengurangi antrian di rumah sakit. Dalam optimalisasi PRB ini perlu dukungan dari pihak Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) untuk dapat melakukan rujuk balik bagi peserta JKN-KIS yang sudah seharusnya dapat dilakukan pengawasan serta kontrol ulang di FKTP. Supaya pelaksanaan PRB berjalan dengan baik, fasilitas FKTP harus mendapat dukungan yang baik untuk sarana dan kompetensi sumber daya manusia di fasilitas kesehatan tersebut. c. Penerapan Sistem Rujukan Berjenjang Penerapan sistem rujukan berjenjang menyebabkan kasus di RS tipe A bergeser ke RS tipe lainnya. Kasus yang bisa ditangani di RS tipe B,C dan D tidak harus dilayani di RS Tipe A. Selain efisiensi biaya penerapan rujukan berjenjang dapat mengurangi antrian dan mengoptimalkan pemanfaatan RS tipe lainnya. Efisiensi biaya terjadi karena tarif pelayanan di RS tipe A lebih tinggi dibandingkan RS tipe lainnya. 2. Penyesuaian iuran PBI dan Non PBI sesuai perhitungan aktuaria Dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan disampaikan bahwa ketentuan iuran untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp23.000 per jiwa per bulan. Sedangkan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah adalah sebesar Rp80.000 untuk kelas I, Rp51.000 11

untuk kelas II dan Rp25.500 untuk kelas III. Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar Rp8.000.000,- (delapan juta rupiah). Batas bawah belum diatur dalam Perpres tersebut. Penyesuaian batas bawah upah yang wajar diperlukan sehingga menjamin kelayakan nominal nilai iuran atas prosentase upah untuk pekerja dan anggota keluarganya. Pada sisi lain, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) RI telah menghitung secara aktuaria, untuk besaran iuran di tahun 2016, dengan mengeluarkan policy brief terkait pengenaan iuran BPJS Kesehatan setelah dilakukan pencampuran antar segmen peserta, maka besarannya adalah Rp36.000 per jiwa per bulan untuk iuran peserta PBI, sedangkan untuk iuran peserta PBPU kelas I sebesar Rp80.000, kelas II sebesar Rp63.000 dan kelas III sebesar Rp53.000 per jiwa per bulannya. Usulan besaran iuran yang didasarkan atas perhitungan aktuaria oleh DJSN di atas, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya cost per member per month (CPMPM) yang ada. 3. Urun biaya untuk peserta Non PBI, khusus pelayanan tertentu Tujuan pemberlakukan urun biaya adalah untuk mengurangi pelayanan yang kurang diperlukan dan mengendalikan biaya pelayanan. Undangundang No. 40 Tahun 2004 pasal 22 ayat (2) menyatakan untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Hasil evaluasi data atas pemanfaatan layanan kesehatan ditemukan kasus-kasus yang berpotensi sebagai bentuk penyalahgunaan pelayanan, yaitu: a. Kasus persalinan di rumah sakit Persalinan merupakan kasus dan biaya terbanyak pada layanan rujukan tingkat lanjutan. Salah satu penyebab tingginya biaya persalinan adalah karena penjaminan persalinan tanpa batasan jumlah anak. Manfaat program JKN- KIS menjamin seluruh kasus persalinan tanpa memperhatikan jumlah anak yang hidup (misalnya: kasus persalinan anak ke 7, maka biaya persalinan tetap dijamin). Selain itu, ditemukan umumnya wanita hamil ketika mendaftar sebagai peserta, namun tidak membayar iuran setelah persalinan. Kasus lainnya yang perlu menjadi perhatian khusus adalah kasus persalinan cesar pada tanggal tertentu (tanggal kalender unik). Diduga kuat kasus ini terjadi tidak berdasarkan indikasi medis tertentu dan atau atas permintaan pasien. b. Tindakan Operatif Bedah Elektif Kecenderungan yang terjadi peserta yang akan dilakukan tindakan operatif bedah elektif seperti bedah jantung, bedah urologi, operasi katarak, bedah kulit, peserta PBPU dan BP hanya membayar pada saat akan dilakukan tindakan operatif. Setelah pelayanan dilakukan maka peserta tidak lagi membayar iuran. Untuk memastikan peserta membayar iuran perlu diberlakukan persyaratan penjaminan. Peserta hanya dapat memperoleh jaminan tindakan operatif bedah elektif jika sudah membayar iuran selama 6 (enam) bulan. c. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan Sebesar 68% kasus di pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan adalah kasus kontrol ulang, terbanyak adalah kontrol ulang fisioterapi dan pasien penyakit kronis. Beban biaya pelayanan kesehatan yang terjadi sebesar Rp4,2 triliun, termasuk pembiayaan penyakit katastropik. Pelayanan yang rentan penyalahgunaan adalah: 1) Pelayanan Fisioterapi Pelayanan fisioterapi meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan gangguan sistem gerak. Pelayanan fisioterapi termasuk sepuluh kasus terbanyak pada pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan. Pelayanan fisioterapi rentan terhadap penyalahgunaan disebabkan sulitnya menentukan apakah pelayanan fisioterapi merupakan kebutuhan medis atau kenyamanan bagi pasien. Ditemukan pasien yang mendapatkan pelayanan fisioterapi sampai 25 kali dalam sebulan. Diperkirakan beban biaya yang dapat diefisienkan dari pelayanan fisioterapi adalah sebesar Rp150 miliar. 2) Pelayanan Penyakit kronis Pelayanan pasien penyakit kronis yang tidak stabil dan belum bisa dikembalikan ke FKTP juga rentan penyalahgunaan. Sampling data klaim yang dilakukan di beberapa rumah sakit di wilayah DKI Jakarta ditemukan kasus patients shopping atau pasien yang berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain dalam kurun waktu tertentu untuk mendapatkan pelayanan penyakit kronis. Kunjungan terbanyak yang pernah dilakukan seorang pasien dalam satu bulan adalah 53 kali di rumah sakit yang berbeda. 12

Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi kejadian ini melalui intervensi teknologi informasi, akan tetapi hal ini saja tidak cukup karena peserta tetap mendapatkan pelayanan dengan diagnosa yang berbeda di setiap rumah sakit. Diperkirakan biaya pelayanan yang dapat diefisienkan adalah sebesar Rp780 miliar. 3) Pelayanan Gigi dan Kulit Penyalahgunaan pada pelayanan gigi dan kulit yang sering terjadi adalah pelayanan kosmetik yang seharusnya tidak dijamin akan tetapi dikaburkan dengan gangguan fungsi. Kasus pelayanan gigi dan mulut yang sering disalahgunakan merupakan kasus yang dapat diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Peserta datang berulang kali ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan pada kasus yang sama dan rumah sakit cenderung menahan pasien untuk terus dilayani. d. Suplemen Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN- KIS) menjamin kebutuhan medis dasar. Manfaat suplemen seperti kacamata, protesa gigi dan lainnya merupakan manfaat tambahan yang dijamin. Sama halnya seperti pada tindakan operatif bedah elektif, kecenderungan peserta tidak membayar iuran setelah mendapatkan manfaat suplemen, sangat tinggi. Pengendalian kasus ini dapat dilakukan dengan penerapan deductible dan coinsurance. Deductible adalah sejumlah biaya yang menjadi beban peserta yang dilakukan sebelum pelayanan diberikan. Coinsurance adalah sejumlah persentase biaya pelayanan yang menjadi beban peserta setelah pelayanan diberikan. Ketersedian obat menjadi salah satu isu saat ini terkait dengan fasilitas kesehatan yang kesulitan dalam penyediaan obat untuk peserta JKN... 4. Penguatan strategic purchasing BPJS Kesehatan 1 Pengembangan Providers Payment Mechanism, melalui: a. Pengembangan Metode Pembayaran Dalam Peraturan Presiden No. 19 tahun 2016 pasal 39 dinyatakan pembayaran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) menggunakan metode pembayaran kapitasi dan Indonesia Case Base Groups (INA-CBG s) untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). 2 Selain pembayaran kapitasi dan INA-CBG s perlu dikembangkan metode pembayaran lainnya, seperti global budget, bonus payment sistem, withold capitation, yang bertujuan untuk memacu fasilitas kesehatan berkinerja lebih baik dan memberikan dampak pada status kesehatan peserta. b. Pengembangan Pembayaran Pelayanan Obat Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dinyatakan bahwa pelayanan obat untuk peserta JKN berpedoman pada daftar dan harga yang ditetapkan oleh Menteri. Ketersedian obat menjadi salah satu isu saat ini terkait dengan fasilitas kesehatan yang kesulitan dalam penyediaan obat untuk peserta JKN. Salah satu program pelayanan kesehatan yang memberikan kemudahan bagi peserta dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya, serta sebagai kendali biaya dalam pelayanan kesehatan khususnya pelayanan di tingkat rujukan adalah program pelayanan rujuk balik. Kendala ketersediaan obat merupakan salah satu penyebab program rujuk balik tidak dapat dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan, dikarenakan fasilitas kesehatan atau apotek tidak dapat memenuhi kebutuhan obat untuk peserta program rujuk balik tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut perlu adanya pengaturan yang memberikan kewenangan BPJS Kesehatan dalam melakukan negosiasi langsung kepada produsen obat dalam kondisi tertentu, seperti produsen obat yang telah ditunjuk Menteri melakukan wanprestasi tidak dapat memenuhi kebutuhan obat dalam jangka waktu, tertentu yang menyebabkan kendala pemenuhan obat bagi pelayanan peserta JKN, dengan tetap mengacu pada jenis dan harga obat yang telah ditetapkan oleh Menteri. c. Pembayaran Kapitasi Berbasis Kinerja Pembiayaan kapitasi kepada FKTP merupakan 19% dari total biaya pelayanan kesehatan atau sebesar Rp.10,7 triliun pada tahun 2015. Besarnya biaya kapitasi ini diharapkan dapat memperkuat pelayanan kesehatan primer dan mengurangi 1 Strategic purchasing involves the on-going search for the best means to optimize health systems performance by deciding which interventions should be purchased, how they should bepurchased and from what providers, while passive purchasing occurs by following a pre-determined budget or simply paying bills when presented - World Health Organization, 2010 2 Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA- CBG s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur - Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 13

angka rujukan ke Rumah Sakit. Namun, hasil evaluasi kinerja FKTP menunjukkan rendahnya pemanfaatan di FKTP dan masih tingginya angka rujukan ke Rumah Sakit. Sebelumnya pembayaran kapitasi tidak dikaitkan dengan hasil kinerja di FKTP. 3 Pada tahun 2015, diterbitkan Peraturan BPJS Kesehatan No. 3 tentang Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK) yang mengatur pelaksanaan pembayaran berbasis kinerja di FKTP. Ditetapkan kinerja yang harus dicapai oleh FKTP dan akan mempengaruhi besaran kapitasi. Jika FKTP tidak dapat mencapai kinerjanya maka akan dilakukan pengurangan besaran kapitasi yang akan mengurangi biaya kapitasi yang diterima oleh FKTP. Sebaliknya jika FKTP mencapai kinerjanya, maka besaran kapitasi akan ditambahkan namun tidak melebihi besaran kapitasi yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Hasil evaluasi KBK menunjukkan terdapat peningkatan kinerja FKTP dan tercapai efisiensi sebesar Rp35 miliar. Tahun 2016, penerapan KBK dilaksanakan di seluruh Puskesmas di Ibukota Provinsi, hanya Provinsi Jawa Timur yang belum berkeinginan untuk melaksanakan KBK. Selanjutnya perlu pengembangan model pembayaran kapitasi berbasis komitmen layanan di FKTP dan menerapkan pembayaran berbasis kinerja di FKRTL. Untuk mendapatkan dampak yang lebih baik pada status kesehatan peserta JKN-KIS, perlu dikembangkan pembayaran berbasis outcome status kesehatan. Pembayaran berbasis kinerja wajib dilaksanakan oleh seluruh fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Optimalisasi KBK ini membutuhkan dukungan Dinas Kesehatan, asosiasi Fasilitas kesehatan untuk terlaksananya kapitasi yang berbasis komitmen pelayanan dengan baik dalam hal sosialisasi serta monitoring evaluasi. d. Negosiasi Tarif Berbeda dengan FKTP yang besaran kapitasinya berdasarkan kondisi sarana dan prasarananya, besaran tarif INA-CBG masing-masing Rumah Sakit ditentukan berdasarkan penetapan kelas Rumah Sakit oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kenyataannya, sarana dan prasarana Rumah Sakit dengan kelas yang sama di setiap daerah berbeda-beda. Misalnya, sarana prasarana Rumah Sakit tipe C di Kota A berbeda dengan tipe C di kota B, namun dibayarkan dengan tarif yang sama. 3 Dana kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan - Peraturan Presiden No 32 Tahun 2014 Hal di atas, menyebabkan perbedaan kualitas layanan yang didapatkan oleh peserta sehingga aspek ekuitas pelayanan tidak terpenuhi. Selain itu, dari sisi pembiayaan menjadi tidak efektif. Tidak ada proses negosiasi dalam penentuan besaran tarif yang akan dibayarkan karena pembayaran didasarkan pada penetapan kelas Rumah Sakit oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap status kelas Rumah Sakit belum berjalan. Apakah kondisi satu Rumah Sakit tetap memenuhi standar kelas yang sama sepanjang tahun atau terjadi perubahan belum dapat dipastikan. BPJS Kesehatan tetap harus membayar berdasarkan penetapan kelas Rumah Sakit tersebut apapun kondisinya. 5. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dalam mendukung program JKN-KIS a. Penguatan Peran Pemerintah Daerah Untuk Meningkatkan Jumlah Fasilitas Kesehatan (Supply Side) di Wilayahnya Salah satu tantangan program JKN-KIS adalah sebaran tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan belum merata dan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Minimnya insentif bagi tenaga kesehatan di daerah-daerah tertentu merupakan penyebab penyebaran tenaga kesehatan tidak merata. Hal ini diperparah dengan kondisi kemampuan fiskal dan komitmen Pemerintah Daerah yang belum menjadikan pemenuhan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sebagai prioritas pembangunan daerah. Memperhatikan hal tersebut, penting dilakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan metode pembayaran yang lain pada tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan pada daerah tertentu, sehingga diharapkan dapat memberikan insentif yang menarik, terutama pada daerah-daerah yang memiliki akses geografi yang sulit. Optimalisasi peran pemda juga diharapkan dapat ditingkatkan dalam hal ketersediaan fasilitas kesehatan bekerjasama dengan swasta, kemudahan perijinan pendirian fasilitas kesehatan, keringanan retribusi dan penggunaan dana alokasi umum untuk pembangunan infrastruktur. b. Kendali Rujukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Pengelolaan Dana Kapitasi dengan Komitmen oleh Pemerintah Daerah Pelaksanaan sistem rujukan berjenjang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan 14

Pelayanan Kesehatan Perorangan. Salah satu tantangan dalam pelaksanaan sistem rujukan di banyak wilayah, yaitu tidak meratanya penempatan tenaga kesehatan khususnya pada remote area. Dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata diharapkan berjalannya sistem rujukan yang berkualitas, sehingga tidak ada lagi alasan pasien dirujuk ke rumah sakit karena tidak ada dokter yang merawatnya. Selain itu juga adanya keterbatasan Tenaga Kesehatan spesialis pada pelayanan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, perlunya peran aktif Pemda dalam hal : 1. Pemerataan tenaga kesehatan (nakes) di FKTP melalui proses pemberian ijin praktek kepada nakes baru di prioritaskan pada wilayah remote area. 2. Penyusunan Peraturan Daerah terkait dengan pelaksanaan sistem rujukan berjenjang berdasarkan wilayah kerja FKTP dengan FKRTL. 3. Penyediaan dokter spesialis dan sub spesialis pada RS sehingga hanya kasuskasus tertentu yang perlu dirujuk ke RS tingkat lebih tinggi. c. Peran Pemda dalam Kegiatan dan Penyediaan Dana Promotif dan Preventif Semakin meningkatnya biaya pelayanan di rumah sakit salah satunya dikarenakan masih belum optimalnya peran FKTP sebagai gate keeper pelayanan di tingkat pertama dengan optimalisasi pelaksanaan promotif preventif. Pelaksanaan upaya promotif preventif di tingkat pertama ada yang menjadi ranah BPJS Kesehatan (Upaya Kesehatan Perorangan UKP) dan yang menjadi ranah FKTP/ Puskesmas (Upaya Kesehatan Masyarakat UKM). Upaya Promotif Preventif yang telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan adalah kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), Olahraga Sehat/ Aktifitas Fisik, Kegiatan Skrining Primer Riwayat Kesehatan, Skrining Sekunder (Pemeriksaan Gula Darah, IVA, Pap Smear, Krio Terapi), Kegiatan Prolanis (Pengelolaan Program Penyakit Kronis). Upaya promotif preventif yang dilakukan oleh Puskesmas mengarah kepada Program Keluarga Sehat (12 indikator keluarga sehat). Pengelolaan dana kapitasi telah diatur pada Peraturan Presiden nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN-KIS Pada FKTP Milik Pemda, kemudian untuk pelaksanaan teknisnya dijelaskan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 yang diperbaharui pada Permenkes nomor 21 Tahun 2016. Pada peraturan tersebut telah diatur mengenai pembagian biaya kapitasi untuk jasa dan dukungan biaya operasional. Terkait dengan pelaksanaan peraturan tersebut diatas, banyak ditemukan FKTP milik Pemda yang mengalami kesulitan dalam merealisasikan dana anggaran kapitasi untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Hal tersebut menjadikan tingginya sisa dana kapitasi pada banyak FKTP milik Pemda. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu usulan regulasi supaya dapat dibuat peraturan daerah turunan (Peraturan Walikota/Peraturan Bupati) dari Permenkes Nomor 21 tahun 2016 yang menjelaskan lebih detail dan memberikan keluasaan FKTP dalam merealisasikan dana kapitasi alokasi dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan dan sisa dana lebih kapitasi dalam rangka peningkatan sarana prasarana atau peningkatan komitmen pelayanan di FKTP. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam rangka uji coba optimalisasi peran Pemda dalam Program JKN-KIS. Tanah Datar, 2 September 2016 Dengan adanya desentralisasi pelayanan yang menjadi kewenangan Pemda, diharapkan Pemda dapat menetapkan standar pelayanan minimal untuk pelayanan promotif preventif sebagai pelaksanaan dari pemberian Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat untuk peningkatan kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) sehingga capaian 12 indikator keluarga sehat dapat lebih optimal. d. Dukungan Pemda dalam Perluasan Kepesertaan Untuk mendukung perluasan peserta JKN- KIS, pemda dapat berperan dalam penerbitan regulasi terkait sanksi kepatuhan Badan 15