BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

2016 HUBUNGAN ANTARA WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN KEPUASAN HIDUP PADA PERAWAT PEREMPUAN BAGIAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) A KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. zaman sekarang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum pria.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kebutuhan manusia dari kebutuhan yang bersifat paling dasar seperti makan, minum, dan pakaian

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB 1 PENDAHULUAN. kodrati memiliki harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapinya. Menurut Reivich dan Shatte (2002), bahwa kapasitas seseorang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. bulan, dimulai sejak pertengahan bulan november 2015 dan berakhir

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kondisi psikologis yang berhubungan dengan istilah kesenangan dan kedamaian, juga

2015 SUBJECTIVE WELL-BEING PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sebutan untuk menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

Konsep Wellbeing dalam Psikologi Positif. Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang menarik dibanyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagi tugas seperti mencari nafkah, mengerjakan urusan rumah tangga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyebut seseorang yang pergi dari kampung halamannya untuk menetap serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum revolusi industri, yang bertanggung jawab mencari uang untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga adalah laki-laki, sedangkan seorang perempuan dewasa akan berperan sebagai ibu dan istri dalam kehidupannya. Setelah terjadinya revolusi industri, terbuka kesempatan yang lebar bagi perempuan untuk mengembangkan perannya dan bekerja di luar rumah. Data statistik mengenai perempuan yang bekerja menunjukkan angka kenaikan setiap tahunnya. Di Indonesia perempuan yang bekerja di luar rumah juga ditemukan dalam jumlah yang sangat besar. Besarnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah tercermin dari data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Indonesia dalam Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia di bulan Agustus 2011 yaitu sebesar 38,5%. Ketika seorang istri atau ibu bekerja di luar rumah maka perannya menjadi berlipat ganda, yaitu menjadi ibu yang bijaksana bagi anakanaknya, istri yang baik bagi suami, menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas urusan domestik, dan peran sebagai seseorang yang bekerja di luar rumah. Untuk memaksimalkan tanggung jawab tersebut dibutuhkan orang lain untuk menggantikan atau membantunya dalam urusan domestik. Orang tersebut adalah pembantu rumah tangga atau istilah yang sering dipakai saat ini adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan/atau Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA). Penelitian yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS, 1999) 1

2 memperkirakan usia PRT/PRTA berkisar dari 7 sampai 60 tahun. Ketentuan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (2008), dalam pasal 1 butir ke-10 menyatakan bahwa penduduk usia kerja adalah mereka yang berusia 15 tahun atau lebih. Dengan demikian penduduk yang berusia 7 sampai 15 tahun sebenarnya belum termasuk dalam bilangan usia kerja. Matlin (2008) mengatakan bahwa alasan yang mendasari seseorang termasuk PRT memutuskan untuk bekerja yaitu karena kebutuhan ekonomi, konflik internal dalam keluarga, menambah pengalaman dan mengaktualisasikan diri. Frieson (dalam Chhim, Franco & Grozman, 2007: 210) menambahkan alasan lain yang mendasari seseorang memutuskan untuk bekerja, bukan hanya untuk mengatasi kesulitan ekonomi tetapi juga mengejar tujuan pribadi, yaitu untuk menaikkan self esteem. Pendapat Frieson ini dibuktikan oleh Chim, Franco dan Grozman (2007), dalam penelitian berjudul Job Satisfaction and Empowerment in the Workplace among Cambodian Woman. Mereka menemukan bahwa wanita yang bekerja mengalami kepuasan hidup yang berkorelasi dengan kepercayaan dirinya. Tujuan individu, khususnya PRT, bekerja adalah mengurangi tekanan biaya hidup, menaikkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan kemandirian dan kepercayaan dirinya. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa PRT sangat rentan mendapatkan perlakukan yang tidak adil, seperti ketidakpastian dalam hal upah atau upah yang sangat minim bahkan seringkali dibawah standart upah minimum, perlakuan yang tidak manusiawi, dan jam kerja yang tidak menentu. Sebagian besar PRT adalah perempuan dan banyak di antara PRT perempuan yang juga mendapatkan perlakukan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis dan seksual, bahkan ada yang sampai meninggal karena penganiayaan yang

3 dilakukan oleh majikannya. Ceriyati, Parsiti, Rumini dan Tari adalah beberapa korban kekerasan majikan di Saudi Arabia dan Malaysia (Hidayah Jurnal Perempuan, 2009: 113). Salah satu kasus yang terjadi di Surabaya adalah penganiayaan majikan yang menyebabkan Sunarsih, PRT anak (15 tahun) meninggal (Jurnal Perempuan, 2009: 11). Kasus lain adalah kasus Maryati, (Kompas, 10 Januari 2004:1) yang bekerja di rumah mewah di kompleks perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, yang juga tewas di tangan majikannya. Sumber penderitaan (adversity) bagi PRT tidak hanya berasal dari tempat kerja, namun juga dari kehidupan pribadi PRT tersebut, seperti kemiskinan, konflik dan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian serta konflik peran bagi PRT yang sudah menikah. Dalam sebuah wawancara, salah seorang PRT mengungkapkan alasannya bekerja selain karena keterdesakan ekonomi adalah karena konflik kekerasan dalam rumah tangga. Situasi konflik yang dihadapi PRT, entah dari dirinya sendiri maupun dari tempat kerja, membuatnya rentan menghadapi kelelahan emosional (Roxbourgh, 1999). Situasi ini juga dapat berdampak buruk pada PRT dengan cara menurunkan kesehatan fisik, psikologis dan kepuasan hidupnya (Lemme, 1995). Jika kita lihat pemaparan sebelumnya, seseorang yang bekerja, dalam hal ini sebagai PRT, dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, meringankan stres dan beban biaya hidup keluarga serta meningkatkan kepuasan hidupnya (Lemme, 1995). Di sisi lain, kesejahteraan dirinya juga dapat menurun karena permasalahan pribadi di keluarga dan lingkungannya, tuntutan kerja, dan perlakuan tidak menyenangkan yang dialaminya di tempat kerja. Dari hasil wawancara diketahui bahwa meskipun mengalami situasi penuh konflik dan ketertekanan namun masih ada PRT yang merasa hidupnya sejahtera. Hal ini memunculkan sebuah

4 pertanyaan yaitu apa yang membedakan PRT yang merasa hidupnya sejahtera dengan PRT yang tidak merasa bahwa hidupnya sejahtera? Kesejahteraan seseorang dapat dijelaskan melalui konsep Psikologi Positif yaitu aliran eudaimonic dan aliran hedonic. Istilah yang dipakai oleh aliran eudaimonic untuk menunjukkan kesejahteraan diri adalah psychological well being (PWB), sedangkan aliran hedonic mengistilahkan kesejahteraan diri sebagai subjective well being (SWB) (Ryan & Deci, 2006). Menurut aliran PWB, seseorang dikatakan sejahtera ketika individu tersebut dapat mengaktualisasikan diri dan menggunakan potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal. Sedangkan menurut pandangan SWB, seseorang dikatakan sejahtera jika secara subjektif ia merasa bahagia dan puas atas pengalaman hidupnya. Dengan kata lain subjective well being (SWB) adalah evaluasi seseorang baik secara afektif maupun secara kognitif akan hidupnya (dalam Compton, 2005: 43). Karena kebahagiaan dan kepuasan ini dinilai secara subjektif maka aliran ini juga mempertimbangkan pengalaman menyenangkan versus tidak menyenangkan menurut penilaian individu mengenai baik buruknya suatu pengalaman. Diener, Sanvick dan Seidlitz (dalam Compton, 2005: 44) mengatakan bahwa SWB lebih unggul untuk mengukur kesejahteraan individu (Diener dalam Compton, 2005: 43). Berdasarkan keunggulan itu peneliti memilih menggunakan SWB untuk menjelaskan konsep kesejahteraan diri dalam penelitian ini. SWB dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kepribadian, tujuan hidup, kognisi, demografi dan kepribadian, seperti asertivitas, empati, locus of control internal, daya tahan banting (resiliensi), ekstraversi, dan keterbukaan terhadap pengalaman. Faktor kepribadian, yaitu resiliensi, merupakan faktor yang menarik untuk diteliti, mengingat keadaan hidup PRT yang berada dalam situasi penuh tekanan. Banyaknya perempuan yang

5 bisa bekerja dalam situasi stresful dan berhasil mengatasi situasi stressful inilah yang dinamakan resiliensi. Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah bahasa Inggris yaitu resilience yang berarti gaya pegas, daya kenyal atau kegembiraan (Echols & Shadily, 2003). Menurut Reivich & Shatte (2002), definisi resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Goldstein dan Brooks (2006: 8) mengatakan bahwa yang disebut dengan kemampuan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk kembali ke bentuk semula setelah mengalami pengalaman hidup yang menyakitkan atau tekanan. Dari berbagai definisi yang disebutkan oleh para ahli dapat ditarik kesimpulan yang sama yaitu bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk survive sekaligus bisa keluar dari situasi tidak nyaman. Pada penjelasan sebelumnya penulis telah mengulas sedikit mengenai sumber penderitaan (adversity) pada PRT. Menurut Rudkin (2003), dua aspek yang ada dalam resiliensi adalah adversity atau penderitaan dan adjustment atau penyesuaian diri. Seseorang dikatakan resilience jika dalam menghadapi penderitaan ia mampu menggunakan daya refleksinya untuk menyesuaikan diri dengan penderitaan itu sehingga bukan saja dia bisa bertahan namun juga keluar bahkan menjadi lebih baik dari semula. Individu tersebut juga tetap merasakan emosi seperti rasa marah, sedih, bingung, gelisah, takut dan lain-lain, namun bisa menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dan mencari cara yang tepat untuk mengatasinya. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi positif yang mengatakan bahwa bahkan pengalaman tragis sekalipun ternyata bisa memperkaya hidup seseorang untuk menjadi sejahtera (Woolfolk, dalam Compton, 2005: 12). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa resiliensi adalah salah

6 satu kunci sukses dalam pekerjaan dan kepuasan hidup. Resiliensi akan mempengaruhi performance seseorang ditempat kerja, kesehatan fisik dan mental dan kualitas hubungannya dengan orang lain (Reivich, 2002). Kondisi seperti ini tampak pada PRT yang tetap bekerja selama bertahuntahun meski sudah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari majikan. Kasus Maryati, (Kompas, 10 Januari 2004: 1) PRT, yang akhirnya tewas di tangan majikannya tenyata mengalami penyiksaan. Selama beberapa bulan Maryati tidak menerima upah sama sekali. Selama berbulan-bulan mengalami penyiksaan namun tetap bertahan bekerja sebagai PRT di rumah yang sama merupakan bukti nyata bahwa Maryati dapat bertahan bekerja dibawah tekanan atau situasi tidak nyaman. Selain Maryati masih banyak PRT lain yang tetap bisa bertahan dalam situasi penuh tekanan dan tetap bekerja sebagai PRT. Namun apakah kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi hidup penuh tekanan merupakan tanda PRT tersebut hidupnya well-being, sehingga masyarakat tidak perlu campur tangan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup PRT, menjadi pertanyaan yang muncul kemudian. Berdasarkan pemaparan diatas, pada penelitian ini, peneliti bermaksud untuk menguji hubungan antara resiliensi dengan subjective well being pada perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Kemampuan untuk bertahan dalam situasi tidak nyaman dan keluar dari situasi sulit (resiliensi) memang sangat diperlukan untuk tetap survive dan sukses dalam hidup. Banyak penelitian dan fakta yang menunjukkan hal itu, namun apakah kemampuan resiliensi akan membantu seorang PRT untuk menjadi sejahtera atau well being secara subjektif belum banyak dibahas. Untuk itu peneliti tertarik untuk melihat apakah kemampuan resiliensi ini berhubungan dengan subjective well being pada perempuan yang bekerja sebagai PRT.

7 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan penelitian ini adalah "Apakah ada hubungan antara resilience dengan subjective well-being pada perempuan yang bekerja sebagai PRT?" 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara resilience dengan subjective well being pada perempuan yang bekerja sebagai PRT 1.4. Manfaat Penelitian Manfat teoritis dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memberikan pengetahuan baru yang diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam mengenai apakah seorang perempuan yang bekerja sebagai PRT yang memiliki resiliensi tinggi juga memiliki SWB yang tinggi. 2. Penelitian ini dapat memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas aliran psikologi positif yang berkembang pesat akhir-akhir ini. 3. Penelitian ini juga diharapkan menjadi dasar untuk penelitian mengenai SWB dan resiliensi berikutnya. Secara praktis manfaat yang diharapkan adalah: 1. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam membuat keputusan dan program, menyangkut kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakatnya yang bekerja sebagai PRT. 2. Memberikan informasi dan referensi bagi masyarakat dan pemerintah agar melindungi dan menjamin kesejahteraan PRT

8 sehingga resiliensi dan subjective well-being PRT akan meningkat.