BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa musibah seperti banjir, kekeringan, longsor dan intrusi air laut merupakan dampak dari kesalahan penggunaan lahan Daerah Aliran Sungai atau DAS (Lazaro, 1990; Monscrip and Montgomery, 1997; Kodoatie dan Sugiyanto, 2002; Farida dan Noordwijk, 2004; Tang et al., 2005) dan penggunaan lahan yang tidak menerapkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air (Soemarwoto, 2004). Walaupun penelitian tersebut dilakukan dalam skala yang lebih luas yaitu pada DAS, namun dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa fenomena bencana alam juga diakibatkan oleh rusaknya kawasan hutan lindung yang merupakan bagian dari DAS dan berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Bencana tersebut merupakan respon alam terhadap perlakuan manusia. Dewasa ini sumber daya hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada di hampir sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami penurunan fungsi secara drastis dimana hutan tidak lagi berfungsi secara maksimal sebagai akibat dari ekploitasi kepentingan manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup (Marsono, 2004). 1
Sebagaimana diketahui, berdasarkan undang-undang, pemerintah membagi hutan berdasarkan tiga fungsi yakni hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan produksi adalah hutan yang memiliki fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan, hutan konservasi mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, serta hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan apa yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut diketahui betapa besarnya peran dan fungsi hutan lindung dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan kehidupan mahluk hidup. Namun fakta di lapangan menunjukkan kenyataan sebaliknya, dari 124 juta hektar luas hutan di Indonesia hutan lindung hanya memiliki luasan 29,9 juta hektar atau 24%, sedangkan hutan produksi seluas 71,9 juta hektar atau 57% (Kementrian Kehutanan, 2013). Selain luasannya yang relatif kecil, distribusi lokasi yang cenderung tidak proporsional (Senawi, 1997), tekanan terhadap hutan lindung tidak pernah berkurang. Konflik lahan, tebangan liar, perambahan dan lain sebagainya terus terjadi didalam kawasan hutan lindung (Sriyanto, 1996; Ganefi, 2001). Ironisnya tekanan terhadap hutan lindung sepertinya mendapat dukungan dari pemerintah, hal ini terbukti kemudian dengan adanya siaran pers yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan menyatakan terdapat 22 izin tambang yang berada di dalam lingkungan hutan lindung (Fathoni, 2003). 2
Kenyataannya penambangan tersebut dilakukan dengan pola terbuka sehingga selain bertentangan dengan UU Kehutanan juga memiliki dampak ekologis yang sangat besar terhadap kawasan yang ada di sekitarnya. Namun dengan alasan investasi, setahun kemudian, keberadaan seluruh izin tambang didalam kawasan hutan lindung tersebut kemudian dilegalkan oleh pemerintah melalui UU Nomor 19 Tahun 2004. Lemahnya penegakan hukum dan inkonsistensi pengambil kebijakan dalam meletakkan kehutanan sebagai ekosistem lindung bagi kepentingan masyarakat secara berkelanjutan, menjadikan keterpurukan kondisi hutan lindung terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun pengelolaan sumber daya alam dan khususnya hutan lindung didukung peraturan dan undang-undang, namun pada kenyataannya pengelolaan hutan lindung tidak menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan persepsi dan ego sektoral antara sektor kehutanan dan non-kehutanan seperti pertambangan, dualisme kebijakan pemerintah antara mempertahankan hutan lindung dengan kepentingan investasi, belum adanya sinkronisasi dalam pemantapan dan pemanfaatan hutan lindung antara pemerintah pusat dan daerah, belum adanya apresiasi hutan lindung sebagai sistem penyangga kehidupan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat yang ada disekitar hutan dan lemahnya penegakan hukum. Pada dasarnya persoalan dalam kebijakan besar pengelolaan sumber daya alam adalah kebijakan yang mendua (dualisme), penggunaan istilah yang tidak baku atau konsisten, lemahnya penegakan hukum dan kuatnya ego sektoral 3
(Sembiring dkk, 1998). Ginoga (2010) mengidentifikasi permasalahan hutan lindung dari sisi sosial, ekonomi dan kebijakan. Beberapa peneliti mengkaji permasalahan hutan lindung dari sisi sosial dan pemberdayaan masyarakat (Setiawan, A dan Manik, 1996; Ganefi, 2001; Sidu, 2006). Tamaluddin (1996), Sriyanto (1996) dan Sonaji (2008) mengungkapkan permasalahan hutan lindung dari sisi ekonomi serta jasa lingkungan. Walaupun secara khusus penelitian tentang kelembagaan hutan lindung belum dilakukan namun fenomena kelembagaan pengelolaan hutan dapat dilihat dari berbagai penelitian. Suramenggala (2009) menyatakan dalam usahanya mencapai tujuan rehabilitasi hutan dan lahan, kelembagaan harus memaksimalkan fungsi-fungsi manajemen sedangkan fungsi-fungsi manajemen lebih banyak dipengaruhi oleh kapasitas organisasi. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, lemahnya kapasitas organisasi disebabkan oleh rendahnya kapasitas pengembangan organisasi, kapasitas manajemen keuangan dan kapasitas struktur dan budaya organisasi. Ginoga (2010) menyatakan pengelolaan hutan lindung belum memiliki kelembagaan formal yang kuat. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) seperti yang diamanatkan didalam UU No. 41 Tahun 1999 sebagai instrumen pemantapan dan pengelolaan hutan lindung yang berkelanjutan belum terbentuk baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Saat ini, organisasi pengelola hutan lindung masih bersifat lokal dengan skala yang kecil. Model pengelolaan hutan lindung yang ada saat ini dapat dikelompokkan ke dalam berbagai model yaitu; (i) pengelolaan hutan lindung partisipatif, umumnya berupa agroforestry kopi dengan tanaman buah-buahan, 4
dengan pola bagi hasil tertentu antara pengelola hutan lindung, seperti Perhutani dengan masyarakat (ii) pengelolaan hutan lindung oleh masyarakat/lembaga adat yang dilakukan melalui penguatan hukum adat dan rimbo larangan, dengan pengelolaan tanaman kemiri dan karet, pola ini banyak dilakukan di Sumatera seperti Pasaman dan Jambi, dan (iii) pengelolaan hutan lindung kolaboratif yang dibentuk karena adanya sumber dana dan komitmen pengguna terhadap keberadaan hutan lindung sebagai pengatur tata air. Pengelolaan kolaboratif mempunyai implikasi positif terhadap pemantapan dan fungsi hutan lindung, tetapi mempunyai konsekwensi pada biaya pengelolaan yang cukup tinggi. Sebagai contoh hutan lindung Sungai Wain yang berada di Balikpapan, Kalimantan Timur dengan luasan kurang lebih 6000 hektar memerlukan dana pengelolaan sekitar Rp 2-3 milyar per tahun. Biaya ini mencakup biaya pengelolaan, pemantapan kawasan dan biaya transaksi. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan dan pemantapan hutan lindung masih memerlukan biaya yang tinggi. Berbagai penelitian hutan lindung seperti yang telah dijelaskan di atas, sejauh ini belum mampu menjelaskan hubungan dan pengaruh dari berbagai variabel penelitian seperti sosial, ekonomi, jasa lingkungan, kebijakan dan kelembagaan terhadap pengelolaan hutan lindung. Besarnya pengaruh dari setiap variabel penelitian tersebut menunjukkan kuatnya kepentingan tertentu dalam pengelolaan hutan lindung. Hal ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan lindung yang lebih baik dimasa yang akan datang. Salah satu model penelitian yang mampu menjelaskan fenomena ini dapat dilakukan dengan 5
menggunakan analisis SEM atau Structural Equation Modeling, yakni salah satu analisis multivariate yang dapat menganalisis hubungan variabel secara kompleks. Teknik analisis data melalui SEM dilakukan untuk menjelaskan secara menyeluruh hubungan antar variabel yang ada dalam penelitian. Pengelolaan hutan lindung di Propinsi Daerah Isttimewa Yogyakarta dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Provinsi Daerah Istimewa, Yogyakarta. Hutan lindung di Resor Pengelolaan Hutan (RPH) Mangunan dan Resor Pengelolaan Hutan (RPH) Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta berada di bawah pengelolaan unit yang membawahi hutan produksi. Belum adanya garis tegas pembagian pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, berpotensi melemahkan struktur kelembagaan dan menjadikan pengeloaan kawasan hutan lindung belum optimal. Apabila acuan kriteria keberhasilan pengelolaan hutan lindung yang bermuara pada dapat berfungsinya hutan lindung sesuai dengan harapan, maka sistem pengelolaan yang ada saat ini masih perlu dilakukan pembenahan dan merancang strategi pengelolaan hutan lindung sebagaimana diharapkan yang didasarkan pada analisis SEM. 1.2. Batasan Masalah Penelitian ini akan mengkaji pengelolaan hutan lindung di Badan Daerah Hutan (BDH) Yogyakarta, yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Variabel-variabel yang digunakan adalah kelembagaan baik internal dan eksternal, sosial, kebijakan dan ekonomi. Berbagai faktor tersebut kemudian dianalisis dengan pendekatan metode SEM (Structural Equation Modeling) dan dianalisa dengan program Amos 18.0 dan SPSS 16 untuk 6
mendapatkan penjelasan mengenai berbagai hubungan dan pengaruh dari faktorfaktor tersebut terhadap pengelolaan hutan lindung. 1.3. Rumusan Masalah Walaupun secara umum telah diketahui bahwa fenomena bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh terganggunya fungsi-fungsi sistem penyangga kehidupan (Lazaro, 1990; Monscrip and Montgomery, 1997; Kodoatie dan Sugiyanto, 2002; Farida dan Noordwijk, 2004; Kompas, 2004; Tang et al., 2005), namun potret pengelolaan hutan lindung tetap saja memprihatinkan. Berbagai permasalahan yang ada dalam pengelolaan hutan lindung telah dijawab oleh berbagai penelitian sebelumnya namun nampaknya belum menjawab permasalahan secara menyeluruh. Selain dilakukan secara parsial, penelitian terdahulu belum menggambarkan hubungan berbagai variabel dan besarnya pengaruh dari berbagai variabel tersebut terhadap pengelolaan hutan lindung. Hubungan dan besarnya pengaruh dari berbagai variabel penelitian tersebut menjadi landasan dalam penelitian ini, yang dirumuskan dalam penggambaran kondisi fisik dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan lindung, penggambaran pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan menjadikan fenomena dalam penelitian ini sebagai dasar pengelolaan hutan lindung yang lebih baik dimasa yang akan datang. 7
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kondisi biogeofisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan lindung. 2. Mengetahui hubungan variabel-variabel dalam penelitian yang digunakan sebagai dasar dalam merumuskan strategi tentang pengelolaan hutan lindung yang selaras dengan karakteristik kelembagaan, kebijakan dan sesuai kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang bentuk pengelolaan hutan lindung di BDH Yogyakarta, KPH Yogyakarta yang ada pada saat ini. 2. Penelitiann ini diharapkan dapat untuk melengkapi penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. 8