BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui dengan pasti.upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan seperti timbulnya resistensi terhadap obat, pengaruh faktor lingkungan yang makin memberikan kemudahan terjadinya penularan atau penyebaran infeksi menular seksual, kesulitan dalam menegakkan diagnosis, pengobatan yang tidak tepat, dan faktor stigma yang masih terus dikaitkan dengan penderita IMS. (Direktorat PPM&PLP, Kem.Kes RI 2011). Menurut World Health Organization(WHO,2009), pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan atau pelayanan kesehatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh penyakit menular seksual.
Penularan IMS umumnya adalah melalui hubungan seksual(90%), sedangkan cara lainnya yaitu melalui tranfusi darah, jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lain-lain. Sumber penularan utama adalah wanita pekerja seksual (80%). IMS sering juga disebut penyakit kelamin, penyakit veneral, ataupun infeksi menular seksual (IMS). IMSmerupakan penyakit yang ditakuti oleh setiap orang. Angka kejadian penyakit ini termasuk tinggi di Indonesia. IMS atau Penyakit Kelamin (venereal diseases) telah lama dikenal dan beberapa di antaranya sangat populer di Indonesia, yaitu sifilis dan gonoroe. Dengan semakin majunya peradaban dan ilmu pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru, dan istilah venereal diseases berubah menjadi sexually transmitted diseases atau IMS. Angka kejadian IMS saat ini cenderung meningkat di Indonesia. Ini bisa dilihat dari angka kesakitan IMS di Indonesia pada Tahun 2007 adalah sebanyak 11.141 kasus kejadian IMS. Angka kesakitan ini mengalami peningkatan bila dibandingakan dengan hasil survei pada Tahun 2008 yaitu sebanyak 16.110 kasus kejadian IMS, sedangkan pada Tahun 2009 sebanyak 19.973 kasus Kejadian IMS di Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya(depkes RI, 2009) Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit kelamin ini akibat perilakuseksual yang berganti-ganti pasangan, berkorelasi pula dengan kecenderungan semakin meningkatnya angka PSK yang tertular IMS, setelah
ditutupnya lokalisasi dan sulitnya pemerintah melakukan kontrol karena tidak ada lagi kewenangan. Dilain pihak hubungan seksual pra nikah dan diluar nikah cukup tinggi, sehingga penularan IMS dari para PSK tersebut akan dengan cepat meningkatkan jumlah penderita. Ada beberapa penyebab meningkatnya jumlah PSK di masyarakat. kebanyakan akibat faktor ekonomi yang cukup berat dirasakannya sehingga dia harus menanggung kebutuhan hidupnya dengan menjadi wanita penjaja seks yang bisa mendapatkan uang dengan cepat tanpa memikirkan resikonya. Selain itu juga disebabkan faktor seorang wanita telah dikhianati pacarnya akhirnya dia putus asa mecari jalan ke luarnya dengan cara menjadi wanita penjaja seks. Bahkan juga disebabkan gaya hidup yang berlebihan maupun yang kekurangan sehingga seseorang itu terpaksa menjadi wanita penjaja seks untuk memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Selain itu juga penggunaan kondom bagi lelaki pengguna jasa wanita pekerja seks masih sangat rendah sehingga masih menyebabkan tingginya penyakit menular seksual seiring dengan tingginya jumlah para pelanggan wanita pekerja seks. Dampak IMS sangat luas dan kompleks antara lain dampak medis, sosio ekonomis maupun psikologis. Dampak medis antara lain berupa kematian, timbulnya kanker ganas, kebutaan, kematian janin dalam kandungan, cacat bawaan, berat badan bayi lahir rendah, kelainan sistem kardiovaskuler, kelainan susunan saraf pusat, penyakit radang panggul dan kemandulan. IMS juga akan meningkatkan risiko menularkan maupun tertular HIV, sehingga meningkatnya prevalensi IMS akan meningkatkan pula prevalensi infeksi HIV.
Data Kementerian Kesehatan (2012), menunjukkanjumlah kumulatif kasus AIDS di DKI Jakarta sepanjang 1987 sampai Maret 2012 sebanyak 5.118 kasus dan kasus HIV mencapai 20.216 kasus. Menurut WHO 2011 IMS merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki-laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di Negaraberkembang. Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semuapopulasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% darisemua kasus IMS baru yang didapat. Kasus- kasus IMS yang terdeteksi hanyamenggambarkan 50-80% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika. Berdasarkan laporan triwulan ketiga tahun 2009 Surveilans AIDS Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP &PL) Dep. Kes RI, dari jumlah 18.442 kasus AIDS di Indonesia diketahui persentase berdasarkan jenis kelamin yaitu 74,5% laki-laki dan 25,5% perempuan.kasus terbanyak ditemukan di Propinsi Jawa Barat dengan jumlah penderita 3.233 orang. Disusul Provinsi lainnya yaitu Jawa Timur 3.133 orang, DKI Jakarta 2811 orang, Papua 2681 orang, Bali 1506 orang, Kalimantan Barat 730 orang, Jawa Tengah 669 orang, Sumatera Utara 485 orang, Riau 371 orang, dan Kepulauan Riau 333 orang.sampai dengan 30 September 2009 rate kumulatif kasus AIDS nasional mencapai 8,15 per 100.000 penduduk. Estimasi populasi rawan tertular HIV di Indonesia tahun 2006 sebesar 193.000. Pada tahun 2014 diproyeksikan jumlah infeksi baru HIV usia 15-49 tahun sebesar 79.200 dan proyeksi untuk ODHA usia 15-49 tahun sebesar 501.400
kasus.sampai dengan September 2009 terdapat 13.858 ODHA masih menerima pengobatan ARV (60% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi dari Propinsi DKI Jakarta (6.135), Jawa Barat (1.724), Jawa Timur (1.145), Bali (811), Jawa Tengah (436), Papua (433), Sumatera Utara (442), Kalimantan Barat (382), Kepulauan Riau (335), dan Sulawesi Selatan (314). Industri seks diperkirakan melibatkan 150.000 pekerja seks komersial wanita. Penderita HIV pada wanita berisiko tinggi ini cukup tinggi. Di Merauke, misalnya, 26,5% pekerja seks komersial wanita telah terinfeksi HIV. Penggunaan kondom pada hubungan seksual terakhir dilakukan oleh sekitar 41% pekerja seks komersial. Diperkirakan ada 7-10 juta pelangan seks pria di Indonesia, namun menunjukkan hanya sekitar 10% dari pelanggan yang menggunakan kondom secara konsisten untuk melindungi dirinya dari risiko penularan saat melakukan transaksi seks secara komersial. Survei lainnya di 13 provinsi pada pekerja seks komersial menunjukkan bahwa penggunaan kondom pada hubungan seks pada data terakhir antara 18,9 % di Karawang dan 88,4 % di Merauke (Vitasexualis.wordpress.com). Rendahnya penggunaan kondom sebagai salah satu upaya pencegahan infeksi menular seksual disebabkan karena beberapa faktor seperti :1) Ketidaktahuan pekerja seks komersial tentang pencegahan penyakit infeksi menular seksual. Dimana pengetahuan terhadap pencegahan infeksi menular seksual merupakan pertimbangan dalam pemakain kondom. 2) Pemanfaatan pelayanan kesehatan 3) Adanya niat yang
timbul dan adanya sikap yang didasarkan pada pandangan pekerja seks komersial dalam pencegahan infeksi menular seksual (Efendy, 2004). Kurangnya pengetahuan pekerja seks komersial sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dalam pencegahan infeksi menular seksual. Beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari pekerja seks komersial kurang maka penggunaan kondom sebagai pencegahan IMS juga menurun. Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan status sehat atau sakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Secara umum perilaku dapat diartikan sebagai hasil interaksi dari individu dengan lingkungan sekitarnya (Depkes RI, 2003). Menurut Robbin (2003) ada beberapa komponen yang membentuk perilaku antara lain pengetahuan, persepsi dan pemanfaatan klinik IMS. Menurut Green dalam Notoadmojo (2007), kesehatan seseorang itu dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku ini di tentukan oleh 3 faktorutama yaitu; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai nilai, norma sosial dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, akses serta tersedia atau tidaknya fasilitas fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, klinik, obatobatan, alat kontrasepsi, dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors), yang
terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau masyarakat, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Model Green dalam Notoadmojo (2007) dan Anderson (1968) dapat digunakan untuk menganalisa tindakan pencegahan IMS di lokasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan data profil kesehatan propinsi Sumatera Utara Tahun 2011, jumlah kasus IMS yang terdapat diseluruh wilayah puskesmas 2.804 kasus kejadian PMS (Dinkes.ProvSU, 2011). IMS terusmeningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkanpada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnyapenyebaranpenyakit ini disebabkan seksual yang bergonta-ganti pasangan, danadanyahubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya(lestari, 2008). Berdasarkan penelitian Rudi Chandra (2012) di Kecamatan Sibolangit,menunjukkan bahwatidak ada hubungan yang bermaknaantara pengetahuan pekerja seks komersial dengan tindakan pencegahan penyakit infeksi menularseksual (IMS) dengan (p=0,50) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikappekerja seks komersial dengan tindakan pencegahan penyakit infeksi menular seksual (IMS) dengan(p=0,10).
Jumlah penderita penyakit menular seksual di kabupaten Deli Serdang mencapai 758 kasus pada tahun 2011. Sedangkan pada data yang didapat saat melakukan presurvei di Lokalisasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang yaitu Sikeci-keci dan Bandar Baru sebanyak 230wanita pekerja seksual. Berdasarkan wawancara dari 8 orang pekerja komersial diperoleh bahwa sebahagian besar yaitu 5 orang (62,5%) tidak melakukan pencegahan infeksi menular seksual dengan tidak mempergunakan kondom setiap melakukan hubungan seksual. Hal ini terkait dengan kurangnya pengetahuan dan sikap pekerja seks komersial tentang infeksi menular seksual dan pencegahannya. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang Hubunganpengetahuan dansikap pekerja seks komersial dengan pemanfaatan klinik IMSdantindakan pencegahan penyakit infeksi menular seksual pada pekerja seks komersial di lokasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah ada hubunganpengetahuan dan sikap pekerja seks komersial dengan pemanfaatan klinik IMSdan tindakan pencegahan penyakit infeksi menular seksual pada pekerja seks komersial di lokasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk melihat secara umum sampai sejauh mana Hubunganpengetahuan dan
sikap pekerja seks komersial dengan pemanfaatan klinik IMSdan tindakan pencegahan penyakit infeksi menular seksual pada pekerja seks komersial di lokasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. 1.4. Hipotesis Ada hubungan pengetahuan dan sikap pekerja seks komersial dengan pemanfaatan klinik IMSdan tindakan pencegahan penyakit infeksi menular seksual pada pekerja seks komersial di lokalisasi Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. 1.5.Manfaat Penelitian 1. Sebagai upaya untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti khususnya tentang tindakan pencegahan IMS 2. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada petugas kesehatan masyarakat agar meningkatkan intervensi kepada masyarakat didalam meningkatkan perilaku pencegahan IMS, HIV-AIDS melalui penyampaian pesan-pesan absen dalam seks bebas, berlaku setia pada pasangan dan cegah dengan pemakaian kondom. 3. Diharapkan dapat memberikan motivasi kepada PSK untuk mencari informasi tentang pentingnya tindakan pencegahan IMS. 4. Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai masukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya