Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Thalassia hemprichii PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN

Zarfen, Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FIKP-UMRAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIOMASSA DAUN Enhalus acoroides PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH, BINTAN

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep

PRODUKTIVITAS BIOMASSA VEGETASI LAMUN DIPERAIRAN DESA PENGUDANG KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPELAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

Kandungan Nitrat dan Fosfat Pada Kondisi Pasang Terhadap Tutupan Lamun di Perairan Padang Lamun Desa Pengudang Kabupaten Bintan

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

3. METODOLOGI PENELITAN

KERAPATAN DAN DISTRIBUSI LAMUN (SEAGRASS) BERDASARKAN ZONA KEGIATAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN PERAIRAN PULAU LOS KOTA TANJUNGPINANG

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PULAU NIKOI

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN PANTAI SAKERA KECAMATAN BINTAN UTARA KABUPATEN BINTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

KONDISI EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN DESA MANTANG BARU KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

STRUKTUR KOMUNITAS PADANG LAMUN PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA DI PERAIRAN DESA BERAKIT KABUPATEN BINTAN

PERBANDINGAN JENIS LAMUN DI PERAIRAN MALANG RAPAT DAN BERAKIT KABUPATEN BINTAN

BAB III METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

STRUKTUR KOMUNITAS PADANG LAMUN DI PERAIRAN PULAU DUYUNG KABUPATEN LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

Struktur Komunitas Padang Lamun. Perairan Teluk Siantan. Kabupaten Kepulauan Anambas

BAB III METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BIOMASSA DAN KERAPATAN LAMUN BERDASARKAN RASIO N:P PADA SEDIMEN DI PERAIRAN PANTAI TRIKORA KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB III METODE PENELITIAN

SURVAI EKOLOGI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH KABUPATEN ALOR EKOSISTEM PADANG LAMUN. Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

ANALISIS HUBUNGAN KEBERADAAN DAN KELIMPAHAN LAMUN DENGAN KUALITAS AIR DI PULAU KARIMUNJAWA, JEPARA

Daya Dukung Zona Pemanfaatan Kawasan Konservasi Lamun Untuk Wisata Bahari Di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

ASOSIASI GONGGONG (Strombus sp) DENGAN LAMUN DI WILAYAH KONSERVASI LAMUN DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN

Program Studi Biologi, Jurusan Biologi FMIPA UNSRAT Manado, * korespondensi:

Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan p-issn: , e-issn:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

Transkripsi:

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara Suhandoko 1, Winny Retna Melani 2, Dedy Kurniawan 3 suhandoko.2001@gmail.com Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis lamun, indeks nilai penting, serta kualitas perairan Kampung Bugis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 hingga Januari 2018 dengan menggunakan metode acak (Random sampling). Dari hasil penelitian tersebut, jenis lamun yang dijumpai pada penelitian ini sebanyak 3 jenis lamun yakni jenis E. acoroides, T. hemprichii, dan C. serrulata dengan total kerapatan sebesar 94,3 tegakan/m 2, total tutupan jenis lamun sebesar 40,8%, dan frekuensi jenis yang paling sering dijumpai yakni E. acoroides. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis E. acoroides, dengan demikian jenis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap komunitas lamun di perairan Kampung Bugis. Nilai indeks keanekaragaman tergolong sedang, yang mencirikan bahwa jenis lamun yang dijumpai tidak terlalu banyak. Nilai indeks keseragaman tergolong tinggi yang mengindikasikan bahwa jenis yang dijumpai jumlahnya tidak berselisih jauh. Serta nilai indeks dominansi tergolong rendah yang mencirikan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi. Dari parameter yang telah diteliti, kondisi padang lamun diperairan Kampung Bugis yakni kurang baik. Kata kunci : Lamun, Tutupan, Kerapatan, Frekuensi, INP, Kampung Bugis. 1

PENDAHULUAN Ekosistem lamun merupakan ekosistem penting sebagai penunjang kehidupan biota biota perairan dan dimanfaatkan sebagai area pengasuhan, pemijahan, mencari makan, serta pembesaran larva larva organisme akuatik, (Gosari dan Haris 2012). Ekosistem lamun penting untuk dilindungi karena fungsinya yang sangat penting bagi kelangsungan kelestarian sumberdaya perikanan. Pengkajian terkait kondisi lamun menjadi sesuatu yang diperlukan sebagai kontrol untuk melihat kondisi padang lamun pada masa ke masa. Fungsi lamun diantaranya adalah sebagai penyedia tempat berlindung bagi biota-biota laut yang hidup di dalamnya, serta merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi beberapa spesies biota laut, (Kordi 2011). Padang lamun adalah salah satu ekosistem produktif yang memiliki fungsi ekologi sebagai tempat pemijahan, perlindungan, habitat hidup, serta pengasuhan bagi biota ekonomis penting, dan biota biota lainnya. Namun kerusakan area padang lamun masih terus terjadi dan membahayakan bagi kelangsungan habitat biota ekonomis penting meliputi ikan, kerang-kerangan, krustasea, Echinodermata dan biota penting lainnya. Status kondisi padang lamun sangat menentukan terjadinya indikasi kerusakan lamun akibat dari aktivitas dan pengaruh yang ada di sekitar pesisir. Perubahan kondisi dan status padang lamun dapat dianalisis menggunakan pendekatan komunitas berupa tingkat tutupan dan kerapatannya. Dari kedua pendekatan komunitas tersebut, dapat dilihat sejauh mana kerusakan lamun yang terjadi. Namun ekploitasi yang cenderung meningkat pada area padang lamun, dapat memberikan dampak kerusakan padang lamun. Kerusakan yang umumnya terjadi yakni berupa berkurangnya luasan dan tingkat kerapatan lamun yang cenderung menurun. Maka perlu dilakukan pendekatan ilmiah terkait kajian kondisi dan status padang lamun di Perairan Kampung Bugis dengan melihat kerapatan dan tutupan lamun sehingga dapat diketahui kondisinya saat ini untuk pedoman pengelolaan lamun pada masa yang akan datang. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 sampai Januari 2018. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Desa Kampung Bugis, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 2

Pengambilan data kondisi lamun menggunakan metode Petak Contoh (Transect Plot). Metode petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas menggunakan pendekatan petak contoh yang diletakkan pada wilayah ekosistem tersebut (KEPMEN LH No.200 Tahun 2004). Setiap titik yang menyebar di Perairan Kampung Bugis akan diamati nilai kerapatan jenis/spesies dan persentase tutupan. Pengambilan data kondisi tutupan lamun dilakukan saat pasang dan kerapatan lamun dilakukan saat air laut mengalami surut dengan kedalaman air antara 10 50 cm. Prosedur pengambilan data adalah sebagai berikut: 1. Menentukan titik pengamatan 2. Pada setiap titik pengamatan diletakkan 1 plot 3. Transek plot yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan ukuran 0,5x0,5 m yang dibagi menjadi 25 sub petak berukuran 10 x 10 cm. Pengambilan sampel dilakukan ketika saat surut. Skema petak contoh yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Gambar 2. Petak Contoh (plot) untuk pengamatan Lamun Identifikasi jenis dilakukan dengan mencocokan data data di lapangan seperti bentuk daun, bunga dan akar lamun dengan katalog, kemudian jenis jenis lamun yang didapat di lapangan disajikan dalam bentuk Tabel (KEPMEN LH No. 200 Tahun 2004). Identifikasi jenis jenis lamun menggunakan panduan identifikasi lamun menurut (McKenzie 2003). Pengukuran lamun meliputi; kerapatan jenis, kerapatan relative, frekuensi jenis, frekuensi relatif, tutupan jenis, tutupan relative, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. Untuk menentukan kondisi lamun dilihat dari nilai kerapatan dan tutupannya seperti tersaji pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan Skala Kerapatan (ind/m 2 ) Kondisi 5 > 175 Sangat Rapat 4 125 175 Rapat 3 75 125 Agak Rapat 2 25 75 Jarang 1 < 25 Sangat Jarang Sumber : Braun-Blanquet (1965) dalam Gosari dan Haris (2012). Tabel 2. Status padang lamun Status Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/Sehat > 60 Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 59,9 Rusak Miskin < 29, 9 Sumber: KEPMEN LH No. 200 Tahun 2004 3

HASIL 1. Jenis Lamun Hasil pengamatan selama penelitian untuk setiap titik sampling teridentifikasi sebanyak 3 jenis lamun yakni jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea serrulata. Ketiga jenis lamun ini dijumpai menyebar dari tepian sungai kearah tubir pada area titik sampling yang ditentukan sebelumnya. Untuk melihat jenis serta jumlah tegakan E. acoroides, T. hemprichii, dan C. serrulata disajikan seperti pada Gambar 3. E. acoroides T. hemprichii C. serrulata Gambar 3. Jenis jenis Lamun di Perairan Kel. Kampung Bugis 2. Kerapatan Lamun Nilai kerapatan lamun dihitung dengan melihat jumlah tegakan untuk masingmasing jenis yang dijumpai, kemudian dibandingkan dengan luasan area lamun. Hasil pengamatan kerapatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Kerapatan lamun di perairan Kampung Bugis 3. Penutupan Lamun Luasan cover area atau dikenal dengan istilah persentase penutupan lamun merupakan pendekatan ekologis yang juga dapat melihat kondisi lamun pada suatu lokasi. Berdasarkan hasil hitungan, diperolah nilai penutupan dan penutupan relative seperti tersaji pada Gambar 5. 4

Gambar 5. Penutupan lamun di perairan Kampung Bugis 4. Frekuensi Lamun Frekuensi lamun merupakan gambaran data yang menggambarkan peluang nilai kehadiran jenis lamun tertentu dalam plot sampling yang diambil. Nilai frekuensi yang tinggi mencirikan bahwa jenis tersebut memiliki sebaran yang luas, sedangkan jika nilainya rendah berarti jenis tersebut hanya dijumpai di beberapa lokasi saja. Baiklah untuk melihat lebih jelasnya mengenai nilai frekuensi jenis lamun di perairan Kampung Bugis maka disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Frekuensi lamun di perairan Kampung Bugis 5. Indeks Nilai Penting Lamun Indeks nilai penting atau INP merupakan analisis komunitas yang menggambarkan peran suatu jenis tertentu dalam suatu komunitas, dalam hal ini komunitas lamun. Untuk melihat nilai INP dari komunitas lamun di perairan Kampung Bugis, disajikan pada Gambar 7. 5

INP (%) 180,00 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 Indeks Nilai Penting E. acoroides T. hemprichii C. serrulata Jenis E. acoroides T. hemprichii C. serrulata Gambar 7. Indeks Nilai Penting lamun di perairan Kampung Bugis 6. Indeks Ekologi (Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi) Indeks ekologi yakni indeks yang meliputi indeks keanekaragaman jenis (menggambarkan banyaknya jenis yang dijumpai), indeks keseragaman jenis (kemerataan/selisih jumlah tegakan dari masing-masing jenis), serta indeks dominansi (menggambarkan apakah ada jenis yang menguasai/dominan). Dari hasil perhitungan nilai indeks ekologi, secara rinci disajkan pada Tabel 7. Tabel 7. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi No. Indeks Nilai Indeks Kategori Nilai 1 Keanekaragaman 1.48 Sedang 2 Keseragaman 0.93 Tinggi 3 Dominansi 0.38 Rendah Sumber : Hasil Olahan Data 7. Kualitas Air Kondisi lingkungan meliputi parameter fisika dan kimia perairan Kampung Bugis disajikan secara rinci seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Kondisi Perairan Kampung Bugis No. Parameter Satuan Hasil Sampling Rata-rata Baku Mutu Kepmen LH No.51 (2004) 1. Fisika - Suhu o C 27,90 28-30 - Arus m/s 0,10 - - Kecerahan m Tampak Dasar >3 - Substrat - Pasir - 2. Kimia - ph - 7,59 6-8,5 - Oksigen Terlarut mg/l 6,85 >5 - Salinitas o / oo 29,97 33-34 Sumber : Hasil Olahan Data 6

PEMBAHASAN 1. Jenis Lamun Penelitian ini menujukkan bahwa jenis yang dijumpai tergolong sedikit jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Srianti (2017), di perairan Pantai Sakera yang secara administrasi masih masuk dalam Kelurahan Kampung Bugis dijumpai 5 spesies lamun yakni E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, H. uninervis dan H. pinifolia. Jenis yang sebelumnya ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan penelitian ini. Namun beberapa jenis yang ditemukan spesiesnya sama. Akan tetapi secara keseluruhan jenis yang dijumpai pada penelitian ini tergolong sedikit hanya 3 jenis. Lokasi pada penelitian tersebut tidak terlalu jauh dengan lokasi penelitian pada saat ini, komunitas lamun yang diamati masih dalam satu hamparan komunitas padang lamun. Jika dibandingkan dengan jenis lamun yang umum dijumpai di Indonesia yakni sebanyak 12 spesies, (Syukur et al. 2011). Jenis yang dijumpai di perairan Kampung Bugis hanya terdiri dari 3 spesies, atau dapat dikatakan hanya sebesar 25% dari jenis yang dijumpai di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa jenis yang dijumpai di perairan ini cukup sedikit. Hal yang mempengaruhi sedikitnya jenis yang dijumpai yakni karakteristik lamun di perairan Kampung Bugis yang cenderung membentuk vegetasi tunggal, yaitu jenis yang hidup disana hanya dijumpai beberapa spesies saja. Berdasarkan penelitian Menurut Arkham et al. (2015), wilayah Kabupaten Bintan ditemukan 10 jenis lamun dari 12 jenis lamun yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi pengamatan (Kabupaten Bintan bagian utaratimur) memiliki keaneka-ragaman jenis lamun yang tinggi. Jenis-jenis lamun yang ditemukan tersebut antara lain adalah : Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Ehbalus acroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Hallophila. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum, dan Syringodium isoetifolium. Lebih lanjut Siswanto et al., (2017) mengatakan bahwa jenis lamun yang umum dijumpai di perairan Pulau Bintan ialah Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Thalasodendron ciliatum dan Cymodocea rotundata. 2. Kerapatan Nilai kerapatan berdasarkan hasil hitungan di perairan Kampung Bugis menunjukkan bahwa kerapatan jenis E. acoroides sebesar 44,0 tegakan/m 2, untuk jenis T. hemprichii sebesar 16,0 tegakan/m 2, serta kerapatan untuk jenis C. serullata yakni 34,3 tegakan/m 2. Dengan total kerapatan untuk semua jenis yakni sebesar 94,3 tegakan/m 2. Jika mengacu pada kategori kerapatan menurut Supriadi et al., (2012) bahwa kerapatan yang rendah bernilai <50 tegakan/m 2, kerapatan yang sedang yakni bernilai 50 100 tegakan/m 2, serta kerapatan yang tinggi bernilai <100 tegakan/m 2. Maka jika dibandingkan dari nilai tersebut, kondisi kerapatan lamun di perairan Kampung Bugis temasuk kerapatan yang sedang. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Srianti (2017), disekitar perairan Pantai Sakera yang masih dalam satu hamparan lamun Desa Kampung Bugis menunjukkan bahwa kerapatan lamun total untuk semua jenis juga cukup rendah hanya sebesar 44 tegakan/m 2. Penelitian ini kondisi lamunnya tergolong dengan 7

kerapatan yang rendah. Kerapatan lamun pada penelitian saat ini lebih tinggi, meskipun dari jumlah jenisnya lebih sedikit dijumpai. Secara keseluruhan mencirikan bahwa kondisi lamun di perairan Kampung Bugis terus mengalami tekanan. Tekanan yang diterima oleh ekosistem lamun akan mengarah kepada penurunan nilai kerapatannya serta kerusakan dan penurunan luasannya. Sehingga jika lamun terus mengalami penurunan jumlah ekologinya akan berdampak pada kerusakan bagi organisme yang hidup didalamnya. Seperti hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan adanya aktivitas masyarakat berupa berkarang, tambak labuh pompong, aktivitas wisata pantai, serta permukiman pesisie disekitar area lamun perairan Kampung Bugis yang menyebabkan rusaknya ekosistem lamun. Menurut Supriadi et al. (2012) bahwa kondisi lamun yang rusak berpengaruh terhadap peranan lamun sebagai habitat, tempat memijah dan tempat mencari makan berbagai organisme serta peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Dengan penurunan kondisi lamun tersebut, akan mengurangi fungsi ekologis pada lamun dan berimbas pada stabilitas ekosistem yang lainnya. Asumsi peneliti, bahwa kerapatan lamun yang sedang (tidak rapat) disebabkan oleh faktor manusia yaitu aktivitas aktivitas pesisir yang memiliki dampak terhadap lamun. Diperairan Kampung Bugis diketahui merupakan area wisata pantai, permukiman, aktivitas perikanan, serta transportasi laut. Aktivitas tersebut sangat berpotensi untuk mengakibatkan penurunan kondisi padang lamun sehingga dari waktu ke waktu terus mengalami tekanan. Dari aktivitas permukiman, banyak dihasilkan sampah-sampah yang dapat menutupi area lamun sehingga menyebabkan terhambatnya fotosintesis. Dari aktivitas transportasi kapal akan mengakibatkan adanya lapisan minyak dari limbah buangan minyak kapal (air ballas) yang juga akan menghambat masuknya cahaya matahari. Dari aktivitas perikanan seperti jaring ikan akan mengakibatkan tercabutnya lamun di dasar perairan pada saat penarikan jarring, serta dari aktivitas wisata pantai dan berkarang yang dilakukan oleh masyarakat akan menginjak injak lamun sehingga juga akan mengakibatkan kerusakan lamun. Lebih lanjut Syukur et al. (2011), mengatakan bahwa kerusakan lamun pada dasarnya adalah akibat dari cara masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang benilai konsumsi seperti moluska dan sumberdaya lain yang berdampak pada rusaknya lamun. Menurut Supriadi et al. (2012), kerusakan lamun selain faktor alami, juga disebabkan oleh meningkatnya tekanan (kerusakan) ekosistem padang lamun karena aktifitas manusia. 3. Tutupan Hasil penutupan jenis lamun diatas, diketahui bahwa E. acoroides memiliki persentase penutupan jenis sebesar 15,8%, kemudian untuk jenis lamun T. hemprichii memiliki persentase tutupan yakni 10,5%, sedangkan untuk jenis lamun C. serrulata yakni sebesar 14,5%. Untuk total tutupan jenis lamun secara keseluruhan sebesar 40,8%. Dalam peraturan yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004, membagi kelas penutupan lamun menjadi 3 bagian yakni penutupan kaya/sehat ( 60%), kurang kaya/kurang sehat (30-59,9%), serta tutupan terkategori miskin ( 29,9%). Dengan demikian nilai tutupan lamun di perairan Kampung Bugis yakni tergolong pada penutupan yang kurang kaya/kurang sehat (sedang). Kondisi ini 8

serupa dengan data hasil tingkat kerapatan lamun yang juga tergolong sedang. Kerusakan lamun diakibatkan oleh adanya aktivitas permukiman, wisata pantai, transportasi laut, aktivitas perikanan yang ada di sekitar perairan Kampung Bugis. Dari aktivitas transportasi laut dengan limbah minyaknya, serta sampah yang dihasilkan oleh permukiman, dan aktivitas menjaring ikan oleh nelayan yang akan mengakibatkan kekeruhan perairan meningkat dan terbentuknya lapisan minyak di kolom air yang akan menghambat terjadinya fotosintesis pada lamun. Dengan demikian akan berdampak pada penurunan pertumbuhan daun lamun, dan mengakibatkan penurunan persentase tutupannya. Tutupan yang tidak tergolong tinggi mencirikan bahwa luasan area lamun di perairan Kampung Bugis semakin menurun. Menurut Poedjiraharjoe et al. (2013), bahwa rendahnya angka penutupan di suatu perairan umumnya diduga karena adanya aktivitas manusia dan tingginya aktivitas perikanan, sehingga terjadi berbagai macam gangguan, salah satunya yakni peningkatan kekeruhan yang dapat menghambat terjadinya fotosintesis. Kondisi penutupan jenis lamun yang menurun di perairan Kampung Bugis, merupakan indikasi terjadinya perubahan luasan padang lamun di perairan tersebut. Seperti penelitian Setiawan et al. (2012), bahwa berdasarkan hasil citra pemetaan luasan lamun di perairan Banten, terindikasi bahwa telah terjadi penurunan luasan padang lamun yakni sebesar 45,2 ha pada tahun 2008 menjadi sebesar 43,8 ha pada tahun 2010. Kondisi ini juga diprediksi umum terjadi di perairan-perairan pesisir Indonesia, penurunan tersebut lebih besar disebabkan oleh faktor aktivitas manusia. Pada data tersebut juga diperoleh bahwa terjadi penurunan nilai tutupan lamun dari tahun ke tahun. Dapat disimpulkan bahwa penutupan lamun memiliki hubungan dengan nilai luasan lamun. Semakin rendah nilai penutupan lamun, maka mengindikasikan terjadinya penurunan luasannya. Sebaliknya juga demikian, jika penutupan lamun semakin meningkat maka dapat dipastikan bahwa luasan area lamunnya juga meningkat. 4. Frekuensi Nilai frekuensi jenis lamun E. acoroides yakni 0,9. Untuk jenis T. hemprichii dan C. serrulata yakni masing-masing 0,2 dan 0,1. Nilai frekuensi diketahui tertinggi pada jenis E. acoroides mencapai 1 (satu) artinya hampir seluruh plot pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini, dapat ditemukan jenis E. acoroides. Sedangkan jenis yang nilai frekuensi paling rendah yakni jenis C. serullata menggambarkan jenis ini paling kecil sebarannya dan hanya dijumpai di beberapa plot saja. Diketahui dari hasil pengamatan sebanyak 30 plot sampling, jenis C. serullata hanya dijumpai di 4 (empat) plot saja, sedangkan untuk jenis E. acoroides dijumpai di 27 dari 30 plot pengamatan. Dapat dilihat dari data frekuensi relatif bahwa jenis E. acoroides memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi yakni 71,05%. Artinya jenis E. acoroides dapat dijumpai sebesar 71,05% (27 plot) dari 100% (30 plot) pengamatan. Kondisi ini sangat memungkinkan jika jenis E. acoroides merupakan jenis yang umum dijumpai dan memiliki sebaran yang cukup luas di perairan Kampung Bugis. Dari hasil penelitian sebelumnya bahwa nilai persentase komposisi lamun di sekitar perairan Pantai Sakera yang berdekatan dengan perairan Kampung Bugis menunjukkan bahwa komposisi tertinggi pada jenis Enhalus acoroides sebesar 54 % (Srianti, 9

2017). Dominasi jenis E. acoroides memang selalu terlihat baik pada penelitian saat ini maupun penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil frekuensi lamun yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa sebaran yang luas terhadap jenis E. acoroides dipengaruhi oleh kondisi organisme lamun itu sendiri. Diketahui bahwa jenis lamun E. acoroides memiliki sistem perakaran yang kokoh, struktur daun yang besar dan kasar, serta merupakan spesies yang paling besar dibandingkan dengan spesies lainnya. Dengan demikian, bukan tidak mungkin jenis lamun E. acoroides memiliki daya tahan dan toleransi yang cukup baik terhadap perubahan lingkungan, serta dapat lebih cepat pertumbuhannya sehingga sebarannya semakin luas. Diperoleh dari hasil penelitian Rahman et al. (2016), bahwa kisaran rata-rata pertumbuhan lamun E. acoroides mencapai 4,7 15,2 mm/hari. Sedangkan jika menurut penelitian Alie (2010), terkait dengan pertumbuhan lamun jenis T. hemprichii sebesar 2,9 mm/hari. Serta menurut Tasabaramo et al. (2015), bahwa pertumbuhan lamun jenis Cymodocea sp. dapat mencapai 2,2 mm/hari. Dari datadata tersebut menjelaskan bahwa memang jenis E. acoroides pertumbuhannya paling cepat, sehingga dapat menyebar lebih luas dan memiliki peluang pertumbuhan yang lebih cepat sehingga nilai frekuensinya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. 5. Indeks Nilai Penting Indeks Nilai Penting lamun di perairan Kampung Bugis menunjukkan bahwa jenis E. acoroides memiliki nilai INP mencapai 156,52. Untuk jenis T. hemprichii dan jenis C. serullata masing-masing memiliki nilai INP yakni 61,08 dan 82,40. Melihat nilai INP, jenis yang memiliki nilai INP tinggi yakni jenis E. acoroides menunjukkan jenis ini paling memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas lamun di perairan Kampung Bugis. Artinya jenis lamun E. acoroides merupakan jenis yang digunakan sebagai indicator kondisi lamun di perairan Kampung Bugis, jika kondisi lamun jenis E. acoroides terganggu maka dapat dipastikan lamun jenis lain juga keberadaannya terganggu. Menurut Feryatun et al. (2012), bahwa INP digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. 6. Indeks Ekologi Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari hasil perhitungan yakni sebesar 1,48 dengan kategori indeks tergolong sedang. Nilai indeks keseragaman diperoleh sebesar 0,93 dengan kategori indeks keseragaman tergolong tinggi, sedangkan untuk indeks dominansi diperoleh sebesar 0,38 yang tergolong dengan kondisi rendah. Hasil data tersebut menggambarkan bahwa jenis lamun yang dijumpai di perairan Kampung Bugis tidak terlalu banyak (hanya 3 spesies) sehingga nilai keanekaragamannya sedang. Jumlah tegakan dari masing-masing jenis lamun yang dijumpai, tidak berselisih jauh sehingga nilai keseragamannya tergolong tinggi (jumlah jenis hamper merata). Selanjutnya dari hasil indeks dominansi dapat dilihat tidak ada satu spesies yang dominan meskipun secara keseluruhan jenis E.acoroides memiliki nilai komunitas yang lebih tinggi. Artinya meskipun lebih banyak tegakan jenis E. acoroides akan tetapi masih dalam kondisi yang sesuai. Hasil indeks tersebut mencirikan bahwa kondisi lingkungan dan kondisi perairan masih cukup baik untuk mendukung kehidupan lamun. 10

7. Kualitas Air Hasil pengukuran suhu perairan diperoleh rata-rata yakni sebesar 27,9 o C, jika mengacu pada nilai baku mutu perairan dalam KEPMEN LH No.51 Tahun 2004, bahwa suhu yang sesuai bagi kehidupan lamun yakni 28 30 o C. Tentunya jika dilihat dari hasil pengukuran suhu lebih rendah dibandingkan dengan baku mutu, akan tetapi tidak selisih jauh. Rendahnya nilai suhu dikarenakan oleh sampling yang dilakukan pada saat air surut yang terjadi pada pagi hari, sehingga suhu akan lebih rendah dibandingkan dengan siang hari. Kecepatan arus di perairan Kampung Bugis diperoleh rata rata sebesar 0,10 m/s. Jika dibandingkan dengan kecepatan arus yang baik bagi pertumbuhan lamun yang dikemukakan oleh Kordi (2011) yakni sebesar 0,5 m/s. Maka data kecepatan arus diatas tergolong pada kecepatan arus yang lambat. Lemahnya arus di perairan Kampung Bugis tersebut disebabkan dengan kondisi topografi dan morfologi perairan yang termasuk dalam bentuk perairan teluk. Dengan kondisi tersebut maka arus akan lebih lemah karena terhalang dengan kawasan tanjung yang lebih menjorok ke arah laut. Menurut Pamungkas dan Jaelani (2016), Selain aktivitas manusia, kerusakan padang lamun juga diakibatkan oleh perubahan kualitas perairan tempat habitat hidupnya. Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung bagi kelangsungan hidup lamun diantaranya yaitu salinitas, suhu, dan kecerahan perairan. Nilai kecerahan perairan Kampung Bugis pada setiap titik sampling yang kecerahan/cahaya matahari sampai hingga ke dasar perairan. Kecerahan tentunya mendukung kelangsungan proses fotosintesis lamun yang membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis. Dengan demikian, nilai kecerahan di perairan Kampung Bugis tergolong baik bagi pertumbuhan lamun. Menurut Christon et al. (2012), bahwa kondisi kecerahan yang tinggi menguntungkan bagi lamun karena proses fotosintesis dapat berlangsung secara optimal, karena cahaya yang masuk kedalam kolom air sangat penting untuk aktivitas fotosintesis. Komposisi substrat dasar perairan Kampung Bugis didominasi oleh butiran pasir, cenderung jenis substrat/sedimen berbutir kasar. Komposisi sedimen berbutir halus (lanau/lumpur) memiliki kandungan yang besar terhadap ketersediaan nutrient. Dari hasil kajian bahwa kerapatan lamun cenderung akan meningkat pada tipe substrat yang komposisi jenis lumpurnya lebih banyak, dibandingkan dengan substrat yang mengandung sedikit kandungan lumpur. Lamun cenderung hidup baik pada substrat pasir campuran lumpur (Feryatun et al. 2012). Mengacu dari literature diatas, bahwa kondisi substrat masih tergolong kasar sehingga kurang baik bagi pertumbuhan lamun. Akan tetapi, secara keseluruhan lamun masih dijumpai sebanyak 3 jenis, membuktikan bahwa jenis substrat pasir ini juga dapat ditumbuhi oleh lamun meskipun kerapatannya kurang baik. Mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa derajat keasaman (ph) yang baik bagi pertumbuhan lamun yakni antara 6 8,5 sedangka kandungan oksigen terlarut yang baik yakni >5mg/L. Diketahui bahwa derajat keasaman di perairan Kampung Bugis yakni rata rata sebesar 7,59 sedangkan oksigen terlarut rata rata yakni 6,85 mg/l. Dengan melihat data tersebut maka dapat dipastikan bahwa kandungan oksigen terlarut dan derajat keasaman masih baik bagi kehidupan lamun secara keseluruhan. 11

Salinitas di perairan Kampung Bugis rata rata sebesar 29,97 o C, mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa salinitas yang baik untuk kehidupan lamun yakni antara 33 34 o C. Kondisi salinitas terlihat jauh dari nilai baku mutu yang ditentukan, salinitasnya lebih rendah. Kondisi ini dapat terjadi karena pada saat pengambilan data di lapangan dilakukan pada saat pagi hari pada saat sampling lamun, sehingga belum ada pengaruh dari sinar matahari sehingga salinitasnya tergolong rendah. 8. Pengelolaan Lamun Jenis lamun yang dijumpai hanya terdiri dari 3 jenis yakni E. acoroides, T. hemprichii, dan C. serullata sehingga nilai keanekaragaman jenisnya tidak tergolong tinggi. Kerapatan lamun untuk semua jenis diperairan Kampung Bugis juga tergolong sedang sehingga menggambarkan kondisi lamun yang kurang baik. Permasalahan ini juga dapat terjadi pada area area yang tidak ditumbuhi lamun. Kategori nilai tutupan lamun di perairan Kampung Bugis juga tergolong kurang sehat. Artinya kondisi padang lamun juga kurang baik jika ditinjau dari nilai tutupannya. Nilai frekuensi dan indeks nilai penting lamun tertinggi pada jenis E. acoroides sedangkan jenis lain memiliki nilai yang lebih rendah dan selisih jauh. Dengan demikian dikhawatirkan akan terjadi dominan jenis E. acoroides dan akan terjadi lamun yang monospesies yang tentunya kurang baik bagi keberagaman ekosistem lamun. Kualitas air meliputi parameter fisika dan kimia perairan, secara umum masih memenuhi kisaran baku mutu menurut KEPMEN LH No. 51 tahun 2004, sehingga kondisi ini harus selalu ditingkatkan dengan menjaga kelestarian lingkungan oleh semua pihak, baik masyarakat sekitar perairan Kampung Bugis maupun para pengunjung. Jika dilihat dari data secara keseluruhan terhadap komunitas lamun di perairan Kampung Bugis, kesimpulannya adalah kondisi lamun di perairan Kampung Bugis termasuk cukup baik (sedang). Sehingga diperlukan peningkatan pengelolaan berbasis masyarakat dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Diantara parameter fisika dan kimia yang tidak sesuai dengan baku mutu menurut KEPMEN LH No. 51 tahun 2004 yakni suhu salinitas yang nilainya dibawah ambang batas yang ditetapkan, serta kondisi arus perairan Kampung Bugis yang tergolong lemah. Untuk itu perlu adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan terkait dengan buangan air tawar dari aktivitas permukiman secara langsung keperairan laut agar tidak berlebihan dan kegiatan bersih pantai dan pengelolaan sampah sehingga akan mempengaruhi salinitas secara alami diperairan tersebut. KESIMPULAN 1. Jenis lamun yang dijumpai pada penelitian ini sebanyak 3 jenis lamun yakni jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea serrulata. 2. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis E. acoroides, dengan demikian jenis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap komunitas lamun di perairan Kampung Bugis. Nilai indeks keanekaragaman tergolong sedang, yang mencirikan bahwa jenis lamun yang dijumpai tidak terlalu banyak. Nilai indeks keseragaman tergolong tinggi yang mengindikasikan bahwa jenis yang dijumpai jumlahnya tidak berselisih jauh. Serta nilai indeks dominansi tergolong rendah yang mencirikan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi. 12

3. Kondisi parameter perairan secara keseluruhan masih tergolong baik, akan tetapi parameter suhu dan salinitas tidak sesuai dengan baku mutu yang ditentukan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 DAFTAR PUSTAKA Alie, K. 2010. Pertumbuhan Dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii Di Perairan Pulau Bone Batang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jurnal Sains MIPA. Vol 16 (2). Hal 105-110. Arkham, M.N., Adrianto. L., dan Wardiatno, Y. 2015. Studi Keterkaitan Ekosistem Lamun Dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Desa Malang Rapat Dan Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau). Jurnal Sosek Kelautan dan Perikanan. Vol 10 (2). Hal 137-148. Christon, Djunaedi. O.S., Purba, N.P. 2012. Pengaruh Tinggi Pasang Surut Terhadap Pertumbuhan Dan Biomassa Daun Lamun Enhalus acoroides Di Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta. Jurnal Perikanan dank ELAUTAN. Vol 3 (3). HaL 287-294. Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbeda Di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jurnal Manajement of Aquatic Resources. Vol 1 (1). Hal 1-7. Gosari, J.A., Haris, A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Vol. 22 (3). Hal 256-162. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004. Kriteria Baku kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Kordi, K.G. 2011. Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi, potensi pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta. McKenzie, L.J. 2003. Guidelines for The Rapid Assessment and Mapping of Tropical Seagrass Habitats. The State of Queensland. Department of Primary Industries. Pamungkas, M.W.T., Jaelani, L.M. 2012. Pemodelan Persamaan Hubungan Kualitas Perairan Menggunakan Citra Landsat 8 untuk Pendugaan Habitat Padang Lamun (Studi Kasus: Pantai Sanur, Bali). Jurnal Teknik ITS. Vol 5 (2). Hal 170-175. 13

Poedjiraharjoe, E., Mahayani, N.P.D., Sidharta, B.R., Salamuddin, M. 2013. Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan Pesisir Madasanger, Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol 5 (1). Hal 36-46. Rahman, A.A., Nur, A.I., Ramli, M. 2016. Studi Laju Pertumbuhan Lamun (Enhalus acoroides) Di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Sapa Laut. Vol 1 (1). Hal 10-16. Srianti. 2017. Karakteristik dan Distribusi Perifiton pada Daun Lamun yang Berbeda di Perairan Pantai Sakera Kabupaten Bintan. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Supriadi., Soedarma, D., Kaswadji, R.F. 2006. Beberapa Aspek Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barrang Lompo Makassar. Jurnal Biosfera. Vol 23 (1). Hal 1-8. Supriadi., Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. 2012. Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat. Jurnal Maspari. Vol 4 (2). Hal 148-158. Syukur, A. 2015. Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan di Pulau Lombok Status Konservasinya. Jurnal Biologi Tropis. Vol 15 (1). Hal 171-182. Tasabaramo, I.A., Kawaroe, M., Rappe, R.A. 2015. Laju Pertumbuhan, Penutupan, Dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang Ditransplantasi Secara Monospesies dan Multispesies. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol 7 (2). Hal 757-770. 14