BAB III INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI MADIUN SEBELUM KRISIS EKONOMI TAHUN 1929

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam

BAB II GAMBARAN UMUM KARESIDENAN MADIUN ABAD XX

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karesidenan Semarang di sebelah Barat berbatasan dengan Karesidenan

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan

Bab V. Kesimpulan. dalam mengelola industri gula di Mangkunegaran khususnya, dan di Jawa

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI RESIDENSI MADIUN PADA MASA AKHIR KOLONIAL ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga wajar apabila prioritas

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN. berdomisili di daerah pedesaan dan memiliki mata pencaharian disektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.

MIGRASI DARI JAWA TENGAH KE JAWA TIMUR MASA KOLONIAL. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Kolonial

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Tengah BT dan LS, dan memiliki areal daratan seluas

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kapur barus dan rempah-rempah, jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tedy Bachtiar, 2015

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Makalah Diskusi SEJARAH SOSIAL EKONOMI

PERKEMBANGAN USAHA GULA OEI TIONG HAM CONCERN DI JAWA SKRIPSI

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (Mubyarto, 1977 : 15).

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III PETANI DAN HASIL PERTANIAN DESA BENDOHARJO. A. Monografi dan Demografi Desa Bendoharjo

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

BAB IV KOTA BANYUMAS PASCA PERPINDAHAN PUSAT PEMERINTAHAN KE KOTA PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini peneliti akan menyajikan kesimpulan yang berkaitan dengan

KONDISI UMUM UNIT PERKEBUNAN BEDAKAH

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris. Hal itu didasarkan pada luasnya

KONSEP DASAR PEREKONOMIAN GLOBAL

BAB II DESA PULOSARI. Desa Pulosari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

III. KEADAAN UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara

I. PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam yang dimiliki setiap wilayah berbeda-beda, tiap daerah mempunyai

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

GAMBARAN UMUM PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) organisasi, dan tugas dalam hal ini PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai

Pohon dan Kemiskinan Ringkasan dari buku: EKOLOGI PEDESAAN:

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

KEADAAN UMUM DESA PENDOWOHARJO. A. Keadaan Alam 1. Kondisi Geografis dan Batas-Batas Administrasi

POLA TANAM MASYARAKAT PETANI PARANGTRITIS MENYIASATI KEBUTUHAN SINAR MATAHARI DAN MUSIM KEMARAU

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebun Agung didirikan pengusaha Cina, sedangkan Pabrik Gula Krebet

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Transkripsi:

BAB III INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI MADIUN SEBELUM KRISIS EKONOMI TAHUN 1929 Perkembangan industri perkebunan tebu di Madiun merupakan satu bagian dari tumbuh dan berkembangnya industri yang telah berkembang sebelumnya sejak masa Sistem Tanam Paksa yang menetapkan sistem pajak tanah dan kerja bakti (kerja suka rela) yang banyak membawa keuntungan bagi pemerintah Belanda serta produksi tanaman ekspor yang melimpah sehingga membuat pihak swasta tertarik untuk ikut andil dalam dunia perindustrian. Kesempatan ini terbuka lebar ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria dan disusul dengan berlakunya Undang-Undang Gula pada tahun 1870. Diberlakukannya Undang-Undang Gula tak lain adalah usaha untuk menghapus Sistem Tanam Paksa secara perlahan dalam industri pergulaan dan kebebasan perdagangan gula di pulau Jawa. Undang-Undang Agraria memberikan jaminan terhadap penguasaan lahan bagi usaha perkebunan maupun industri swasta. Isi dari Undang-Undang Agraria ini adalah sebagai berikut, (a) untuk lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan swasta diberi hak sewa selama 75 tahun yang dapat di perpanjang dan dipindah tangankan (hak erfpacht) (b) untuk lahan yang dimiliki rakyat, perusahaan swasta dapat melakukan sewa kontrak jangka pendek berlaku paling lama 35 tahun untuk lahan sawah dan 12,5 tahun untuk lahan kering. Sewa kontrak jangka panjang 42

43 berlaku paling lama 21,5 tahun. 1 Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870, kebijakan pemerintah Belanda cenderung untuk membatasi aktivitas pengusaha swasta di daerah yang langsung dikuasai Belanda, Jawa, untuk mempertahankan monopoli atas tanaman perdagangan yang sangat menguntungkan, terutama gula dan kopi. 2 Namun tidak serta-merta perkembangannya selalu lancar, pada perempatan akhir abad ke-19 depresi agraris menimbulkan pukulan hebat terhadap ekspor. Harga gula di Jawa dalam tahun 1877-1884 jatuh dari ƒ. 19 - ƒ. 9 tiap kilo. 3 Sejak tahun 1918 seiring dengan diterapkannya Undang-Undang Sewa yang baru, pemerintah memberi kelongaran kepada setiap industri gula untuk menjalankan hak-haknya. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai tumbuh berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun hingga tahun 1929, dengan berbagai permasalahannya terkait lahan, irigasi, tenaga kerja maupun modernisasi yang mendukung terus berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun. 1 RetnoPuji Lestari., Nasionalisasi Industri Gula Di Madiun: Pabrik Gula Pagottan, Kanigoro dan Redjo Agung Baru Tahun 1950-1960, Skripsi, (Yogyakarta:UNY, 2011), hlm. 29. 2 Soegijanto Padmo., Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 83. 3 Burger, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid II, ( Jakarta: Pradnja Paramita, 1970), hlm. 132.

44 A. Pabrik-Pabrik Gula di Madiun Kondisi geografis, demografis dan pertanian di Madiun yang unggul sangat berpotensi untuk penanaman berbagai komoditas ekspor seperti gula, nila, teh, tembakau dan masih banyak lagi dan untuk hasil penanaman yang terpenting adalah kopi, gula, dan nila. Adapun luasan tanaman tebu di Madiun pada tahun 1833 adalah 3.512 bau, tahun 1860 menurun menjadi 800 bau dan mengalami kenaikan kembali pada tahun 1910 mencapai 6.400 bau. 4 Karesidenan Madiun telah banyak mengalami perkembangan dalam bidang industri, perusahaan-perusahaan industri gula diantaranya adalah pabrik gula Rejosari, Poerwodadi, Soedhono, Kepatihan, Kanigoro, dan Pagottan. Pabrik gula Rejosari merupakan salah satu pabrik yang ada di Karesidenan Madiun berada di Distrik Gorang-Gareng dan Bendo di Distrik Magetan. Berdiri pada tahun 1890 dan dimiliki oleh N.I.L.M (Nationale Industrie en Landbouw Maatschappy). Pada umumnya tanaman tebu membutuhkan aliran air yang cukup untuk penyiraman. Saat saluran irigasi belum begitu baik muncul permasalah di desa terpencil yang jauh dari areal perkebunan tebu. Sebagian besar mengalami kerugian karena palawija yang ditanam kurang mendapatkan air dan bahkan sering diabaikan meskipun pembagian air sudah ditetapkan siang dan malam secara bergantian oleh oetjeng. Namun dalam prakteknya tidak sesuai dengan 4 Burger., Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid I,(Jakarta: Pradnja Paramita, 1962), hlm. 209.

45 aturan yang telah ditetapkan dan minimnya air mempengaruhi pertumbuhan palawija. Pabrik gula Soedhono berdiri sejak tahun 1888 yang lokasinya berada di Kabupaten Magetan dan Ngawi, meskipun musim kemarau disini tebu dapat tumbuh karena semua air diarahkan ke kebun tebu. Pabrik gula Soedhono didirikan oleh perusahaan Verenigde Vorsendsche Cultural Maatschappy (VVCM), selain di pabrik gula Rejosari dan Soedhono ada juga pabrik gula Poerwodadi yang terletak di Kabupaten Magetan tepatnya di Desa Palem dan didirikan pada tahun 1832 yang bernama Nederlands Hendel Maatschapij (NHM). Pabrik ini bisa dikatakan sebagai pabrik gula tertua di Karesidenan Madiun. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pabrik gula lainnya karena irigasi yang kurang baik maka banyak terjadi kasus kurangnya pengairan pada masa musim kemarau. Kasus-kasus semacam ini kemudian mendapat perhatian khusus dari Administrator dan pemerintah. Pabrik gula Kepatihan berdiri sejak 1894 di mana luas arealnya sekitar 90 bau dan berada di Distrik Bagi, namun untuk pertumbuhannya di distrik ini cukup sulit karena tidak adanya air yang cukup, hanya cocok untuk ditanami kacang hijau dan mentimun. Selain Kepatihan yang muncul pada tahun-tahun tersebut juga ada pabrik gula Kanigoro. Pabrik gula Kanigoro berlokasi di Desa Sidorejo, Wungu dan didirikan pada tahun 1894 oleh Cultuur Handel & Industri Bank NV. Selain orang Eropa yang terlibat langsung dalam industri pabrik gula juga terdapat orang Cina.

46 Pabrik gula Redjo Agung adalah perusahaan swasta Tionghoa yang dulunya mengalami kerusakan dan kerugian, kemudian didirikan kembali pada tahun 1894 oleh perusahaan gula Tionghoa terbesar di Jawa pada masa itu, yang berpusat di Semarang Oei Tiong Ham Concern. Pabrik ini adalah pabrik gula terbesar dan paling modern yang dimiliki pada masa itu. 5 Gambar. 3 Pabrik gula Redjo Agoeng tahun 1910 KITLV media Pabrik gula Pagottan adalah salah satu pabrik gula tertua di Madiun. Pabrik gula Pagottan berdiri sejak tahun 1884 yang berlokasi di Oeteran Karesidenan Madiun dan berdekatan dengan perusahaan nila di Geger. 6 Pabrik 5 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm 28. 6 Nota Over Den Inveloet Van De Particuliere Suikerriet-Cultuur Op De Teelt Van Inlandsche Voe Dings Gewassen Batavia Landsdrukkerij 1900, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur, Landbouw Nomor 43.,op.cit., hlm. 67.

47 gula Pagottan didirikan oleh perusahaan swasta bernama NV Coody Costern Van Voorvout. 7 Pabrik gula Pagottan juga meluaskan areal tanamnya hingga ke daerah Ponorogo. Gambar. 4 Peta lokasi pabrik gula Pagottan, berada di distrik geger KITLV media Pada umumnya areal tanam yang dimanfaatkan untuk melaksanakan penanaman tebu dan disewakan adalah tanah sawah yang memiliki cukup air yang sebelumnya digunakan untuk penanaman palawija ataupun padi. Pabrik gula tidak 7 Pabrik Gula Pagottan, http://ptpn11.co.id, diakses Tanggal 20 Mei 2016, Surakarta

48 memiliki alasan khusus untuk tetap bertahan apabila lahan yang disewa tidak mendapatkan air yang cukup. Daerah Ponorogo memiliki saluran irigasi termasuk mudah sehingga semakin lama luasan areal tanam yang di sewa oleh pabrik gula pun semakin meluas. Kondisi semacam ini tentu dapat merugikan ladang penduduk terkait masalah pengairan untuk tanaman padi maupun hasil pertanian lain. Pabrik gula Pagottan tidak berbeda jauh dengan lahan tebu di pabrik gula lainnya yang juga membutuhkan air yang cukup banyak pada musim kemarau, namun disini tidak terjadi perusakkan antara penduduk dan perusahaan karena telah diatur pengairannya secara bergantian. Sebelum adanya pengairan yang teratur, meskipun lokasi-lokasi industri perkebunan tebu berada di daerah yang subur dan dikelilingi oleh sungai-sungai besar masih saja terdapat permasalahan terkait irigasi yang masih banyak perlu diperbaiki, meskipun pada umumnya di semua desa memiliki cukup air tetapi pada masa angin musim timur menjelang kemarau menyebabkan kekeringan karena air yang kecil sehingga hanya dapat digunakan untuk menanam palawija saja. Untuk mengatur jalannya irigasi tidak terjadi permasalahan besar terkait datangnya musim kemarau ada usaha-usaha yang dilakukan salah satunya adalah menunjuk seseorang untuk menanganinya. Sebuah kontrak untuk melakukan pembagian air antara produsen dan penduduk yang ditetapkan sesuai dengan luasan lahan, dan dibayar untuk mengatur irigasi tersebut sebagai oetjeng. 8 Seiring berjalannya waktu pertumbuhan berbagai industri gula di Jawa mengalami peningkatan yang drastis, apalagi didukung dengan adanya sistem 8 Landbouw, nomor 43., op.cit., hlm. 66.

49 politik baru (Politik Etis) yang sangat besar pengaruhnya terhadap perindustrian di Jawa. Irigasi menjadi salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan industri perkebunan tebu. Perkembangan perusahaan perkebunan-perkebunan swasta berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada dasawarsa 1920-an. Hal itu didorong oleh situasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial, salah satunya adalah dibentuknya Cultuur Banken yang memberikan kredit lunak kepada perusahaan perkebunan dan kebijakan dalam bidang perundang-undangan seperti di daerah Swapraja dan memberikan jaminan persewaan tanah jangka panjang. 9 Situasi semacam ini menyebabkan semakin banyaknya perusahaan menanam modalnya di berbagai industri di Hindia Belanda, terutama kurun waktu 1890 sampai 1910, yang membawa dampak semakin kerasnya persaingan diantara mereka. Proses modernisasi seiring berkembangnya perusahaan perkebunan mencapai puncaknya pada pertengahan abad dua puluh di mana perkembangannya menuju korporatisasi, meskipun sebenarnya proses modernisasi dalam industri gula telah terjadi sejak awal dasawarsa 1880-an. Dengan adanya modernisasi tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang pada mulanya mengkhususkan diri pada usaha perkebunan, telah berubah menjadi perusahaan raksasa yang juga bergerak dalam bidang pertambangan, pengangkutan, dan perbankan. Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah penyangga modal pada saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan, beberapa bank perkebunan yang ditunjuk antara lain adalah NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij) dan 9 Soegijanto Padmo.,op.cit, hlm. 86.

50 Koloniale Bank. Dengan modal yang cukup maka perusahaan menjadi lebih sehat dan mampu menjalankan berbagai teknologi modern. Berikut adalah salah satu contoh teknologi yang digunakan oleh pabrik gula Pagottan dalam rangka untuk menunjang sistem produksinya. Gambar. 5 Mesin ruang Pagottan, Madiun tahun 1917 Sumber: KITLV Media Untuk meningkatkan hasil produktivitas gulanya pabrik gula mulai banyak menggunakan teknologi modern, Pabrik-pabrik gula di Madiun mendapat perhatian khusus dari Pusat Penelitian Perusahaan Gula pada masa itu, atau yang lebih dikenal sebagai POJ (Proefstation Oost Java). POJ berperan dalam mendukung industri gula di wilayah Hindia Belanda agar mampu memberikan pelayanan kepada pemerintah Kolonial Belanda, penyandang dana dan para pengguna teknologi (swasta).

51 B. Perluasan Areal Tanam Industri Perkebunan Tebu di Madiun Salah satu dampak yang ditimbulkan dengan berkembang pesatnya ekonomi modern dalam bidang industri perkebunan ataupun industri manufaktur memunculkan berbagai permasalah terkait tanah, tenaga kerja ataupun transportasi dan masih banyak lagi lainnya. Tanah menjadi sangat penting dalam industri perkebunan karena semakin luas lahan areal tanam maka hasil produksinya pun juga akan semakin banyak dan terus mengalami perkembangan. Boeke (1984:79) memberi definisi perkebunan sebagai suatu kompleks perusahaan, unit-unit teknis, yang seringkali dilengkapi dengan petugas administratif dan ekspor. 10 Namun definisi tersebut kurang memberikan gambaran menyeluruh yang sebenarnya, karena dalam dalam suatu perusahaan perkebunan sangat erat kaitannya dengan tenaga kerja dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat agraris tanah merupakan simbol status dan prestis bagi siapapun pemiliknya. Barang siapa yang memiliki tanah luas maka ia mempunyai kedudukan yang tinggi dan kekayaannya jelas, begitupun sebaliknya dengan seseorang dengan kepemilikan tanah yang kecil maka prestis sosialnya pun rendah. Dalam perjalannya tanah-tanah di Jawa banyak terjadi pergantian kekuasaan, hingga pada abad ke-20 tanah-tanah Jawa jatuh ke tangan banyak perusahaan swasta terutama untuk tanah sawah. Tanah sawah lebih banyak diminati karena dimanfaatkan sebagai lahan tanam yang paling menguntungkan. Sewa terhadap tanah sawah lebih banyak diminati karena pada masa pertengahan abad ke-20 tanaman ekspor gula menjadi primadona bagi perusahaan perkebunan. Tebu hanya dapat tumbuh di lahan sawah yang basah dengan saluran 10 Soegijanto.Padmo.,op.cit., hlm. 4.

52 irigasi yang baik dan terawat agar saat musim muson timur (kemarau) tetap dapat memproduksi gula dalam jumlah yang banyak sehingga tidak menimbulkan kerugian. Tanah yang telah disewakan pada perkebunan swasta dikelola oleh perkebunan sendiri dan diatur dengan manajemen modern yang dilengkapi dengan sarana logistik tradisional. Proses ini berjalan terus tanpa bisa mundur. Seiring dengan perkembangan pemerintah kolonial. sehubungan dengan sistem ini, Geertz, tampaknya karena sadar akan argumen Boeke tentang ekonomi ganda, menyatakan bahwa ketidakterpaduan antara sektor ekspor dan sektor domestik merupakan ciri pokok perekonomian ini dan bahwa pemaksaan sistem pertanian kolonial yang berorientasi ekspor pada pola ekologi yang ada merupakan ciri yang tetap dan sangat khas dari kolonialisme Balanda antara tahun 1916 dan 1942. 11 Kondisi seperti itu sesungguhnya menghalangi lepas landas dan majunya sektor domestik atau lapisan bawah, yang meliputi sebagian besar para petani Jawa. Perolehan hasil besar di Jawa tersebut karena sawah menempati bagian yang luas dibandingkan tanah pertanian lain di luar Pulau Jawa, kepadatan penduduk yang tinggi dan perolehan hasil padi juga lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Tebu merupakan salah satu tanaman tahunan yang membutuhkan irigasi yang cukup dan lahan sawah yang luas, sehingga memungkinkan terjadinya pergantian sistem tanam dari tebu ke padi ataupun sebaliknya, antara tebu dan padi terdapat persamaan pokok dalam hal persyaratan ekologis. 11 Akira Nagazumi., Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta( Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 17.

53 1. Cara Industri Perkebunan Tebu di Madiun Memperluas Areal Tanam Luasan lahan industri perkebunan tebu yang meningkat menyebabkan orang-orang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan melakukan sewa tanah kepada penduduk setempat. Biasanya tanah yang disewa adalah tanah sawah yang berlokasi di sekitar pabrik gula, karena ini berkaitan dengan sarana pengangkutan hasil panen. Dengan adanya penanaman tebu yang berdampingan dengan tumbuhnya padi tidak mengurangi jumlah produksi panennya. Tumbuhnya industri pergulaan yang meningkat, menyebabkan orangorang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan melakukan sewa tanah. Berkaitan dengan pengelolaan lahan penanaman tebu, pihak pabrik gula bekerja sama dengan para Bupati untuk dapat menyewa lahan rakyat pribumi. Di wilayah Madiun persewaan lahan dibantu oleh pemerintah di daerah (Bupati). 12 Namun tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi desa ikut campur tangan dalam hal ini. Pemerintah kolonial membuat birokrasi desa dengan tujuan untuk kepentingan perkebunan yang menempati lahan desa. Pemerintah kolonial membentuk unit administrasi terendah di tingkat desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Jelas bahwa Kepala Desa dijadikan political broker pada tingkat unit administrasi terbawah yang melayani semua 12 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm. 29.

54 perintah dari pemerintah kolonial dan perkebunan. 13 Selain itu juga ada usahausaha untuk mengambil alih kepemilikan tanah miliki perorangan terutama untuk kaum priyayi dengan menggantinya menggunakan gaji. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang fatal mengingat besarnya fungsi tanah, selain itu kedudukan mereka pun menjadi lemah terhadap Belanda. Pilihan tersebut akan sangat merugikan jika pemerintah Belanda memindah tugaskan para Priyayi ke suatu tempat dan telah kehilangan tanahnya juga. Bagi Priyayi maupun kepala desa yang tetap tinggal di Madiun memperoleh keuntungan juga dari berbagai kenaikan berbagai produksi perkebunan ekspor yang selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya Setelah memperoleh tanah tentu untuk memperlancar proses produksi adalah dengan memperoleh tenaga kerja yang banyak dan murah. Khususnya di Madiun tenaga kerja dapat diperoleh dengan pajak tanah, itu berarti di Karesidenan Madiun bahwa untuk memperoleh jumlah buruh yang diperlukan, petani dalam jumlah yang sama harus dijadikan sebagai petani penguasa tanah, sehingga mereka jugalah yang nantinya akan mengolah tanah tersebut. Sehingga kondisi ini memaksakan pemerintah Belanda untuk mengubah kepemilikan tanah dari yang semula milik perorangan menjadi milik desa (komunal). Jauh sebelum abad dua puluh, Van Den Bosch sebagai penggagas sistem Cultuurstelsel memutuskan adanya sistem pajak tanah yang harus dibebankan kepada desa bukan pada petani serta memanfaatkan hubungan dengan para 13 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia., Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2012), hlm. 113.

55 Priyayi, sebagai imbalannya Van Den Bosch menjanjikan bantuan uang setiap bulan, tanah milik dan kedudukan yang dapat diwariskan. Meski keputusan tersebut telah di ambil oleh Van Den Bosch, sebagai Residen Madiun L De Launy memiliki pemikiran lain terkait penggantian tanah milik dengan gaji bulanan ganda hingga mencapai jumlah ƒ 500 dengan syarat pernyerahan tanah lungguh terlebih dahulu. Jika mereka mempertahankan tanah mereka maka gaji yang diperoleh hanya separuh. Tanpa kecuali semua Priyayi di Madiun memilih gaji ganda dan menyerahkan tanah mereka kepada negara. 14 Sebagai contoh, sebuah proklamasi Bupati Pulung dari tahun 1832 seperti yang dibacakan oleh kepala distrik berbunyi sebagai berikut, para kepalang dan bekel (kepala) saya menerima perintah dari negara (Belanda menerjemahkan dengan Regent=Bupati) bahwa atas perintah kantor (Residen) semua sawah tegal (sawah kering) di desa kalian yang hingga kini dikuasai oleh perorangan harus dibagi rata. Maka dari itu sawah pusaka atau asli sekarang harus dibagi kembali sehingga wajib kerja bakti menjadi sama bagi semua. 15 Akibat dari adanya sistem tersebut maka orang-orang desa secara perorangan hanya memperoleh tanah kurang lebih 0,5 ha. Di Madiun lah pertama kali istilah negara adalah pemilik semua tanah di praktekkan. 14 Onghokham., Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX; Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah, dalam Sediono M.P Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Dua abad Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, ( Jakarta: Gramedia. 1984), hlm. 18. 15 Ibid.,Sediono, hlm. 20.

56 Selain adanya tekanan yang mengharuskan sikep untuk melepaskan tanahnya, tekanan lain juga terjadi pada petani numpang yang tidak memiliki tanah dan hanya dituntut untuk melakukan kerja yang berat. Petani numpang di Madiun bahkan berusaha untuk melarikan diri dan beralih menggunakan tanah cacah mati yang masih melimpah di Madiun. Sebagai tanggapan atas usaha tersebut sikep berusaha untuk tetap menggunakan petani numpang meskipun tidak dapat bertahan lama, tetapi masih ada kemungkinan untuk tetap menjaga kedudukan mereka. Kedudukan sikep yang senantiasa dipertahankan adalah salah satu cara untuk mendapat dukungan guna menjadi bagian orang berpengaruh di desa, seperti menjadi kepala desa. Dengan menjadi kepala desa maupun bidang lainnya di desa harapan memperoleh tanah bengkok dan gaji masih dimungkinkan adannya. Untuk jabatan sebagai kepala desa tanah bengkok yang di sediakan adalah lima hektar, sedangkan untuk pegawai desa lain kurang lebih dua hektar. Hilangnya petani sikep sebagai petani pemilik tanah dan munculnya istilah kuli sebagai petani tanpa keahlian serta adanya kewajiban untuk bekerja bakti menandai adanya perubahan yang mendasar dari masuknya pemerintah kolonial di Madiun. Di lingkungan desa kedudukan kuli terbagai dalam berbagai kelas tergantung dari seberapa besar tanggung jawab mereka terhadap proyek-proyek negara. Adapun yang paling umum adalah kuli kenceng dan kuli setengah kenceng. Memasuki abad dua puluh peluang adanya sistem tanam dengan melakukan sewa tanah sawah secara kontrak dengan pemilik tanah secara

57 langsung sebenarnya tidak benar adanya, kenyataannya perkebunan tebu tidak membuat kontrak dengan masing-masing petani. Perjanjian itu terjadi dengan sekelompok orang yang tinggal di sebuah desa yang menggabungkan tanah mereka, atau berhasil menggabungkan dan yang bertanggung jawab secara bersama. Kepala Desa biasanya menjadi saksi. 16 Untuk mendapatkan tanah yang luas dan bersambungan biasanya pengusaha melakukan berbagai cara salah satunya adalah pemberian premi dan hadiah sehingga penyewaan sawah milik komunal dapat tercapai. 2. Perluasan Areal Tanam Perkebunan Tebu Pagottan di Ponorogo Munculnya ketentuan mengenai adanya hak industri gula untuk melakukan sewa terhadap tanah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya jumlah luasan areal tanam perkebunan tebu di berbagai daerah. Naiknya jumlah sewa tanah yang dilakukan oleh pabrik gula akan sangat berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah hasil produksi gula yang diperoleh. Maka semakin banyak pula industri gula melakukan perluasan areal tanamanya bahkan hingga mengambil daerah lain yang cukup jauh keberadaan pabrik gulanya. Berikut adalah gambaran hasil produksi pabrik gula di Madiun pada tahun 1916 yang kemudian dengan meningkatnya jumlah luasan dapat menghasilkan produksi yang besar. 16 Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 44.

58 Tabel. 7 Produksi gula dari pabrik gula Madiun tahun 1916 No Nama pabrik Jumlah produksi dalam (kwintal) 1 PG Redjo Agung 1570 2 PG Kanigoro 1250 3 PG Pagottan 922 Sumber : Retno.Puji Lestari., hlm. 32. Jika dicermati dari uraian diatas pabrik gula Pagottan memiliki hasil produksi yang paling rendah jika dibanding dengan pabrik gula Redjo Agung maupun pabrik gula Kanigoro sedangkan untuk pabrik gula Redjo Agung memiliki jumlah hasil produksi yang terbesar. Menyatakan bahwa, sewa tanah berlaku mulai Januari 1921 di Distrik Ponorogo, Djebeng, Ardjowinangun, Poeloeng, Patjitan, Poenoeng, dan Lorok di Karesidenan Madiun. 17 Kemudian pada tahun 1923 pabrik gula Pagottan memperluas areal tanamnya hingga ke Ponorogo meskipun tidak semua wilayah dapat disewa sebagai lahan areal perkebunan tebu. Adapun harga sewa untuk pabrik gula di Madiun sejak tahun 1903 ditentukan sebagai 17 The Grondhuur Ordonantie Bataviaasch Nieuwsblad, 4 Januari 1921.

59 berikut, di afdeling Redjo Agoeng ƒ. 48,61 per bau sedangkan untuk pabrik gula Pagottan ƒ. 25.30 per bau. 18 Rendahnya hasil produktivitas di Pabrik gula Pagottan jika dibandingkan dengan Perusahaan gula di Karesidenan Madiun lainnya kemudian memunculkan adanya perluasan di Distrik Ponorogo. Pada dasarnya pabrik gula Pagottan hanya diberi ijin untuk memperluas areal nya pada Distrik Oeteran dan Ponorogo saja namun tidak lebih dari 1970 bau. Daerah yang di sewa oleh PG.Pagottan pada sekitar daerah perbatasan Madiun tepatnya wilayah Mlilir dan Ponorogo yakni di daerah Babadan dan Jenangan. Berikut adalah luasan lahan sewa bagi gula Pagottan di Ponorogo. Tabel. 8 Luasan Areal Tanam Pabrik Gula Pagottan di Ponorogo Tahun Luasan (dalam bau) 1923 570 1924 575 1929 957 Sumber: Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Dan Tanah Kerajaan) 18 Mr. J.W. Ramaer, Nota Over Drondverhuur Op Java, ( Den Haag: Vertegenwoordiger Voor Nederland Van Het Algemeen Syndicaat Van Suikerfabrikanten Op Java,1908), hlm. 11.

60 Pada tahun 1923 Cultuurmaatschappij Pagottan diberi ijin menyewa tanah penduduk untuk menanam tebu bagi pabrik gulanya di Pagottan. 19 Luasan yang diijinkan adalah 570 bau dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Satu-satunya industri asing yang ada di Ponorogo adalah perkebunan tebu yang disewa oleh PG. Pagottan. Industri lokal yang berkembang di Ponorogo hanyalah industri perbatikan yang juga sangat berkembang dengan baik. Pada tahun 1924 kenaikan jumlah sewa tanah meningkat menjadi 575 bau di distrik Ponorogo dan meningkat lagi menjadi 600 bau, hingga pada tahun 1929 perluasannya sudah begitu besar mencapai 975 bau areal taman tebu. Pada tahun 1927 hasil tanam bagi industri gula Pagottan mengalami peningkatan, yakni hasilnya mencapai 1287 kwintal. 20 Sewa-menyewa tanah di Ponorogo banyak terjadi bahkan tidak hanya dari perkebunan besar yang membutuhkannya tetapi juga dari masyarakat sendiri, namun begitu sewa oleh perkebunan tetaplah lebih besar. Sewa-menyewa tanah antara penuduk banyak terjadi, harga sewanya antara ƒ. 20 dan ƒ. 25 setiap bau selama satu musim penghujan dan musim kemarau. 21 Semakin meluasnya areal tanam bagi pabrik gula sangat erat kaitannya denga arus uang yang masuk dalam kehidupan masyarakat, meskipun sebenarnya perkebunan tebu rakyat telah tumbuh namun hasil yang diperoleh kurang memberi keuntungan mengingat 19 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan), (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978), hlm 205. 20 Algemeen Handelsblad Van Woensdag, 27 Juli 1927 21 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan),op.cit., hlm. 211.

61 banyaknya pajak ataupun tanggungan lain yang harus dibiayai dengan sejumlah uang. Para petani melakukan gadai atau menyewakannya apapun yang mereka miliki untuk memperoleh uang. C. Pabrik Gula Redjo Agung, Industri Perkebunan Tebu Tionghoa Terbesar di Jawa Meningkatnya jumlah penduduk Tionghoa di Jawa pada abad ke-20 memiliki motif yang tidak berbeda jauh dengan para imigran dari Arab atau daerah lainnya yang sama-sama memiliki kekuatan bersaing dalam bidang perekonomian. Adanya keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial dalam masalah perekonomian kapitalis mendorong orang-orang Cina untuk mampu mensejajarkan kedudukan mereka dengan melibatkan diri dalam berbagai macam kegiatan ekonomi dari yang berskala kecil hingga besar. Khususnya di Madiun perusahaan gula milik Cina hanyalah pabrik gula Redjo Agung yang merupakan usaha gula swasta miliki saudagar kaya dari Semarang Oei Tiong Ham. Kepemilikan pabrik gula Redjo Agung ini diambil alih pada akhir abad sembilan belas saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan turunnya harga gula. Turunnya harga gula yang tajam menyebabkan pabrik gula Redjo Agung menjadi kehilangan kendalinya untuk tetap melanjutkan proses produk seperti sedia kala. Selain pabrik gula Redjo Agung yang merupakan pabrik gula paling modern pada masa itu, pada mulanya di tahun 1894 Oei Tiong Ham berhasil membeli pabrik gula Pakis, selanjutnya berturut-turut bertambah sampai memiliki lima pabrik gula, yaitu pabrik gula Rejo Agung, Krebet, Ponen, dan Tanggulangin. Setelah membeli pabrik gula, ia kemudian mengganti mesin-mesin

62 tradisionalnya dengan mesin modern yang didatangkan dari Jerman. 22 Adapun para pekerja yang direkrut oleh Oei Tiong Ham adalah orang-orang Tionghoa dan Eropa saja. Pabrik gula Redjo Agung tercatat secara legal berdasarkan surat keputusan tanggal 30 September 1904 No. 7. 23 Pabrik gula milik Oei Tiong Ham adalah salah satu pabrik gula yang unik, perusahaan swasta seperti Oei Tiong Ham Concern boleh menanam modal dan mengelola produksi pertanian maupun perkebunan pada lahan yang disewa Pabrik gula Redjo Agung merupakan pabrik gula pertama di Hindia Belanda yang dijalankan dengan tenaga listrik. Pabrik gula Redjo Agung juga terkenal sebagai pabrik gula karbonasi yang terbesar di dunia tahun 1930an. Perusahaan Oei Tiong Ham berpusat di Semarang dan berada dalam pengelolaan N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken. D. Irigasi di Madiun Dalam Perkembangan Industri Perkebunan Tebu Wilayah Karesidenan Madiun memiliki saluran irigasi yang sangat bagus diuntungkan dengan adanya pegunungan Wilis yang membentang di sebelah timur. Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan geografi ini untuk meningkatkan fungsi irigasi untuk perkebunan maupun pertanian. Memanfaatkan hulu dari sungai-sungai besar di wilayah Madiun membuat irigasi sangat bagus terutama di daerah-daerah yang dilewati sungai Brantas dan Bengawan. Di 22 Aris Dwi Rahdiyanto., Perkembangan Usaha Gula Oei Tiong Ham Concern Di Jawa 1900-1942, Skripsi, (Yogyakarta:UNY, 2011), hlm 60. 23 Ibid., hlm 61.

63 wilayah lereng pegunungan pemerintah membuat pintu-pintu air agar pengaturan irigasi lebih mudah digunakan serta membuat bendungan-bendungan kecil agar tidak kekeringan di musim kemarau. Bendungan terbesar di wilayah Madiun bernama waduk Widas, waduk ini mengatur perairan utama di wilayah Karesidenan Madiun. Daerah-daerah yang menjadi lahan pertanian tebu di Ponorogo mendapat suplai air dari daerah pengairan sungai Madiun dan anak-anak sungainya. Aliran sungai Madiun di Distrik Ponorogo dinamakan Sungai Sekayu, sedangkan untuk anak-anak sungainya adalah Kali Asin, Kali Cemer, Kali Gendol, Kali Keyang, Kali Gunting, Kali Slahung, Kali Sungkur, Kali Gelak dan Kali Pucung. Kali Asin memiliki luas daerah pengairan hulu 1.659 bau, di hilir mencapai 7.338 bau. Kali Cemer memiliki bendungan yang berkapasitas mencapai 2.324 bau dan memiliki bendungan-bendungan yang semi permanen di beberapa wilayah. Kali Gendol merupakan pembuangan air daerah pengairan Kali Cemer dan Kali Keyang. Kali Keyang memiliki luas pengairan hulu 2.420 bau, sedangkan di hilir 4.441 bau. Daerah hilir disadap oleh bendungan Ngindeng I dan bendungan Kori yang memiliki kapasitas 3.536 bau. Kali Gunting memiliki debit air yang kecil sehingga saat musim kemarau tiba, pengairan ini tidak dapat diandalkan. Kali Slahung menjadi daerah sadapan untuk dua bendungan yakni bendungan Watugunting dan Meneng. Kali Slahung memiliki palung yang dangkal sehingga dapat terjadi banjir saat musim penghujan tiba. Kali Sungkur juga sama halnya dengan kali Slahung yang menjadi sadapan dua bendungan

64 yakni Sumorobangun dan Sungkur. Daerah hulu sungai ini terletak di daerah Mangkunegaran. Kali Galek memiliki daerah hulu sungai yang terletak di daerah Mangkunegaran. Kali Pucang hanya terdapat bendungan rakyat yang sederhana. Sungai Sekayu yang merupakan anak sungai Madiun dimanfaatkan untuk pengairan dengan membuat bendungan-bendungan. Bendungan tersebut merupakan bendungan rakyat yang kemudian mendapat perhatian khusus dan digantikan dengan bendungan yang lebih baik. Pergantian dan perbaikan ini diserahkan kepada seorang Opseter kepala dari Dinas Pengairan Provinsi seksi Madiun yang ditempatkan di Ponorogo. Setelah banyaknya perbaikan saluran irigasi termasuk pengairan di Distrik Somoroto dan Jebeng pengairan menjadi baik. Munculnya berbagai inovasi baru dan modernisasi mendorong adanya upaya besar untuk melakukan berbagai hal terkait dengan irigasi salah satunya. Irigasi juga merupakan salah satu gagasan dari adanya sistem Politik Etis yang memiliki tujuan lebih untuk kepentingan kemajuan perkebunan di Hindia Belanda. Saat musim kemarau tiba di Ponorogo perkebunan maupun lahan pertanian lain tidak begitu khawatir akan kekeringan lahan karena di Ponorogo terdapat Kali Asin yang merupakan sungai pembuangan dari danau Ngebel. Pintu air yang lama lebarnya enam meter dan mampu mengalirkan air seluruhnya kurang lebih 9,5 juta M³, sedangkan untuk pintu air yang baru dengan lebar 15,5 meter mampu mengalirkan air seluruhnya 20 juta M³.

65 Gambar. 6 Saluran irigasi yang ada di Telaga Ngebel tahun 1930 Sumber : KITLV media Saat musim kekeringan tiba dan banyak terjadi kegagalan panen di Madiun, pabrik gula Pagottan dapat mengurangi potensi kebangrutan bahkan sejak tahun 1926 hingga pada tahun-tahun berikutnya, produksi gula Pagottan selalu dapat mengirim hasil produksinya ke Amerika. Hal tersebut dapat diatasi dengan menanam jumlah bibit dalam jumlah banyak serta biaya yang besar mencapai ƒ. 516,62. Selain itu adanya usaha untuk membangun dan menggunakan saluran irigasi danau Ngebel yang dibiayai sejumlah ƒ. 167.000 memberikan hasil yang menguntungkan dan produksi gula pun menjadi lebih besar bahkan dapat mengembalikan modal yang jauh lebih besar, selain itu hasil yang memuaskan

66 dari bibit POJ 2878 juga menjadi pilihan pabrik gula Pagottan untuk meningkatkan hasil produksinya. 24 E. Tenaga Kerja Industri Perkebunan Tebu di Madiun Sejak awal berkembangnya industri perkebunan di Hindia Belanda hubungan antara tenaga kerja dengan penguasa perkebunan telah terjalin dengan baik. Penyediaan buruh untuk perkebunan pada umumnya melalui perantara Kepala Desa begitu juga sewa-menyewa tanah. Selain itu Kepala Desa memberikan laporan ke perkebunan mengenai kelakuan si buruh dan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan selama menjalankan kontrak. Petani Jawa mensuplai tanah dan tenaga kerja sedangkan pengusaha Belanda menyediakan ketrampilan organisasi, teknologi, dan modal yang diperlukan guna memproduksi komoditas dalam jumlah yang selalu bertambah serta menjualnya ke pasar Internasional. 25 Sebuah industri perkebunan tebu tentu membutuhkan banyak sekali tenaga kerja, salah satu yang terpenting adalah pimpinan dari industri itu sendiri. Pabrik gula Pagottan memiliki seorang Administrateur (adm) yang bernama A. Nering Bogel pada tahun 1923. Seorang Administrateur diangkat oleh seorang direksi yaitu dari pimpinan-pimpinan yang diangkat oleh Menteri Keuangan. Raad Van Commissarissen di pabrik gula Pagottan setiap tahun mengalami perubahan pada 24 Algemeen Handelsblad van Woensdag, 27 Juli 1927 25 Soegijanto Padmo., op.,cit, hlm. 82.

67 tahun 1923 di jabat oleh H.E Levert, tahun berikutnya oleh B. M.A. Carp dan pada tahun 1925 L. Kuiper yang menjabat. 26 Untuk industri perkebunan tebu di Jawa pemerintah kolonial Belanda melakukan kontrak langsung dengan petani, di mana dalam kontrak tersebut telah menentukan luasan areal tanam yang diijinkan untuk penanaman tebu, pemeliharaan tanaman tebu, dan pengangkutan dari kebun menuju pabrik. Perusahaan tersebut memerlukan tenaga kerja untuk membangun berbagai fasilitas yang diperlukan seperti kantor, pabrik, perumahan bagi staf, dan gudang yang disebut dengan emplasemen, maupun sarana dan prasarana untuk pengangkutan dari kebun menuju pabrik maupun menuju pasar. Setiap keberadaan pabrik gula tentu peran buruh yang menjadi sangat penting, pada umumnya mereka yang bekerja di perkebunan tebu adalah masyarakat pribumi dengan bekal pendidikan yang minim. Dalam proses kerjanya terdapat dua ukuran kerja utama di Jawa pada awal abad dua puluh. Pertama berpusat pada persiapan lahan, penanaman tebu, dan pemeliharaan pasca tanaman tumbuh. Kedua didukung oleh apa yang sering disebut kerja pasca panen (campaign), pada saat tanaman dipanen, dibawa ke pabrik dan diproses menjadi gula. 27 Untuk mempermudah pembagian kelompok kerja maka dibuatlah ploeg atau yang lebih dikenal sebagai kelompok kecil atau tim. Setelah dibentuk dan dibagi dalam tim kecil, mandor memiliki peran penting dalam pengawasan kerja 26 Pagottan Oogtresultalen Oogstjaar 1930, Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur, Arsip P3GI Pasuruan Nomor. 379. 27 Retno.Puji Lestari.,op.,cit, hlm. 32.

68 di lapangan. Pengawasan pada umumnya dilakukan saat melakukan penebangan tebu. Selama musim giling tebu pabrik gula itu membentuk polisi penjaga kebun tebu. Pabrik gula Pagottan itu mempunyai arti banyak bagi penduduk yang hidup memburuh dan penduduk yang tidak mempunyai tanah. 28 Setelah melakukan proses penanam biasanya tenaga kerja perkebunan akan melakukan penyisipan tempat yang longgar dengan beberapa kali pemupukan tambahan serta melakukan penyiangan rumput, memberi penyiraman serta menimbun pangkal tanaman dengan tanah. Panen tebu biasanya dilaksanakan antara bulan Juli hingga November pada tahun berikutnya. Setelah melakukan pemanenan tebu para pekerja diarahkan untuk mengangkut tebu menuju pabrik untuk segera dipres. Untuk menuju sampai ke jalur lori biasanya banyak sekali buruh yang dipekerjakan untuk mengangkut dengan gerobak sapi, sesampainya di pabrik baru teknologi modern digunakan untuk mengolah. Buruh-buruh perkebunan paling banyak dipakai saat penanaman tebu, pada umumnya mereka bekerja secara harian dengan jam kerja dari pukul tujuh hingga pukul lima sore atau mereka akan bekerja enam jam sebelum tengah hari dan enam jam sesudah tengah hari. Konon pada permulaan abad ke dua puluh makin banyak pemakaian buruh wanita dan anak-anak, terutama untuk melakukan kegiatan pemupukan. 29 28 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan),op.cit., hlm.205. 29 Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 55.

69 Berikut adalah gambaran data mengenai jumlah tenaga kerja daerah pedesaan karesidenan Madiun, yang terdiri dari pekerja terdidik dan petani baik laki-laki maupun perempuan. Tabel. 9 Jumlah petani di karesidenan Madiun tahun 1920-1930 Kabupaten Pekerja Terdidik Pekerja laki-laki Pekerja perempuan Ngawi 6140 63908 8820 Magetan 5300 50563 20568 Madioen 4950 55320 11680 Ponorogo 6650 76970 16334 Patjitan 8060 52669 9725 Sumber : Volkstelling 1930, hlm. 90. Dari tabel (8) di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja terdidik di Karesidenan Madiun terbanyak adalah di Kabupaten Patjitan dengan jumlah 8.060. Untuk pekerja laki-laki dan perempuan di setiap kabupaten sama-sama memiliki selisih yang sangat besar, pekerja laki-laki masih mendominasi jumlah terbanyak, namun begitu di Kabupaten Magetan jumlah pekerja perempuan hampir setengah dari pekerja laki-laki. Secara keseluruhan jumlah tenaga kerja di Madiun mencapai 397.657 jiwa. Keberadaan ekonomi perkebunan pada masa ekonomi subsistensi di Jawa secara signifikan telah menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat pedesaan

70 pada umunya, jika biasanya petani hanya mengolah hasil tanaman pangan maka saat arus uang telah masuk dalam ekonomi desa maka banyak petani pemilik tanah yang bekerja di perusahaan perkebuanan. Berikut adalah upah rata-rata bagi buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931. Tabel. 10 Upah rata-rata harian bagi buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931. Tahun Laki-laki Perempuan Anak-anak 1900 45 sen 25 sen 20 sen 1921 57 sen 47 sen 38 sen 1931 45 sen 36 sen 29 sen Sumber : Mubyarto. Tanah Dan Tenaga Kerja Perkebunan; Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media,2001), hlm. 14. Dengan melihat upah harian yang diterima oleh para tenaga kerja perkebunan di atas dapat dikonversikan hasilnya dengan harga bahan pangan pokok pada masa itu. Pada tanggal 28 Januari 1913 beras dijual dengan harga 42 stuiver (kelip= 5 sen) tiap gantang (sama dengan 31 gulden per 100 Kg). 30 Di Pulau Jawa pada bulan Juni 1921 satu pikul padi bulu terjual dengan harga 30 Sajogyo, William L Collier., Budidaya Padi Di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1986), hlm.200.

71 ƒ.5,90. 31 Dilaporkan pahwa pada tahun 1930 harga beras pasar rata-rata di Jawa untuk beras kelas satu ialah ƒ. 11,50 per pikul. 32 Jika pada tahun 1913 setiap 100 Kg beras dihargai dengan 31 gulden maka, setiap kilonya adalah 3,1 sen. Jika diambil contoh upah pekerja laki-laki setiap harinya dapat membeli 14 Kg beras. Sedangkan pada tahun 1921 dengan harga 9,5 sen padi per Kg (diperoleh dari 590 sen dibagi 61,76 ( 1 pikul padi)), maka dari gaji pekerja pria dapat membeli beras sekitar 6 Kg beras. Tahun 1930 harga beras ƒ. 11,50 per pikul sama dengan 18,6 sen per Kg, sehingga dari upah 45 sen maka beras yang diperoleh adalah 2,41 Kg beras. Ini menunjukkan bahwa upah yang diterima oleh pekerja perkebunan dan kebutuhan akan bahan pokok tidak seimbang. Sejak tahun 1921 hingga 1931 gaji yang diterima oleh buruh perkebunan terus mengalami peningkatan. Pekerja musiman biasanya wanita ikut mengambil bagian yakni bekerja sebagai kuli parit pada saat mulai musim tanam. Sedangkan untuk pekerja lakilaki banyak dibutuhkan saat musim giling tebu, tebang tebu dan pengangkutan menuju lori-lori. Biasanya mereka tinggal di sekitar pabrik gula, di barak-barak yang sudah dipersiapkan oleh pihak pabrik gula, tidak hanya sampai disitu bahkan sebelum sampai pada jalur rel lori peran tenaga hewan pun dimanfaatkan untuk pengangkutan dengan cara menarik lori menuju relnya berikut adalah jumlah tenaga kerja pabrik gula di Madiun. 31 Ibid., hlm. 258. 32 Ibid., hlm. 285.

72 Tabel. 11 Jumlah tenaga kerja perkebunan tebu Madiun 1920-1930 Kabupaten Laki-laki Perempuan Tenaga terdidik Ngawi 3498 2406 490 Magetan 10672 6625 1240 Madioen 10177 5293 1040 Ponorogo 850 1120 130 Sumber: Volkstelling 1930, hlm. 90. Tenaga kerja perkebunan tebu di Madiun terutama di Kabupaten Ponorogo memiliki jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak dari pada jumlah tenaga kerja laki-laki. Pada umumnya di beberapa daerah lainnya jumlah tenaga kerja laki-laki lebih mendominasi. Magetan menjadi wilayah yang memiliki banyak tenaga terdidik untuk tenaga kerja perkebunan tebu, setelah itu disusul oleh Kabupaten Madiun, Ngawi dan Ponorogo. F. Sarana Transportasi Industrialisasi pertanian menuntut pembangunan infrastruktur yang memadai, antara lain jalan raya, jalan kereta, irigasi, pelabuhan, telekomunikasi, dan lain sebagainya. 33 Untuk melancarkan berbagai program tersebut maka pihak swasta maupun pemerintah bersedia mengadakan investasi dan pembangunan infrastruktur. Sejak 1870 pembangunan membawa modernisasi terhadap Hindia Belanda. Pengangkutan atau transportasi memiliki arti yaitu sarana yang 33 Sartono.Kartodirdja., op.cit., hlm 81.

73 digunakan untuk melakukan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat yang lain. Tujuan dari adanya peningkatan mutu pengangkutan dan transportasi tak lain adalah memperlancar aktivitas perekonomian dan kegiatan lainya. Sebelum adanya modernisasi pengangkutan ke berbagai daerah dilakukan dengan menggunakan perahu dan melintasi aliran-aliran sungai. Hal itu sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat atau perusahaan perkebunan yang akan mengirim hasil tanamnya ke berbagai daerah jika keberadaan mereka jauh dari daerah aliran sungai dan terletak di daerah pedalaman. Transportasi sungai menghubungkan desa dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sungai Bengawan Solo dan Brantas merupakan urat nadi transportasi sungai. Sebelum adanya jalan kereta api keberadaan transportasi darat sangat dominan karena berbagai hasil produksi pertanian diangkut dengan menggunakan gerobak, cikar, gelinding, dan kendaraan sejenisnya yang ditarik kuda, sapi atau kerbau. Dan biasanya membutuhkan waktu yang berhari-hari sehingga dalam perjalannya terdapat tempat berhenti dan menginap sehingga kurang efektif dari segi waktu, dan dari segi produksi pun akan berkurang kualitasnya jika untuk pengangkutan saja membutuhkan proses yang lama. Sekalipun jumlah hewan ternak di Distrik Ponorogo cukup banyak terutama hewan lembu, tetapi peternakan dalam arti sebenarnya tidak ada. Hewan ternak itu dipergunakan baik untuk pertanian maupun untuk transport. Bahkan pentingnya hewan ternak saat itu memunculkan banyaknya tindak kriminalitas, makin hari jumlah ternak semakin

74 berkurang hingga memunculkan kebijakan akan adanya sertifikat kepemilikan terhadap hewan peliharaan. Setelah dibukanya jalan kereta api dan trem hampir seluruh pedalaman Jawa dapat dijangkau pada awal abad ke dua puluh. Produksi dari pedalaman dengan cepat diangkut ke pelabuahan. Seperti disinggung di atas bahwa jaringan transportasi sebagai infrastuktur memang dikembangkan secara pesat. Hal ini tampil pada angka-angka sebagai berikut 1867-25 Km; 1879-372 Km; 1888-1286 Km; 1899-3008 Km; 1913-4500 Km; 1920-5016 Km. 34 Berkembangnya kegiatan ekonomi di Jawa dan luar Jawa akibat majunya industri perkebunan merupakan salah satu faktor pendorong bagi berkembangnya industri maritim di Asia Tenggara. Pembangunan fasilitas transportasi di suatu daerah sangat tergantung pada lokasi dan kondisi topografi suatu wilayah, perkembangan pesat ini merupakan jawaban teratasinya kendala angkutan sungai yang karena kondisi topografi di pedalaman tidak memungkinkan untuk dilewati angkutan. Upaya untuk membangun sarana transportasi di Hindia-Belanda merupakan proses yang panjang yakni di mulai sejak berkembangnya sistem Tanam Paksa. Perusahaan angkutan kereta api yang beroperasi di Hindia-Belanda berada di bawah pengawasan pengawasan jawatan angkutan dan pengairan, di bawah pengawasan bagian jalan. Perusahaan yang dimiliki pemerintah kolonial adalah Staatspoorwegen (S.S) yang dibentuk pada 1875 di bawah seorang Inspektur Jendral. Sejak 1 Maret 1888, perusahaan ini dialihkan kepada Departemen Pekerjaan Umum. Pada 1 Juli 1909, perusahaan Spooren Tremwegen menjadi dinas Staatspoor-en Tramswegen (S.S) yang sekali lagi dibawah pimpinan Inspektur Kepala Spoor-en Tramswegdienst, dibawah departemen usaha milik negara. Kantor S.S secara keseluruhan 34 Ibid., hlm. 96.

75 berada di Bandung yang terdiri dari bagian sekretariat, bagian gudang, bagian umum, bagian angkutan, dan perdagangan dan bagian teknis. 35 Semakin meluasnya perkebunan-perkebunan di Pulau Jawa maka meningkat pula berbagai sarana dan prasarana yang ada untuk memperlancar hasil produksi, maka bukan lagi hal yang baru jika pabrik gula membangun jaringan rel guna mengangkut tebu dari perkebunan untuk dibawa ke pabrik saat musim giling tiba. Angkutan trem di Jawa tidak hanya berkembang di kota besar saja tetapi merambah ke berbagai kota kecil di pedalaman. Berikut adalah rute yang dilalui oleh kereta dari Madiun mengarah ke Ponorogo. Gambar. 7 Peta Jalur transportasi kereta dari Madiun- Ponorogo tahun 1905 (ditunjukkan dengan garis hitam) Sumber: KITLV media hlm. 170. 35 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, op.cit.,

76 Salah satu jaringan trem yang menyisir pelosok Jawa adalah jaringan pertama angkutan trem milik negara yang menghubungkan Madiun dengan Ponorogo ke Balong dengan sambungan Ponorogo Sumoroto. Staatspoorwegen Oosterlijnen dengan lebar kereta 1.067 mm membangun jalur Madiun --- Ponorogo --- Balong atau Sumoroto dibuka tanggal 1 Desember 1907 dengan jarak 56 Km. Pada tahun 1922 dengan jarak 10 Km menghubungkan antara Badegan --- Sumoroto, sedangkan untuk Balong --- Slahung dengan jarak 9 Km di tanggal 1 Agustus. 36 Adanya kemudahan transportasi tersebut sehingga mempermudah pengangkutan hasil tanam menuju pabrik, termasuk juga hasil tanam dari Ponorogo menuju ke Madiun. Ijin pemasangan rel lori tidak tetap untuk pengangkutan tebu masih terus berlaku. 37 Kemajuan perkereta apian di Jawa tidak terlepas dari berbagai sumber perekonomian yang berkembang di sana, tebu-tebu yang telah dipanen kemudian digiling dan dijadikan gula kemudian diangkut menuju ke pelabuhan untuk diekspor dengan menggunakan kereta api begitu pun dengan pabrik gula Pagottan. Untuk jalur kereta api dari Madiun menuju Surabaya rutenya adalah sebagai berikut Madiun menuju Kertosono, kemudian dari Kertosono menuju Tarik, setelah dari Tarik menuju Wonokromo dan terakhir sampai di Goebeng 36 Prita Ayu Kusumawardhani., Transportasi Kereta Api Dalam Perkembangan Mobilitas Sosial Masyarakat Surabaya Tahun 1910-1930, Skripsi, (Surakata, UNS,2013) hlm. 56-57. 37 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan),op.cit., hlm.210.

77 Surabaya. 38 Jarak yang ditempuh dari Madiun menuju ke Surabaya kurang lebih 152,828 km. Seiring munculnya jalur-jalur kereta tersebut sangat memudahkan menghubungkan perkebunan-perkebunan di Jawa Timur menuju Kota Surabaya. Jika hasil produksi yang telah siap tidak segera dikirim maka akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena akan cepat membusuk. Pada awalnya jalur tanaman ekspor untuk Madiun adalah melewati Surakarta, namun hal itu tidak mendapat persetujuan. Menurut Dibbetz pembangunan jalur tersebut memiliki banyak kelemahan sehingga tidak perlu dilakukan. Salah satu alasan yang diajukan oleh Dibbetz adalah jarak yang ditempuh daerah perkebunan Madiun lebih dekat menuju Surabaya dibandingkan harus beralih dari Surakarta ke Semarang. 39 Menurutnya perbaikan untuk irigasi jauh lebih penting dari pada proyek jalur kereta api Madiun-Surakarta. Perkebunan tebu memegang peranan pentingnya dalam perekomonian di Madiun, sejak masuknya industrialisasi di Madiun pada abad ke sembilan belas yang masih menggunakan peran para Bupati dalam memperoleh tanah hingga tenaga kerja hingga adanya kebijakan dari pemerintah untuk menggunakan hakhak industri sendiri dalam menjalankan administrasinya. Pemerintah menempatkan tanah perkebunan sebagai tanah komunal (tanah milik bersama) yang disewa oleh pemerintah dan dikelola oleh masyarakat sendiri sebagai ganti 38 Kaart Der Suikerfabrieken Spoor-En Tramwegen Van Java En Madoera, Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Jawa Timur, Arsip Kartografi 39 Prita Ayu Kusumawardhani.,op.cit., hlm. 65.

78 pajak. Memasuki abad ke dua puluh pasca Perang Dunia ke dua ekonomi Indonesia berjalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Terkait dengan industri perkebunan di Indonesia khususnya Madiun, pasca tahun 1918 setelah munculnya Undang- Undang Sewa Tanah memberikan peluang yang luas bagi setiap industri gula untuk mengatur secara langsung segala kebutuhannya sendiri, termasuk tenaga kerja, tanah, transportasi dan upah. Keberadaan Bupati ataupun Priyayi tidak lagi dipandang penting dalam merekrut tenaga kerja maupun melakukan sewa tanah, apalagi jumlah penduduk di Madiun yang padat kebutuhan akan lahan pekerjaan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat. Peredaran uang juga telah dikenal pada masa ini, banyak tenaga kerja perkebunan menerima upah berupa uang, tidak ada lagi kerja suka rela seperti yang terjadi pada masa awal sistem perkebunan diterapkan di Madiun. Modernisasi berbagai faktor produksi juga telah banyak terjadi, terutama untuk mesin-mesin pabrik, dan sistem pengangkutan