BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sosialisasi merupakan suatu proses di dalam kehidupan seseorang yang berlangsung seumur hidup untuk belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan, perilaku, adat istiadat, aturan atau norma, dan nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat (Saraswati & Widaningsih, 2008). Seseorang dapat dikatakan sebagai makhluk sosial karena mereka tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan bantuan dari orang lain, termasuk salah satunya adalah kegiatan bersosialisasi (Sulismadi, 2011). Kemampuan sosialisasi yang dimiliki seseorang dapat membentuk kepribadian individu dalam aktivitasnya sehari-hari. Kegiatan sosialisasi yang berlangsung pada setiap individu tersebut berjalan sepanjang masa hidupnya (Farooq, 2011). Terdapat tiga aktivitas utama dalam sosialisasi, yaitu belajar, penyesuaian diri, dan pengalaman mental. Aktivitas sosialisasi yang dilakukan oleh setiap individu memiliki perbedaan, termasuk salah satunya adalah aktivitas sosialisasi pada anak retardasi mental (Saraswati & Widaningsih, 2008). Dikatakan berbeda karena anak retardasi mental memiliki gambaran penting dalam kehidupannya, yaitu fungsi intelektual yang ada di bawah rata-rata (70) dan disertai dengan keterbatasan yang penting dalam area fungsi adaptif seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, keterampilan interpersonal atau sosial, pekerjaan, waktu senggang, dan kesehatan serta keamanan (Videbeck, 2008). Anak retardasi
mental memiliki ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai dengan tingkat perkembangan dan budaya, awitannya sebelum usia 18 tahun (Wong, 2004). Secara umum, anak retardasi mental pada umumnya memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak normal. Secara signifikan anak retardasi mental memiliki kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya termasuk salah satunya adalah komunikasi dan melakukan aktivitas bersama teman di lingkungan sekitarnya (Tracy, 2008). Menurut data Riskesdas (2013) jumlah penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas sebesar 8,3 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Proporsi penduduk Indonesia dengan disabilitas ringan sebesar 8,4 persen, sedangkan WHO 2010 dalam Riskesdas (2013) melaporkan 42,4 persen penduduk mengalami disabilitas ringan. Prevalensi penduduk Indonesia dengan disabilitas kategori sedang sampai sangat berat, sebesar 11 persen. Penyebaran prevalensi ini bervariasi dari yang tertinggi berada di Sulawesi Selatan (23,8%) dan yang terendah di Papua Barat (4,6%). Rerata skor disabilitas tertinggi dimiliki penduduk di Gorontalo (31,85%), sedangkan yang terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta (17,05%) dan DKI Jakarta (17,92%) dengan rerata skor maksimal 100 (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 yang disebutkan bahwa pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Berdasarkan hal tersebut, perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki 2
tanggungjawab serta kewajiban akan pengabdiannya kepada masyarakat untuk mendukung tercapainya anak retardasi mental yang mandiri dan berkualitas. Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, didapatkan data bahwa masalah mayoritas anak retardasi mental adalah anak memiliki sifat pemarah, berperilaku menyendiri, menghindari kontak mata, dan memperlihatkan kebiasaan yang aneh. Hal ini menunjukkan bahwa anak seperti mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan komunikasi. Keterbatasan dalam hal sosialisasi itulah yang menyebabkan anak retardasi mental cukup sulit untuk mempelajari informasi dan keterampilanketerampilan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya (Matson, Dempsey, & LoVullo, 2009). Sifat-sifat itu merupakan rintangan utama dalam melakukan hubungan interpersonal pada anak-anak retardasi mental. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri merupakan tantangan dalam melakukan sosialisasi dan penerimaan diri akan kelainan yang dimiliki (Carolina, 2006 cit Wijayanti, 2007). Indikasi keterlambatan anak retardasi mental dalam bidang sosial umumnya terjadi karena beberapa hal yakni, kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak retardasi mental untuk melakukan sosialisasi, kemudian kurangnya motivasi untuk melakukan sosialisasi, dan kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi. Hal tersebut diperparah dengan pemahaman bahasa dan kelancaran bicara yang juga terhambat (Boyles & Contadino, cit Santrock, 2004). Selain itu, keadaan anak retardasi mental biasanya kurang mampu bergaul dengan temanteman sebayanya, sehingga sukar dalam berinteraksi dengan masyarakat dan pada 3
akhirnya sulit mendapatkan tempat untuk mengenyam pendidikan maupun pekerjaan yang layak (Collins & Allbon, 2008). Kemampuan sosialisasi yang baik pada anak retardasi mental kategori sedang diperlukan untuk dapat menciptakan komunikasi yang efektif dengan teman sebayanya dan juga sangat penting untuk menghindari konflik dan situasi yang kompleks yang terjadi di lingkungannya (Matson & Swiezy, 1994 cit Johnny, Timothy, & Santino, 2009). Anak dengan retardasi mental kategori sedang merupakan kelompok yang mampu latih. Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, sehingga perkembangan keterampilan emosional dan sosial pada anak retardasi mental kategori sedang dapat dioptimalkan dengan menggunakan suatu metode. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meminimalkan keterlambatan perkembangan dan penggunaan bahasa pada anak retardasi mental kategori sedang adalah dengan metode terapi bermain (Sularyo & Kadim, 2000). Bermain dapat digunakan sebagai media terapi, karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebas dan terapi bermain dapat melibatkan interaksi dengan orang lain (Tedjasaputra, 2001). Bermain yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan/kepuasan. Bermain tersebut juga merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional serta sosial, dan bermain adalah media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000). Melalui terapi bermain dengan teman 4
sepermainan yang sebaya, anak akan belajar berbagi hak milik, menggunakan mainan secara bergilir, melakukan kegiatan bersama, mempertahankan hubungan yang sudah terbina, mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapi dengan teman mainnya (Tedjasaputra, 2001). Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat adalah dengan memberikan terapi bermain pada anak retardasi mental berupa peer play therapy dengan menggunakan media puzzle. Peer play therapy adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman sebaya. Pada peer play therapy modal utama dalam pengobatan ialah terapis terlibat langsung dalam permainan dengan anak. Terapi bermain membutuhkan keterlibatan anak dengan dunia mereka, memberikan kesempatan untuk bermain melalui apa yang mereka lihat dari kehidupan orang dewasa (Legoff & Sherman, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta pada bulan Januari dan Maret 2014 dengan melakukan wawancara langsung dengan guru SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta yang berfokus pada penelitian, didapatkan data bahwa di sekolah tersebut memiliki suatu pembinaan diri yang mencakup perawatan diri atau kemampuan mengurus diri sendiri pada anak retardasi mental yang disebut dengan bina diri. Bina diri yang dilaksanakan di sekolah tersebut mencakup aspek interaksi sosial dan juga sosialisasi. Sosialisasi tersebut dilakukan baik dari anak ke anak ataupun anak dengan guru. Dari data yang diperoleh di sekolah tersebut, masih banyak siswa yang memiliki sikap individual yang tinggi akibat dari keterbatasan yang mereka miliki, salah satunya adalah terbatasnya kemampuan 5
sosialisasinya. Selain itu, kendala yang dihadapi saat ini berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bina Diri belum ditetapkan atau belum disusun oleh Depdiknas. Program bina diri dilaksanakan sesuai dengan hasil pengkajian berdasarkan kebutuhan anak, sehingga diperlukan kreatifitas para guru untuk mengembangkan program yang dapat diadaptasikan bagi anak (Data primer, 2014). Pelaksanaan bina diri di kegiatan belajar mengajar yang diajarkan di SLB tersebut belum menggunakan metode peer play therapy. Proses belajar dengan menggunakan metode peer play therapy diharapkan mampu meningkatkan kemampuan sosialisasi anak. Hal ini juga didukung oleh Nevid (2005) yang mengatakan bahwa pendekatan penanganan untuk anak retardasi mental adalah dengan intervensi psikoedukasi untuk mendorong perkembangan keterampilan akademik dan perilaku adaptif. Dari latar belakang di atas maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan sosialisasi anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa 1 Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah Terdapat Pengaruh Peer Play Therapy terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta? 6
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan sosialisasi anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis Bagi dunia keperawatan, khususnya pada keperawatan anak diharapkan dapat menambah informasi mengenai pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan sosialisasi anak retardasi mental khususnya yang terdapat di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta, serta dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan tentang retardasi mental. 2) Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian di bidang keperawatan anak secara lebih mendalam khususnya terkait peneliti pada anak dengan kebutuhan khusus. b. Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam dunia keperawatan sehingga dapat memberikan gambaran dalam menentukan penanganan dan peningkatan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental. 7
c. Bagi Pengelola SLB Hasil penelitian dapat dijadikan acuan bagi pengelola SLB yang diteliti sebagai masukan mengenai pilihan metode penyampaian kurikulum yang digunakan demi mengupayakan kesejahteraan anak retardasi mental untuk meningkatkan kemampuan sosialisasinya. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang Pengaruh Peer Play Therapy Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta belum pernah dilakukan, namun ada beberapa penelitian yang telah dilakukan yang masih ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti antara lain : 1) Penelitian yang pernah dilakukan oleh Astuti (2000) tentang Peningkatan Sosialisasi Anak melalui Pelatihan Permainan Tradisional. Penelitian yang dilakukan di SD Negeri Sinduadi Timur Kecamatan Mlati Sleman Yogyakarta ini menyatakan ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan sosialisasi subyek yang mengikuti pelatihan permainan tradisional dibandingkan yang tidak mengikuti pelatihan permainan tradisional tersebut. Perbedaan penelitian ini terdapat pada respondennya yang merupakan anak usia sekolah yang duduk di bangku SD kelas 1, sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti yaitu pada anak retardasi mental kategori sedang yang ada di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Persamaan penelitian terletak pada alat pengukuran data yaitu menggunakan instrumen milik Astuti 8
(2000), yang selanjutnya oleh peneliti lain yang sudah diadopsi sehingga bisa diterapkan untuk mengukur tingkat kemampuan sosialisasi anak retardasi mental kategori sedang dan metode penelitian yang digunakan juga sama yaitu menggunakan metode eksperimental pre-test post-test control group design. 2) Dewi Listyorini (2002). Penelitian ini berjudul Pengaruh Bermain Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Selama Menjalani Perawatan Diri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode analitik kuantitatif dengan rancangan one group pre dan post test design dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh bermain terhadap kemampuan sosialisasi anak sebelum dan sesudah perlakuan aktivitas bermain. Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal bedah anak (Cendana 4) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan ialah menggunakan metode penelitian kuantitatif dan dengan design penelitian quasy experimental. Subjek yang akan diteliti juga berbeda, yaitu menggunakan sampel anak retardasi mental kategori sedang yang bersekolah di SLB yang ada di Yogyakarta. 3) Penelitian Eka (2004) yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan agak rendah antara pola asuh orang tua dengan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional non eksperimen dengan metode analitik korelasi dan pendekatan kuantitatif. Alat ukur terhadap pola asuh orang tua dilakukan denfan cara memberikan kuesioner dan melakukan wawancara secara mendalam, kemudian untuk mengetahui kemampuan sosialisasi anak 9
retardasi mentalnya dilakukan observasi sebanyak 12 item. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 42 orang tua dan anak retardasi mental yang bersekolah di SLB C 1 Negeri II Gondomanan, Yogyakarta. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ialah terletak pada variabel terikatnya yaitu kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, dan juga pada lembar observasi yang digunakan. Perbedaan penelitiannya terletak pada variabel bebas dan juga rancangan penelitiannya. 4) Penelitian Wardhani (2012) yang berjudul Terapi Bermain : Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental didapatkan data bahwa peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan desain penelitian quasy experiment dan mengambil populasi penelitian di SLB Al-Hidayah kelas 1-4 Sekolah Dasar yang berjumlah 21 anak. Penentuan sampel menggunakan purposive sampling yang kemudian didapatkan sampel sebanyak 12 responden yang merupakan anak retardasi mental kategori ringan dan sedang. Alat pengukuran data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi milik Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah di bagian sampel, alat pengukuran data yang digunakan, dan juga tempat pelaksanaan penelitian. Penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan anak retardasi mental kategori sedang yang ditentukan oleh kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dilakukan di SLB yang ada di Yogyakarta. Alat pengukuran data yang akan dilakukan peneliti adalah menggunakan lembar observasi milik Astuti (2000) yang telah diadopsi oleh Rini (2004). 10