SIARAN PERS Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Telp/Fax. 021-34833819, 021-3458867 www.bpkn.go.id Upaya Perlindungan Konsumen di Daerah Masih Terkendala Surabaya, 1 November 2017, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengadakan Focus group discussion dengan topik Koordinasi Perlindungan Konsumen terhadap Implementasi UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU 23/2014), hari ini Rabu (1/11/2017) di Ruang Jakarta Room Hotel Holiday Inn Express Surabaya. Hal ini dilakukan untuk menjaring informasi dan menggali berbagai hal terkait penyelenggaraan perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Berlakunya UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebabkan terjadinya beberapa ketidakpastian hukum dalam pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia tidak hanya di Provinsi Jawa Timur., ujar Ardiansyah, Ketua BPKN dalam sambutannya. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk berdasarkan amanah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang memiliki fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia yang ditindaklanjuti dengan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Tugas, Fungsi serta Keanggotaan BPKN. Sejak diberlakukannya UU 23/2014, terjadi beberapa ketidakpastian hukum dalam pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perubahan struktur organisasi perangkat daerah pada Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan hal yang tidak terelakan. Demikian pula halnya dengan Pemerintahan Daerah Propinsi. Meskipun tidak mengubah struktur organisasi perangkat daerah, penambahan kewenangan tersebut berdampak pada perubahan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dibawahnya. Pergerakan kelembagaan organisasi perangkat daerah tersebut, berdampak pada mobilisasi sumber daya baik manusia, sarana dan prasarana serta pendanaan. Beberapa hal mendasar dalam lampiran UU 23/2014 terkait pemindahan kewenangan dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Kewenangan terkait Metrologi legal yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait penyelenggaran metrologi legal berupa tera, tera ulang, dan pengawasan, (2) Kewenangan Pemerintahan Provinsi terkait beralihnya penganggaran BPSK dari semula melekat pada APBD Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi melekat pada APBD Pemerintah Provinsi, (3) Kewenangan terkait pengawasan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi mencakup enam parameter, yakni terkait label, klausula baku, garansi dan manual berbahasa Indonesia, serta standar dan layanan purna jual. Saat ini BPKN sedang melakukan Kajian Optimalisasi Perlindungan Konsumen dalam Penerapan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana yang diamanahkan oleh UUPK, Pemerintah bersama-sama masyarakat konsumen dan dunia usaha mempunyai tugas dalam peningkatan perlindungan konsumen di Indonesia. BPKN, BPSK, LPKSM, dan Pemerintah terkait tentunya merupakan lembaga-lembaga yang mengemban tugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Dengan adanya implementasi UU 23/2014 maka terdapat beberapa permasalahan terkait Standardisasi dan Perlindungan Konsumen yaitu (1) Fungsi pengawasan perlindungan konsumen di Daerah, (2) Fungsi BPSK terkait Implementasi UU No. 23/2014, dan (3) Fungsi Kemetrologian Legal dalam melaksanakan Tera/Tera Ulang dan Pengawasan. Fakta di lapangan, peredaran barang illegal lebih masif pada tingkat Kab/Kota, seperti Peraturan Menteri Perdagangan mencakup berbagai konsekuensi hukum pada perbuatan pelaku usaha dalam Permendag No. 19/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika. Selain itu, Permendag No. 35/2014 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang diperdagangkan, dan Permendag No. 67/2013 tentang kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang dan perubahannya Nomor 10/2014 masih banyak dilanggar. Pemerintah Kabupaten/kota sebagai ujung tombak yang menghadapi langsung permasalahan konsumen memiliki berbagai kendala dengan adanya keterbatasan kewenangan sesuai UU No 23 Tahun 2014, diantaranya penanganan sengketa konsumen tidak bisa dilaksanakan Pemkab/Pemkot, intensitas pengawasan terbatas dan pembinaan sosialisasi Perlindungan Konsumen yang tidak dilaksanakan secara mandiri. Selain itu, implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini masih ditemukan kendala, menurut data UPTD Metrologi Legal saat ini dari Unit Metrologi Legal yang seharusnya ada di setiap Kabupaten/Kota, yang sudah terverifikasi hanya 97 Kabupaten/Kota dan baru 82 Kabupaten/Kota yang sudah mempunyai alat ukur tera/tera ulang yang sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dengan keterbatasan UPTD Metrologi Legal ini maka pelayanan tera, tera ulang dan pengawasan alat ukur legal di daerah menjadi terkendala dan mengganggu jaminan akurasi ukuran sebagai dasar transaksi perdagangan, yang lebih jauh tentunya akan menurunkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi. Dikesempatan yang sama Dr. Kurniasih, SH, M.Si Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI menambahkan bahwa UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memuat pengaturan baru sesuai dengan dinamika masyarakat dan tuntutan pelaksanaan desentralisasi antara lain pengaturan tentang hak warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah, adanya jaminan terselenggaranya pelayanan publik dan inovasi dalam penyelenggaran Pemerintah Daerah. Dalam konteks penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Pemerinta Provinsi perlu menunjukan kepedulian dan komitmennya dengan menerbitkan Peraturan Daerah terkait urusan Perdagangan yang akan menaungi keperluan penyelenggaran Perlindungan Konsumen. Eka Setia Budi SH, MM, Kepala UPT Perlindungan Konsumen Surabaya mewakili Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur menambahkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menerbitkan Peraturan Gubernur No.103 Tahun 2016 tentang Nomenklatur, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Pelaksana Teknis Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur dan membentuk 5 UPT Perlindungan Konsumen dengan konsep pendekatan kewilayahan di Kabupaten/Kota (Surabaya, Jember, Malang, Bojonegoro, Kediri) yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dinas dalam pengawasan barang beredar dan jasa, pemberdayaan konsumen, dan pelaku usaha. Selain itu ada 5 program prioritas tahun 2017-2018 yang dijadikan program kerja 5 UPT Perlindungan Konsumen tersebut meliputi Pelaksanaan Pengawasan, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Sosialisasi Peraturan Perundangan, Peningkatan Perlindungan Konsumen bagi Pelaku Usaha dan Usaha Penggunaan Bahan Berbahaya (B2) pada Makanan dalam rangka perlindungan konsumen. Sejak berlakunya UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah banyak hal yang menjadi perhatian antara lain kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi terhadap persoalan perlindungan konsumen, Kurangnya koordinasi antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota dan masih minimnya dukungan penataan organisasi BPSK terutama keterlibatan Pemerintah dalam penyediaan SDM kesekretariatan BPSK kata Muhammad Said Utomo, Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surabaya.
Bambang Purwanto SH, MH, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Kabupaten Mojokerto menambahkan, Perlu koordinasi yang intens antara pemerintah provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota dan perangkat Perlindungan Konsumen lainnya seperti BPSK, dan UPTD metrologi legal agar Pemerintah Kabupaten/Kota dapat optimal dalam melaksanakan fungsi Perlindungan Konsumen. BPKN berkomitmen utk pro-aktif dalam mengembangkan upaya perlindungan konsumen terkait Kehadiran Negara untuk menjaga Integritas Perlindungan Konsumen, merupakan modal utama kepercayaan pasar (market confidence) agar terjadi transaksi secara sehat. Dalam konteks NEGARA HADIR, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (sesuai Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4), maka diperlukan koordinasi yang memadai antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah maupun antar Pemerintah Daerah untuk mengefektifkan langkah perlindungan keselamatan, kesehatan, keamanan, kenyamanan konsumen yang menjadi prioritas disamping memberikan akses efektif pemulihan hak konsumen, kepastian hukum, akses informasi yg cepat dan efektif, serta edukasi Perlindungan Konsumen bagi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha., Pungkas Ardiansyah. Informasi lebih lanjut hubungi : Dr. Ir. Arief Safari, MBA Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi, BPKN Telp/Fax: 021-34833819, 021-3458867, Email: setbpkn@bpkn.go.id, Hp. No: 0811168310 BPKN_RI Badan Perlindungan Konsumen Nasional bpkn_ri - selesai -
Fact Sheet a. Terkait Fungsi Pengawasan Perlindungan Konsumen di Daerah Dengan adanya implementasi Undang-Undang No. 23/2014, kegiatan pengawasan terhadap peredaran barang dan jasa di pasar akhirnya menjadi kendala bagi pemerintahan kab/kota. Di sisi lain, anggaran untuk pengawasan juga masih sangat minim. Fakta di lapangan, peredaran barang illegal lebih masif pada tingkat Kab/Kota, seperti Peraturan Menteri Perdagangan mencakup berbagai konsekuensi hukum pada perbuatan pelaku usaha dalam Permendag No. 19/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika. Selain itu, Permendag No. 35/2014 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang diperdagangkan, dan Permendag No. 67/2013 tengan kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang dan perubahannya Nomor 10/2014. b. Fungsi BPSK terkait Implementasi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peran BPSK dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yang telah dirugikan atau yang telah menderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK kepada konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dan juga melalui pengawasan terhadap setiap pencantuman perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen. BPSK dalam hal ini berfungsi ganda, disatu sisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan disisi lain diberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman klausula baku yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha. Prinsip dasar penyelesaian di BPSK antara lain: - Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bilamana para pihak telah sepakat memilih BPSK sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka para pihak untuk kedua kalinya harus sepakat untuk memilih salah satu dari cara penyelesaian sengketa yang berlaku di BPSK, yakni dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. - Bukan berjenjang Jika konsumen dan pelaku usaha telah sepakat memilih cara peyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi dan ternyata tidak menemukan penyelesaian, maka sengketa tidap dapat diajukan penyelesaiannya dengan cara mediasi atau arbitrase. - Penyelesaian oleh Para Pihak Bilamana para pihak telah sepakat memilih cara penyelesaian secara konsiliasi atau mediasi, maka penyelesaian sepenuhnya berada ditangan para pihak baik mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi secara pembayaran tunai atau cicilan.mejelis BPSK hanya bersifat fasilitator yan wajib memberikan masukan, saran, dan menerangkan isi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. - Penyelesaian oleh Majelis Bilamana para pihak sepakat memilih penyelesaian secara arbitrase, maka penyelesaian sepenuhnya diserahkan kepada Majelis BPSK baik bentuk dan besarnya ganti rugi. - Tanpa Pengacara Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tanpa lawyer (pengacara), hal ini mengingat yang ditonjolkan dalam proses penyelesaian sengketa adalah musyawarah kekeluargaan, bukan masalah aspek hukum yang ketat, kaku karena putusan yang diharapkan di BPSK adalah win-win solution.
- Murah, Cepat dan Sederhana Penyelesaian sengketa di BPSK tidak dipungut biaya, baik kepada konsumen maupun pelaku usaha, sedangkan waktu penyelesaiannya relatif cepat, yakni selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sudah diterbitkan putusan BPSK. Dengan adanya Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dampak implementasi tidak hanya dirasakan pada Metrologi Legal, namun juga dirasakan pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan hasil kunjungan BPKN ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, dimana sudah dimulai pembenahan sistem pengawasan yang tadinya di Kab/Kota ditarik ke Provinsi sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Sub Urusan Standardisasi dan Perlindungan Konsumen. Namun saat ini menurut Disperindag Provinsi Jawa Barat, masih ada beberapa kendala bagi BPSK c. Fungsi Kemetrologian Legal dalam melaksanakan tera/tera ulang dan pengawasan Pengawasan metrologi legal merupakan salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum di bidang metrologi legal. Dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 2/1981 mengamanatkan kepada pegawai instansi pemerintah yang ditugaskan dalam pembinaan untuk melaksanakan pengawasan dan pengamatan. Selain itu, pegawai instansi pemerintah juga diwajibkan menyidik tindak pidana yang ditentukan dalam UU tersebut. Terkait dengan berlakunya Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan dan kemetrologian dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kab/Kota. Untuk itu semua Kab/Kota harus segera membentuk Unit Metrologi Legal untuk melaksanakan kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan kemetrologian. Dengan demikian kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan dapat dilaksanakan di seluruh Kab/Kota agar masyarakat sebagai konsumen mendapatkan jaminan kebenaran hasil pengukuran dalam transaksi perdagangan. Namun implementasi Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini masih ditemukan kendala, menurut data UPTD Metrologi Legal saat ini dari Unit Metrologi Legal yag sudah terverifikasi (97 Kab/Kota) baru 82 (delapan puluh dua) Kab/Kota yang sudah mempunyai alat ukur tera/tera ulang yang sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 mengatakan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang - undangan dan berdasarkan Undang-Undang No. 2/1981 untuk perdagangan di pasar, ketentuan timbangan yang ada harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Proses pelaksanaan pelimpahan kewenangan metrologi legal berupa tera/tera ulang, dan pengawasan dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kab/Kota tetap dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tetapi kenyataannya menghadapi kendala/permasalahan sehingga perlu dilakukan kajian tentang Dampak Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun permasalahan yang terjadi yaitu : - Kewenangan pelayanan tera/tera ulang UTTP metrologi legal sebelum UU No. 23/2014 berada pada Pemerintah Provisi namun, dengan adanya implementasi UU No. 23/2014 kewenangan tersebut diserahkan kepada Kabupaten/Kota, sehingga terjadi kendala terkait sarana dan prasarananya. - Dengan adanya perubahan kebijakan penanganan metrologi legal dari Provinsi menjadi Kab/Kota menyebabkan ± 90% UTTP yang digunakan dalam transaksi perdagangan tidak bertanda sah atau tidak sesuai standar.
- Saat ini Kab/Kota yang telah mempunyai UML yang telah diverifikasi dan dinilai ada 97 (sembilan puluh tujuh) dan UML yang sudah beroperasi baru 82 (delapan puluh dua) Kab/Kota dimana di dalamnya termasuk 42 (empat puluh dua) Kab/Kota UML Locus (Lokasi UML yang berada di Kab/Kota yang sama pada waktu UPTD masih di tingkat Provinsi) yang telah beroperasi. Hal tersebut masih kurang, terdapat 411 (empat ratus sebelas) Kab/Kota lagi yang belum memiliki UPTD. - Keterbatasan kemampuan beberapa Pemerintah Kab/Kota dalam mengelola urusan tersebut terjadi karena beberapa faktor, dalam hal sarana prasarana maupun pendanaan. Sarana prasarana yang dimiliki oleh Provinsi sebelumnya sangatlah terbatas untuk dapat diserahkan kepada daerah Kab/Kota di bawahnya, sehingga hanya sebagian kecil saja daerah Kab/Kota yang menerima pelimpahan dari Pemerintah Provinsi. - Pengelolaan SDM sebagaimana perpindahan kewenangan dari Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Kab/Kota dalam melaksanakan metrologi legal berupa tera/tera ulang dan pengawasannya dinilai masih terdapat kendala, untuk dapat menyelenggarakan fungsi tera/tera ulang dan pengawasan dibutuhkan SDM yang sesuai dengan kualifikasi yaitu D3 Teknik dan S1 Teknik, dimana untuk mendapatkan SDM tersebut di daerah cukup sulit dan hanya ada S1. Berdasarkan kualifikasi lulusan S1 akan menjadi Penera Ahli dan D3 menjadi Penera Terampil dimana kondisi saat ini Penera Ahli merangkap menjadi Penera Terampil. Hal tersebut sudah jelas melanggar aturan yang berlaku pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pilihan yang terbaik saat ini adalah merubah kebijakan untuk menghapus Penera Terampil dan memaksimalkan Akademi Metrologi sebagai revitalisasi penguatan dan peningkatan SDM Kemetrologian Legal yang nantinya SDM tersebut dapat tersebar ke daerah-daerah untuk meningkatkan UPTD. - Bagaimana fungsi Pengawasan ini dapat dilakukan secara sinergi agar dapat memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.