BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Telur Itik Telur merupakan bahan pangan yang sempurna, karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan (Koswara, 2009). Menurut Komala (2008), kandungan gizi telur pada umumnya terdiri atas: air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral namun kadar lemak pada putih telur hampir tidak ada. Ditambahkan Sudaryani (2003) bahwa hampir semua lemak di dalam telur terdapat pada kuning telur, yaitu mencapai 32%, sedangkan pada putih telur kandungan lemaknya sangat sedikit. Zat-zat gizi yang ada pada telur sangat mudah dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh. Itu sebabnya, telur sangat cocok apabila dikonsumsi berbagai kalangan dari anak-anak sampai orang yang sudah lanjut usia dengan berbagai macam kebutuhan. Telur yang paling banyak dikonsumsi salah satunya merupakan telur itik. Telur itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Telur itik umumnya berukuran besar dan memiliki warna kerabang putih sampai hijau kebiruan. Rata-rata bobot telur itik adalah 60-75 gram (Resi, 2009). Kulit telur itik lebih tebal bila dibandingkan dengan telur ayam, membran dalam yang lebih tebal, dan pori-pori pada kulit telur juga lebih banyak pula. Romanoff dan Romanoff (1963), menyatakan bahwa karakteristik dari kulit telur adalah adanya pori-pori pada permukaan kulit. Pori-pori telur itik berbeda dengan telur ayam, pada telur itik tiap cm 2 memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan telur ayam. Perbedaan ukuran pori-pori pada telur itik dan telur ayam dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan ukuran pori-pori pada telur itik dan ayam Jenis Telur Pori-pori besar (mm) Pori-pori kecil (mm) Itik 0,036 x 0,031 0,014 x 0,012 Ayam 0,029 x 0,020 0,011 x 0,009 Sumber: Romanoff dan Romanoff (1963) Keunggulan telur itik dibandingkan dengan telur unggas lainnya, antara lain: kaya akan mineral, vitamin B6, Asam pantotenat, tiamin, vitamin A, vitamin E, niasin, dan vitamin B12. Adapun perbandingan zat gizi pada telur itik disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kandungan gizi per 100 gram telur puyuh, telur ayam, dan telur itik Zat Gizi Telur Puyuh Telur Ayam Ras Telur Itik Energi (kkal) 158,00 143,00 185,00 Protein (g) 13,05 12,58 12,81 Total Lemak (g) 11,09 9,94 13,77 Karbohidrat (g) 0,41 0,77 1,45 Kalsium/Ca (mg) 64,00 53,00 64,00 Besi/Fe (mg) 3,65 1,83 3,85 Magnesium/Mg (mg) 13,00 12,00 17,00 Fosfor/P (mg) 226,00 191,00 220,00 Kalium/K (mg) 132,00 134,00 222,00 Natrium/Na (mg) 141,00 140,00 146,00 Seng/Zn (mg) 1,47 1,11 1,41 Tembaga/Cu (mg) 0,06 0,10 0,06 Mangan/Mn (mg) 0,04 0,04 0,04 Tiamin (mg) 0,07 0,07 0,16 Riboflavin (mg) 0,48 0,48 0,40 Niasin (mg) 0,07 0,07 0,20 Asam Panthothenat (mg) 1,44 1,44 1,86 Vitamin B6 (mg) 0,14 0,14 0,25 Vitamin E (mg) Kolesterol (mg) 1,08 844,00 0,97 423,00 1,34 884,00 Vitamin B12 (mkg) 1,58 1,29 5,40 Selenium/Se (mkg) 32,00 31,70 36,40 Vitamin K (mkg) 0,30 0,30 0,40 Vitamin A (IU) 543,00 487,00 674,00 Sumber: USDA (2007) 7
Telur itik memiliki kualitas yang baik apabila kulit dan isi telur dalam keadaan baik. Menurut Sudaryani (2003), kualitas telur secara keseluruhan ditentukan oleh kualitas isi telur dan kualitas kulit telur. Kualitas isi telur dikategorikan dalam keadaan baik apabila tidak terdapat bercak atau noda pada putih dan kuning telur, kondisi putih telurnya kental dan tebal, warna kuning telur tidak pucat serta posisi kuning telur di tengah. Kualitas isi telur dapat dilihat melalui peneropongan cahaya (Candling) atau alat teropong khusus. Sedangkan kualitas kulit cangkangnya meliputi bentuk telur oval, warna kulit telur yang hijau, keutuhan, memiliki kulit cangkang tebal, tekstur kulit, dan kebersihan kulit. 2.2 Pengasinan Telur Telur merupakan salah satu produk hasil ternak yang memiliki andil besar dalam memenuhi gizi masyarakat karena telur mengandung zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan, telur juga memiliki rasa yang enak dan harga relatif murah. Namun demikian, telur memiliki kelemahan, yaitu bersifat mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi, maupun kerusakan akibat kontaminasi mikroba melalui pori-pori kulit telur. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengawetan untuk mempertahankan mutu pada telur (Margono, 2000). Salah satu usaha pengawetan telur adalah dengan melakukan pengasinan. Pengasinan telur merupakan salah satu usaha untuk mengawetkan telur mentah sehingga dapat memperpanjang daya simpan telur, mengurangi bau amis yang terdapat pada telur, dan dapat menciptakan rasa yang baru. Menurut Winarno dan Koswara (2002), pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam bahan yang diasinkan dengan cara difusi setelah garam mengion menjadi Na + dan Cl -. Penambahan garam pada proses pembuatan telur asin akan 8
meningkatkan tekanan osmotik pada sel, mengurangi oksigen terlarut, menghambat kerja enzim, dan menurunkan aktivitas air. Laju difusi tergantung pada perbedaan tekanan osmotik antara isi telur dan kandungan garam pada adonan. terjadi. Semakin besar perbedaannya, maka semakin cepat laju difusi yang Pada telur asin, garam berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk patogen karena mempunyai sifat antimikroba, jika semakin lama disimpan maka kadar garam dalam telur akan semakin tinggi sehingga telur akan semakin awet (Suprapti, 2002). Menurut (Koswara, 2009), ukuran kristal garam yang digunakan berpengaruh terhadap proses pengasinan telur. Kristal garam yang besar (lebih dari 6 mm 3 ) menghasilkan laju difusi yang lambat, sedangkan kristal yang kecil (kurang dari 1 mm 3 ) laju difusi akan lebih cepat sehingga dapat menyebabkan pengerasan lapisan protein terluar dari telur sehingga menghambat difusi garam kebagian telur yang lebih dalam. Zat-zat yang masuk ke dalam telur akan mempengaruhi komposisi gizi telur tersebut, sehingga komposisi gizi pada telur itik segar akan berbeda dengan telur asin (Winarno dan Koswara, 2002). Adapun perbadingan komposisi gizi telur itik segar dan telur itik asin seperti pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Komposisi gizi telur itik dan telur asin Zat Gizi Telur Itik Telur Asin Kalori (kal) 185 195 Protein (g) 12,81 13,6 Lemak (g) 13,77 13,6 Kalsium (mg) 64 120 Fosfor (mg) 220 157 Vitamin A (IU) 674 841 Vitamin B1/Tiamin (mg) 0,16 0,28 Air (g) 70,8 66,5 Sumber: USDA (2007) 9
Berbagai macam proses pengasinan telur dapat dilakukan, antara lain: dengan melakukan perendaman dalam larutan garam dan pemeraman dengan adonan campuran garam dan tanah liat, garam dengan abu gosok atau garam dengan bubuk bata merah (Sahroni, 2003). Menurut Astawan (2005), pembuatan telur asin dengan cara perendaman memiliki keunggulan dan kelemahan antara lain: prosesnya lebih praktis dan sangat mudah, namun kualitas telur asin yang dihasilkan kurang baik. Pernyataan ini didukung Suprapti (2002), yang menyatakan bahwa telur asin yang dibuat dengan metode perendaman dalam larutan garam jenuh akan memiliki putih telur yang berlubang-lubang (keropos). Kesulitan teknis juga dapat terjadi dalam pembuatan telur asin dengan metode perendaman karena telur akan terapung dalam larutan garam (Margono dan Muljadi, 2000). Sedangkan telur asin yang dihasilkan dengan menggunakan adonan garam akan menghasilkan telur asin yang lebih baik mutunya, warna lebih menarik serta memiliki cita rasa yag lebih enak, tetapi proses pembuatan lebih rumit dan waktu yang diperlukan lebih lama. Pada umumnya lama proses pengasinan yang dilakukan dalam pembuatan telur asin adalah 14 hari. Cara ini didapatkan dari pengalaman pendahulu yang turun-temurun membuat telur asin dengan lama pemeraman 14 hari (Lesmayati dan Rohaeni, 2014). Sama halnya dengan Idris (1984) menyatakan bahwa lama pemeraman dalam pembuatan telur asin adalah 10-15 hari. Menurut Kautsar (2005), proses pengasinan telur dengan pemeraman memerlukan waktu selama 15-30 hari, sedangkan proses pengasinan dengan larutan jenuh garam memerlukan waktu sekitar 7-10 hari. Semakin lama telur dibungkus dengan adonan pasta pengasin, maka semakin banyak garam yang masuk kedalam telur, sehingga telur 10
menjadi awet dan asin (Harry, 2004 dalam Putri, 2011). Meskipun demikian, rasa telur yang terlalu asin tidak terlalu disukai oleh konsumen. Menurut (Koswara, 2009), proses pengasinan telur dikatakan berhasil dengan baik, jika telur asin yang dhasilkan bersifat: 1. Stabil, dapat disimpan lama tanpa banyak mengalami perubahan. Keawetan telur asin tergantung pada konsentrasi garam yang digunakan dalam adonan. Semakin tinggi konsentrasinya, semakin awet telur asin yang dihasilkan. Selain itu, waktu telur dibungkus dengan adonan juga berpengaruh terhadap keawetan. Semakin lama dibungkus adonan semakin baik keawetannya. Dalam hal ini harus dipertimbangkan intensitas rasa asin yang dihasilkan. Dengan kata lain rasa asin yang diperoleh juga harus diatur. 2. Aroma dan rasa telur asin terasa nyata (tidak tercium bau amonia atau bau yang kurang sedap). Telur itik sangat cocok untuk diasin, karena rasa amis dari telur akan berkurang dengan pengasinan. Selain itu, pori-pori kulit telur itik lebih banyak sehingga garam mudah berpenetrasi. 3. Penampakan putih dan kuning telur yang baik. Jika adonan pembungkus telur kurang baik, kuning telur akan berwarna kebiruan. Kuning telur pada telur asin yang memiliki mutu baik terletak di tengah dengan ukuran kantong udara yang kecil. Jika letak kuning telur tidak ditengah dan ukuran kantong udara tidak kecil menandakan telur yang digunakan memiliki mutu yang kurang baik. Telur yang akan diawetkan harus mempunyai mutu awal yang baik. Adapun ciri-cirinya adalah kulit telur bersih, tidak retak, bentuk normal, kedalaman kantong udara kurang dari 0,3 cm, putih telur pekat, kuning telur terletak di pusat dengan baik, kuning telur jernih dan bebas dari noda (Romanoff 11
dan Romanoff, 1963). Sebelum melakukan pengasinan pada telur, maka perlu diperhatikan kebersihan kulit telur karena meskipun mutu telur sangat baik, tetapi jika kulitnya kotor, maka telur dianggap bermutu rendah atau tidak dipilih pembeli. Menurut Koswara (2009), pembersihan kulit telur dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Merendam telur dalam air bersih, dapat diberi sedikit detergen atau Natrium hidroksida (soda api). Kemudian dicuci bersih sehingga kotoran yang menempel hilang. b. Mencuci telur dengan air hangat suam-suam kuku (sekitar 60 o C) yang mengalir dan untuk mempercepat hilangnya kotoran dapat digunakan kain. Proses pemasakan pada telur asin merupakan salah satu cara untuk mengawetkan telur asin dalam jangka waktu yang lebih lama dan berpengaruh terhadap karakteristik telur asin yang dihasilkan. Telur asin umumnya dimasak dengan cara perebusan. Suatu inovasi dalam memasak telur asin salah satunya dengan cara dioven. Pemasakan dengan dioven merupakan proses memasak menggunakan udara panas dari media pemanas. Pada proses pengovenan akan terjadi pengeluaran air karena adanya perbedaan osmotik. Bersamaan dengan keluarnya air dari telur juga akan terjadi pengeluaran NaCl sehingga akan berpengaruh terhadap rasa asin yang dihasilkan dari telur asin (Hidayat, 2007). 2.3 Usaha Telur Asin Usaha telur asin merupakan salah satu jenis industri makanan yang umumnya memiliki skala usaha menengah dan kecil. Umumnya, telur asin dibuat dari telur itik, karena beberapa alasan yang mendukung, antara lain; memiliki kulit atau kerabang yang lebih tebal sehingga telur tidak mudah retak atau pecah; pori- 12
pori kulit telur pada telur itik lebih besar sehingga memudahkan penetrasi garam; memiliki nilai gizi yang tinggi; dan memiliki masa simpan yang lebih lama (Primera, 2011). Jenis telur lain yang dijadikan telur asin sangat jarang karena masyarakat sudah menganggap bahwa kebanyakan telur asin berasal dari telur itik. Pusat-pusat produksi telur asin umumnya cukup dekat bahkan berlokasi sama dengan sentra-sentra penghasil telur itik. Pernyataan tersebut didukung Bank Indonesia (2004) yang menyatakan bahwa lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi telur itik sebagai sumber bahan baku utama. 2.4 Analisis Pendapatan Analisis pendapatan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pendapatan yang sesungguhnya diperoleh oleh pemilik usaha dan untuk membantu perbaikan manajemen usaha tersebut. Analisis pendapatan memiliki kegunaan diantaranya sebagai pedoman investasi dan pengambilan keputusan, sebagai alat produksi, dan sebagai suatu ukuran efisiensi manajemen usaha serta dapat dijadikan tolak ukur manajemen pemimpin usaha (Bilondatu, 2013). Dalam proses analisis pendapatan adapun langkah-langkah yang diperlukan antara lain mengidentifikasi biaya dan manfaat usaha, menentukan rencana terhadap komponen utama pendapatan dan apakah komponen itu masih dapat ditingkatkan atau tidak, menyusun arus biaya produksi dan penerimaan, mengidentifikasi sumber-sumber penerimaan dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk mencapai keuntungan. Menurut Soekartawi (1995), dalam menganalisis pendapatan perlu diperhatikan biaya produksi, penerimaan, dan pendapatan bersih. 13
2.4.1 Biaya Biaya merupakan seluruh pengeluaran dana yang diperhitungkan untuk keperluan usaha. Menurut Soekartawi (1995), biaya usaha merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh produsen untuk pembelian barang dan jasa untuk menjalankan usaha agar mendapatkan hasil yang maksimal. Mulyadi (2005) menyatakan bahwa biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Dalam suatu analisis finansial, biaya yang pada umumnya digunakan adalah biaya langsung meliputi: a. Biaya Investasi Menurut Ibrahim (2003), biaya investasi merupakan biaya yang diperlukan dalam pembangunan usaha, terdiri dari: pengadaan tanah, gedung, mesin, peralatan, biaya pemasangan, dan biaya lainnya yang mempunyai jangka umur ekonomis atau umur pemakaian yang panjang. Dalam analisis biaya, biaya investasi dihitung nilai atau biaya penyusutan. Biaya investasi biasanya dikeluarkan pada awal kegiatan usaha dalam jumlah relatif besar dan berdampak jangka panjang untuk kesinambungan usaha tersebut (Arianti dan Suryani, 2013). b. Biaya Operasional Menurut Ibrahim (2003), biaya operasional yaitu seluruh biaya yang digunakan untuk pelaksanaan proses produksi suatu usaha. Biaya operasional usaha dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Biaya Tetap (Fixed Cost) Menurut Ibrahim (2003), biaya tetap merupakan biaya yang tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang dihasilkan banyak 14
atau sedikit, jadi besar biaya tetap tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Ciri-ciri dari biaya tetap dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Jumlahnya yang tetap dan sebanding dengan hasil produksi; 2) Menurunnya biaya tetap per unit dengan adanya kenaikan produksi; 3) Pembebanannya kepada suatu bagian seringkali bergantung pada pilihan dari manajemen atau cara penjatahan biaya (Kartasapoetra dan Bambang, 1992). Contoh biaya tetap adalah biaya sewa tanah, tenaga kerja tetap, biaya penyusutan investasi, dan lain-lain. 2. Biaya Tidak Tetap (Variable Cost) Menurut Ibrahim (2003), biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Ciri-ciri biaya variabel adalah: 1) Biaya per unit yang konstan walaupun terjadi perubahan volume dalam batas bidang yang relevan; 2) Mudah dan dapat dibagikan pada bagian usaha; 3) Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, listrik, air, pengangkutan, tenaga kerja tidak tetap (harian), bahan bakar, dan lain-lain (Kartasapoetra dan Bambang, 1992). 2.4.2 Penerimaan Penerimaan adalah seluruh hasil penjualan produk pada suatu usaha dalam jangka waktu tertentu dan dinyatakan dalam bentuk rupiah. Menurut Zulfahmi (2011), penerimaan merupakan hasil perkalian dari jumlah produksi total dan harga satuan suatu produk. Pernyataan tersebut didukung Soekartawi (1995), bahwa penerimaan merupakan total nilai produk yang dijalankan yang merupakan hasil perkalian antara jumlah fisik output dengan harga atau nilai uang yang diterima dari penjualan produk usaha Sedangkan pendapatan bersih merupakan 15
selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya produksi per jangka waktu tertentu. 2.4.3 Pendapatan Pendapatan atau keuntungan merupakan tujuan utama dalam menjalankan usaha. Keuntungan dapat dicapai jika jumlah penerimaan yang diperoleh dari hasil usaha lebih besar daripada jumlah pengeluarannya. Semakin tinggi selisih tersebut maka semakin meningkat keuntungan yang diperoleh (Nizam, 2013). Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (2002), yang menyatakan bahwa pendapatan atau keuntungan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan total biaya yang dikeluarkan selama melakukan kegiatan usaha. Pendapatan pada dasarnya mempunyai sifat yang menambah kekayaan pemilik usaha karena seluruh aktivitas yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan laba semaksimal mungkin. 2.5 Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) R/C ratio adalah besaran nilai yang menunjukan perbandingan antara penerimaan usaha (Revenue) dengan total biaya (Total Cost). Menurut Soeharjo dan Patong (1991), R/C Ratio menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi. Dalam batasan besaran nilai R/C Ratio dapat diketahui apakah suatu usaha menguntungkan atau tidak menguntungkan. Secara garis besar dapat dimengerti bahwa suatu usaha akan mendapatkan keuntungan apabila penerimaan (Total Revenue) lebih besar dibandingkan dengan biaya usaha (Total Cost). Ada 3 (tiga) kemungkinan yang diperoleh dari perbandingan antara Penerimaan (R) dengan Biaya (C), yaitu: 16
a. R/C > 1 = Layak/untung b. R/C = 1 = BEP c. R/C < 1 = Tidak Layak/rugi 2.6 Break Even Point (BEP) Break Even Point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost. Menurut Harmaizar dan Rosidayati (2004), analisis break even point (BEP) adalah suatu metode yang mempelajari hubungan antara biaya, keuntungan, dan volume produksi untuk mengetahui tingkat kegiatan minimal yang harus dicapai, dimana pada tingkat tersebut usaha tidak mengalami keuntungan maupun kerugian. Kegunaan dari analisis break even point (BEP) antara lain: untuk mengetahui volume penjualan minimum agar usaha tidak mengalami kerugian tetapi belum memperoleh laba, menentukan volume penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu, sebagai dasar untuk mengendalikan kegiatan operasional usaha, dan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual (Zulfahmi, 2011). Menurut Ibrahim (2003), dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah usaha, terjadinya titik pulang pokok atau total revenue sama dengan total cost tergantung pada lama arus penerimaan sebuah usaha dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya. Pada suatu usaha, apabila waktu pencapaian BEP atau total revenue sama dengan total cost semakin lama, maka semakin lama pula usaha yang dijalankan untuk mencapai keuntungan dan semakin besar pula saldo kerugian yang merupakan beban terhadap biaya-biaya 17
operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan. Menurut Alwi (1995) dan Abdullah (2004) ada 3 (tiga) pendekatan penetapan BEP, yaitu: a. BEP Produksi Yaitu jumlah produksi (unit) yang dihasilkan dimana produsen pada posisi tidak rugi dan tidak untung. Dengan kata lain BEP produksi menjelaskan jumlah produksi minimal yang harus dihasilkan oleh produsen. b. BEP Harga Yaitu tingkat atau besarnya harga per unit suatu produk yang dihasilkan produsen pada posisi tidak untung dan tidak rugi. Dengan kata lain BEP harga menjelaskan besarnya harga minimal per unit barang yang ditetapkan produsen. c. BEP Penerimaan Yaitu besarnya penerimaan yang dihasilkan dari penjualan suatu produk dalam keadaan impas yaitu kondisi perusahaan tidak untung tetapi juga tidak menderita kerugian. 2.7 Penelitian Terdahulu Firdaus (2006) melakukan penelitian mengenai Analisis Usaha Pembuatan Telur Asin di Kota Madya Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan yang diterima dan biaya-biaya yang dibutuhkan oleh pengusaha telur asin, seberapa besar keuntungan yang diperoleh oleh para pengusaha telur asin pada setiap satu kali proses produksi. Penelitian ini menggunakan metode survey. Responden yang digunakan sebanyak 16 orang. Penentuan sampel responden dilakukan secara stratified random sampling yang terbagi atas dua kelompok atau strata, atas dasar jumlah telur asin yang dibuat dengan rincian sebagai berikut: Strata I: Pengusaha yang memproduksi telur asin 18
<1.500 butir; Strata II: Pengusaha yang memproduksi telur asin >1.500 butir. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya produksi, pendapatan kotor, dan keuntungan pada strata I berturut-turut dengan jumlah produksi telur asin rata-rata 912 butir per satu kali produksi yaitu sebesar Rp 683.379,44; Rp 869.375; dan Rp 185.995,55; sedangkan rata-rata biaya produksi, pendapatan kotor, dan keuntungan pada strata II dengan jumlah produksi telur asin rata-rata 2.581 butir per satu kali produksi yaitu sebesar Rp 1.913.668,15; Rp 2.518.750; dan Rp 605.081,84. Rata-rata titik impas tingkat penjualan dan tingkat produksi sebesar Rp 785,53 per butir dan 815,59 butir. Sedangkan pada strata II sebesar Rp 741,02 per butir dan 1.961,55 butir. Rata-rata B/C ratio pada strata I dan Strata II sebesar 1,23 dan 1,31. Dari hasil perhitungan tersebut bahwa pengusaha telur asin pada strata I dan strata II mendapatkan keuntungan. Ardiani (2009) melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan Agribisnis Telur Asin di Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: biaya operasional, harga jual produk, lamanya usaha, dan permintaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agribisnis telur asin di Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes memiliki volume rata-rata pada Strata I yaitu 5.510 butir per bulan; strata II yaitu 15.225 butir per bulan; dan strata III yaitu 69.333 butir per bulan. Biaya produksi rata-rata pada strata I, II, dan III secara berturut-turut yaitu Rp 60.259.902,5; Rp 188.209.887,5; dan Rp 870.794.316. Rata-rata penerimaan pada strata I, II, dan III sebesar Rp 66.700.300; Rp 223.730.125; Rp 1.007.323.750. Sehingga pendapatan rata-rata pada strata I, II, dan III sebesar Rp 6.141.128; Rp 34.205.138; dan Rp 121.184.880. Dari hasil tersebut maka agribisnis telur asin pada strata I, II, dan III 19
di Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Hermawan (2014) melakukan penelitian mengenai pendapatan usaha pembuatan telur asin di Kota Mataram. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan rumus-rumus pendapatan, Break Even Point, dan efisiensi usaha. Hasil penelitian menujukkan bahwa rata-rata pendapatan usaha pembuatan telur asin di Kota Mataram sebesar Rp 130.197.100 per tahun. Sementara, BEP untuk harga sebesar Rp 1.864 dan BEP untuk produksi rata-rata sebanyak 71.268 butir per tahun. Selain itu, analisis efisiensi usaha menunjukkan bahwa usaha telur asin yang dijalankan tergolong menguntungkan. Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata efisiensi dari usaha pembuatan telur asin di Kota Mataram menunjukkan angka lebih dari satu. 20