BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998). Para auditor yang melakukan proses audit pada laporan keuangan perusahaan seringkali disebut sebagai auditor independen (Arens dkk, 2003). Menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998), berdasarkan hasil audit laporan keuangan suatu entitas, maka auditor akan menyatakan suatu pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, dan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Hal itu berarti audit laporan keuangan bertujuan untuk menyatakan bahwa laporan keuangan yang diperiksa bebas dari salah saji material dan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku, sehingga informasi yang diberikan dapat lebih dipercaya untuk pengambilan keputusan. Menurut Arens dkk (2008), auditor menerima fee dari manajamen perusahaan dalam melakukan audit. Hal itu berarti, auditor pada dasarnya bekerja atas permintaan manajemen perusahaan. Namun, auditor harus tetap memiliki kebebasan yang cukup untuk melakukan audit sesuai dengan standar yang berlaku guna memenuhi kepentingan pihak ketiga (Novitasari, 2004). Dalam hal ini, investor atau pemegang saham sebagai salah satu pihak ketiga, dengan melalui proses audit dapat memperoleh keyakinan mengenai kualitas 1
2 informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Seperti pernyataan Boynton dkk (2002), bahwa fokus utama audit adalah menyajikan laporan keuangan auditan dan laporan auditor kepada investor, kreditor, dan pengguna lain. Oleh karena itu, independensi yang tinggi harus dimiliki oleh setiap akuntan publik. Sebagaimana yang diatur dalam standar umum auditing kedua, bahwa dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor (Agoes, 2012). Independensi berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, dan tidak tergantung pada pihak lain (Halim, 2001). Sehingga dalam praktiknya, independensi seharusnya menjadi dasar bagi seorang auditor dalam memberikan jasa auditnya kepada klien. Alasan banyaknya pengguna laporan keuangan yang bersedia mengandalkan laporan audit eksternal terhadap kewajaran laporan keuangan karena ekspektasi mereka atas sudut pandang yang tidak bias dari auditor (Arens dkk, 2008). Independensi pernah menjadi alasan runtuhnya salah satu Kantor Akuntan Publik besar, yaitu KAP Arthur Anderson, pada tahun 2001. Dalam kasus tersebut, Andersen melakukan fraud etika audit maupun hukum (www.aicpa.org, diakses tanggal 11 Nopember 2014) dengan perusahaan Enron. Hubungan kerjasama antara Andersen dan Enron sudah terjalin sejak tahun 1985. Masa perikatan yang sedemikian panjang menyebabkan menurunnya independensi oleh Andersen dengan keterlibatannya dalam praktik window dressing yang dilakukan oleh Enron dengan memberikan opini wajar tanpa pengecualian yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan keadaan internal perusahaan Enron.
3 Kasus Andersen tersebut membuktikan bahwa banyak faktor baik positif maupun negatif yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Kualitas audit didefinisikan sebagai probabilitas gabungan nilai pasar bahwa yang diberikan auditor yaitu menemukan pelanggaran dalam laporan keuangan dan melaporkan pelanggaran tersebut (deangelo, 1981). Kualitas audit menunjukkan adanya kecenderungan terdeteksinya suatu kecurangan atau penyimpangan pada laporan keuangan yang diperiksa, seperti yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bahwa audit yang dilakukan oleh auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu (Yansen, 2011). Dalam penelitian ini, kualitas audit diproksikan dengan opini going concern. Seorang auditor akan memberikan opini wajar dengan bahasa penjelasan jika terdapat kondisi yang menyebabkan auditor yakin tentang kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas (Agoes, 2012). Menurut Christiawan dalam Alim, dkk (2007) kualitas audit ditentukan oleh kompetensi dan independensi. Kasus Andersen merupakan salah satu contoh adanya faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit, yaitu independensi. Akibat kasus tersebut, muncul peraturan-peraturan mengenai jasa akuntan publik. Pemerintah Amerika Serikat menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk melindungi para investor dengan salah satu ketentuannya adalah membatasi KAP untuk memberikan jasa auditnya jika selama lima tahun berturut-turut jasa audit telah diberikan kepada klien oleh KAP tersebut. Pembatasan pemberian jasa audit kepada klien oleh KAP dengan melakukan pergantian
4 auditor dalam jangka waktu tertentu disebut dengan rotasi auditor. Peraturan Menteri Keuangan No. 17 Tahun 2008 memberikan syarat untuk merotasi tim audit setelah tiga tahun dan KAP setelah enam tahun. Peraturan tersebut mengindikasikan bahwa segala peraturan yang telah dibuat bertujuan untuk menghasilkan jasa audit yang berkualitas dengan mempertahankan independensi yang dimiliki oleh auditor. Kemudian, kompetensi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Menurut Lee dan Stone dalam Elfarini (2007), kompetensi merupakan suatu keahlian yang dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Dalam standar umum pertama menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai seorang auditor (Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 150, 1994). Hal itu berarti bahwa seorang auditor harus benarbenar ahli dalam memberikan jasa auditnya, antara lain dengan pemahaman yang memadai atas industri bisnis kliennya sehingga audit yang dihasilkan semakin dapat dipercaya publik karena dilakukan oleh seseorang yang berkompeten di bidangnya. Seperti yang diungkapkan oleh Wiguna (2012), bahwa auditor yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan yang berfokus pada industri tertentu disebut sebagai auditor spesialis. Dalam penelitian-penelitian di tingkat Strata 1, Febriyanti dan Mertha (2014) menguji pengaruh masa perikatan audit, rotasi kap, ukuran perusahaan klien, dan ukuran kap pada kualitas audit menunjukkan bahwa rotasi KAP tidak berpengaruh pada kualitas audit. Penelitian tersebut didukung oleh
5 Nuratama (2011) yang menguji pengaruh tenur dan reputasi kantor akuntan publik pada kualitas audit menunjukkan bahwa tenur atau masa perikatan audit berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang dibuat oleh dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas audit masih belum tercapai. Penelitian Ditriani (2013) menunjukkan bahwa spesialisasi auditor tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas audit, sedangkan Januarti (2009) dalam penelitiannya mengenai analisis pengaruh faktor perusahaan, kualitas auditor, kepemilikan perusahaan terhadap penerimaan opini audit going concern, menunjukkan bahwa kualitas auditor dengan menggunakan proksi spesialisasi auditor berpengaruh terhadap opini going concern. Hal tersebut didukung oleh Panjaitan (2014) yang menunjukkan bahwa spesialisasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Dari penelitian-penelitian tersebut, terdapat beberapa pengukuran rotasi audit, yaitu umumnya rotasi diukur dengan menggunakan variabel dummy, yang berarti variabel rotasi audit hanya diukur berdasarkan apakah perusahaan yang menjadi sampel penelitian melakukan rotasi audit atau tidak pada tahun tertentu, tanpa mempertimbangkan apakah perusahaan tersebut telah melakukan rotasi audit pada tahun-tahun sebelumnya dan berapa kali perusahaan tersebut melakukan rotasi audit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini rotasi audit diukur berdasarkan frekuensi dilakukannya rotasi Akuntansi Publik/Kantor Akuntan Publik pada suatu perusahaan sejak tahun 2008 atau tahun diberlakukannya peraturan mengenai kewajiban rotasi audit. Sedangkan variabel auditor spesialisasi industri, pada penelitian-penelitian terdahulu
6 memiliki pengukuran yang berbeda-beda. Menurut Wiguna (2012), hal itu dikarenakan masih belum ada perhitungan mengenai auditor spesialisasi industri yang terbukti paling relevan. Beberapa perhitungan mengenai auditor spesialisasi industri yang digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu, yaitu berdasarkan pangsa pasar perusahaan klien pada industri tertentu (Dunn dan Mayhew, 2004), berdasarkan total aset perusahaan klien (Hogan dan Jeter dalam Wiguna, 2012), dan berdasarkan jumlah klien dalam suatu industri (Balsam et al., 2003). Dalam penelitian ini, auditor spesialisasi industri diukur dengan menggunakan variabel dummy, dengan perhitungan auditor spesialisasi industri berdasarkan jumlah klien dalam suatu industri yang ditunjukkan dalam bentuk prosentase. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Rotasi Audit dan Auditor Spesialisasi Industri terhadap Kualitas Audit. B. Rumusan Masalah Apakah rotasi audit dan auditor spesialisasi industri berpengaruh terhadap kualitas audit? C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, data populasi dan sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-
7 2013, namun untuk menguji pengaruh rotasi audit dan auditor spesialisasi industri terhadap kualitas audit hanya terbatas pada tahun 2013. C. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis pengaruh rotasi audit terhadap kualitas audit. 2. Menganalisis pengaruh auditor spesialisasi industri terhadap kualitas audit. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat untuk berkontribusi dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya dengan tujuan apakah topik yang dikembangkan masih relevan untuk diteliti. Kontribusi yang dapat diberikan antara lain sebagai tambahan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya, selain itu penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai suatu kebijakan, terutama mengenai rotasi audit dan spesialisasi audit.