PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20 persen kebutuhan susu nasional. Saat ini konsumsi susu dalam negeri sebanyak 3,3 juta ton per tahun. Dari angka tersebut sekitar 2,6 juta ton masih bergantung pada negara lain. Sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu memproduksi susu segar sebesar 690 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2016). Berdasarkan dari data diatas pemerintah Indonesia mencanangkan pada tahun 2020 nanti negara akan mencapai swasembada susu untuk mencukupi kebutuhan susu masyarakat. Salah satu cara alternatif untuk mencapai program swasembada susu tahun 2020 adalah menggali potensi yang ada, yaitu dengan susu kambing. Kambing dapat dijadikan alternatif dalam rangka meningkatkan sumber protein hewani dan mempunyai prospek baik bagi peternak rakyat karena mudah dipelihara dan dikembangkan, serta lebih cepat berkembang biak dibandingkan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau. Peternakan kambing memegang peranan penting di desa-desa dalam usaha tani tradisional sebagai penghasil susu dan daging (Prasetyo, 2012). Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan bangsa kambing perah yang dapat hidup di daerah tropis, berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya, kambing PE digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih kecil di berbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia. (Devendra dan
Burns, 1994). Jumlah populasi kambing di Indonesia meningkat rata-rata 4,6% per tahun. Data dari BPS (2010) menyebutkan jumlah populasi kambing tahun 2000 sebanyak 16,8 juta ekor, meningkat sebanyak 3,5 juta ekor pada tahun 2010. Jumlah tersebut tersebar di 33 provinsi, populasi terbesar berada di wilayah Jawa Tengah sebanyak 3,5 juta ekor (20%), diikuti wilayah Jawa timur sebanyak 2.7 juta ekor (16%) dan wilayah Jawa Barat sebanyak 1,6 juta ekor (9,5%). Susu kambing memiliki perbedaan karakteristik dibanding susu sapi, yaitu warnanya lebih putih, globula lemak susunya lebih kecil sehingga lemak susu kambing lebih mudah dicerna, dan dapat diminum oleh orang yang alergi terhadap susu sapi (lactose intolerance), atau untuk orang orang yang mengalami berbagai gangguan pencernaan (Park et al., 2008). Susu kambing juga mempunyai sifat antiseptik alami dan bisa membantu menekan pembiakan bakteri dalam tubuh, serta tidak menyebabkan diare (Haenlein, 2004). Salah satu penyakit yang sering dijumpai dalam budidaya kambing Peranakan Etawa (PE) adalah mastitis, dalam bentuk mastitis klinis per akut disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Bleul et al., 2006). Staphylococcus aureus merupakan agen penyebab utama mastitis pada sapi perah maupun kambing (Pisoni et al., 2010). Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis maupun mastitis kronis (Graber et al., 2009). Mastitis pada kambing PE akibat infeksi Staphylococcus aureus selain dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat turunnya produksi susu juga dapat menjadi faktor penyebab kematian anak periode menyusui. Kasus mastitis pada kambing PE di wilayah Sleman sekitar Juni 2003 dilaporkan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak kambing PE (Purnomo et al., 2006). Kasus
mastitis yang sering dijumpai adalah mastitis subklinis, dengan tingkat kejadian dapat mencapai 90% yang disertai dengan penurunan produksi susu hingga 30% (Taylor dan Field, 2004). Kasus mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006 tercatat sekitar 75 83% (Sudarwanto et al., 2006). Rahayu (2009) melaporkan prevalensi mastitis subklinis mencapai 85% dan menyebabkan penurunan produksi susu sampai 15%. Kejadian mastitis subklinis pasca-erupsi Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah berkisar antara 35-62% dan penyebabnya didominasi oleh bakteri genus Staphylococcus sp. (Ditjennak, 2006; Sani et al., 2011). Tindakan pencegahan mastitis dapat dilakukan untuk menurunkan angka kerugian produksi susu yang diakibatkan mastitis. Teknik deteksi dini terhadap mastitis mulai banyak dikembangkan beberapa tahun terakhir ini, terutama untuk kasus mastitis subklinis. Deteksi mastitis subklinis cukup sulit dilakukan, disebabkan karena tidak disertai gejala klinis, sehingga diperlukan uji atau pemeriksaan khusus (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Metode diagnosa mastitis subklinis yang saat ini sering digunakan adalah penghitungan Somatic cell count (SCC) dan California mastitis test (CMT). Metoda diagnosa ini meskipun sering digunakan namun ada kelemahannya. Uji California mastitis test (CMT) menggunakan prinsip penambahan reagen yang serupa dengan detergen pada sampel susu, bakteri yang ada pada sampel susu akan mengalami lisis sel ketika direaksikan dengan reagen tersebut. Sel bakteri yang lisis tersebut melepaskan asam nukleat dan unsur unsur lainnya sehingga timbul bentukan gel (matrix consistency). Kekurangan dari metode ini adalah interpretasi hasil bersifat subyektif karena penilaian tingkat kekentalan gel masing-
masing individu pemeriksa berbeda-beda, sehingga besar sekali kemungkinan timbul hasil interpretasi false positive dan negative (Viguier et al., 2009). Metode diagnosa mastitis menggunakan Somatic cell counter (SCC) merupakan metode yang sering digunakan dalam diagnosa mastitis, tetapi tidak cocok pada semua hewan ternak penghasil susu. Metode penghitungan SCC dapat digunakan untuk uji mastitis pada sapi perah, tetapi kurang tepat untuk uji pada kambing. Pada kambing, tipe sekresi susu adalah tipe apokrin mengakibatkan jumlah SCC kambing cenderung tinggi pada keadaan normal (Persson and Olofsson, 2011). Penghitungan jumlah sel somatik pada susu lebih akurat dengan menggunakan alat penghitung otomatis (automated cell counter), namun membutuhkan biaya yang mahal dan terbatas pada pemeriksaan di labotratorium, selain itu tingginya jumlah sel somatik pada susu tidak hanya diakibatkan adanya infeksi (Pyörälä, 2003). Identifikasi mikroorganisme dengan cara kultur digunakan untuk menentukan agen penyebab mastitis secara laboratoris, metode kultur membutuhkan penanganan laboratoris yang intensif dan memakan waktu yang lama (Dingwell et al., 2012). Identifikasi S.aureus untuk skala laboratorium dapat dilakukan dengan cara konvensional dan secara molekular. Identifikasi S. aureus secara konvensional dengan isolasi dan identifikasi menggunakan berbagai media selektif dan biokemis, memiliki keterbatasan yaitu membutuhkan biaya serta waktu yang panjang. Metode identifikasi S. aureus secara molekular misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) memiliki kelebihan akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun kelemahan metode ini adalah dibutuhkannya biaya yang mahal, adanya kelemahan metode untuk mendeteksi mastitis
akibat S. aureus maka perlu kiat lain dengan upaya memanfaatkan biomarker yang dapat digunakan secara cepat dan tepat diaplikasikan pada semua hewan ternak penghasil susu. Parameter baru yang saat ini mulai dikembangkan untuk deteksi dini mastitis adalah mengukur konsentrasi haptoglobin (Hp), yang merupakan bagian dari grup protein darah yaitu acute phase protein (APP) (Safi et al., 2009; Singh et al., 2015). Haptoglobin pada susu dapat dijadikan sebagai marker spesifik, karena konsentrasi haptoglobin pada susu dari ambing yang sehat adalah rendah atau tidak terdeteksi (Eckersall et al., 2001; Grönlund et al., 2005). Peningkatan konsentrasi haptoglobin pada sapi perah terjadi saat mengalami mastitis (Hiss et al., 2004). Dalam penelitian ini dikembangkan teknik deteksi dini mastitis subklinis akibat Staphylococcus pada susu kambing berdasar biosensor haptoglobin. Dari hasil penelitian diharapkan didapatkan pengembangan teknik deteksi mastitis pada kambing secara dini, lebih cepat, dan sensitif. Permasalahan Dari latar belakang tersebut dapat disusun permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimanakah karakteristik fenotipik dan genotipik Staphylococcal penyebab mastitis subklinis pada lambing PE? b) Bagaimanakah karakteristik molekuler haptoglobin pada susu kambing PE? c) Bagaimanakah tingkat sensitivitas dan spesifisitas haptoglobin sebagai biosensor dalam mendeteksi adanya mastitis subklinis pada kambing PE?
d) Bagaimanakah peran haptoglobin sebagai biosensor dalam deteksi stafilokokal mastitis subklinis? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a) Mengetahui karakteristik fenotipik dan genotipik Staphylococcal penyebab mastitis subklinis pada lambing PE. b) Mengetahui karakteristik molekuler haptoglobin pada susu kambing PE. c) Menentukan tingkat sensitivitas dan spesifisitas haptoglobin sebagai biosensor dalam mendeteksi mastitis subklinis pada kambing PE. d) Membuktikan bahwa haptoglobin dapat digunakan sebagai biosensor dalam deteksi stafilokokal mastitis subklinis. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: a) Metode dalam identifikasi dan karakterisasi fenotipik dan genotipik Staphylococcal mastitis pada kambing PE dapat digunakan sebagai standar dalam penentuan agen penyebab mastitis subklinis secara pasti pada kambing PE di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta maupun sentra-sentra peternakan yang lebih luas di Indonesia.
b) Melalui penelitian ini diharapkan haptoglobin yang terdapat dalam sel somatik susu kambing PE dapat digunakan sebagai biosensor dalam deteksi mastitis subklinis pada kambing PE maupun ternak perah lain. c) Adanya korelasi antara kadar haptoglobin dalam susu kambing PE dengan tingkat keparahan mastitis diharapkan dapat memperkuat peran haptoglobin sebagai biosensor mastitis, sehingga dapat digunakan sebagai dasar tindakan pengendalian mastitis. d) Pembuktian akurasi haptoglobin sebagai biosensor dalam deteksi stafilokokal mastitis dapat digunakan untuk standar penentuan mastitis subklinis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat deteksi yang tepat dan dapat diaplikasikan untuk deteksi susu mastitis dengan jumlah sampel banyak. Keaslian Penelitian Metode diagnosa mastitis subklinis yang saat ini sering digunakan adalah penghitungan Somatic cell count (SCC) dan California mastitis test (CMT). Kekurangan dari metode ini adalah interpretasi hasil bersifat subyektif karena penilaian tingkat kekentalan gel masing-masing individu pemeriksa berbeda-beda, sehingga besar sekali kemungkinan timbul hasil interpretasi false positive dan negative (Viguier et al., 2009). Metode diagnosa mastitis menggunakan Somatic cell counter (SCC) kurang tepat untuk uji pada kambing karena tipe sekresi susu adalah tipe apokrin mengakibatkan jumlah SCC kambing cenderung tinggi meskipun dalam keadaan normal (Persson and Olofsson, 2011). Keaslian dalam penelitian ini adalah pengembangan deteksi mastitis subklinis berdasar
keberadaan haptoglobin yang merupakan acute phase protein (APP) yang akan muncul secara signifikan ketika terjadi inflamasi. Penelitian mengenai deteksi Staphylococcus aureus dan haptoglobin (Hp) pada susu kambing Peranakan Etawa (PE) belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian yang sudah banyak dilakukan adalah untuk deteksi mastitis pada sapi perah (Eckersall et al., 2006, Hiss et al., 2004, Hiss et al., 2007). Dalam penelitian ini dikembangkan deteksi mastitis subklinis pada kambing PE yang merupakan ternak indigenous di Indonesia, berdasar keberadaan haptoglobin yang merupakan acute phase protein (APP). Penelitian yang telah dilakukan oleh Hiss et al. (2007) adalah mengukur haptoglobin (Hp) dan lactate dehydrogenase (LDH) dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada sapi perah yang mengalami mastitis subklinis. Lakshmi et al., (2014), Thielen et al., (2005) dan Hiss et al., (2004) melakukan deteksi mrna haptoglobin pada serum manusia dan susu sapi perah yang mengalami mastitis. Dalam penelitian ini deteksi mastitis subklinis dilakukan berdasar keberadaan haptoglobin pada susu pada kambing PE, melalui metode ELISA dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Isolasi dan identifikasi molekular haptoglobin menggunakan analisis Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamid Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT PCR). Pengukuran konsentrasi haptoglobin menggunakan perangkat uji indirect ELISA. Kebaruan dalam penelitian ini adalah haptoglobin dari susu kambing PE yang telah diisolasi, diidentifikasi dan dikarakterisasi, diimunisasikan ke mencit sehingga diperoleh antibodi terhadap haptoglobin. Perangkat antigen (haptoglobin) dan antibodi terhadap haptoglobin digunakan
sebagai perangkat deteksi haptoglobin langsung dari susu kambing, melalui metode ndirect antigen capture ELISA, sehingga dapat diketahui secara lebih tepat berdasar peningkatan konsentrasi haptoglobin pada susu yang mengalami mastitis subklinis.