ASAL MULA DESA TALAKBROTO Pada suatu hari datanglah seorang wanita bernama Mbok Nyai (yang menurut penuturan masyarakat memang namanya adalah Mbok Nyai didapat dari para pengikutnya jika memanggilnya dan tidak ada yang tahu nama aslinya, sedangkan asal usulnya masih keturunan bangsawan Surakarta) bersama beberapa orang pengikutnya ke hutan yang bernama Lanji (sekarang Desa Talakbroto, Kabupaten Boyolali), mereka membawa peralatan lengkap termasuk peralatan perang. Setelah Pakubuwono III mangkat, di Mataram terjadi peperangan besar, perang saudara antara Pakubuwono III yang diangkat oleh Kompeni Belanda dan Mangkubumi yang memberontak dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta. Setelah semua reda tiba-tiba timbul lagi pemberontakan melawan Belanda oleh Raden Mas Sahid beserta pengikutnya, oleh karena gencarnya perlawanan Raden Mas Sahid maka Belanda menggunakan taktiknya yaitu memberikan sebidang tanah dan dijadikan raja diwilayah itu dengan gelar Mangkunegara I.
Tipu daya tersebut dirasa berhasil oleh Belanda, namun diberbagai wilayah masih terjadi pemberotakan oleh kelompok-kelompok kecil yang membuat keresahan bagi Belanda, Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Kerajaan Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Pada akhirnya keempat pihak tersebut dapat menekan kelompok-kelompok yang memberontak sehingga lari ke pelosok-pelosok dan hutanhutan. Dua orang kakak beradik laki-laki dan perempuan beserta pengikutnya terdesak dan melarikan diri sampai di pegunungan Kendeng Selatan (tepatnya sekarang di Desa Talakbroto, Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali. Kakak beradik tersebut bernama Kyai Pundung Kusuma dan Mbok Nyai, mereka berdua dan pengikutnya walaupun sudah terdesak namun kesemuanya bertekad baja untuk selalu berjuang melawan Belanda beserta anteknya. Mereka memperhitungkan dengan kekuatan mereka saat itu masih belum cukup untuk melawan Belanda maka mereka membuat dukuh tempat mereka diam guna menyusun kekuatan juga mengadakan latihan perang prajurit dan berkuda (disebelah barat Desa Talakbroto yang saat ini disebut Mukajaran). Sayang pada waktu itu Kyai Pundung Kusuma diketemukan meninggal dengan posisi terlentang
pada saat mengadakan latihan perang (tempat tersebut dinamakan Mbatangan dalam istilah Jawa artinya tempat bangkai), kemudian Mbok Nyai dan pengikutnya memakamkan jasad Kyai Pundung Kusuma diatas bukit dan orang menamakan tempat tersebut Makam Santono (terletak di sebelah utara Dukuh Pengkol Desa Talakbroto dan sampai saat ini orang masih mengeramatkan makam tersebut). Atas meninggalnya Kyai Pundung Kusuma, niat Mbok Nyai beserta para pengikutnya untuk melawan Belanda menjadi kendor namun niat untuk menyebarkan ajaran Agama Islam, melawan kebodohan dan kemiskinan tidak ikut terkubur bersama jasad Kyai Pundung Kusuma namun tertanam di benak mereka. Mbok Nyai ingin agar anak cucu penerus generasi bangsa kelak memiliki budi pekerti yang luhur (hal ini dijalani dengan talakbroto) suka menolong dan bergotong-royong dan dapat hidup tenteram. Sambil bertapa Mbok Nyai beserta pengikutnya membuka hutan untuk dijadikan tempat berdiam bagi masyarakat dan lahan untuk bercocok tanam dan membuat kolam untuk memelihara ikan. Untuk tanda/tetenger Mbok Nyai kemudian menanam pohon kelapa pada suatu tempat, seiring dengan
berjalannya waktu pohon kepala tersebut tumbuh dengan subur namun terjadi sebuah keajaiban, tidak ada seseorangpun yang berani memanjat pohon kelapa tersebut dan lebih aneh lagi tidak ada satupun pelepah kering yang jatuh dibawah pohon kelapa tersebut. Lama kelamaan disekitar pohon kelapa itu tumbuh, dibangun rumah-rumah penduduk, dan oleh Mbok Nyai tempat tersebut dinamakan Dukuh Krambilsawit (diambil dari kata Bahasa Jawa krambil sa uwit dalam Bahasa Indonesdia artinya satu pohon kelapa-terletak sebelah timur laut Desa Talakbroto), Alkisah pohon kelapa tersebut akhirnya mati karena termakan usdia dan daerah sekitarnya telah ditanami pohon-pohon kelapa oleh penduduk sebagai wujud melestarikan apa yang telah dimulai oleh Mbok Nyai. Konon Mbok Nyai memiliki pusaka ampuh untuk perlindungan yang berwujud sapu tangan, menurut cerita sapu tangan tersebut tidak pernah dikeluarkan dan jika dikeluarkan hanya bila menghadapi musuh. Kegunaan dari sapu tangan tersebut bila dikeluarkan dan direntangkan didepan musuh, maka musuh tidak dapat melihat Mbok Nyai beserta dengan pengikutnya. Pada sebuah malam bulan purnama Mbok Nyai beserta para pengikutnya berkumpul (seperti malam-malam
sebelumnya-digunakan sebagai ajang santai, berkelakar dan memberikan petuah kepada pengikutnya), Mbok Nyai memberikan petuah agar para pengikutnya memahami situasi yang dihadapi saat ini dan janganlah ada yang mengeluh tentang segala kekurangan dan permasalahan yang dihadapi untuk dapat diselesaikan bersama-sama, menurut nenek Mbok Nyai dukuh yang memiliki puncak yang tinggi adalah dukuh yang baik, penduduk yang tinggal disekitarnya akan makmur dan tenteram dan memiliki kebahagdiaan akherat sebagai lambang puncak tinggi tersebut apalagi diapit oleh dua buah sungai dan Mbok Nyai betutur pula bahwa dia akan menghabiskan sisa hidupnya ditempat tersebut. Tahun demi tahun berganti dan kesehatan Mbok Nyai semakin menurun termakan usdia yang sudah lanjut dan tak lama kemudian tutup usia akibat penyakit yang disandangnya, beliau dimakamkan diatas bukit sesuai dengan permintaannya bahwa bukit tersebut jangan digunakan sebagai tempat tinggal melainkan digunakan sebagai tempat untuk memakamkan jasadnya dan para pengikutnya. Sandal kayu (dalam Bahasa Jawa disebut gamparan) yang bdiasa Dia pakai diletakkan diatas makamnya. para pengikutnya merasa sedih dan mereka
lupa akan petuah Mbok Nyai agar mereka melestarikan apa yang sudah Mbok Nyai mulai, mereka pergi begitu saja meninggalkan apa yang telah mereka perjuangkan selama ini. Beberapa saat setelah meninggalnya Mbok Nyai datanglah seorang pengembara bernama Kyai Sakip (berasal dari Desa Rambat, Kelurahan Ngembat, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen), Kyai Sakip dikenal orang sebagai seorang yang taat menjalankan ibadah dan sakti mandraguna dibuktikan apabila Kyai Sakip datang atau pulang pasti terdengar suara kuda meringkik sebelumnya. Kesaktian Kyai Sakip juga dibuktikan dengan peninggalannya yang berupa kentongan kayu (sekarang berada di Masjid Ngaliyan, Desa Pelem, Kecamatan Simokentongan tersebut selalu dibawa oleh Kyai Sakip saat mengembara) saat bala tentara Belanda sampai di Simo untuk berpatroli mereka sampailah di Masjid Ngaliyan, entah mengapa kepala pasukan masuk ke Masjid kemudian buang air di kentongan tersebut, seketika itu pula bengkaklah kemaluan si kepala pasukan dan ia dilarikan oleh bala tentaranya menuju markas. Maksud dan tujuan Kyai Sakip sebenarnya adalah untuk mencari keberadaan peninggalan Mbok Nyai beserta
pengikutnya. Setelah mengetahui bahwa dalam membuat dukuh-dukuh peninggalan Mbok Nyai tersebut dengan menggunakan tarak broto maka Kyai Sakip menamakan daerah tersebut Dukuh Tarak-Broto yang lama kelamaan berubah sebutannya menjadi Talakbroto. Kemuadian Kayai Sakip juga membawa kedua anaknya Ki Tiyah (tinggal di Dukuh Talakbroto) dan Ki Secowijaya (tinggal di Dukuh Pulung Kalurahan Gunung Kecamatan Simo) untuk tinggal di Dukuh Talakbroto, kedua anaknya tersebut dibimbing agar selalu menjadi orang yang soleh, diajari cara bertani dan beternak ikan yang baik. Kyai Sakip juga membuat bendungan di Dusun Pancingan Kalurahan Walen (dinamakan Dusun Pancingan karena di tempat tersebut banyak tumbuh pohon pancing dan bendungan tersebut dinamakan Kedung Canggal), dengan kesaktiannya pula saluran air juga dibuat dengan tongkat keramatnya, mengalir melalui tepi Dukuh Pulung sebelah selatan Dukuh Talakbroto yang berakibat suburnya wilayah tersebut. Kyai Sakip dimakamkan di Makam Karang Duren Kalurahan Gunung dan dikeramatkan oleh penduduk setempat, dan tongkat keramatnya ditancapkan diatas pusaranya untuk menjadi pertanda.