BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hal ini memerlukan suatu variabel yang dapat digunakan untuk

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kesehatan yang memadai di kalangan masyarakat. Kesehatan harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN DOKTER DALAM PENULISAN RESEP SESUAI DENGAN FORMULARIUM RUMAH SAKIT UMUM R.A.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Analisis Penggunaan Obat di RSUD Kota Yogyakarta Berdasarkan Indikator WHO

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

DRUG RELATED PROBLEMS

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang profit maupun yang non profit, mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah Sakit dr. Raden Soedjati Soemodiardjo merupakan rumah sakit umum milik pemerintah daerah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG, DAN OBAT SALAH DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna dan tidak hanya sekedar bebas dari penyakit atau ketidakseimbangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Berdo a terlebih dahulu And Don t forget Keep smile

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit juga merupakan salah satu sarana kesehatan, dan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien. Upaya kesehatan tersebut dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep inilah yang menjadi pedoman dan pegangan tiap fasilitas kesehatan khususnya rumah sakit ( Depkes, 2009). 2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Instalasi farmasi adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan faarmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit (Depkes, 2009). Instalasi farmasi rumah sakit bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan 1

digilib.uns.ac.id 2 pembekalan kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi pasien rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup layanan langsung pada pasien dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Siregar dan Amalia, 2003). 3. Pengelolaan Obat Tahap Penggunanan Pengelolaan obat di rumah sakit harus mendapatkan perhatian khusus dari manajemen rumah sakit karena bila terjadi inefisiensi dalam pengelolaan obat akan berdampak negatif tehadap citra buruk rumah sakit. Tujuan pengelolaan obat yang baik di rumah sakit adalah ketersediaan obat setiap saat apabila diperlukan, dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang baik dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan bermutu (Gunawan, 2007). 4. Penggunaan Obat Rasional Penggunaan obat secara rasional adalah penggunaan obat yang tepat, efektif, aman, dan juga ekonomis (Depkes, 2000). Pengobatan secara rasional meliputi peresepan dengan tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat interval waktu pemberiannya, dan tepat lama pemberiannya (Priyadi dan Destiani, 2013). Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat (Depkes, 2000). Menurut Depkes (2000) penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika : a. Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru 2

digilib.uns.ac.id 3 b. Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yag terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis. c. Cara penggunaan tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian, dan lama pemberian. d. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat atau mengharuskan penyesuaian dosis, atau keadaan yang meningkatkan resiko efek samping obat. e. Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau keluarganya. f. Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya meningkatkan efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan, meningkatnya resistensi antimikroba, dan sebagainya (Depkes, 2000). 5. Indikator Penggunaan Obat WHO 1993 Indikator adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan dan memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran terhadap perubahanperubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Indikator tidak selalu menjelaskan 3

digilib.uns.ac.id 4 keadaan secara keseluruhan tetapi hanya memberikan petunjuk (indikasi) tentang keadaan keseluruhan tersebut sebagai suatu pendugaan (proxy) (Depkes, 2003). Suatu indikator memiliki persyaratan sebagai berikut (Depkes, 2003): a. Sederhana, yaitu sederhana dalam pengumpulan data maupun dalam rumus perhitungan untuk mendapatkannya. b. Dapat diukur, yaitu indikator yang ditetapkan harus mempresentasikan informasinya dan jelas ukurannya c. Bermanfaat, yaitu bermanfaat dalam pengambilan keputusan d. Dapat dipercaya, yaitu indikator yang ditetapkan harus dapat didukung oleh pengumpulan data yang baik, benar dan teliti e. Tepat waktu, yaitu dapat didukung oleh pengumpulan dan pengolahan data serta pengemasan informasi yang waktunya sesuai dengan saat pengambilan keputusan dilakukan Pada tahun 1993, WHO mengeluarkan panduan indikator utama untuk penilaian kerasionalan penggunaan obat. Indikator tersebut digunakan sebagai lini pertama dalam penilaian penggunaan obat. Indikator tersebut terutama digunakan di negara-negara berkembang. Indikator peresepan digunakan untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat menggambarkan secara langsung tentang penggunaan obat yang tidak sesuai (WHO, 1993). Tujuan khusus indikator penggunaan obat WHO 1993 adalah : a. Mendapatkan gambaran keadaan saat tertentu atas pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan/dokter. 4

digilib.uns.ac.id 5 b. Membandingkan pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang lain c. Penelitian berkala atas penggunaan obat spesifik d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat Indikator penggunaan obat yang dikembangkan WHO digunakan sebagai standar penggunaan obat pada pusat-pusat pelayanan kesehatan terdiri dari indikator inti dan indikator komplementer. Indikator inti WHO 1993 dapat dilihat pada tabel 1 (WHO, 1993) : Tabel 1. Indikator inti (WHO, 1993) : Indikator Parameter Penilaian Nilai Peresepan Rata-rata jumlah item obat per lembar 1,8-2,2 resep Persentase peresepan obat dengan 82% nama generik Persentase peresepan antibiotik 22,70% Persentase peresepan sediaan injeksi Seminimal mungkin Persentase peresepan obat sesuai 100% dengan formularium rumah sakit Pelayanan Rata-rata waktu untuk berkonsultasi 2,3-6,3 menit dengan dokter Rata-rata waktu dispensing obat 12,5-86,1 detik Persentase obat yang diserahkan pada 100% pasien Persentase obat yang telah dilabel 100% dengan benar Persentase pasien yang paham akan 100% cara penggunaan obat yang benar Fasilitas Ketersediaan formularium ada Persentase ketersediaan obat-obat 100% kunci (drug of choice) 5

digilib.uns.ac.id 6 6. Rata-Rata Jumlah Item Obat Per Lembar Resep Indikator rata-rata jumlah item obat yang digunakan per lembar resep digunakan untuk mengetahui terjadinya polifarmasi atau tidak. Resiko polifarmasi yang berat adalah timbulnya efek samping dan terjadinya interaksi obat yang akan meningkatkan secara konsisten dengan semakin banyaknya jumlah obat yang diberikan kepada pasien. Polifarmasi adalah pengguanaan dua atau lebih obat untuk satu diagnosis, atau penggunaan dua atau lebih obat dari kelas terapi yang sama (Kingsbury et al, 2001). Menurut rekomendasi terbaik WHO rata-rata jumlah item obat perlembar resep antara 1,8-2,2 (WHO, 1993). Menurut Mansjoer dkk. (1999) merupakan pengobatan setiap gejala terpisah sedangkan pengobatan terhadap penyakit primernya dapat mengatasi semua gejala, sedangkan menurut Bushardt et al. (2008) menyebutkan cakupan penggunaan obat yang mengarah pada tendensi polifarmasi yaitu ketika obat yang diresepkan tidak sesuai diagnosis, banyak obat, duplikasi obat, interaksi obat, dua atau lebih obat dari kelas terapi yang sama, dua obat untuk indikasi yang sama, dan lebih dari lebih dari lima obat. Polifarmasi terjadi terutama jika pasien menggunakan obat semakin banyak sehingga meningkatkan resiko interaksi obat (Walker dan Edward, 2003). 7. Obat Generik Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Depkes, 2010). Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai 6

digilib.uns.ac.id 7 oleh masing-masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-masing produknya, maka harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal. Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat dengan nama dagang yang umumnya lebih mahal. Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik, diperlukan langkah-langkah penegendalian mutu secara ketat (Depkes, 2000). Menurut Depkes (2000) agar upaya pemanfaatan obat generik dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka dibuatlah kebijakan yang mencakup komponen-komponen berikut : a. Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) b. Pengendalian mutu obat generik secara ketat c. Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan d. Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang e. Pergantian (subsitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unitunit pelayanan kesehatan f. Informasi dan komunikasi menegenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara berkesinambungan g. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02 02/Menkes/068/1/2010 mewajibkan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis yang bertugas di fasilitas kesehatan pemerintah menulis resep obat generik yang baik. Menurut indikator peresepan WHO 1993, persentase pemakaian obat dengan nama generik di unit pelayanan kesehatan adalah sebesar 82% (WHO, 1993). 7

digilib.uns.ac.id 8 Kebijakan obat generik sering mendapat hambatan dari para dokter oleh karena keraguan akan mutu produk. Untuk itu hasil dari pemeriksaan mutu dan informasi-informasi mengenai obat generik ini harus selalu dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun masyarakat. Namun, tidak akan membawa manfaat untuk mengharuskan dokter menulis resep generik, jika kenyataan suplai yang tersedia atau pemberian ke pasien masih dengan nama dagang. Dengan kata lain, pelaksanaan program generik harus didukung oleh semua pihak yang terkait (Depkes, 2000). 8. Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007). Diantara obat yang paling banyak digunakan secara tidak rasional ialah antibiotika, yaitu penggunaan secara berlebihan, seperti penggunaan untuk indikasi yang tidak jelas, penggunaan dalam dosis yang kurang, cara pemberian, waktu dan lama pemberian antibiotika yang tidak memadai. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat memberikan berbagai dampak negatif, antara lain timbulnya efek samping atau toksisitas yang tidak perlu, mempercepat terjadinya resisitensi, terjadinya resiko kegagalan terapi, bertambah beratnya penyakit pasien dan bertambah lamanya pasien menderita serta meningkatkan biaya pengobatan. Oleh karena itu WHO telah memprakarsai penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2009). 8

digilib.uns.ac.id 9 Kombinasi penggunaan antibiotik dimaksudkan untuk meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (sinergis), memperlambat dan mengurangi resiko timbulnya resistensi (Depkes, 2011 a ). Karena itu, jika dokter memberikan obat antibiotika, petunjuk pemakaiannya harus diperhatikan dan harus diminum sampai habis. Pemakaian antibiotika tidak boleh sembarangan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Hal itu menyebabkan antibiotika tidak boleh dijual bebas melainkan harus dengan resep dokter. Penggunaan antibiotika menurut indikator peresepan WHO di unit pelayanan kesehatan sebaiknya 22,70% dari seluruh peresepan obat selama waktu tertentu (WHO, 1993). 9. Sediaan injeksi Sediaan injeksi didefinisikan secara luas adalah sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral (Ansel, 1989). Penggunaan obat sediaan injeksi memiliki beberapa kerugian dalam penggunaannya, seperti dapat menyebabkan sepsis akibat pemberian langsung ke sirkulasi darah dan tidak steril, risiko kerusakan jaringan akibat iritasi lokal, harga yang lebih mahal, serta sulit dalam koreksi dan penanganan jika terjadi kesalahan pemberian (WHO, 1993). Menurut rekomendasi WHO, peresepan injeksi untuk pasien rawat jalan seminimal mungkin (WHO, 1993). 9

digilib.uns.ac.id 10 10. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sukoharjo didirikan sekitar tahun 1960 dengan nama DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) yang terdiri dari balai pengobatan, juru imunisasi, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan juru malaria. DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) merupakan awal beroperasinya RSUD Kabupaten Sukoharjo pada 14 Agustus 1960. Maksud didirikannya DKR adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya karena pada saat itu penyakit menular sedang mewabah. Pada perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang datang berobat ke DKR tersebut, maka pada tahun 1995 dengan keputusan Menkes No.III/MENKES/1995 menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo. Sejak tahun 1995 dengan Perda No. 18 tahun 1995 ditetapkan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo atau disingkat RSU Dati II Sukoharjo dan diakui sebagai RS tipe C. Satu tahun setelah itu, tepatnya 1996 berpredikat RSU Sayang Bayi. Setelah itu mengikuti Standarisasi Rumah Sakit melalui KARS dan pada tahun 1999 terakreditasi 5 bidang pelayanan, menyusul kemudian tahun 2003 terakreditasi 12 bidang pelayanan. Hingga pada akhirnya Lulus Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap dengan 16 bidang pelayanan pada tahun 2008. Tahun 2003 dengan Perda No. 09 tahun 2003 dari RSU Kabupaten Sukoharjo menjadi Badan RSUD Sukoharjo. Cakupan Badan RSUD Sukoharjo ± 4 kecamatan yaitu: Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kecamatan Mojolaban, Kecamatan Nguter. Pada tahun 2008 berubah namanya menjadi 10

digilib.uns.ac.id 11 RSUD Kabupaten Sukoharjo sesuai dengan Perda No. 4 tahun 2008. Pada bulan Juli 2009, RSUD Kabupaten Sukoharjo telah divisitasi dari Depkes RI dengan predikat layak menjadi RS kelas B Non Pendidikan dan pada akhirnya pada bulan September 2009 ditetapkan dengan Kep. Menkes.No829/Menkes/SK/IX/2009 menjadi RS B Non Pendidikan. Pada tanggal 27 Agustus 2011 dengan keputusan Bupati No.900/542/2011 ditetapkan menjadi RS BLUD. 11

digilib.uns.ac.id 12 B. KERANGKA PEMIKIRAN Pengobatan adalah hal penting dalam mencegah dan mengobati penyakit untuk memelihara kesehatan. Kualitas dan efektivitas pengobatan dilihat dari rasionalitas peresepan obat, meliputi pemberian obat sesuai dengan kebutuhan klinik pasien, dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin. Penggunaan obat yang tidak rasional memberikan dampak berupa pemborosan anggaran dana, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diharapkan, timbulnya resistensi obat dan interaksi obat. Penilaian terhadap rasionalitas obat dapat dilihat dari indikator peresepan. Mengacu pada Indikator peresepan WHO 1993 : 1. Rata-rata jumlah item obat per lembar resep. 2. Persentase peresepan obat dengan nama generik. 3. Persentase peresepan antibiotik. 4. Persentase peresepan sediaan injeksi. Sesuai Indikator Tidak Sesuai Indikator Rasional Tidak Rasional Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 12

digilib.uns.ac.id 13 C. KETERANGAN EMPIRIK Dalam penelitian yang dilakukan Desalegn (2013) mengenai penilaian penggunaan obat pada pasien dengan menggunakan indikator peresepan di beberapa Rumah Sakit di Etiopia Selatan memperoleh hasil rata-rata jumlah item obat per resep 1,9, persentase peresepan obat dengan nama generik 98,7%, persentase penggunaan antibiotik 58,1%, persentase peresepan injeksi 38,1 %, persentase peresepan obat sesuai dengan formularium rumah sakit 98,7%. 13