BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2006). Perkembangan ukuran bola mata sama seperti perkembangan tubuh manusia. Ukuran bola mata bayi akan lebih kecil ketimbang ukuran bola mata orang dewasa. Hal ini berarti dari masa bayi hingga masa dewasa sebetulnya terjadi perkembangan pada ukuran atau dimensi bola mata. Pada 2 (dua) tahun pertama yang sangat berkembang adalah sistem optik di depan mata (segmen depan), yaitu sebesar 60 %. Seteh usia 2 (dua) tahun segmen depan masih berkembang tapi sudah tidak begitu pesat. Namun segmen belakang akan tumbuh pesat saat usia anak berkisar 5-15 tahun yang kemudian menjadi lambat perkembangannya dan berhenti sekitar usia 18 tahun. Oleh karena itu pemeriksaan mata setelah 5 tahun telah perlu dilakukan secara teratur. Namun angka kebutaan terus meningkat, dimana 10% dari 66 juta anak usia sekolah menderita kelainan refraksi. Supartoto, 2006 menuturkan bahwa kelainan refraksi tidak hanya mengganggu secara fisik tetapi juga dari segi sosial ekonomi, dimana penderita harus bergantung terhadap kaca mata atau lensa kontak sepanjang hidupnya. Jika tidak ditangani sungguh-sungguh akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran yang selanjutnya
mempengaruhi mutu, kreativitas, bahkan aspek psikologis dan produktivitas angkatan kerja. Pada gilirannya akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional. Kendala penanganan kesehatan mata, antara lain belum memadainya jumlah tenaga kesehatan terkait dibanding jumlah penduduk (Nyimasy, 2002). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya ada 45 juta penduduk dunia yang menderita kebutaan dan 135 juta penduduk lainnya menderita penglihatan kurang (low vision), sekitar 90% di antaranya berada di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Prevalensi dunia untuk kelainan refraksi WHO tahun 2007 diperkirakan mencapai 800 juta sampai 2,3 milyar orang, yang didominasi dewasa usia 16-49 tahun sebanyak 450 juta. Indonesia menempati urutan pertama dengan prevalensi sebesar 1,5 % dari jumlah penduduk. Departemen Kesehatan RI tahun 1998 nenunjukkan bahwa masalah kebutaan di Indonesia sebesar 1,5% (Depkes, 1998). Prevalensi kelainan refraksi diberbagai negara yakni di Amerika Serikat, sekitar 25% dari penduduk dewasa menderita miopia, di Jepang, Singapur, dan Taiwan, persentasenya jauh lebih besar, yakni mencapai sekitar 44%. Di Australia, secara keseluruhan prevalensi miopia telah diperkirakan 17%, di Brazil pada tahun 2005 diperkirakan sebanyak 6,4% antara usia 12-59 tahun (Nurrobbi, 2010). Sekitar 148 juta atau 51 penduduk di Amerika Serikat memakai alat pengkoreksi refraksi. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jaun di Amerika Serikat berkisar 3% antara usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahuan dan
25% antara usia 12-17 tahun. Cina memiliki insiden rabun jauh lebih tinggi pada seluruh usia. Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan 84% pada usia 16-18 tahun (Patu, 2010). Berdasarkan survei kesehatan indra ada sekitar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan yang salah satunya disebabkan oleh kelainan refraksi (0,14%). Sementara pada tahun 1998 Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa gangguan penglihatan akibat kelainan refraksia dengan prevalensi 22,1% juga menjadi masalah serius jika tidak cepat di tangani. Katarak penyebab kebutaan yang paling tinggi di Indonesia terutama katarak yang diderita pada orang tua atau katarak senile. Kelainan refraksi yang menempati urutan ketiga penyebab kebutaan (Kusumadjaya, 2009). Menurut perhitungan WHO, tanpa ada tindakan diperkirakan pada 2020 jumlah penduduk dunia penderita kebutaan menjadi dua kali lipat, 80 juta hingga 90 juta orang. Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/WSD) ini bertujuan untuk menyukseskan global vision 2020 : The Right to Sight, yang merupakan inisiatif global untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020. Dalam program Vision 2020, The Right to Sight, diharapkan semua orang mempunyai hak untuk mendapatkan penglihatan yang optimal, yaitu tajam penglihatan 20/20 atau 6/6 penglihatan normal (Kusumadjaya, 2009).
Kebutaan yang nantinya akibat kelainan refraksi bukan hanya mengganggu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara. Sehingga dibutuhkan adanay skrining mata dapat mendeteksi kelainan refraksi sedini mungkin agar tidak mempengaruni faktor ekonomi dalam mencari pekerjaan, hubungan sosial dan lainlain (Nyimasy, 2002). Kebanyakan anak secara fisiologis adalah hipermetropia pada waktu lahir, tetapi sejumlah kasus, terutama bayi baru lahir prematur adalah miopia dan sering ada sedikit astigmatisma. Dengan pertumbuhan keadaan refraksi cenderung untuk berubah dan harus dievaluasi secara periodik. Insidensi miopia selama tahun-tahun sekolah, terutama sebelum dan usia sepuluhan. Tingkat miopia semakin tua juga cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan dan segmen belakang akan tumbuh pesat saat usia anak berkisar 5-15 tahun yang kemudian menjadi lambat perkembangannya dan berhenti sekitar usia 18 tahun. Oleh karena itu pemeriksaan mata setelah 5 tahun telah perlu dilakukan secara teratur (Nelson, 2000). Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 30 Maret 2011 disalah satu sekolah yaitu SD dan SMP Era Ibang Medan dengan jumlah siswa/i sebanyak 315 orang, dimana jumlah siswa/i SD sebanyak 206 orang serta jumlah siswa/i SMP sebanyak 109 orang, dan terdapat 5 siswa/i yang telah menggunakan alat bantu seperti kaca mata untuk melihat yang masih aktif sekolah pada tahun ajaran 2011-2012. Berdasarkan informasi yang didapat dari kepala
sekolah belum ada suatu tindakan skrining atau pemeriksaan dini dari pelayanan kesehatan setempat untuk pemeriksaan mata, khususnya pada siswa/i usia sekolah. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011. 2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah Bagaimanakah kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011? 3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011 4. Manfaat Penelitian 4.1. Bagi Pendidikan Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah informasi yang dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kelainan refraksi. 4.2. Bagi Masyarakat Atau Siswa/i Diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa/i SD dan SMP Era Ibang Medan mengenai kelainan refraksi dan pencegahan kelainan refraksi.
4.3. Bagi Peneliti Penelitian ini sebagai dasar untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan dan untuk lebih mengetahui kelainan refraksi pada usia sekolah SD dan SMP. 4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam lingkup penelitian yang sama.