PERBEDAAN VISUALISASI ATRIBUT DAN STRUKTUR TUBUH WAYANG KULIT PURWA PADA TOKOH ANTAREJA GAYA YOGYAKARTA DENGAN GAYA SURAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS

MOTIF WAYANG CERITA ARJUNA WIWAHA PADA PEMBATAS RUANG PROSUKSI OEMAH WAYANG MAJU KARYA PUCUNG

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB II SIKAP NASIONALIS TOKOH KUMBAKARNA

KARAKTERISASI BENTUK TOKOH SUGRIWA WAYANG KULIT RAMAYANA GAYA SUKAWATI

MOTIF WAYANG CERITA ARJUNA WIWAHA PADA PEMBATAS RUANG PRODUKSI OEMAH WAYANG MAJU KARYA PUCUNG, IMOGIRI, BANTUL SKRIPSI

diciptakan oleh desainer game Barat umumnya mengadopsi dari cerita mitologi yang terdapat di Di dalam sebuah game karakter memiliki

PERANCANGAN VISUALISASI TOKOH WAYANG BAMBANG TETUKA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN...

BAB II LANDASAN TEORI

RUPA WAYANG KULIT GAGRAK SURAKARTA TOKOH WERKUDARA

KEKAYAAN RAGAM HIAS DALAM WAYANG KULIT PURWA GAGRAK SURAKARTA (SEBAGAI INSPIRASI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL)

Bab VI Simpulan & Saran

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB II KARAKTERISTIK BUSANA ETNIK

Gambar 3.1 Busana Thailand Berbentuk Celemek Panggul, Kaftan atau Tunika

1 I Made Bandem, Ensiklopedi Tari Bali, op.cit., p.55.

Kata Kunci: Iklan Layanan Masyarakat, Ikonografi, Gatutkaca

TRANSFORMASI BAHASA RUPA WAYANG KULIT PURWA PADA PERANCANGAN MUSEUM WAYANG KEKAYON BANTUL YOGYAKARTA

TOKOH PANDAWA SEBAGAI IDE DASAR PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK DIGITAL IMAGING

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PERSYARATAN PAKAIAN STUDENT DAY 2016 UNIVERSITAS UDAYANA

Karakterisasi Bentuk Tokoh Anoman Dalam Wayang Kulit Ramayana Gaya Sukawati

BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

RIASAN WAYANG WONG TOKOH RAHWANA DAN ANOMAN KISAH RAMAYANA DI TAMAN HIBURAN RAKYAT SURABAYA

Universitas Sumatera Utara

Written by Anin Rumah Batik Tuesday, 06 November :59 - Last Updated Tuesday, 06 November :10

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

BAB II WAYANG KULIT GAGRAK SURAKARTA. kulit meliputi seni pahat, seni lukis, seni sastra, seni tutur, seni

BAB III CELENG SEBAGAI TEMA DALAM KARYA SENI LUKIS. A. Implementasi Teoritis

MENGAPRESIASI KARYA SENI LUKIS

BAB V PENUTUP. 1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wayang Rumput (Wayang Suket) Menurut berbagai sumber, pada mulanya Wayang Rumput (Wayang

DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diolah secara fantasi, dengan menggunakan potongan three pieces menggunakan tiga

Tata Rias Tokoh Dewi Sinta Dalam Pertunjukan Sendratari Ramayana di Prambanan

Arty: Journal of Visual Arts

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA

Desain Kerajinan. Unsur unsur Desain. Titik 9/25/2014

Gambar 5.1 Desain judul

PERANCANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR LEGENDA GUNUNG ARJUNAUNTUK ANAK SEKOLAH DASAR ARTIKEL SKRIPSI. Oleh : DIAN RATRI WIJAYANTI

WAYANG KULIT BIMA SEBAGAI SUMBER INSPIRASI DALAM KARYA SENI GRAFIS

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Niat, kerja keras, kerjasama dan kesabaran adalah kunci utama

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Rancangan kostum pada tokoh Rampak Kera dalam The Futuristic of

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

WAYANG SUKET PURBALINGGA KARYA BADRIYANTO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

MERIAS WAJAH PENGANTIN UNTUK BENTUK WAJAH BULAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB III METODE PENELITIAN

WALI KOTA BEKASI PROVINSI JAWA BARAT

BAHAN AJAR. Tata Rias Korektif Wajah

Keindahan Desain Kalung Padu Padan Busana. Yulia Ardiani (Staff Teknologi Komunikasi dan Informasi Institut Seni Indonesia Denpasar) Abstrak

Kreativitas Busana Pengantin Agung Ningrat Buleleng Modifikasi

WAYANG SUKET PURBALINGGA KARYA BADRIYANTO

TAYUB NINTHING: TARI KREASI BARU YANG BERSUMBER PADA KESENIAN TAYUB

- 1 - PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG

BAB IV VISUALISASI. Visualisasi pada proyek perancangan ini adalah terciptanya desain batik tulis

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

makna lambang dan atribut PASKIBRAKA Posted by asrida rida harmoko - 05 Oct :48

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II TARI SIGEH PENGUTEN LAMPUNG

CIREBON KERATON NO KEKKON SHIKI NO FUKU

- 2 - Geofisika Nomor 17 Tahun 2014 tentang Organisasi dan

BAB IV KAJIAN VISUAL PADA KOSTUM DAN GERAK TARI KESENIAN SURAK IBRA

KAJIAN KOMPARATIF DESAIN BUSANA NASIONAL WANITA INDONESIA KARYA BARON DAN BIYAN DENGAN KARYA ADJIE NOTONEGORO

DISAIN TATA RIAS DAN BUSANA SENDRATARI SUMUNARING ABHAYAGIRI DIPENTASKAN DI KOMPLEKS TAMAN WISATA CANDI BOKO. Oleh: Pramlarsih Wulansari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Gambar 6 Gelungan Telek dari Banjar Kawan Foto: Ayu Herliana, 20011

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

PERANCANGAN KARAKTER WAYANG TETUKA UNTUK LANJUTAN CERITA SAAT KE LUAR DARI KAWAH CANDRADIMUKA

BAB III PAKAIAN ADAT TRADISIONAL DAERAH BUKIT HULU BANYU KALIMANTAN SELATAN

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

BAB II METODE PERANCANGAN

2016, No Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pe

Aulia 1*, Onggal Sihite 2*

Wayang dan Mahabharata. Written by Pitoyo Amrih Saturday, 23 August :57 - Last Updated Saturday, 23 August :16

4.1 Bentuk Wajah Oval dan koreksinya Make-up style untuk bentuk wajah oval yaitu : Shading : Berbeda dengan karakter wajah yang lain, teknik shading

KEPALA BADAN SAR NASIONAL

NOMOR : 12 TAHUN 2010

PROSES PERANCANGAN BUKU VECTOR RAGAM HIAS WAYANG GAGRAK SURAKARTA

Pakaian tradisonal Iban

TATA RIAS DAN BUSANA TARI PADMA MUSTIKANING KRIDA

BAB I PENDAHULUAN. idividu maupun sosial. secara individu, upacara pengantin akan merubah seseorang

ANIMASI FILM TOKOH PANDAWA DAN KURAWA SEBAGAI HASIL KREATIVITAS SENIMAN YANG MENGANDUNG FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT JAWA

MODEL, BENTUK, PENGGUNAAN, UKURAN, ATRIBUT, DAN KELENGKAPAN PAKAIAN DINAS PEGAWAI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

TATA TERTIB PESERTA BAKSOS SYNAPSE Oktober 2017

BAB V KONSEP. Combined Metaphore dengan menggunakan objek yang dimetaforakan adalah. wanita Bali dan keseharian berpakaian wanita Bali.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

Tinjauan Visual Tokoh Wayang Tengul.. TINJAUAN VISUAL TOKOH WAYANG TENGUL DI BOJONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya kebudayaan. Beberapa kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Jurnal Pendidikan Seni Rupa, ANALISIS VISUAL PATUNG RORO KUNING DI TEMPAT WISATA AIR TERJUN RORO KUNING KABUPATEN NGANJUK

Transkripsi:

1 PERBEDAAN VISUALISASI ATRIBUT DAN STRUKTUR TUBUH WAYANG KULIT PURWA PADA TOKOH ANTAREJA GAYA YOGYAKARTA DENGAN GAYA SURAKARTA Nanang Prisandy, Lilik Indrawati, dan Ike Ratnawati Universitas Negeri Malang E-mail: nanangqoseem@gmail.com ABSTRAK: Tujuan dari penelitian ini adalah mendiskripsikan perbedakan visualisasi atribut dan struktur tubuh pada tokoh Antareja Yogyakarta dengan Surakarta. Sumber data utamanya adalah wayang kulit Antareja Yogyakarta dan Surakarta. hasil dari penelitian ini adalah perbedakan atribut dan struktur tubuh (sanggul, jamang, sumping, garuda mungkur, dewala, ulur-ulur, kelat bahu, gelang tangan, praba, sabuk/paningset, pending, badong, kampuh, uncal wastra, uncal kencana, kunca, seluar terluar, seluar panjang, krocong, muka, mata, mulut, hidung, badan, tangan, kaki) pada Antareja Yogyakarta dengan Antareja Surakarta. Kata Kunci: Wayang, visualisasi, tokoh Antareja Yogyakarta dengan Surakarta Wayang adalah artefak seni budaya tradisi. Menurut Mulyono (1978: 44) pada jaman dahulu wayang berfungsi sebagai upacara untuk menghormati dewa-dewa. Berangsurangsur wayang telah mengalami perubahan fungsi hingga saat ini. Mulamula wayang sebagai media ritual keagamaan, berubah menjadi media hiburan dan media pendidikan. Itu tandanya wayang sangat diterima oleh setiap kalangan masyarakat pada setiap zamannya. Penerimaan wayang sebagai bagian dari masyarakat tersebut, karena wayang banyak memiliki nilai seni di dalamnya. Mulai nilai seni peran atau drama, nilai seni musik, nilai seni rupa, dan nilai seni suara. Keunikan lain dari wayang adalah jenisnya yang beragam, salah satunya adalah wayang kulit purwa, wayang kulit purwa adalah pertunjukan wayang yang terbuat dari kulit yang mengangkat cerita Mahabarata, Ramayana, Lokapala, dan Arjunasasrabahu. Pada cerita Mahabarata ada tokoh Pandawa yang sangat popular, yaitu Bima atau Warkudara. Menurut cerita pewayangan gaya Yogyakarta Bima atau Warkudara memiliki tiga orang putra yaitu Antareja, Gatutkaca dan Antasena. Sunarto (2004: 90), mengungkapkan bahwa: Ia memiliki istri beberapa orang, antara lain Dewi Nagagini putra Hyang Anantaboga, di Saptopertala memiliki putra Antareja. Dewi Arimbi putra Prabu Arimbaka di Pringgadani memiliki putra Gatutkaca dan Dewi Urangayu putri Batara Mintuna di Narpada memiliki putra Antasena. Namun pada cerita pewayangan Mahabarata gaya Surakarta, Bima atau Warkudara hanya memiliki dua orang putra yaitu Antasena dan Gatutkaca. Aizid (2011: 292), mengungkapkan bahwa: Para dalang daerah Surakarta ke Timur, pada umumnya menganggap bahwa Antasena adalah nama lain dari Antareja. Hardjowirogo (1982: 181) juga menyatakan bahwa: Raden Antasena putra Werkudara yang tertua dari perkawinannya dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Antabuga, dewa ular di Septapratala. Antasena juga bernama Antareja dan terhitung sebangsa dewa. Mengenai latar belakang dari putra-putra Bima ini, Sucipto (2002: 37)

2 mengungkapkan bahwa: tokoh Antasena hanya ada dalam kisah wayang gubahan Jawa, disamping itu cerita wayang gubahan Yogyakarta membedakan jelas, antara Antareja dan Antasena sebagai dua tokoh yang berbeda, sementara wayang versi Surakarta, Antareja dan Antasena adalah dua tokoh yang sama dengan nama yang berbeda. Dari keterangan Sucipto tersebut sangat jelas bahwa gaya Yogyakarta membedakan antara Antareja dan Antasena, namun pada gaya Surakarta Antareja dan Antasena adalah satu orang dengan dua nama. Namun di daerah Surakarta ke Timur atau bisa disebut dengan daerah Metaraman, para dalang saat ini menggunakan wayang Antareja yang visualisasinya berbeda dengan Antasena. berdasar permasalahan ini, penulis bermaksud menemukam perbedaan visualisasi dari Antareja gaya Surakarta yang digunakan oleh para dalang di daerah Metaraman dengan visualisasi Antareja gaya Yogyakarta. Tentang visualisasi Antarteja pada pewayangan gaya Yogyakarta, Sunarto (2004: 102) menyatakan bahwa: tampilan Antareja bermuka dalam posisi menunduk, dengan mata thelengan, berhidung bentulan dan bermulut gethetan. Bermahkota gelung sapiturang, dengan popok jarot asem, sumping pandhan binethon, memakai praba, badan dibya (gagah) dengan memakai ulur-ulur nagapasa, jangkahan raton dengan konca bayu. Memakai gelang candrakirana dan motif kain poleng seperti ayahnya Bima. dari keterangan Sunarto tersebut penulis akan melihat perbedaan visualisasi atribut dan struktur tubuh pada tokoh Antareja gaya Yogyakarta dengan gaya Surakarta. METODE Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan penelitian diskriptif kualitatif, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah berusaha mengungkapkan, menggambarkan dan menjelaskan data hasil temuan yang berupa perbedaan visualisasi dari tokoh Raden Antareja gaya Surakarta dengan gaya Yogyakarta. Ghoni dan Almanshur (2012: 29) menyatakan bahwa: penelitian kualitatif memiliki dua tujuan utama, yaitu pertama, menggambarkan dan menggungkapkan (to describe and explore); kedua, menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain). Sumber data utama dari penelitian ini adalah wayang kulit Antareja gaya Yogyakarta dan wayang kulit Antareja gaya Surakarta. sumber data pendukungya adalah Bapak Suwarni sebagai informan, beliau bertempat tinggal di Trenggalek Ds. Gondang Kec. Tugu, beliau berprofesi sebagai penatah wayang kulit gaya Surakarta. Dari sumber data utama dan sumber data pendukung tersebut akan dijaring data tentang atribut dan struktur tubuh. Atribut tokoh Antareja bagian atas meliputi sanggul, jamang, sumping, garuda mungkur, dewala. Atribut Antareja bagian tengah meliputi ulur-ulur, kelat bahu, gelang tangan, praba. Atribut Antareja bagian bawah meliputi sabuk/paningset, pending, badong, kampuh, uncal wastra, uncal kencana, kunca, seluar terluar, seluar panjang, krocong. Struktur tubuh Antareja bagian atas meliputi muka, mata, mulut, hidung. Struktur tubuh Antareja bagian tengah meliputi badan, tangan. Struktur tubuh Antareja bagian bawah yaitu bagian kaki. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara untuk menjaring data tentang visualisasi atribut dan struktur tubuh tokoh

3 Antareja Yogyakarta dan Surakarta. Sugiyono (2013: 245) menyatakan bahwa: analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Pada penelitian ini menggunakan analisis data triangulasi. Sugiyono (2012: 333) menyatakan bahwa: dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacammacam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. HASIL Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian atas Antareja Gaya Yogyakarta dan Antareja Gaya Surakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Atas Antareja Yogyakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Atas Antareja Surakarta Sumping Garuda mungkur Jamang Gelung sanggul Sumping Popok jarot asem Garuda mungkur Gelung sanggul Bagian Wajah Ulat-ulat kumis Bagian Wajah Godren kumis Sanggul yang dipakai oleh Antareja Yogyakarta adalah sanggul supit urang dengan popok jarot asem pada bagian lungsen depan bawah, memakai mangkara mata satu dengan satu taring luar dan tanpa taring dalam, mangkara tersebut berfungsi sebagai kancing atau pengikat gelung. Dengan sumping pudak sinumpet pada bagian atas telinga. Antareja Surakarta juga memakai jenis sanggul supit urang. Sanggul supit urang Antareja Surakarta lebih rumit dibandingkan dengan sanggul Antareja Yogyakarta, meskipun sama-sama jenis sanggul supit urang. Pada sanggul supit urang Antareja Surakarta memiliki banyak bagian diantaranya adalah sumping sekar kluwih dengan dewala susun lima, jamang susun tiga, garuda mungkur dengan utah-utahan kinara wistha dan tetali. Antareja Yogyakarta tidak memakai jamang, sementara Antareja Surakarta memakai jamang susun tiga. Antareja Yogyakarta memakai sumping pudak sinumpet. Sedangkan sumping Antareja Surakarta berjenis sumping

4 sekar kluwih. Sumping sendiri memiliki fungsi sebagai penghias telinga. Antareja Yogyakarta tidak memakai garuda mungkur untuk pengikat gelung, namun sebagai pengikat gelung memakai Mangkara mata satu dengan satu taring luar dan tanpa taring dalam. Sedangkan Antareja Surakarta memakai jenis garuda mungkur bermata dua dengan dua taring, taring luar dan taring dalam. Dengan tetali dan utah-utahan kinara wistha. Wajah Antareja Yogyakarta adalah wajah dengan karakter satria dengan warna hitam, dengan mata thelengan bulat tunduk, dengan hidung bentulan, memilki rengu dan otot, mulut gethetan, dengan ulat-ulatan warna merah. Posisi wajah menunduk. Seperti halnya Antareja Yogyakarta wajah Antareja Surakarta juga merupakan wajah satria, dengan warna hitam, bermata thelengan bulat, bermulut gethetan, dan hidung benthulan. Dengan rengu dan otot. Mata Antareja Yogyakarta adalah jenis mata thelengan bulat, dengan posisi menunduk. Bentuk bulat atau bunder seser. Dengan ulat-ulatan alis warna merah dan warna emas. Mata thelengan diidentikkan dengan tokoh wayang jangkahan yang bertubuh keras atau singset. Sedangkan pada Antareja Surakarta juga disebut mata thelengan bulat, posisinya menunduk, dan merupakan jenis mata bagi tokoh satria dengan ulat-ulatan alis berwarna emas. Bagian luar dan dalam mata terdapat godren. Mulut pada Antareja Yogyakarta berjenis mulut gethetan, dengan anak gigi depan pada susunan giginya. Gigi dengan sunggingan warna emas berjumah 4 dengan anak gigi depan. Di atas mulut terdapat ulat-ulatan kumis warna merah. Sedangkan pada mulut Antareja Surakarta juga berjenis gethetatan, struktur gigi memiliki 4 gigi dengan satu anak gigi depan, dengan ulat-ulatan kumis berupa godren. Hidung pada Antareja Yogyakarta adalah hidung benthulan. Hidung benthulan adalah hidung dengan bentuk menyerupai buah soka (benthul). pada tepian lubang hidung terdapat garis warna merah. Hidung benthulan biasanya dipakai oleh tokoh yang bermata thelengan. Hidung pada Antareja Surakarta juga disebut Hidung Benthulan. Pada tepi lubang hidung terdapat garis lengkung dengan godrenan, sedangkan pada lubang hidung Antareja Yogyakarta berupa garis lengkung merah.

5 Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian Tengah Antareja Gaya Yogyakarta dan Antareja Gaya Surakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Tengah Antareja Yogyakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Tengah Antareja Surakarta Kelat Bahu Praba Kalung ulur-ulur Kalung ulur-ulur Kelat Bahu Gelang tangan Badan Badan Gelang tangan Tangan Tangan Kalung ulur-ulur pada Antareja Yogyakarta dan Antareja Surakarta disebut kalung ulur-ulur nagapasa atau naga karangrang, kalung ulur-ulur sendiri berfungsi sebagai hiasan, sebagaimana kalung yang digunakan sebagai hiasan bagian leher, namun kalung ulur-ulur ini tidak hanya penghias bagian leher, tetapi juga hiasan pada bagian badan atau dada. Kelat bahu pada Antareja Yogyakarta dan Antareja Surakarta disebut dengan kelat bahu naga mangsa atau ngangkrangan. Kelat bahu adalah atribut sejenis gelang namun terletak di lengan, fungsinya sendiri sebagai hiasan, bentuknya dengan gelang juga berbeda, kelat bahu naga mangsa atau ngangkrangan ini memiliki bentuk seperti halnya ular yang melilit lengan. Gelang tangan yang dipakai oleh Antareja Yogyakarta berjenis gelang tangan candrakirana, sedangkan gelang tangan yang dipakai oleh Antareja Surakarta berjenis gelang tangan Kana. Berdasarkan data dari observasi Antareja Surakarta tidak memakai praba, sedangkan Antareja Yogyakarta memakai praba. Badan Antareja Yogyakarta berjenis postur badan satria. Dengan sunggingan sisikan yang menyerupai sisik ular, demikian karena Antareja adalah anak dari Dewi Nagagini putri hyang Antabuga. Badan tegap terlihat kuat, dan agak gemuk, memakai ulurulur. Sedangkan Antareja Surakarta juga termasuk golongan badan satria, badan kekar langsing, dengan memakai ulur-ulur, dengan sunggingan gembleng/emas. Tangan Antareja Yogyakarta termasuk jenis tangan satria dengan memakai gelang candrakirana seperti ayahnya Warkudara. Sunggingan sisikan menyerupai sisik ular. Dengan cincin yang menyerupai bunga pada jari paling atas. Sedangkan tangan Antareja Surakarta termasuk jenis tangan satria, dengan

6 memakai gelang kana dan cincin pada jari yang paling atas. Saunggingan hanya gemblengan. Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian Bawah Antareja Gaya Yogyakarta dan Antareja Gaya Surakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Bawah Antareja Yogyakarta Artibut dan Struktur Tubuh Bagian Bawah Antareja Yogyakarta Sabuk/paningset Sabuk/paningset Uncal Wastra Kampuh Seluar Terluar Kampuh Uncal Kencana Seluar Terluar Konca Uncal Kencana Konca Kaki Kroncong Seluar Panjang Kaki Kroncong Seluar Panjang Uncal Wastra Sabuk Antareja Yogyakarta maupun Surakarta berbentuk sembuliyan tunggal, dengan sunggingan tlacapan. Atribut pendukung pada sabuk adalah slepe, pada sabuk Antareja Yogyakarta slepe berbentuk belah ketupat. Sedangkan slepe pada sabuk Antareja Surakarta berbentuk mangkara yang menjulur kebelakang dan melengkung ke atas. Kampuh pada Antareja Yogyakarta disebut kampuh poleng bang bintulu. Sebenarnya kampuh poleng bang bintulu ini hanya dipakai oleh Putra Bayu yaitu Warkudara, Anoman dan saudara-saudara Bayu lainya, namun karena Antareja adalah anak dari Warkudara dimungkinkan dia juga memakai kampuh poleng bang bintulu. Visialisasi kampuh poleng bang bintulu terdiri dari warna hitam putih yang merupakan rangkaian komposisi bentuk persegi. Sedangkan kampuh pada Antareja Surakarta berupa sunggingan bludiran atau motif batik sulur-suluran dari daun dan bunga. Uncal wastra pada Antareja Yogyakarta berbentuk uncal wastra sembuliyan tunggal atau disebut sembuliyan tekuk lele. Visualisasinya terdiri dari dua bagian, bagian pertama bagian pokok dan bagian lipatan kain atau sembuliyan, dan juga terdapat mangkara pada bagian depan atas uncal wastra. Pada bagian pokok dengan visualisasi sunggungan bludiran atau lung-lungan daun dan bunga. Sedangkan bagian lipatan kain atau sembuliyan dengan visualisasi sunggingan sawutan. Sedangkan uncal

7 wastra pada Antareja Surakarta berbentuk sembuliyan rangkep yang disebut ukel pakis. Pada uncal wastra Antareja Surakarta terdiri dari dua bagian, bagian yang pertama bagian pokok dan bagian lipatan kain atau konco dengan sembuliyan rangkep. Bagian pokok dengan sunggingan batik motif geometri, sedangkan pada bagian konca sembuliyan rangkep dengan sunggingan cawen. Konca Antareja Yogyakarta menggunakan konca bayu dengan sembuliyan rangkep. Konca Bayu sebenarnya merupakan pakaian untuk para putra Bayu, namun karena Antareja adalah anak Warkudara yang merupakan putra Bayu, dimungkinkan dia juga memakai Konca Bayu tersebut. Visualisasi sunggingan dengan tlacapan, berjumlah 2. Sedangkan pada Antareja Surakarta konca berbentuk sembuliyan rangkep, dengan sunggingan tlacapan, berjumlah 4. Seluar terluar Antareja Yogyakarta menggunakan motif poleng bang bintulu seperti motif pada kampuh, sedangkan ujung seluar terluar terdapat sembuliyan tunggal dengan sunggingan sawutan. Sedangkan pada Antareja Surakarta seluar terluar dengan sunggingan batik bludiran atau sulursuluran daun dan bunga, sedangkan pada bagian ujung berbentuk sembuliyan tunggal dengan sunggingan tlacapan. Seluar panjang Antareja Yogyakarta motifnya berupa sunggingan cinden yang merupakan susunan dari bentuk segi empat atau komposisi menyerupai anyaman, dengan warna emas dengan dasaran warna merah dan hitam. Pada ujung seluar panjang seperti halnya seluar terluar terdapat sembuliyan tunggal. Sedangkan seluar panjang Antareja Surakarta terdiri dari dua bagian bagian pokok dan bagian ujung yang berbentuk sembuliyan tunggal. Pada bagian pokok dengan sunggingan cinden yang merupakan rangkaian dari bentuk persegi panjang yang dirangkai menjadi bentuk belah ketupat, dengan dasar warna merah dan hitam. Sedangkan bagian ujung dengan bentuk sembuliyan tunggal dengan sunggingan warna emas gradasi warna biru cawen hitam. Kroncong pada Antareja Yogyakarta dan Antareja Surakarta disebut kroncong raton. Pada kroncong raton Antareja Yogyakarta unton-unton mangkaranya runcing, pada bagian ekor kroncong dengan motif menyerupai sisik ular dengan gradasi warna merah, di bawah bagian ekor terdapat bentuk gelang dengan sunggingan motif ameleri dengan gradasi warna biru. Sedangkan kroncong yang dipakai oleh Antareja Surakarta juga sama seperti melilit bagian kaki. Pada bagian mangkara bentuk unton-untonnya bundel, pada bagian ekor disungging dengan gradasi warna merah dengan motif garis putus-putus. Kaki Antareja Yogyakarta disebut kaki jangkahan satria, dengan posisi kaki belakang agak diangkat. Visualisasi sunggingan dengan sisikan yang menyerupai sisik ular. Dengan memakai kroncong raton. Sedangkan pada kaki Antareja Surakarta juga disebut kaki jangkahan, dengan memakai kroncong raton, kaki belakang posisinya seperti berjinjit dan visualisasi kaki sunggingan polosan/gembleng. PEMBAHASAN Sunarto (2004: 102) menyatakan bahwa: tampilan Antareja bermuka dalam posisi menunduk, dengan mata thelengan, berhidung bentulan dan bermulut gethetan. Bermahkota gelung sapiturang, dengan popok jarot asem, sumping pandhan binethon, memakai

8 praba, badan dibya (gagah) dengan memakai ulur-ulur nagapasa, jangkahan raton dengan konca bayu. Memakai gelang candrakirana dan motif kain poleng seperti ayahnya Bima. Dari keterangan Sunarto tersebut lebih mengacu pada visualisasi atribut dan struktur tubuh Antareja gaya Yogyakarta. Maka di bawah ini akan dipaparkan data temuan yang telah dicocokkan dengan keterangan Sunarto di atas. Perbedaan Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian Atas Antareja Gaya Yogyakarta dengan Gaya Surakarta Pada atribut bagian atas Antareja Yogyakarta tidak memakai jamang tiga susun, sedangkan pada atribut bagian Atas Antareja Surakarta memakai jamang 3 susun. Pada Antareja Yogyakarta berdasarkan hasil wawancara juga tidak memakai garuda mungkur sebagai pengikat gelung, melainkan memakai mangkara mata satu dan taring luar satu. Jenis sumping pada Antareja Yogyakarta sesuai hasil observasi dan wawancara adalah pudak sinumpet, tetapi berbeda dengan pernyataan Sunarto (2004: 192), yang menyatakan bahwa sumping Antareja Yogyakarta adalah sumping pandhan binethon. Hal tersebut juga berbeda sekali dengan sumping pada Antareja Surakarta yang memakai jenis sumping sekar kluwih. Nama sanggul Antareja Yogyakarta dan Surakarta sama yaitu sanggul supit urang, namun pada lungsen depan Antareja Yogyakarta memiliki pupuk jarot asem, sedangkan pada lungsen pada Antareja Surakarta tidak memiliki pupuk jarot asem. Ukuran sanggul Antareja Yogyakarta lebih besar dibandingkan ukuran sanggul Antareja Surakarta, bentuk sanggul Antareja Yogyakarta lonjong, sedangkan sanggul Antareja Surakarta lebih bulat. Pada struktur tubuh bagian atas Antareja Yogyakarta dan Surakarta perbedaannya pada posisi wajah, posisi wajah Antareja Yogyakarta lebih menunduk dari pada posisi wajah Antareja Surakarta, wajah Antareja Yogyakarta lebih gemuk dibandingkan wajah Antareja Surakarta, bentuk visualisasi kumis dan alis pada Antareja Yogyakarta menggunakan visualisasi ulat-ulat warna merah, sedangkan pada kumis Antareja Surakarta berupa godren dan visualisasi bentuk ulat-ulat hanya pada alis saja, pada Antareja Yogyakarta tidak ada ulat-ulat athi-athi sedangkan pada Antareja Surakarta terdapat ulat-ulat athi-athi. Ukuran hidung bentulan dan mata thelengan Antareja Yogyakarta lebih besar dibandingkan dengan hidung bentulan dan mata thelengan dari Antareja Surakarta. Jenggot dari Antareja Yogyakarta lebih lebat dibanding jenggot Antareja Surakarta. Perbedaan Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian Atas Antareja Gaya Yogyakarta dengan Gaya Surakarta Perbedaan atribut bagian tengah pada Antareja Yogyakarta dan Surakarta di antaranya, pada Antareja Yogyakarta memakai praba, sedangkan Antareja Surakarta tidak memakai praba. Kalung ulur-ulur Antareja Yogyakarta dan Surakarta disebut kalung ulur-ulur naga karangrang, perbedaannya pada ukuran, bentuk dan isiannya. Kalung ulur-ulur Antareja Yogyakarta lebih besar dibandingkan kalung ulur-ulur Antareja Surakarta, kalung ulur-ulur Antareja Yogyakarta terdiri dari dua rangkaian, sedangkan pada kalung ulur-ulur Antareja Surakarta hanya satu rangkaian saja.

9 Kelat bahu yang digunakan pada Antareja Yogyakarta dan Surakarta sama yaitu kelat bahu naga mangsa, perbedaannya yaitu pada unton-unton mangkara kelat bahu Antareja Yogyakarta berbentuk runcing, sedangkan pada Antareja Surakarta berbentuk bundel, perbedaan yang lain pada sunggingan bagian ekor yang melilit lengan, jika ekor kelat bahu Antareja Yogyakarta sungginganya berwarna merah dengan motif sisikan, pada ekor kelat bahu Antareja Surakarta hanya sunggingan berwarna merah dengan motif garis pupus-putus saja. Pada atribut gelang Antareja Yogyakarta memakai jenis gelang candrakirana, namun pada Antareja Surakarta memakai jenis gelang kana. Perbedaan struktur tubuh bagian tengah Antareja Yogyakarta dengan Antareja Surakarta antara lain, tubuh Antareja Yogyakarta lebih besar dan gemuk dibandingkan dengan ukuran dari Antareja Surakarta yang lebih ramping. Sunggingan tubuh Antareja Yogyakarta dengan motif sisik ular, sedangkan tubuh Antareja Surakarta dengan sunggingan gembeng atau polosan berwarna emas. Posisi jari tangan Antareja Yogyakarta lebih melengkung ke bawah dan lebih besar dibandingkan dengan dengan posisi dan ukuran jari tangan Antareja Surakarta. Perbedaan Visualisasi Atribut dan Struktur Tubuh Bagian Atas Antareja Gaya Yogyakarta dengan Gaya Surakarta Perbedaan pada atribut bawah Antareja Yogyakarta dan Surakarta antara lain, pada kampuh Antareja Yogyakarta memakai kampuh poleng bang bintulu sedangkan pada kampuh Antareja Surakarta memakai kampuh motif batik bludiran. Pada bagian uncal wastra Antareja Yogyakarta memakai uncal wastra jenis sembuliyan tunggal atau tekuk lele, sedangkan pada uncal wastra Antareja Surakarta memakai jenis sembuliyan rangkep atau ukel pakis. Pada bagian seluar terluar Antareja Yogyakarta memakai motif poleng, sedangkan pada seluar terluar Antareja Surakarta memakai motif bludiran. Motif cinden pada seluar panjang Antareja Yogyakarta seperti berbentuk anyaman yang rumit, sedangkan pada motif cinden seluar panjang Antareja Surakarta motif cindennya simpel. Pada bagian atribut konca pada Antareja Yogyakarta memakai konca bayu sedangkan pada Antareja Surakarta hanya berjenis konca biasa dengan sembuliyan rangep. Pada bagian sembuliyan pada seluar terluar, seluar panjang dan uncal wastra Antareja Yogyakarta dengan sunggingan sawutan, sedangkan pada sembuliyan seluar terluar, seluar panjang dan uncal wastra Antareja Surakarta memakai sunggingan cawen. Pada bagian kroncong raton Antareja Yogyakarta unton-unton mangkaranya runcing, sedangkan pada unton-unton mangkara Antareja Surakarta berbentuk bundel, sunggingan ekor pada kroncong raton Antareja Yogyakarta dengan motif sisikan dan ameleri, sedangkan pada ekor kroncong raton Antareja Surakarta hanya bermotif garis putus-putus saja. Kaki pada Antareja Yogyakarta dan Surakarta disebut kaki jangkahan, perbedaanya terletak pada ukuran dan jarak kaki depan dan kaki belakang, ukuran kaki jangkahan Antareja Yogyakarta lebih besar dibandingkan ukuran kaki Antareja Surakarta, jarak kaki belakang dan kaki depan Antareja Yogyakarta lebih lebar dibandingkan jarak kaki pada Antareja Surakarta. Sunggingan kaki Antareja Yogyakarta dengan sisikan sedangkan pada kaki

10 Antareja Surakarta dengan gemblengan polosan. KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum perbedaan yang menonjol pada atribut dan struktur tubuh Antareja Yogyakarta dan Surakarta antara lain, pada atribut bagian atas pada Antareja Yogyakarta tidak memakai jamang, sedangkan Antareja Surakarta memakai jamang. Pada atribut bagian tengah Antareja Yogyakarta memakai praba sedangkan Antareja Surakarta tidak memakai praba. Pada atribut bagian bawah Antareja Yogyakarta memakai kampuh poleng bang bintulu, sedangkan Antareja Surakarta memakai konca batik bludren. Pada bagian struktur tubuh Antareja Yogyakarta badannya lebih gemuk, sedangkan badan Antareja Surakarta lebih ramping, badan Antareja Yogyakarta bersisikkan ular, sedangkan badan Antareja Surakarta hanya polos warna emas atau gembleng. Kepada pembaca dan peneliti lain, pada hasil penelitian ini ada unsur ketidak cocokan antara hasil temuan observasi dan wawancara dengan referensi pada atribut sumping Antareja Yogyakarta, dari ketidak cocokan temuan tersebut diharapkan kepada para pembaca dan peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam di luar penelitian ini. Kepada peneliti lain, penelitian ini hanya terbatas pada perbedaan viasualisasi atribut dan struktur tubuh Antareja Yogyakarta dengan Surakarta saja, selayaknya penelitian tentang tokoh Antareja ini bisa dilanjutkan pada penelitian sejarah tokoh Antareja dan makna filosofis pada setiap atribut dan struktur tubuh pada tokoh Antareja. DAFTAR RUJUKAN Aizid, Rizem. 2012. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang. Yogyakarta: Diva Press. Djunaidi, M. Almanshur, Fauzan. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal Usul, Filsafat, dan Masa Depanya. Jakarta: PT Idayu Press. Sucipto, Mahendra. 2002. Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. Jakarta: Buku Kita. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfa Beta. Sunarto. 2004. Wayang kulit Gaya Yogyakarta Bentuk dan Ceritanya. Yogyakarta: Tidak Ada Penerbitnya. Sunarto. 1984. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka.