Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

dokumen-dokumen yang mirip
4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA. Tulang adalah subtansi hidup yang dapat diperbaharui yang memiliki

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin memiliki sifat yang khas, yaitu berubah secara reversible dari bentuk sol

EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis)

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGANTAR. Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Gelatin adalah biopolimer yang dihasilkan dari hidrolisis parsial jaringan

TINJAUAN PUSTAKA. dikelompokkan sebagai berikut:kingdomanimalia, FilumChordata, KelasAves,

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

BAB I PENDAHULUAN ,5 ribu US$ (Kemenperin, 2014).

EKSTRAKSI GELATIN DARI KAKI AYAM BROILER MELALUI BERBAGAI LARUTAN ASAM DAN BASA DENGAN VARIASI LAMA PERENDAMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan tingkat metabolisme yang tinggi. Ayam broiler sering dibudidayakan

EFISIENSI PENGGANDAAN SKALA KAPASITAS BENCH PADA PRODUKSI GELATIN TULANG IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

I. TINJAUAN PUSTAKA. pengisi. Bahan pengisi pada tulang terdiri dari protein dan garam-garam mineral.

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

KARAKTERISTIK MUTU GELATIN DARI KULIT AYAM BROILER MELALUI PROSES PERENDAMAN ASAM DAN KOMBINASI ASAM-BASA SKRIPSI

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN PENGGUNAAN KONSENTRASI LARUTAN ASAM SITRAT DALAM PEMBUATAN GELATIN TULANG RAWAN IKAN PARI MONDOL (Himantura gerrardi)

Dosen Pembimbing Tugas Akhir : Ir. Budi Setiawan, MT. Oleh : Sinta Aprillia Dwi Wardani ( ) Ivan Edo Nurhadist ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nama ilmiah Tectona grandis linn. F. secara historis, nama tectona berasal dari bahasa portugis

Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Stiper Yogyakarta 2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan Laboratorium Peternakan Universitas

TINJAUAN PUSTAKA Tulang

KUALITAS FISIK GELATIN HASIL EKSTRAKSI KULIT SAPI DENGAN LAMA PERENDAMAN DAN KONSENTRASI ASAM KLORIDA (HCl) YANG BERBEDA

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

Doni Muhammad Irawan, Indra Kristiana, Mahrus Ali Samudra Aditia PS Tekn. Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang

BANDENG. Aylianawati. Surabaya, 21 Juni Abstrak. ikan bandeng. kolagen yang. 16,19% o C. 1.1 Latar Belakang. kuku, dan Bovine.

PERBAIKAN NILAI TAMBAH LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp) MENJADI GELATIN SERTA ANALISIS FISIKA-KIMIA

Percobaan pendahuluan dilakukan pada bulan Januari - Maret 2012 dan. pecobaan utama dilakukan pada bulan April Mei 2012 dengan tempat percobaan

HIDROLISIS TULANG SAPI MENGGUNAKAN HCL UNTUK PEMBUATAN GELATIN

Avaliable online at Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 3 Juli 2013

TINJAUAN PUSTAKA. daritubuhhewan, diperoleh setelah hewan tersebutmatidandikuliti. kerbaudandombasertakambingmemilikistruktur jaringan yang

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

PENGARUH KONSENTRASI CH 3 COOH & HCl SEBAGAI PELARUT DAN WAKTU PERENDAMAN PADA PEMBUATAN GELATIN BERBAHAN BAKU TULANG/KULIT KAKI AYAM

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa

LAPORAN BIOKIMIA KI 3161 Percobaan 1 REAKSI UJI TERHADAP ASAM AMINO DAN PROTEIN

PENGARUH LAMA PERENDAMAN DAN KONSENTRASI ASAM KLORIDA TERHADAP KUALITAS GELATIN DARI TULANG IKAN ANGGOLI (Pristipomoides multidens) JURNAL SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

DENGAN METODE ASAM, KARAKTERISASI DAN APLIKASINYA SEBAGAI THICKENER

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi:

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

Oleh: ANURAGA TANATA YUSA ( ) Pembimbing 1 : Drs. M. Nadjib M., M.S. Pembimbing 2: Lukman Atmaja, Ph.D

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

PENGARUH WAKTU EKSTRAKSI TERHADAP RENDEMEN GELATIN DARI TULANG IKAN NILA MERAH

KIMIA ORGANIK (Kode : E-08)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KEGUNAAN. Merupakan polimer dari sekitar 21 jenis asam amino melalui ikatan peptida Asam amino : esensial dan non esensial

MODUL TEKNOLOGI PEMANFAATAN KULIT TERNAK. Oleh : Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P

PEMBUATAN GELATIN DARI TULANG AYAM BOILER DENGAN PROSES HIDROLISA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada bab ini akan disajikan hasil karakterisasi yang sudah dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

KARAKTERISASI SIFAT KIMIA, FISIK,DAN TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp) PADA VARIASI LARUTAN ASAM UNTUK PERENDAMAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen, Titik Gel dan Titik Leleh Gelatin Tulang Ikan Tuna yang Diproses dengan Cuka Aren

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

H. Yuniarifin, V. P. Bintoro, dan A. Suwarastuti Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

Gambar 2 Penurunan viskositas intrinsik kitosan setelah hidrolisis dengan papain.

STUDI ANALISIS ANTIBAKTERI DARI FILM GELATIN- KITOSAN MENGGUNAKAN Staphylococcus aureus

B. Struktur Kulit Ikan

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

PENGARUH WAKTU PERENDAMAN DALAM ASAM TERHADAP RENDEMEN GELATIN DARI TULANG IKAN NILA MERAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH JENIS PELARUT DAN SUHU EKSTRAKSI KAKI AYAM TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA GELATIN YANG DIHASILKAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ASAM SITRAT DALAM PEMBUATAN GELATIN TULANG IKAN BANDENG (CHANOS-CHANOS FORSKAL).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomis tinggi dan tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Menurut

METODE PENELITIAN. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. VII, No. 1, Februari

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengolahan menjadi produk lain yang bermanfaat, yaitu nonfood untuk kulit

LAPORAN PRAKTIKUM II.3 BIOKIMIA (AKKC 223) DENATURASI PROTEIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V. PEMBAHASAN. 5.1 Amobilisasi Sel Lactobacillus acidophilus FNCC116. Amobilisasi sel..., Ofa Suzanti Betha, FMIPA UI, 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. tahun 2009 meningkat menjadi ton. Tahun 2010 produksi ikan meningkat

Transkripsi:

4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar et al., 2015). Potensi cakar ayam broiler untuk pembuatan gelatin dapat dilihat dari kandungan kolagen didalamnya yang mencapai 28,73 36,83% dari total protein (Prayitno, 2007). Tingginya kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat digunakan sebagai sumber kolagen untuk menghasilkan gelatin. Untuk memperoleh gelatin dari cakar ayam broiler, diperlukan tiga tahapan utama yang meliputi demineralisasi dengan menggunakan asam HCl dan H2SO4 pada konsentrasi 3%, 5% dan 7%, ekstraksi gelatin dan pengeringan gelatin. Cakar ayam broiler yang sudah dibersihkan kemudian dilanjutkan proses demineralisasi dengan direndam dalam larutan asam selama 48 jam untuk menghilangkan kalsium dan garam pada cakar ayam broiler sehingga dihasilkan tulang cakar ayam yang lunak (ossein). Struktur kolagen triple-helix (tropokolagen) pada cakar ayam broiler akan berinteraksi dengan asam dan menjadi pecah sehingga serat kolagen triple-helix (tropokolagen) akan berubah menjadi asam amino rantai tunggal (glisin-prolin dan glisin-hidroksiprolin) (Huda et al., 2013). Perendaman menggunakan asam akan membentuk gelatin yang larut air pada cakar ayam broiler dengan waktu yang lebih cepat berkisar 48-72 jam dibandingkan basa. Jika menggunakan basa membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan protein nonkolagen seperti albumin dan globulin yang selalu terdapat dalam bahan baku sehingga terdapat protein non-kolagen saat proses ekstraksi gelatin (Schrieber & Herbert, 2007). Perendaman dilakukan selama 2 hari, setelah 2 hari cakar ayam broiler yang lunak (ossein) akan dicuci dengan air mengalir hingga ph mencapai netral kemudian diekstraksi menggunakan waterbath suhu 70 C selama 5 jam. Selama proses ekstraksi, rantai asam amino tunggal penyusun protein gelatin yang masih stabil dalam kolagen akan dihidrolisis ikatan hidrogen dan kovalen lebih lanjut oleh panas suhu ekstraksi sehingga keluar dari cakar ayam membentuk susunan gelatin larut air dan asam amino penyusun protein non-kolagen akan menjadi dipolar dan memiliki muatan nol (Triasih, 29

30 2013). Tahap terakhir adalah pengeringan gelatin cair dengan oven suhu 60 C selama 48 jam. Pemilihan suhu ini didasarkan karena pada suhu tersebut, gelatin mengalami penyusutan dan menjadi kering. Suhu tidak perlu dinaikkan untuk menghindari denaturasi rantai polipeptida dan menurunkan asam amino pada gelatin kering (Fadillah et al., 2013). Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin Rendemen merupakan parameter penting untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi dari proses pembuatan gelatin yang telah dilakukan. Rendemen juga dapat digunakan sebagai pertimbangan jumlah bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan gelatin dalam jumlah tertentu (Huda et al., 2013). Semakin tinggi rendemen gelatin maka perlakuan yang diterapkan bekerja secara optimal dan efektif (Miwada & Simpen, 2007). Puspitasari et al., (2013) menyatakan bahwa konsentrasi larutan perendaman akan mempengaruhi tinggi rendahnya rendemen gelatin yang diperoleh. Larutan asam pada proses perendaman berfungsi untuk menghidrolisis kolagen yang akan dikonversi menjadi gelatin dari bahan baku (cakar ayam broiler) (Ulfah, 2011). Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa penggunaan asam klorida (HCl) dan asam sulfat pada konsentrasi 3%, 5% dan 7% akan menghasilkan rendemen gelatin yang berbeda. Pada perendaman HCl, rendemen akan meningkat dari konsentrasi 3% (12,20%) ke 5% (13,15%) namun akan mengalami penurunan pada HCl 7% (12,15%). Rendemen gelatin dengan perendaman HCl 3% menunjukkan bahwa penghilangan mineral selama proses perendaman (demineralisasi) belum menghidrolisis kolagen secara sempurna sehingga rendemen gelatin masih rendah (Astawan & Aviana, 2002). Pada perendaman HCl 7% diperoleh rendemen yang lebih rendah dibandingkan HCl 3%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perendaman asam yang terlalu kuat menjadikan kolagen yang tersusun atas peptida asam amino terdenaturasi lebih lanjut oleh asam yang terlalu kuat sehingga menurunkan rendemen dari gelatin (Siregar et al., 2015).

31 Perendaman dengan asam sulfat akan menghasilkan rendemen yang berbanding terbalik dengan konsentrasi dimana semakin tinggi konsentrasi maka rendemen akan semakin mengalami penurunan. Rendemen gelatin dari perendaman asam sulfat 3%, 5% dan 7% secara berurutan menunjukkan hasil sebesar 13,03%, 12,01% dan 10,56%. Penurunan rendemen gelatin juga dapat disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu kuat sehingga kolagen yang tersusun dari peptida asam amino terdenaturasi lebih lanjut dimana asam sulfat lebih kuat dibandingkan dengan HCl (Siregar et al., 2015). Dari teori tersebut menunjukkan bahwa proses perendaman paling optimum diperoleh pada HCl 5% (13,15%) dan asam sulfat 3% (13,03%). Perendaman yang lebih baik adalah HCl 5% karena pada perendaman tersebut, HCl akan menghilangkan garam dan mineral lebih banyak dibandingkan perendaman HCl 3% dan tidak mendenaturasi kolagen lebih lanjut karena konsentrasi HCl tidak terlalu kuat (Hardikawati et al., 2016). 4.2. Penampakan Fisik Gelatin Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 9, dapat dilihat penampakan fisik gelatin cakar ayam broiler hasil ekstraksi dari perendaman HCl dan asam sulfat dengan berbagai konsentrasi. Dari kedua jenis asam yang digunakan, menunjukkan semakin besar konsentrasi asam, warna gelatin semakin gelap secara visual. Menurut Sukkwai et al., (2011), warna gelatin yang semakin gelap tersebut disebabkan karena jenis asam dan konsentrasi dari masing-masing perlakuan perendaman dimana semakin tinggi konsentrasi warna gelatin semakin gelap. Asam sulfat pada konsentrasi yang sama dengan HCl memiliki ph yang lebih rendah (Hardikawati et al., 2016). Berdasarkan teori tersebut, maka warna yang diperoleh pada gelatin cakar ayam broiler perendaman asam sulfat akan lebih gelap dibandingkan dengan perendaman cakar ayam broiler dengan HCl. Meskipun warna yang gelap tersebut dapat menurunkan penampakan fisik gelatin, warna tidak mempengaruhi sifat fungsional gelatin (Du et al., 2013). Asam yang semakin kuat akan semakin sedikit gelatin yang terbentuk sehingga selama proses pengeringan dalam oven, gelatin H2SO4 lebih cepat kering tapi lebih lama terkena panas dalam oven yang menyebabkan warna menjadi lebih coklat.

32 4.3. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Viskositas Gelatin Viskositas menunjukkan daya aliran molekul dalam suatu larutan pada suhu dan konsentrasi tertentu. Pengukuran terhadap viskositas gelatin dilakukan pada suhu 60 C dengan konsentrasi 6,67% (Huda et al., 2013). Ulfah (2011) menyatakan bahwa nilai viskositas dipengaruhi oleh berat molekul, distribusi molekul dan panjang rantai asam amino gelatin. Menurut Huda et al., (2013), bobot molekul gelatin berhubungan dengan panjang rantai asam amino dimana semakin panjang rantai asam amino maka nilai viskositas semakin tinggi. Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 10, dapat dilihat bahwa viskositas yang diperoleh dari gelatin dengan perlakuan HCl 3% (6.22±0.21 cp), HCl 5% (6.80±0.24 cp), HCl 7% (5.27±0.10 cp), H2SO4 3% (6.57±0.10 cp), H2SO4 5% (6.18±0.19 cp), H2SO4 7% (4.27±0.28 cp), dan kontrol yang merupakan gelatin komersial dari tulang sapi (7.93±0.12 cp) sudah memenuhi standar viskositas GMIA (2012). Besarnya viskositas ditentukan dengan panjangnya rantai asam amino yang terdapat pada gelatin dengan larutan perendaman HCl dan asam sulfat (Ulfah, 2011). Viskositas gelatin perendaman HCl 3% menunjukkan proses perendaman yang belum maksimal karena hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan HCl 5%. Hal ini disebabkan karena pada perendaman dengan HCl 3% kolagen yang dihasilkan masih belum banyak dan pengubahan kolagen triple-helix (tropokolagen) menjadi rantai asam amino tunggal masih sedikit (glisin-prolin dan glisin-hidroksiprolin) (Astawan & Aviana, 2002). Viskositas gelatin perendaman HCl 7% menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan HCl 3% dan 5% karena asam yang terlalu kuat akan semakin besar kemampuannya untuk memutus ikatan antar molekul kolagen sehingga rantai asam amino tunggal yang dihasilkan pendek dan viskositasnya rendah. Perendaman dengan asam sulfat 3%, 5% dan 7% juga menunjukkan viskositas yang berbanding terbalik dengan konsentrasi asam sulfat. Mulyani et al., (2006) menyatakan bahwa perendaman yang dengan asam yang terlalu tinggi akan menghasilkan ikatan peptida yang lemah dan mudah terhidrolisis sehingga akan menurunkan viskositas gelatin.

33 Schrieber & Gareis (2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa demineralisasi asam yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kelarutan protein sehingga viskositas meningkat meskipun rantai asam amino yang terbentuk pendek. Jika dibandingkan antara perendaman HCl 5% (6.80±0.24 cp) dan asam sulfat 3% (6.57±0.10 cp) menunjukkan hasil yang beda nyata dimana viskositas yang lebih baik diperoleh pada gelatin perendaman HCl 5%. Hal ini sesuai dengan teori yang diperoleh dimana rendemen dan viskositas berbanding lurus sehingga HCl 5% memiliki viskositas lebih tinggi karena rantai asam amino tunggal glisin-prolin dan glisin-hidroksiprolin pada HCl 5% telah terbentuk lebih banyak dibandingkan perendaman asam sulfat 3% (Astawan & Aviana, 2002). Viskositas yang diperoleh gelatin komersial juga beda nyata dengan semua gelatin yang dihasilkan dimana memiliki viskositas yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena gelatin komersial yang digunakan berasal dari tulang sapi yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan cakar ayam broiler sehingga viskositasnya tinggi (Liu et al., 2001). 4.4. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Kekuatan Gel Gelatin Kekuatan gel merupakan parameter yang penting karena menentukan kualitas dari gelatin yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan sifat gelatin yang mampu mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible (Hardikawati et al., 2016). Schrieber & Gareis (2007) menyatakan bahwa gelatin yang memiliki kekuatan gel yang tinggi memiliki titik leleh dan titik pembentukan gel yang tinggi serta waktu yang cepat dalam pembentukan produk gel. Menurut Ulfah (2011), pembentukan gel pada gelatin disebabkan karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas membuka ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula mengalir akan terperangkap pada struktur tersebut sehingga terbentuk gel ketika didinginkan. Standar untuk nilai kekuatan gel gelatin adalah 50-300 bloom (GMIA, 2012). Berdasarkan hasil kekuatan gel yang diperoleh pada Tabel 4 dan Gambar 11, kekuatan gel yang masuk dalam standar adalah gelatin dengan perendaman HCl 3% (58.30±2.12

34 bloom), HCl 5% (63.03±1.70 bloom) dan HCl 7% (49.22±4.82 bloom). Kekuatan gel gelatin dengan perendaman H2SO4 tidak memenuhi standar karena hasil yang diperoleh H2SO4 3% (44.85±0.68 bloom), H2SO4 (38.39+0.74 bloom) dan H2SO4 7% (32.98±1.80 bloom) berada dibawah standar kekuatan gel gelatin. Huda et al., (2013) menambahkan bahwa kekuatan gel bergantung pada panjang rantai asam aminonya. Jika kondisi kolagen telah terhidrolisis secara baik maka kekuatan gel gelatin akan meningkat sehingga perendaman dalam asam akan menentukan kekuatan gel dari gelatin (Astawan & Aviana, 2002). Glisin, hidroksiprolin dan prolin merupakan asam amino yang bertugas untuk menjaga stabilitas dari struktur gel gelatin, sehingga apabila jumlah asam amino sedikit, maka kemampuan gel untuk membentuk gel akan rendah pula (Sanaei, 2013). Pada kekuatan gel gelatin dengan perendaman HCl 3% menunjukkan rantai asam amino tunggal yang dihasilkan masih belum maksimal jika dibandingkan dengan gelatin perendaman HCl 5% sedangkan HCl 7% mengalami penurunan kekuatan gel karena rantai asam amino panjang yang telah terbentuk selama proses perendaman mengalami pemutusan rantai dikarenakan konsentrasi asam yang terlalu tinggi (Huda et al., 2013). Gelatin perendaman asam sulfat menunjukkan penurunan seiring peningkatan konsentrasi yang disebabkan karena asam sulfat yang lebih asam dibandingkan HCl sehingga kolagen yang tersusun dari peptida asam amino terdenaturasi lebih lanjut dan menurunkan kekuatan gel gelatin (Puspitasari et al., 2013). Berdasarkan hasil yang diperoleh juga menunjukkan kesesuaian dengan teori Schrieber & Gareis (2007) dimana rantai asam amino yang terbentuk pada asam yang terlalu tinggi berukuran pendek sehingga kekuatan gel yang dihasilkan pada gelatin perendaman H2SO4 rendah. Kekuatan gel semua gelatin menunjukkan hasil yang tidak beda nyata. Gelatin kontrol (komersial) yang berasal dari tulang sapi memiliki nilai kekuatan gel yang jauh lebih tinggi dibandingkan kedua jenis gelatin lainnya hal ini disebabkan karena pada kandungan protein kolagen yang lebih tinggi dibandingkan pada cakar ayam broiler sehingga rantai asam amino tunggal banyak dan panjang (Liu et al., 2001). Meskipun gelatin kontrol (komersial) lebih baik, gelatin dengan perendaman HCl sudah memenuhi standar kekuatan gel gelatin.

35 4.5. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Kandungan Protein Gelatin Barbooti et al., (2008) menjelaskan bahwa gelatin merupakan produk hidrolisa kolagen dimana kolagen merupakan protein fibrosa yang terdapat pada tulang, kartilago dan kulit. Pengujian protein adalah pengujian yang penting untuk mengetahui tingkat kemurnian gelatin yang diperoleh karena gelatin sebagian besar tersusun atas protein. Kandungan protein dalam cakar ayam mencapai 22,98% (Purnomo, 1992) dan 28,73-36,83% dari total protein merupakan kolagen (Guillen et al., 2011). Du et al., (2013) menyatakan asam amino yang terkandung dalam gelatin adalah glisin, prolin, hidroksiprolin, dan alanin. Hidroksiprolin dan prolin yang memiliki peran utama dalam menstabilkan ikatan protein triple-helix. Menurut Schrieber & Gareis (2007), glisin dalam gelatin terdapat dalam jumlah yang paling besar yaitu 33%, sedangkan prolin dan hidroksiprolin keduanya sebesar 22%. Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 12, dapat dilihat bahwa kandungan protein HCl 5% (58.92±5.09 %) dan asam sulfat 3% (48.21±4.41 %) adalah yang paling tinggi, namun protein gelatin asam sulfat 3% tidak beda nyata dengan HCl 3% (50.28±3.87 %) dan asam sulfat 5% (44.83±2.10 %). Pada gelatin dengan perendaman HCl 3% akan mengalami peningkatan pada gelatin HCl 5% dan menurun di HCl 7% (38.99±1.69 %), sedangkan dengan perendaman asam sulfat semakin tinggi konsentrasi akan menurunkan kadar protein gelatin. Siregar et al., (2015) menyatakan kemampuan asam selama proses demineralisasi akan mempengaruhi kadar protein karena protein mengalami perubahan pada struktur rantai asam amino penyusun protein. Asam yang terlalu kuat pada HCl 7% dan asam sulfat akan merusak struktur dari protein kolagen sehingga kadar protein menurun. Astawan & Aviana (2002) menjelaskan lebih lanjut bahwa terjadi reaksi pemutusan ikatan hidrogen sehingga protein terekstrak dan akibatnya kadar protein menurun. Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa pada HCl 3% proses pembentukan protein belum optimal dan pada HCl 7% sudah mengalami denaturasi protein. Pada asam sulfat 3%-7% sudah mengalami denaturasi protein sehingga gelatin dengan perendaman HCl 5% merupakan yang paling optimal.

36 Kadar protein gelatin menurut SNI (1995) adalah sekitar 85-90%. Jika dilihat dari hasil yang diperoleh maka tidak ada yang memenuhi standar tersebut, hanya gelatin kontrol (komersial) yang memenuhi standar. Liu et al., (2001) menyatakan bahwa kolagen dan protein yang terdapat dalam cakar ayam lebih rendah dibandingkan pada kulit sapi maupun babi yang biasanya sering digunakan sebagai sumber gelatin. Gelatin yang digunakan berasal dari sapi sehingga gelatin yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kontrol (komersial) maupun standar. Du et al., (2013) juga menambahkan selama proses perendaman dalam asam, sangat mungkin triptofan dan cysteine mengalami denaturasi sehingga terjadi penurunan kadar protein. 4.6. Penampakan Fisik Edible Film Berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 13, dapat dilihat penampakan fisik edible film dari gelatin yang telah dibuat dengan berbagai konsentrasi dan jenis larutan perendaman. Edible film dari gelatn HCl memiliki penampakan yang lebih jernih dibandingkan asam sulfat yang penampakannya lebih keruh. Menurut Hasdar et al., (2011), edible film yang baik memiliki sifat transparan, lunak dan tidak berbau. Edible film HCl memiliki sifat tersebut dibandingkan edible film yang dihasilkan dengan perendaman asam sulfat yang lebih rapuh dan keruh. 4.7. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Tensile Strength Edible Film Tensile strength menunjukkan gaya maksimum yang diperlukan untuk memutuskan edible film. Edible film yang memiliki nilai kuat tarik tinggi menunjukkan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis (Hasdar et al., 2011). Hasdar et al., (2011) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik adalah struktur jaringan yang berbentuk anyaman dan kandungan protein kolagen dalam gelatin yang dijadikan edible film. Cho et al., (2006) juga menambahkan bahwa gelatin memiliki kuat tarik yang baik karena gelatin lebih elastis dan fleksibel. Penggunaan sorbitol akan mengurangi gaya intermolekuler pada rantai polimer sehingga dapat

37 meningkatkan fleksibilitas edible film. Berat molekul sorbitol dapat meningkatkan efek kuat tarik pada edible film yang dibuat yaitu 182,17 yang akan memberi efek kuat arik yang lebih besar terhadap edible film (Bourtoom, 2009). Untuk membuat edible film dari gelatin cakar ayam broiler dalam penelitian ini menggunakan jumlah yang sama yaitu 2,8 gram sorbitol. Jika dilihat dari Tabel 8 dan Gambar 14, dapat dikatakan bahwa kuat tarik yang dihasilkan oleh gelatin dengan perendaman HCl lebih tinggi dibandingkan dengan perendaman asam sulfat bahkan hampir sama dengan edible film yang dibuat dari gelatin komersial (kontrol). Chambi & Grosso (2006) menyatakan semakin tinggi konsentrasi kolagen dalam gelatin maka kuat tarik edible film juga semakin tinggi. Berdasarkan teori tersebut, terdapat kesesuaian dengan pengujian sebelumnya dimana menunjukkan bahwa rantai asam amino pada perendaman HCl lebih baik dibandingkan asam sulfat. Hasdar et al., (2011) juga telah menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi edible film gelatin diantaranya adalah kandungan protein kolagen dalam gelatin tersebut. Nilai kuat tarik edible film dengan gelatin perendaman HCl 3% dan 7% saling beda nyata dengan edible film dari gelatin perendaman HCl 5% yang menunjukkan protein kolagen pada HCl 5% lebih tinggi dibandingkan yang lain. 4.8. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Water Vapor Transmission Rate (Laju Transmisi Uap Air) Laju transmisi uap air (WVTR) menunjukkan besarnya uap air yang mampu menembus suatu lapisan film pada luas dan waktru tertentu. Nilai WVTR dipengaruhi oleh jenis plasticizer, bahan dasar pembuatan edible film, suhu dan relative humidity (RH) (Souza et al., 2010). Semakin rendah nilai WVTR maka semakin sedikit air yang menembus edible film (Hasdar et al., 2011). Dalam penelitian ini dilakukan analisa WVTR dengan sampel silica gel sebanyak 3 gram yang dimasukkan dalam beaker glass dan ditutup dengan edible film. Sampel kemudian dimasukkan dalam desikator pada suhu 25 C dan RH 75%. Setiap 1 jam dilakukan penimbangan berat beaker glass tersebut. Penimbangan dilakukan selama 9 jam (Warkoyo et al., 2014).

38 Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 15, dapat dilihat bahwa nilai WVTR dari edible film yang dibuat dari gelatin dengan perendaman HCl memiliki nilai WVTR yang menurun dari jam ke-1 sampai jam ke-9. Angka yang terdapat dalam Tabel 9, menunjukkan penurunan laju uap air yang masuk menembus edible film dimana pada semua edible film menunjukkan penurunan dan yang paling baik terdapat pada edible film HCl 5% dan edible film gelatin kontrol. Hasdar et al., (2011) menyatakan bahwa nilai WVTR harus serendah mungkin karena semakin rendah WVTR maka semakin menurun kecepatan uap air menembus masuk ke sampel sehingga hasil WVTR yang diperoleh edible film dengan perendaman HCl maupun asam sulfat sudah benar. Jika dibandingkan edible film dari gelatin dengan perendaman HCl dan asam sulfat, maka dapat dilihat bahwa nilai WVTR asam sulfat masih lebih tinggi dibandingkan dengan HCl. Secara berurutan, nilai WVTR dari yang paling besar ke paling kecil adalah H2SO4 7%, H2SO4 5%, H2SO4 3%, HCl 7%, HCl 3%, dan yang terendah adalah HCl 5%. Menurut Cao et al., (2007), hal ini disebabkan karena rantai asam amino tunggal yang terkandung dalam HCl lebih banyak dibandingkan asam sulfat dimana kolagen tersebut mampu meningkatkan struktur edible film menjadi semakin rapat. Semakin besar panjang rantai asam amino penyusun edible film, semakin besar berat molekulnya sehingga lapisan edible film akan semakin rapat dan sulit ditembus oleh air (Rachmania et al., 2013). Jongjareonrak et al., 2006) juga menambahkan bahwa film yang mengandung protein yang tinggi memiliki sifat pelindung yang baik karena memiliki polimer yang ikatan hidrogennya besar dan mengandung gugus hidroksil yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi laju tansmisi uap air adalah ketebalan film. Hasdar et al., (2011) menyatakan peningkatan ketebalan edible film dipengaruhi oleh meningkatnya konsentrasi gelatin dan sorbitol. Ketebalan edible film dengan gelatin HCl 5% adalah 0,80 sehingga laju WVTR paling rendah terdapat pada edible film dengan gelatin HCl 5%.