BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendaliannya menjadi perhatian di dunia dan menjadi salah satu indikator dalam pencapaiaan tujuan pembangunan global. Data dari World Health Statistics 2013 menunjukkan tingginya angka prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk di beberapa negara ASEAN dan SEAR. Tiga negara dengan prevalensi tuberkulosis tertinggi di ASEAN adalah Kamboja dengan 817 per 100.000 penduduk, Laos dengan 540 per 100.0000 penduduk, dan Myanmar dengan 506 per 100.000. Singapura merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis terendah yaitu sebesar 46 per 100.000 penduduk. Sedangkan Indonesia berada di posisi keenam untuk prevalensi tuberkulosis dengan 281 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Jumlah kasus baru BTA positif yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi bila dibandingkan kasus baru BTA positif yang ditemukan tahun 2011 yang sebesar 197.797 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kasus baru di tiga provinsi tersebut sekitar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Pada tahun 2012 proporsi BTA positif di antara seluruh kasus TB Paru tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (94%), Sulawesi Utara dan Jambi masing masing 92%. Sedangkan capaian terendah yaitu Provinsi Papua Barat (31%), DKI Jakarta (33%) dan Papua (38%). Sebanyak 21 dari 33 provinsi (63,6%) telah mencapai target minimal 65% (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang (2011) menggambarkan Penemuan suspek tahun 2011 sebanyak 15.001 orang mengalami peningkatan bila dibanding tahun 2010. Penemuan penderita TB Paru BTA positif sebanyak 989 orang (61%), mengalami peningkatan 110
kasus (8 %) bila dibandingkan tahun 2010 (53%). Penemuan kasus TB paru anak sejumlah 356 kasus (13 %), menurun 2% bila dibandingkan dengan penemuan TB paru anak di tahun 2010 ( 15%). Prosentase penemuan suspek tertinggi di Puskesmas Krobokan (117%) 351 dari target 300 suspek, ini merupakan hasil dari petugas yang aktif untuk melakukan pencarian suspek TB paru. Prosentase penemuan suspek terendah di Puskesmas Gayamsari (17%) 136 dari target 790 suspek. Penemuan Suspek TB paru pada 3 tahun terakhir mengalami peningkatan, tahun 2009 ditemukan sebanyak 8.003 ( 51% ), tahun 2010 ditemukan sebanyak 10.977 ( 69% ) dan tahun 2011 ditemukan sebanyak 15.001 (93%). Penemuan suspek tertinggi di fasilitas pelayanan kesehatan BKPM Semarang sejumlah 2.839 suspek diikuti RS Kariadi sejumlah 1.863 suspek sedangkan RS yang menemukan suspek terendah adalah RS William Booth Semarang dan RS Bhayangkara Semarang. Angka penemuan penderita baru BTA Positif tahun 2011 mencapai 61% mengalami peningkatan 8% bila dibandingkan tahun 2010 sebesar 53%. Hal ini menunjukkan hasil dari kegiatan kontak serumah serta pencatatan dan pelaporan yang lebih baik. Prosentase angka Penemuan Kasus baru BTA Positif tertinggi di capai oleh Puskesmas Mangkang (155%) target 11 kasus menemukan 17 kasus TB paru BTA Positif, prosentase terendah di puskesmas Karangmalang 0%, target 8 dan tidak menemukan kasus BTA Positif. Hal ini disebabkan oleh karena kurang aktifnya petugas dalam pemberdayaan masyarakat di wilayahnya (Dinkes Kota Semarang, 2011). Berdasarkan data dari BKPM Semarang tentang TB paru positif menunjukkan terjadinya peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2011 sebanyak 457, tahun 2012 sebanyak 504, tahun 2013 sebanyak 612. Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat dan berperan penting dalam menentukan keberhasilan suatu program penanggulangan penyakit dan pencegahan penularannya termasuk penyakit TB paru. Perilaku pencegahan penularan penyakit Tuberculosis paru dapat dipengaruhi oleh 3 faktor yakni :
1) faktor-faktor dasar (predisporcing factors) meliputi pengetahuan, sikap, kebiaasaan, kepercayaan, norma-norma sosial dan unsur lain 2 ) faktor-faktor pendorong ( reinforcing factors ) meliputi: sikap dan perilaku dari orang lain misalnya tenaga kesehatan atau petugas lain dari masyarakat; 3) faktor-faktor pendukung (enabling factors) meliputi: lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan (Green & Keuter, 2000). Meningkatnya jumlah penderita TB Paru di Indonesia disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Hasil survei di Indonesia oleh Ditjen Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2MPL, 2011), tingginya angka kejadian TB Paru salah satunya disebabkan oleh kurangnya tingkat pengetahuan. Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang TB Paru masih rendah. Hanya 8% responden yang menjawab dengan benar cara penularan TB, 66% yang mengetahui tanda dan gejala (Kemenkes RI, 2011). Penelitian yang lain dilakukan oleh Wahyuni (2008), didapatkan hasil bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pencegahan penularan penyakit TB Paru di masyarakat adalah pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, kepadatan hunian rumah dan luas ventilasi rumah. Sedangkan faktor yang paling besar pengaruhnya adalah tingkat pendidikan, pengetahuan dan kepadatan hunian rumah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Habibah, Arneliwati, Indriati (2013), mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang TB Paru terhadap perilaku pencegahan penularan penyakit TB Paru. Penelitian lain oleh Novitasari (2012) di BKPM Semarang menunjukkan hasil bahwa perilaku pencegahan TB paru belum sepenuhnya baik, karena sebagian subyek penelitian masih membuang ludah di sembarang tempat, tidak menutup mulut saat batuk, tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain, jarang membuka jendela rumah, jarang menjemur kasur dan bantal dibawah sinar matahari, jarang berolah raga, jarang mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna, dan peralatan makan digunakan anggota
keluarga yang lain, sehingga karena perilaku yang tidak tepat akan berdampak terhadap terjadinya penularan TB paru. Berdasarkan hasil survei prevalensi TB paru (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) menunjukkan bahwa 76% keluarga pernah mendengar tentang TB paru, 26% dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama, 51% memahami cara penularannya, dan hanya 19% yang mengetahui bahwa program pengendalian TB paru menyediakan obat gratis (Pratiwi, Roosihermiatie & Hargono, 2011). Norma dan stigma bahwa penyakit TB paru malu dan menakutkan di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB paru, menyingkirkan segala mitos TB paru melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat (Kemenkes RI, 2011). Pada prinsipnya upaya-upaya pencegahan dilakukan dan pemberantasan tuberkulosis dijalankan dengan usaha-usaha diantaranya: pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit TBC paru, bahayabahayanya, cara penularannya. Perilaku yang sehat dari penderita TB paru sangat penting untuk upaya pencegahan terjadinya penularan TB paru. Hal ini dapat dicapai dengan adanya peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan tindakan seorang penderita TB paru dalam kehidupan sehari hari, khususnya dalam keluarga. Berdasar latar belakang tersebut, maka penulis bermaksud melakukan penelitian tentang pengetahuan, sikap dan praktik penderita TB paru dalam mencegah terjadinya penularan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang menunjukkan adanya temuan kasus yang meningkat dalam tiga tahun terakhir. Hasil survei Ditjen Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL, 2011), menunjukkan meningkatnya temuan kasus TB disebabkan perilaku yang tidak sehat. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah
ada hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap praktik pencegahan penularan TB Paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap terhadap praktik pencegahan penularan TB Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang. 2. Tujuan khusus : Sedangkan untuk tujuan khusus dalam penelitian ini meliputi : a. Mendeskripsikan pengetahuan pasien tentang pencegahan penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang b. Mendeskripsikan sikap pasien tentang pencegahan penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang c. Mendeskripsikan praktik oleh penderita TB paru dalam pencegahan penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang d. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan praktik pencegahan penularan penyakit Tb. Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang e. Menganalisis hubungan sikap dengan praktik pencegahan penularan penyakit Tb. Paru di wilayah kerja Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien dapat memberikan informasi yang bermakna mengenai hal hal yang diperlukan seorang penderita TB paru dalam melakukan pencegahan penularan penyakit TB paru.
2. Bagi keluarga penelitian ini dapat sebagai tambahan pengetahuan dalam merawat anggota keluarga yang menderita sakit TB paru dan melaksanakan pencegahan terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain. 3. Bagi masyarakat dapat sebagai tambahan informasi tentang TB paru terutama dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya penularan. 4. Bagi peneliti diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan sehingga berguna bagi pekerjaan dan tugas peneliti sebagai bahan masukan yang digunakan untuk penerapan prilaku keluarga yang baik dalam pencegahan penularan TB paru yang dapat menurunkan penularan TB paru. 5. Bagi institusi pendidikan menambah bahan referensi bagi institusi dan merupakan data awal bagi peneliti selanjutnya. 6. Bagi Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan pelayanan pada penderita TBC paru dan upaya-upaya dalam pencegahan penularan TBC paru. E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Peneliti Metodologi Hasil Habibah, 2013 Hubungan Tingkat pengetahuan keluarga Tentang TB paru terhadap Perilaku pencegahan Penularan penyakit TB paru Penelitian ini merupakan Penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Hasil analisis yang diperoleh, ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang TB paru terhadap perilaku pencegahan penularan penyakit TB paru dengan p value = 0,001. Wahyuni, 2008 Determinan Perilaku masyarakat dalam Pencegahan penularan penyakit TBC di wilayah kerja Puskesmas Bendosari Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan paling berpengaruh adalah tingkat pendidikan, kepadatan hunian rumah dan pengetahuan.
Novitasari, 2012 Gambaran Perilaku beresiko penularan Kontak serumah pada pasien TB paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang Surjati, 2014 Perilaku Penderita TB paru dalam upaya pencegahan penularan TB paru pada keluarga Penelitian kualitatif observasional Penelitian non eksperimental dengan pendekatan cross sectional Hasil penelitian menunjukkan perilaku pencegahan TB paru belum baik, karena sebagian subyek penelitian masih membuang ludah disembarang tempat, tidak menutup mulut saat batuk, tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain, jarang membuka jendela, jarang menjemur kasur dan bantal, jarang berolah raga dan peralatan makan dipergunakan anggota keluarga yang lain