KAJIAN PENERAPAN ESTIMASI CURAH HUJAN PER JAM MEMANFAATKAN METODE CONVECTIVE STRATIFORM TECHNIQUE (CST) DAN MODIFIED CONVECTIVE STRATIFORM TECHNIQUE (mcst) DI PONTIANAK Ashriah Jumi Putri Andani*, Endarwin Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta * Email : ashriahandani@gmail.com ABSTRAK Estimasi curah hujan per jam dengan memanfaatkan data satelit merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan informasi curah hujan yang akurat dan near real time. Convective Stratiform Technique (CST) merupakan metode estimasi curah hujan berdasarkan suhu puncak awan dengan pemisahan kelompok konvektif dan stratiform, sedangkan Modified Convective Stratiform Technique (mcst) merupakan modifikasi pada intensitas curah hujan dan luasan area lingkup piksel rata-rata terhadap CST. Penelitian dilakukan memanfaatkan data inframerah satelit MTSAT sepanjang tahun 2014. Hasil curah hujan estimasi per jam diverifikasi dengan data curah hujan Hellman di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak.. Evaluasi hasil estimasi curah hujan dilakukan dengan menggunakan indeks statistik dan tabel kontingensi. Secara umum, kedua metode estimasi curah hujan dapat diterapkan di wilayah Pontianak dengan korelasi yang sangat kuat dengan data pengamatan. Metode CST dan mcst cukup konsisten dalam memberikan kualitas hasil estimasi yang baik untuk curah hujan per jam pada setiap bulan sepanjang tahun. Dengan demikian, kedua metode tersebut cocok untuk memonitor curah hujan di Pontianak yang memiliki tipe hujan ekuatorial. Perbandingan kualitas dari kedua metode menunjukkan metode mcst menghasilkan estimasi curah hujan yang lebih baik. Kata kunci : estimasi curah hujan, satelit, CST, mcst ABSTRACT Hourly rainfall estimation using satellite data is one of solutions to obtain accurate and near real time rainfall informations. Convective Stratiform Technique (CST) is a rainfall estimation method based on cloud top temperature in which convective and stratiform components are separated, while Modified Convective Stratiform Technique (mcst) is the modifications towards the rainfall intensity and averaged area of pixel scope from CST. This research is done by using MTSAT infrared data during 2014. Hourly rainfall estimations by each methods are verified with Hellman rainfall data in Supadio Meteorogical Station in Pontianak. The evaluation of rainfall estimations is done by using statistical indices and contingency table. In general, both methods can be applied in Pontianak area with very strong correlation with the observation data. CST and mcst methods are consistent enough to produce good quality estimation values for hourly rainfall in all months during the year. Thus, both methods are suitable for rainfall monitoring in Pontianak which has equatorial rainfall pattern. The comparison between those two methods shows that the estimation quality using mcst is better. Keywords: rainfall estimation, satellite, CST, mcst 9
1. PENDAHULUAN Informasi curah hujan yang ak urat dan near real time dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam peringatan dini bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan serta dalam penelitian yang berkaitan dengan siklus hidrologi (Suwarsono dkk, 2009; Joyce dkk, 2004; Hong dkk, 2007). Ketersediaan data curah hujan masih cukup menjadi masalah karena tidak di seluruh tempat memiliki titik pengamatan curah hujan atau apabila alat penakar curah hujan di suatu stasiun pengamatan cuaca mengalami kerusakan. Estimasi curah hujan dengan memanfaatkan data satelit merupakan salah satu solusi dari masalah ketersediaan data curah hujan. Data satelit cuaca ini dapat diperoleh secara up to date dan tidak dikenakan biaya, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas di kalangan masyarakat luas (Suwarsono dkk, 2009; Endarwin, 2014). Satelit MTSAT (Multi-Functional Transport Satellite) merupakan satelit penginderaan jauh yang memiliki sensor visible dan inframerah yang memonitor fenomena atmosfer berupa suhu puncak awan (Kidder dan Haar, 1995). Metode estimasi curah hujan berdasarkan suhu puncak awan, diantaranya adalah Convective Stratiform Technique (CST) dan Modified Convective Stratiform Technique (mcst). CST merupakan metode estimasi curah hujan dengan pemisahan kelompok konvektif dan stratiform yang ditemukan oleh Adler dan Negri (1988), sedangkan mcst merupakan modifikasi pada intensitas curah hujan dan luasan area lingkup piksel rata-rata terhadap CST yang dikembangkan oleh Endarwin (2014). Berdasarkan metode pembentukannya, awan digolongkan menjadi awan stratiform dan cumuliform (Tjasyono, 1999). Awan jenis stratiform tumbuh lebih lambat, arus vertikalnya kuat dan terjadi pada wilayah dengan kelembaban kecil. Awan stratiform menyebabkan hujan secara terus-menerus (kontinyu) namun dengan intensitas ringan. Awan jenis cumuliform atau akibat aktivitas konvektif menyebabkan hujan deras (showers) namun dengan selang waktu yang relatif lebih singkat. Pontianak terletak tepat di ekuator, sehingga memiliki tipe curah hujan ekuatorial dengan distribusi curah hujan bulanan yang menunjukkan maksima ganda dan curah hujan tinggi sepanjang tahun (Tjasyono dan Musa, 2000). Dalam penelitian ini, metode CST dan mcst diterapkan untuk melakukan estimasi curah hujan per jam di wilayah Pontianak. Hasil estimasi dengan menggunakan masingmasing diverifikasi dengan data curah hujan pengamatan Hellman di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak (96581). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganilisis kualitas hasil estimasi curah hujan, konsistensinya ketika diterapkan pada setiap bulan, serta mengetahui perbandingan kualitas hasil estimasi antara kedua metode. 2. DATA DAN METODE 2.1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Data citra satelit MTSAT kanal IR-1 yang dikemas dalam bentuk PGM (Portable Gray Map) diperoleh dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/game dengan format kompresi Gzip. Resolusinya 1/20 o atau 5,55 km x 5,55 km dan berukuran 1800 x 1800 piksel. Sedangkan untuk file kalibrasinya (.CAL) dengan nilai 0 untuk albedo 0% dan 255 untuk albedo 100% dan interpolasinya diperoleh dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/cal. Data tersebut tersedia untuk citra setiap 1 (satu) jam. Dalam penelitian ini digunakan data citra satelit MTSAT sepanjang tahun 2014. 2. Data curah hujan setiap 1 (satu) jam yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan penakar hujan jenis Hellman di Stasiun Meteorologi Supadio (96581). Data curah hujan yang digunakan adalah untuk waktu sepanjang tahun 2014. 2.2. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian mengenai suatu kajian penerapan metode dalam kegiatan estimasi di wilayah dan waktu penelitian baru. Penelitian 10
dilakukan sepanjang tahun 2014 di titik penelitian Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak (0,14208 o LS dan 109,40253 o BT). Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan perangkat lunak MATLAB R2008a dan Microsoft Excel. Adapun teknik pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Konversi data IR satelit dalam ekstensi file.pgm dan.dat sehingga diperoleh temperatur kecerahan awan (T BB ). 2. Mengatur koordinat titik penelitian (lintang: -0,14208 dan bujur: 109,40253). 3. Pembacaan temperatur kecerahan awan (T BB ) pada piksel dimana koordinat telah diatur. 4. Perhitungan slope parameter (S). Untuk resolusi data 5,55 km x 5,55 km S sesuai persamaan 1 (Islam dkk, 2002; Endarwin, 2014): = (, +, +, + +, +, +, +, - 8, ) (1) S = slope parameter (S) (K) T = temperatur kecerahan awan (T BB ) (K) i dan j = posisi nilai piksel dimana S dihitung k = konstanta = 0,125 5. Pemisahan inti konvektif dan stratiform. Inti konvektif ditentukan melalui pembatasan (Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk, 2002; Endarwin,2014): S exp [0,0826 (T min 207 K)] (2) T min = temperatur minimum relatif dari T BB (K) Dalam penelitian ini, dipilih satu piksel yang mewakili koordinat stasiun, maka untuk T min merupakan temperatur pada piksel yang dibaca. Apabila nilai slope parameter (S) memenuhi persamaan 2 maka merupakan jenis inti konvektif dan sebaliknya (Islam dkk, 2002). 6. Penentuan luasan wilayah konvektif dan stratiform. Untuk luasan wilayah konvektif sebagai berikut (Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk, 2002; Endarwin, 2014): ln( ) = + (3) A c = luasan area hujan konvektif (km 2 ) = temperatur puncak awan pada inti konvektif ke-i (K) a dan b = konstanta yang ditetapkan Adler dan Negri (1988), a = -0,0492 b = 15,27 Sedangkan luasan wilayah stratiform ditentukan dengan menggunakan persamaan serupa, yaitu pada persamaan 4 sebagai berikut: ln( ) = + (4) A s = luasan area hujan stratiform (km 2 ) T s = temperatur puncak awan stratiform (K) Karena dalam penelitian ini dipilih satu piksel yang mewakili koordinat stasiun, maka layaknya T min, untuk T ci dan T s juga didefinisikan sebagai temparatur kecerahan awan pada piksel yang dibaca. 7. Estimasi curah hujan setiap jam. Dengan menggunakan metode CST, maka estimasi curah hujan dilakukan dengan persamaan 5 dan 6 (Adler dan Negri, 1988; Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk, 2002): Curah Hujan Konvektif (mm)= C (5) C = bilangan sel konvektif = luasan wilayah konvektif (km 2 ) A = rata-rata area yang dilingkupi oleh tiap piksel (km 2 ) T = rata-rata periode estimasi (jam) R c = intensitas curah hujan konvektif (mm/jam) 11
Sedangkan untuk curah hujan stratiform dirumuskan sebagai: Untuk mengevaluasi secara kuantitatif, digunakan beberapa indeks validasi (Jiang dkk, 2010), yaitu: Curah Hujan Stratiform (mm) = S t (6) S t = bilangan sel stratiform = luasan wilayah stratiform (km 2 ) A = rata-rata area yang dilingkupi oleh tiap piksel (km 2 ) T = rata-rata periode estimasi (jam) R s = intensitas curah hujan stratiform (mm/jam) Nilai C dan St adalah 1 berkenaan dengan penelitian pada setiap lokasi yang hanya merujuk pada titik tertentu. Selanjutnya dikarenakan estimasi dilakukan untuk curah hujan setiap jam, maka nilai T adalah 1. Dalam pengerjaan estimasi menggunakan metode CST, maka nilai R c dan R s yang digunakan berturut-turut sebesar 20 mm/jam dan 3,5 mm/jam (Islam dkk, 2002). Sedangkan dalam pengerjaan estimasi curah hujan menggunakan metode mcst, maka nilai R c dan R s yang digunakan berturut-turut sebesar 26 mm/jam dan 0,8 mm/jam. Luasan rata-rata area (A) yang dilingkupi piksel untuk estimasi dengan metode CST dan mcst berturut-turut adalah 121 km 2 dan 202,1243 km 2. Adapun tabel perbedaan spesifikasi metode CST dan mcst yang digunakan dalam penelitian ini dapat diamati ada tabel 1. Tabel 1. Perbedaan spesifikasi dari metode CST dan mcst Intensitas Curah Luasan Area Hujan (mm/jam) Rata-Rata No Konvektif Stratiform yang dilingkupi (R c) (R s) piksel (A) (km 2 ) 1 20 3,5 121 2 26 0,8 202,1243 8. Evaluasi hasil estimasi curah hujan dengan data Hellman. = a. Koefisien korelasi (C) Koefisien korelasi adalah bilangan yang menyatakan besar kecilnya suatu hubungan antar variabel (Sudjana, 1996). Nilai C yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan hubungan yang sangat erat. Nilai koefisien korelasi ditunjukkan pada tabel 2. ( ) ( ) ( ) ( ) (7) Tabel 2. Kategori koefisien korelasi (Sugiyono, 2004) Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 0,199 Sangat Lemah 0,20 0,399 Lemah 0,40 0,599 Sedang 0,60 0,799 Kuat 0,80 1,000 Sangat Kuat b. Error rata-rata absolut / mean absolute error (MAE) Error rata-rata absolut (MAE) adalah rata-rata absolut dari kesalahan estimasi, tanpa menghiraukan tanda positif atau negatif. = ( ) (8) c. Root Mean Square Error (RMSE) RMSE digunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan yang terjadi antara lain prediksi total curah hujan harian dibandingkan dengan nilai total curah hujan harian aktual hasil observasi (Wilks, 1995). = ( ) d. Bias relatif (B) (9) 12
(10) Bias relatif adalah prosentase nilai error hasil estimasi terhadap hasil pengamatan real. = ( ) 100% n = jumlah data RE i dan RO i = nilai estimasi curah hujan dan pegukuran Hellman ke-i dan = nilai rata-rata estimasi dan pegukuran Hellman Untuk mengukur hubungan antara curah hujan hasil estimasi dengan satelit dan pegamatan permukaan, digunakan tabel kontingensi seperti tabel 3. Tabel 3. Tabel kontingensi 2x2 (Kouchak dan Mehran, 2013) Estimasi Ya Observasi Tidak Ya H F Tidak M N Nilai kategori intensitas curah hujan per jam yang masing-masing akan diujikan adalah mengikuti kategori curah hujan yang ditetapkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menurut tabel 4. Tabel 4. Kategori intensitas curah hujan menurut BMKG No. Jumlah Curah Kategori Curah Hujan Per Jam Hujan (mm/jam) 1 Ringan 0,1 5,0 2 Sedang 5,1 10,0 3 Lebat 10,1 20,0 4 Sangat Lebat > 20,0 Evaluasi dilakukan dengan menggunakan 3 (indeks) indeks statistik (Jiang dkk, 2010), yaitu: a. Probability of detection (POD) P OD menunjukkan frekuensi kejadian hujan dapat diestimasi dengan satelit, yang disebut juga dengan hit rate. = (11) b. False alarm rate (RFA) R FA menunjukkan fraksi kejadian dimana estimasi satelit menunjukkan kejadian hujan tetapi hasil observasi tidak. = (12) c. Critical success index (ICS) I CS menunjukkan fraksi kejadian hujan keseluruhan yang dapat diestimasi oleh satelit. (13) = N, M, F dan H = kasus-kasus yang ditunjukkan pada tabel 3.,, dan = jumlah kejadian kasus terkait 9. Penerapan estimasi curah hujan secara spasial untuk sampel kejadian hujan lebat per jam. Hasil estimasi di plot dengan menggunakan ArcGIS 10.2 dan dibandingkan dengan produk observasi curah hujan per jam, yaitu GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) yang diperoleh dari ftp://rainmap:niskur+1404@hokusai.eor c.jaxa.jp/. 13
Gambar 1. Diagram alir penelitian (a) (b) Gambar 2. Scatter-plot CH estimasi CST (a) dan mcst (b) per jam VS pengamatan Hellman tahun 2014 14
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan scatter-plot curah hujan estimasi dan pengamatan per jam pada gambar 1 dapat diamati bahwa terdapat beberapa data yang menyebar pada kedua plot. Penyebaran ini sebagian menunjukkan nilai estimasi yang kurang dari curah hujan aktual dan sebagian lagi lebih besar. kategori hujan yang ditetapkan BMKG pada table 5. Secara umum, estimasi mcst menghasilkan prosentase yang relatif lebih konsisten konsisten dengan curah hujan Hellman untuk semua kategori hujan. Estimasi CST menghasilkan prosentase yang berbeda jauh dengan curah hujan aktual khususnya untuk kategori hujan dibawah 0,1 mm dan hujan ringan. Hal ini dikarenakan Secara umum, metode CST menghasilkan curah hujan estimasi yang over estimate terhadap pengamatan, sedangkan estimasi mcst menghasilkan curah hujan yang nilainya cenderung under estimate. Korelasi yang dihasilkan oleh metode mcst lebih tinggi dari pada CST. estimasi CST seringkali menghasilkan nilai curah hujan setiap jamnya, bahkan pada saat kejadian tidak hujan. Sedangkan untuk kategori hujan sedang hinga sangat lebat, prosentase kejadian dari estimasi curah hujan dengan kedua metode cukup konsisten menunjukkan akurasinya terhadap pengamatan aktual. Tabel 5. Frekuensi kejadian hujan per jam tahun 2014 hasil estimasi dan observasi Prosentase (%) Kategori Hujan Intensitas (mm/jam) CST mcst Hellman - < 0,1 28,52 78,94 91,54 Ringan 0,1-5,0 69,08 19,79 7,02 Sedang 5,1-10,0 1,51 0,58 0,65 Lebat 10,1-20,0 0,50 0,46 0,42 Sangat Lebat > 20,0 0,40 0,23 0,37 3.1 Analisis Berdasarkan Indeks Evaluasi Berdasarkan data estimasi curah hujan per jam yang diujikan selama tahun 2014 diperoleh indeks evaluasi hasil estimasi dibandingkan dengan pengamatan aktual yang ditunjukkan pada tabel 6. Estimasi curah hujan per jam menggunakan kedua metode tersebut menghasilkan korelasi yang sangat kuat dengan curah hujan pengamatan Hellman. Nilai korelasi yang dihasilkan estimasi mcst lebih tinggi. Error yang dihasilkan oleh estimasi CST relatif lebih besar dibanding metode mcst. Demikian pula bias relatif dari hasil estimasi menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode CST dihasilkan hasil estimasi curah hujan yang 162,29 % lebih besar terhadap observasi, sedangkan estimasi mcst menghasilkan curah hujan estimasi yang nilai biasnya 15,94 % lebih kecil dari observasi. Tabel 6. Indeks evaluasi estimasi curah hujan per jam terhadap observasi tahun 2014 Korelasi MAE RMSE Bias Relatif (mm/jam) (mm/jam) (%) Estimasi CST 0,81 0,47 1,57 162,29 Estimasi mcst 0,85 0,05 1,32-15,94 15
3.2 Analisis Berdasarkan Tabel Kontingensi Hasil estimasi curah hujan dengan menggunakan metode CST dan mcst dikelompokkan dengan menggunakan tabel kontingensi untuk mengetahui tingkat akurasi estimasi tersebut berdasarkan kategori hujan yang ditetapkan BMKG. Grafik nilai indeks Probability of Detection (POD), False Alarm Rate (RFA) dan Critical Success Index (ICS) untuk kategori hujan per jam ditampilkan pada gambar 3. (a) (b) (c) Gambar 3. Grafik nilai POD (a), RFA (b) dan ICS (c) estimasi curah hujan per jam tahun 2014 menggunakan metode CST dan mcst Berdasarkan grafik nilai indeks POD untuk setiap kategori hujan pada gambar 3 (a), dapat diamati bahwa untuk kategori hujan ringan dan sangat lebat, estimasi CST mampu menghasilkan nilai POD yang lebih tinggi, artinya frekuensi kejadian hujan ringan dan hujan sangat lebat dapat diestimasi dengan lebih baik menggunakan metode tersebut. Pada kategori hujan lebat, kemampuan metode mcst lebih baik dalam estimasinya. Secara umum, kedua metode menunjukkan indeks di atas 0,4 untuk masing-masing kategori hujan, artinya kedua metode estimasi mampu menunjukkan frekuensi kejadian hujan pada masingmasing kategori dengan prosentase di atas 40 %. Grafik indeks RFA pada gambar 3 (b) menunjukkan metode CST menghasilkan fraksi lebih besar untuk kejadian dimana estimasi CST menunjukkan kejadian hujan ringan namun observasi. Hal ini terjadi pada semua kategori hujan. Estimasi mcst menghasilkan nilai false alarm yang lebih kecil namun dengan pola yang sama dengan CST. Nilai indeks RFA terbesar terdapat pada kategori hujan ringan dan semakin mengecil untuk kategori hujan lebat. Artinya, untuk estimasi curah hujan per jam, kemampuan CST dan mcst lebih baik untuk menunjukkan hujan dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan hujan ringan. Nilai ICS merupakan fraksi kejadian dimana hujan pada masing-masing kategori dapat ditunjukkan oleh satelit yang ditunjukkan pada gambar 3 (c). Nilai ICS yang dihasilkan oleh estimasi mcst lebih tinggi dari pada CST pada kategori hujan ringan, sedang dan lebat. Hal ini menunjukkan frekuensi hit rate kejadian hujan ringan dan sedang lebih besar dibandingkan dengan estimasi CST. Sedangkan untuk kategori hujan sangat lebat, estimasi CST memberikan nilai ICS yang lebih tinggi. Seperti halnya analisis pada indeks RFA, indeks ICS juga menunjukkan bahwa kemampuan kedua metode dalam melakukan estimasi curah hujan per jam lebih baik untuk intensitas hujan yang lebih tinggi. 3.3 Analisis Konsistensi Kualitas Estimasi Curah Hujan Setiap Bulan Hasil estimasi curah hujan setiap jam dikelompokkan setiap bulan untuk mengamati konsistensi dari kualitas estimasi dengan metode CST dan mcst sepanjang tahun 2014. 16
Gambar 5. Grafik nilai MAE estimasi curah hujan CST dan mcst setiap bulan Gambar 4. Grafik nilai korelasi estimasi curah hujan CST dan mcst setiap bulan Korelasi yang dihasilkan kedua metode estimasi curah hujan baik CST dan mcst menghasilkan nilai koefisien yang tinggi, yaitu di atas 0,6. Sebagaimana yang ditampilkan pada grafik korelasi setiap bulan pada gambar 4, tingkat hubungan yang tinggi antara hasil estimasi dan curah hujan aktual ini konsisten sepanjang tahun, baik pada bulan-bulan puncak hujan maupun pada bulan-bulan lembah hujan. Hal ini mengindikasikan bahwa metode estimasi curah hujan dengan CST dan mcst cocok untuk diterapkan di wilayah Pontianak yang memiliki tipe hujan ekuatorial, yaitu curah hujan tinggi sepanjang tahun. Pada semua bulan, metode mcst menghasilkan korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan metode CST. Nilai korelasi tertinggi dihasilkan pada bulan Oktober, dimana pada bulan ini terjadi puncak hujan kedua. Berdasarkan grafik nilai error absolut ratarata (MAE) pada gambar 5 dapat diamati bahwa dengan menggunakan metode CST, estimasi curah hujan menghasilkan error yang relatif lebih besar dibandingkan metode mcst pada setiap bulan. Namun demikian, nilai MAE yang dihasilkan oleh estimasi dengan kedua metode untuk sepanjang tahun cukup kecil, yaitu kurang dari 0,8 mm/jam. Hal ini menandakan bahwa kedua metode estimasi ini memiliki kualitas yang cukup baik untuk mengestimasi curah hujan per jam di Pontianak. Nilai error terbesar yang dihasilkan metode CST terdapat pada bulan Oktober yang merupakan bulan puncak hujan pada tahun 2014. Estimasi curah hujan yang dilakukan dengan menggunakan metode mcst mengasilkan MAE yang sangat kecil, yaitu di bawah 0,2 mm/jam. Nilai error yang rendah ini konsisten pada setiap bulan sepanjang tahun. Hal ini menunjukkan kualitas hasil estimasi mcst lebih baik dan relatif lebih cocok untuk diterapkan di wilayah ini. Gambar 6. Grafik nilai RMSE estimasi curah hujan CST dan mcst setiap bulan 17
Grafik nilai RMSE pada gambar 6 menunjukkan bahwa penerapan estimasi curah hujan di Pontianak dengan metode CST dan mcst menghasilkan nilai RMSE yang kurang dari 2,4 mm/jam. Hal ini konsisten untuk estimasi curah hujan per jam pada setiap bulan sepanjang tahun. Berdasarkan grafik tersebut dapat kita amati bahwa tidak terdapat pola khusus antara nilai RMSE dan intensitas curah hujan aktual untuk akurasi sepanjang tahun. Hal tersebut menunjukkan tingkat kecocokan yang lebih tinggi antara curah hujan estimasi dengan metode ini terhadap observasi. Estimasi CST memiliki prosentase bias yang positif ketika diterapkan untuk estimasi curah hujan per jam pada setiap bulan, yang artinya estimasi dengan metode ini selalu menghasilkan nilai curah hujan yang over estimate. Sedangkan metode mcst secara umum menghasilkan nilai bias relatif yang negatif, yang artinya estimasi dengan metode ini seringkali under estimate terhadap curah hujan pengamatan. 3.4 Penerapan Estimasi Pada Kejadian Hujan Lebat Estimasi curah hujan dengan menggunakan metode CST dan mcst diterapkan pada sampel kejadian hujan lebat dalam 1 (satu) jam. Hasil estimasi curah hujan dengan kedua metode tersebut diplot menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.2 dan dibandingkan dengan produk pengamatan curah hujan satelit, yaitu GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation). Gambar 7. Grafik nilai bias relatif estimasi curah hujan CST dan mcst setiap bulan Berdasarkan grafik bias relatif yang dihasilkan estimasi CST dan mcst di Pontianak pada gambar 7, dapat diamati bahwa secara umum metode CST menghasilkan bias yang lebih besar dibandingkan curah hujan aktual, yaitu dengan prosentase sebesar 100 % hingga 500 %. Artinya, estimasi curah hujan dengan CST menghasilkan nilai yang over estimate sebanyak satu hingga lima kali dari curah hujan pengamatan. Prosentase bias relatif terbesar terdapat pada estimasi curah hujan ketika diterapkan pada bulan Januari dan September, dimana pada kedua bulan tersebut intensitas curah hujan yang terjadi relatif lebih kecil. Bias relatif yang dihasilkan metode mcst bernilai lebih kecil yang artinya prosentase nilai error yang dihasilkan dengan metode ini lebih kecil pula. Hal ini dilakukan untuk mengamati performa dari kedua metode estimasi serta perbandingannya dengan produk GSMaP dalam menampilkan nilai estimasi curah hujan secara spasial di wilayah Pontianak. Pada tanggal 14 Oktober 2014 jam 09.00 UTC 10.00 UTC, observasi Hellman di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak menunjukkan curah hujan sebesar 35,9 mm. Berdasarkan kategori intensitas hujan setiap jam yang ditetapkan BMKG, curah hujan ini tergolong dalam hujan dengan intensitas sangat lebat. Gambar 3.7 menunjukkan peta plot estimasi curah hujan dengan metode CST, mcst dan observasi curah hujan dari produk GSMaP untuk curah hujan dalam satu jam yaitu jam 09.00 hingga 10.00 UTC. Lingkaran merah menandakan wilayah Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak sebagai lokasi pengamatan curah hujan dengan penakar Hellman. 18
(a) (b) (c) Gambar 8. Peta plot estimasi curah hujan dalam satu jam dengan metode CST (a) dan mcst (b) serta observasi GSMaP (c) di wilayah Pontianak pada tanggal 14 Oktober 2014 jam 09.00 UTC 10.00 UTC Berdasarkan peta plot estimasi curah hujan pada gambar 8 dapat diamati bahwa dengan menggunakan metode CST, di wilayah Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak pada khususnya tergambar curah hujan yang besarnya 10 mm hingga 50 mm. Plot hasil estimasi ini menunjukkan hasil estimasi yang overestimate dibandingkan observasi di stasiun tersebut. Curah hujan dengan intensitas tinggi, yaitu mencapai 60-70 mm terkonsentrasi di wilayah Pontianak bagian selatan dan barat, sedangkan untuk wilayah Pontianak bagian tengah curah hujan relatif ringan, yaitu kurang dari 10 mm. Peta plot estimasi curah hujan dengan metode mcst menggambarkan curah hujan sebesar 10 mm hingga 40 mm di wilayah Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak. Nilai estimasi ini relatif lebih mendekati nilai pengamatan aktual dari penakar Hellman di stasiun tersebut, yaitu 35,9 mm. Secara umum, estimasi CST dan mcst menghasilkan pola curah hujan yang sama di wilayah Pontianak. Curah hujan tinggi turut digambarkan terkonsentrasi di wilayah selatan dan barat dengan menggunakan metode estimasi mcst. Namun demikian, metode CST menghasilkan nilai estimasi curah hujan yang relatif lebih besar untuk hampir keseluruhan tempat dalam wilayah penelitian. Peta observasi curah hujan dari produk GSMaP tidak berhasil menunjukkan wilayah hujan di lokasi Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak. Curah hujan yang ditunjukkan oleh produk tersebut ditunjukkan di wilayah utara, selatan dan barat dari Pontianak, namun bukan di Pontianak. Padahal observasi Hellman menunjukkan kejadian hujan sangat lebat yang terjadi pada jam tersebut. Selain itu, curah hujan selama jam kejadian yang ditunjukkan pada wilayah di luar Pontianak tersebut bernilai sangat kecil, yaitu dibawah 5,5 mm. Ketidak akuratan dari produk ini dapat disebabkan resolusi ruang yang dimiliki oleh produk GSMaP relatif lebih rendah dibandingkan 19
produk estimasi CST maupun mcst, yaitu 10-25 km. 4. KESIMPULAN Secara umum, metode CST dan mcst dapat diterapkan untuk melakukan estimasi curah hujan per jam di wilayah Pontianak. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi yang sangat kuat terhadap pengamatan Hellman. Kedua metode tersebut cukup konsisten dalam megestimasi curah hujan per jam pada setiap bulan. Kualitas yang baik dari hasil estimasi ini menunjukkan kedua metode tersebut cocok untuk diterapkan sepanjang tahun di wilayah Pontianak yang memiliki tipe hujan ekuatorial, sehingga dapat digunakan untuk memonitor curah hujan secara near real time. Nilai koefisien korelasi, MAE, RMSE dan bias relatif, diketahui bahwa metode mcst memberikan hasil estimasi curah hujan per jam yang lebih baik dan akurat dibandingkan CST. Indeks-indeks evaluasi dengan tabel kontingensi berdasarkan pengelompokan kategori intensitas hujan umumnya menunjukkan hal yang sama bahwa mcst menghasilkan kualitas estimasi yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA BMKG, 2010, Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor: KEP.009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan desiminasi Informasi Cuaca Ekstrem. Endarwin, 2014, Modifikasi Convective Stratiform Technique dengan Kombinasi Data Satelit Gelombang Mikro Pasif dan Inframerah untuk Estimasi Curah Hujan di Indonesia, Disertasi, Program Studi Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Meteorological Society of Japan, Vol. 68, pp 37-63. Hong, Yang, R.F., Adler, A., Negri dan Huffman, G.J., 2007, Flood and Landslide Applications of Near Realtime Satellite Rainfall Estimation, Journal of Natural Hazards. Islam, M. N., Islam, A. K. M. S., Hayashi, T., Terao, T. dan Uyeda, H, 2002, Application of a Method to Estimate Rainfall in Bangladesh Using GMS-5 Data, Journal of Natural Disaster Science, Vol. 24, no. 2 pp 83-89. Jiang, S., Ren, L., Yong, B., Yang, X. dan Shi, L, 2010, Evaluation of High- Resolution Satellite Precipitation Products with Surface Rain Gauge Observations from Laohahe Basin in Northern China. Water Science and Engineering, Vol. 3, no. 4 pp 405-417. Joyce, R. J., Janowiak, J. E., Arkin, P. A. dan Xie, P., 2004, CMORPH: A Method that Produces Global Precipitation Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal resolution. Journal of hydrometeorology, Vol. 5, pp 487-503. Kouchak, A. A. dan Mehran, A., 2013, Extended Contingency Table: Performance Metrics for Satellite Observations and Climate Model Simulations. Water Resources Research, Vol. 49, pp 7144-7149. Sugiyono, 2004, Statistik Untuk Penelitian, Goldenberg, S. B., R. A. Houze, Jr. dan Churchill, D. D., 1990, Convective and Stratiform Components of a Winter Monsoon Cloud Cluster Determined from Geo-Synchronous Infrared Satellite Data, Journal of the 20