TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing Peranakan Etawah (PE)

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kambing Bangsa-bangsa Kambing di Indonesia

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN EXON 4 PADA KAMBING PE, SAANEN DAN PESA DENGAN METODE PCR-SSCP SKRIPSI LENNY ROMAULI MARPAUNG

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP SKRIPSI PAULINA YUNIARSIH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (EXON 2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PERSILANGANNYA (PESA) DENGAN METODE PCR-SSCP

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

Sejarah Kambing. Klasifikasi Kambing. Filum : Chordota (Hewan Tulang Belakang) Kelas : Mamalia (Hewan Menyusui)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing Perah

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Perah Kambing Saanen

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (tipe

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (Integrated Taxonomic Information System) adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Hasil dan Pembahasan

Pengujian DNA, Prinsip Umum

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasar pangan yang semakin global membawa pengaruh baik, namun

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang. Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

BANGSA-BANGSA KAMBING PERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Chen et al., 2005). Bukti arkeologi menemukan bahwa kambing merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

MACAM-MACAM TIPE PCR DAN TEKNIK PEMOTONGAN PROTEIN DENGAN METODE EDMAN SEBAGAI DASAR KERJA ANALISIS SEKUENSING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu domba memiliki stockier bodies yang lebih besar daripada kambing. Kambing memiliki ekor yang lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar, sedangkan domba melingkar dan berbentuk spiral. Kambing jantan dewasa memiliki janggut mengelurkan bau yang khas yang berasal dari kelenjar bandot, namun domba jantan tidak. Tengkorak domba mempunyai tulang air mata dan dekat kotak matanya terdapat kelenjar praeorbital. Kambing tidak memiliki kelenjar scent pada bagian muka dan kakinya, domba memiliki kelenjar tersebut (organ khusus yang menyekresikan substansi aroma (pheromone) untuk menarik betina). Biasanya kambing lebih aktif daripada domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan James, 1992). Kambing diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Animalia; Phylum Chordata; Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo Ruminantia; Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra dan Species hircus (Mileski dan Myers, 2004). Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (Gall, 1981). Penyebaran kambing sangat luas dan hampir tersebar di seluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh kambing, yaitu daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan hijauan terbatas (Gall, 1981) serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Peranakan Etawah (PE) Jenis kambing perah yang dipelihara peternak di Indonesia pada umumnya adalah Peranakan Etawah (PE). Kambing PE jika ditinjau dari namanya merupakan keturunan kambing Etawah (Capra Entawa) atau kambing Jamnapari yang diimpor 3

dari India pada tahun 1920-an (French, 1970). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dari India dengan kambing Kacang dari Indonesia. Budidaya kambing PE berkembang sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hasilnya berupa susu, kambing pedaging (jantan muda) dan kambing kurban (jantan tua) yang lazim pula disebut bandot. Kambing PE banyak diternakkan di Kabupaten Purworejo (Jateng) dan Kabupaten Sleman serta Kulonprogo (DIY). Kambing PE di daerah Jateng dan DIY biasa disebut dengan kambing Gibas, kambing Benggolo atau kambing Koploh. Disebut dengan kambing Gibas karena bulu di bagian bawah ekor tumbuh memanjang. Disebut kambing Benggolo karena oleh masyarakat dianggap berasal dari "tanah Benggolo" (Bengali=India). Koploh berarti ukuran telinganya yang sangat panjang dan menggelantung ke bawah. Kambing PE telah berkembang dengan baik dan diterima oleh masyarakat (Heriyadi, 2004). Pemeliharaan kambing PE di Indonesia ditujukan untuk penghasil daging dan susu (dual purpose). Pemeliharaan kambing PE sebagai ternak penghasil daging dan susu memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki kemampuan adaptasi yang luas, yaitu dari daerah tropis hingga subtropis, sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap iklim yang ada di Indonesia. Kambing PE mudah sekali dibedakan dari kambing Kacang (kambing lokal) dengan melihat ukuran, bobot tubuh serta penampilannya. Kambing Kacang berukuran kecil (bobot jantan 35 kg) sedangkan kambing PE jantan kualitas baik bisa mencapai bobot 100 kg. Telinga kambing Kacang pendek dan tegak, sementara telinga kambing PE panjang dan menggantung. Tulang muka (dahi) kambing Kacang rata, kambing PE melengkung. Tanda yang paling mencolok pada kambing PE adalah adanya bulu yang panjang di bagian bawah ekornya dan tidak pernah terdapat pada kambing Kacang. Tingkat kemurnian (keaslian) kambing PE sangat dijaga oleh masyarakat Purworejo dan Kolonprogo dengan membentuk organisasi peternak dan menciptakan kriteria keaslian (standar mutu) kambing PE jantan maupun betina. Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan dan betina dapat mencapai 90 dan 60 kg (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Kambing PE dengan umur potong 10-12 bulan dapat menghasilkan bobot potong 65-70 kg. Ciri-ciri spesifik kambing PE antara lain 4

bentuk hidung benguk, panjang telinga 25-30 cm menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna rambut bervariasi, kuping, kaki dan rambut yang panjang, memiliki ambing yang besar, dan produksi susu tinggi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Kambing PE dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal betina dan jantan sebesar 3,2 dan 3,7 kg (Setiadi dan Sutama, 1997). Masa laktasi kambing perah sekitar 6-7 bulan. Meskipun hasil susu kambing sering direkomendasikan bisa mencapai 2-2,5 liter per ekor per hari, namun dalam praktiknya, para peternak kambing hanya mampu menghasilkan susu kambing sebnyak 1,2 liter per ekor per hari (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE di Indonesia mampu menghasilkan susu 2-3 liter per ekor per hari dengan masa laktasi lebih dari 150 hari (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Gambar 1. Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009) Kambing Saanen Kambing Saanen berasal dari lembah Saane bagian baratdaya Switzerland. Bangsa kambing Saanen secara umum dikenal sebagai penghasil susu yang terbesar dan kambing Saanen dan persilangannya juga telah sangat populer sebagai kambing penghasil susu di Eropa, karena itu bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara (Devendra dan Burns, 1994). 5

Karakteristik kambing Saanen ditinjau dari ukuran tubuhnya adalah medium sampai besar dengan pertulangan yang tidak datar dan tingkah lakunya aktif. Kambing Saanen umumnya berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing serta betina Saanen biasanya tidak memiliki tanduk (Greenwood, 1997). Rambut pada kambing Saanen pendek dan halus, telinganya tegak dan mengarah ke depan dan mukanya lurus (Ensminger, 1987). Kambing Saanen agak sulit berkembang di daerah tropis karena sensitif terhadap sinar matahari, oleh karena itu dalam pemeliharaannya perlu menggunakan naungan (Devendra dan McLeroy, 1982). Rataan berat badan kambing betina dan jantan adalah 65 dan 75 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi betina dan jantan sekitar 81 dan 94 cm. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 1,80 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu 216 kg dengan panjang laktasi 275 hari (Gall, 1981). Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate prduksi susu dapat mencapai 5 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994) Gambar 2. Kambing Saanen (Harun, 2010) 6

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara PE betina dan Saanen jantan. Rachman (2010) menyebut kambing ini dengan nama SAPE. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik atau sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing ini memiliki produksi susu harian yang lebih baik dari pada kambing PE, namun lebih rendah daripada Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al., 2005) karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek (Ruhimat, 2003). Noorcandratini (2004) melaporkan bahwa produksi harian kambing PESA di PT Fajar Taurus rata-rata sebesar 1,8 liter. Gambar 3. Kambing PESA (Rachman, 2010) Gen Growth Hormone (GH) Growth hormone (GH) merupakan hormon peptida dengan rantai polipeptida tunggal 190 atau 191 asam amino yang terdiri dari dua jembatan disulfida (Paladini et al., 1983) yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan beragam aktivitas metabolis (Sterle et al., 1995; Ran et al., 2004). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotropin pada lobus anterior kelenjar pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai 2-3 kb dan terdiri dari lima exon yang dipisahkan oleh empat intron (MacLeod et al., 1992; Golos et al., 1993). Exon pada suatu gen diketahui mengkode suatu bagian tertentu (yang disebut domain) pada suatu protein, sedangkan intron merupakan bagian yang tidak mengkode urutan asam amino 7

(Yuwono, 2008). Sekuens gen GH kambing memiliki panjang 2544 pb (Kioka et al., 1989) dan masing-masing exon dan intron memiliki panjang sekuens nukleotida yang berbeda (Jakaria, 2008). Pengaruh gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Banyak penelitian pada ruminansia menguatkan peranan gen GH dalam mengatur pertumbuhan kelenjar ambing. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah banyak dipakai sebagai marker. Gen GH memiliki panjang exon dan intron yang berbeda-beda. Rekonstruksi struktur gen GH Capra hircus berdasarkan data yang terdapat di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/d00476.1) dapat dilihat pada Gambar 4 dan sekuens gen GH kambing secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5. Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Flanking region 5 Keterangan: Lokus : D00476 Panjang : 2544 bp Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064 Exon 1 : 432-444 = 13 bp Intron 1 : 445-691 = 247 bp Exon 2 : 692-852 = 161 bp Intron 2 : 853-1079 = 227 bp Exon 3 : 1080-1196 = 117 bp Intron 3 : 1197-1425 = 229 bp Exon 4 : 1426-1587 = 162 bp Intron 4 : 1588-1863 = 276 bp Exon 5 : 1864-2064 = 201 bp Gambar 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH pada Kambing Flanking region 3 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan suatu reaksi untuk menggandakan jumlah molekul DNA target secara in vitro dengan berulang melalui perpanjangan dua primer pada suatu areal DNA tertentu. Reaksi ini menghasilkan produk amplikasi (amplikon) dengan jumlah yang meningkat secara eksponensial dari jumlah DNA awal. Reaksi ini bekerja dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase dan dua oligonukleotida sebagai primer (primer forward dan primer reverse). 8

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tatgatggct GCAGgtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct 481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt 541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt 601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc 661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gggccccgga CGTCCCTGCT CCTGGCTTTC 721 ACCCTGCTCT GCCTGCCCTG GACTCAGGTG GTGGGCGCCT TCCCAGCCAT GTCCTTGTCC 781 GGCCTGTTTG CCAACGCTGT GCTCCGGGCT CAGCACCTGC ATCAACTGGC TGCTGACACC 841 TTCAAAGAGT TTgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt 901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca 961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat 1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagg 1081 AGCGCACCTA CATCCCGGAG GGACAGAGAT ACTCCATCCA GAACACCCAG GTTGCCTTCT 1141 GCTTCTCCGA AACCATCCCG GCCCCCACGG GCAAGAATGA GGCCCAGCAG AAATCAgtga 1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct 1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt 1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt GGAGCTGCTT 1441 CGCATCTCAC TGCTCCTTAT CCAGTCGTGG CTTGGGCCCC TGCAGTTCCT CAGCAGAGTC 1501 TTCACCAACA GCCTGGTGTT TGGCACCTCG GACCGTGTCT ATGAGAAGCT GAAGGACCTG 1561 GAGGAAGGCA TCCTGGCGCT GATGCGGgtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct 1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag 1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt 1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg 1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg 1861 caggagctgg AAGATGTTAC CCCCCGGGCT GGGCAGATCC TCAAGCAGAC CTATGACAAA 1921 TTTGACACAA ACATGCGGAG TGACGACGCG CTGCTGAAGA ACTACGGTCT GCTCTCCTGC 1981 TTCCGGAAGG ACCTGCACAA GACGGAGACG TACCTGAGGG TCATGAAGTG TCGCCGCTTC 2041 GGGGAGGCGA GCTGCGCGTT CTAGttgcca gccatctgtt gttacccctc cccgtgcctt 2101 cctagaccct ggaaggtgcc actccagtgc ccactgtcct ttcctaataa agcgaggaaa 2161 ttgcatcaca ttgtctgagt aggtgtcatt ctattctagg gggtggggtc aggcaggata 2221 gcgagaggga ggattgggaa gacaatagca gggatgctgt gggctctatg ggtacccagg 2281 tgctgaataa ttgacccggt tcttcctggg ccagaaggaa gcaggcacat ccccttctct 2341 gtgacacacc cggtcctcgc ccctggtcct tagttccagc cccactcata ggacactcat 2401 agctcaggag ggctctgcct tcagtcccac ccgctaaagt gcttggagcg gtttctcctt 2461 ccctcatcag cccaccaaac caaacctagc ctccaagagt gggaagaaat taaagcaaga 2521 caggctatga agtacagagg gaga Keterangan: Warna biru = daerah open reading frame (ORF) Huruf kapital = daerah exon Huruf kecil = daerah intron Cetak tebal = posisi primer gen GH exon 4 Gambar 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011) Sintesis rangkaian DNA yang baru memerlukan dntps (datp, dctp, dgtp dan dttp). Reaksi PCR berlangsung dalam lima tahap, yaitu denaturasi awal, denaturasi akhir, penempelan primer (annealing), pemanjangan (extension) dan inkubasi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini biasanya berlangsung sebanyak 35-40 siklus (Muladno, 2002). Reaksi PCR dipengaruhi oleh reaksi campuran DNA template (yang mengandung sekuen yang 9

akan diamplifikasi), primer, campuran nukleotida dan berbagai senyawa biokimia lainnya dan enzim yang tahan terhadap panas yang disebut sebagai DNA polymerase. Semua campuran reaksi tersebut berada dalam satu plastic tube (Claverie dan Notredame, 2003). Efisiensi amplifikasi PCR dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran DNA target menjadi lebih kecil. DNA dapat dipotong secara fisik dengan meresuspensi atau mengocok DNA menggunakan ujung tips yang sempit atau secara kimia dengan menggunakan enzim restriksi. Pengecilan ukuran DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi denaturasi DNA target utas ganda menjadi DNA target utas tunggal (Gerhardt et al., 1994). Komponen PCR antara lain DNA target, sepasang primer (forward dan reverse), dntp, DNA polymerase untuk PCR dan buffer. Produk amplifikasi harus spesifik dan menghasilkan produk amplifikasi yang besar (efisien), sehingga perlu optimasi kondisi PCR termasuk pemilihan kondisi DNA target, konsentrasi dan jenis DNA polymerase, dntp, perancangan primer yang baik, penetapan siklus yang sesuai dan pemilihan mesin PCR yang baik (Gerhardt et al., 1994). Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP) PCR adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis sekuens DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan kedua oligonukleatida sebagai primer yang berhibridisasi secara berlawanan pada sisi target utas DNA yang diinginkan (Muladno, 2002). DNA dapat diperbanyak melalui reaksi berantai polymerase dari sehelai rambut, setetes darah, semen, kuku dan lain-lain. Bahan awal untuk PCR adalah DNA yang mengandung sekuens yang akan diamplifikasi. Jumlah DNA yang diperlukan untuk proses PCR sangat kecil, biasanya lebih kecil dari satu mikrogram. Inisiasi target DNA memerlukan dua oligonukleatida primer dan sebagai prekursor diperlukan campuran keempat deoksinukleotida trifosfat (dntp) dan dibutuhkan juga enzim DNA polymerase. Konsentrasi Mg 2+ pada buffer PCR yang cukup juga diperlukan. Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi atau perubahan struktur DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal, annealing atau penempelan primer pada sekuens DNA 10

komplementer yang akan diperbanyak dan extension atau pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002). SSCP adalah metode elektroforesis yang populer untuk mengidentifikasi mutasi sekuens. Metode ini dianggap populer dengan asumsi dasarnya adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis (Orita et al., 1989; Barroso et al,. 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Fragmen DNA untai tunggal yang mengalami perubahan pada susunan nukleotidanya akan membentuk suatu konformasi tiga dimensi yang kompleks dan berbeda dengan fragmen DNA yang tidak mengalami perubahan (normal). Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi dalam gel poliakrilamida sehingga dapat diidentifikasi keragamannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi sensitifitas SSCP, yaitu: (1) konsentrasi crosslinker; (2) konsentrasi DNA dan panjang fragmen DNA; (3) konsentrasi buffer, temperatur dan komposisi matriks gel (Beier, 1993); (4) komposisi produk PCR; (5) lama dan voltase elektroforesis dan (6) lokasi mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999). Metode SSCP sering digunakan untuk mendeteksi keragaman gen karena memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan SSCP dibandingkan dengan metode lain, yaitu: (1) sederhana dan dapat dikerjakan di laboratorium biasa (Bastos et al., 2001); (2) dapat mendeteksi adanya mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999) sehingga dapat dibedakan dengan yang normal dan (3) visualisasi tidak perlu menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al., 1999). Namun demikian terdapat juga beberapa kekurangan metode SSCP, yaitu: (1) fragmen DNA yang dapat dianalisis terbatas ukurannya (lebih efektif pada ukuran panjang 100-250 bp); (2) perlu kondisi yang beragam untuk mendeteksi beberapa kemungkinan mutasi (Beier, 1993); (3) tidak efisien untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukloetidanya; (4) sulit untuk menginterpretasikan pita-pita yang dihasilkan dan (5) terbatas dalam menentukan jumlah alel (Prizenberg et al., 2005). 11