TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Menurut sistem klasifikasinya, sawit termasuk dalam kingdom plantae,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. kingdom plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas

TINJAUAN PUSTAKA. kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang sawit berbentuk silinder dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit atau panel

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

TINJAUAN PUSTAKA. Papan Partikel. Sorghum (Shorgum bicolour) merupakan salah satu sumber daya alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Indonesia menyebabkan industri kehutanan mengalami krisis bahan baku.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dari tahun seluas 8,91 juta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIASI SUHU DAN WAKTU PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT DENGAN PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu

TINJAUAN PUSTAKA. dan sebagainya(suharto, 2011). Berdasarkan wujudnya limbah di kelompokkan

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Klasifikasi papan partikel menurut FAO (1958) dan USDA (1955)

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang material komposit,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Papan Partikel

Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Nangka sebagai Bahan Baku Alternatif dalam Pembuatan Papan Partikel untuk Mengurangi Penggunaan Kayu dari Hutan Alam

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI KOMPOSISI PARTIKEL BATANG KELAPA SAWIT DAN MAHONI DENGAN BERBAGAI VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

(Penulis Korespondensi: 2 Dosen Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

KUALITAS PAPAN PARTIKEL TANDAN KOSONG SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENGGUNAKAN PEREKAT LIKUIDA DENGAN PENAMBAHAN RESORSINOL YULIANI

Medan (Penulis Korespondensi : 2 Staf Pengajar Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Balok laminasi pertama kali digunakan pada tahun 1893 di Eropa pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PRISMA FISIKA, Vol. III, No. 3 (2015), Hal ISSN :

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga didunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SIFAT FISIS MEKANIS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH KAYU GERGAJIAN BERDASARKAN UKURAN PARTIKEL

Sifat-sifat papan semen partikel yang diuji terdiri atas sifat fisis dan mekanis. Sifat fisis meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal dan

BAB I PENDAHULUAN. ( Jamilah, 2009 ). Menurut Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2006) bahwa

PENGUJIAN SIKLIS PAPAN PARTIKEL

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Choon et al., (1991) kelapa sawit adalah tumbuhan jenis

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

(Variation of Particle Pretreatment of Subterranean Termite Attack on Particle Board From Oil Palm Trunk Waste with Phenol Formaldehyde Adhesive)

PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR KULIT DURIAN (Durio zibethinus murr.)

BAHAN DAN METODE. Penelitian di laksanakan bulan September - November Penelitian ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Luthfi Hakim 1 dan Fauzi Febrianto 2. Abstract

METODOLOGI PENELITIAN

Abstract. oil palm trunk waste, mahogany s, phenol formaldehyde, physical and mechanical properties, particle board.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

Anwar Kasim, Yumarni dan Ahmad Fuadi. Abstract. Key words: Elaeis guineensis Jacq., trunk, Uncaria gambir Roxb., adhesive, particleboard.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

KAYU LAPIS BAMBU (BAMBOO PLYWOOD) DARI PEMANFAATAN LIMBAH KERAJINAN BILIK BAMBU

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bahan baku industri terus meningkat jumlahnya, akan tetapi rata-rata pertumbuhan

17 J. Tek. Ind. Pert. Vol. 19(1), 16-20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

Uji Efektifitas Teknik Pengolahan Batang Kayu Sawit untuk Produksi Papan Panil Komposit

BAB III METODE PENELITIAN

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kiki Sinaga, M. Dirhamsyah Dan Ahmad Yani Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jalan Imam Bonjol Pontianak

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU (Saccharum officinarum)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS. Jamal Balfas

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat

PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN KAYU JATI SEBAGAI BAHAN BAKU PAPAN PARTIKEL NON PEREKAT

PENGARUH UKURAN CONTOH UJI TERHADAP BEBERAPA SIFAT PAPAN PARTIKEL DAN PAPAN SERAT DEVINA ROFI AH PUTRI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KOMPOSISI FACE-CORE TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIS ORIENTED STRAND BOARD DARI BAMBU DAN ECENG GONDOK

Transkripsi:

4 TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit (BKS) Menurut sistem klasifikasi yang ada kelapa sawit termasuk dalam Kingdom plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Family Arecaceae, Subfamili Cocoideae, Genus Elaeis dan Spesies E. guineensis Jacq (Tomlinson, 1961). Kelapa sawit diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan serta beberapa daerah lain dengan skala yang lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya adalah Brazil (Lubis, 1992). Perkebunan kelapa sawit telah berkembang pesat di Indonesia. Berdasarkan penelitian Febrianto dan Bakar (2004) pada umur peremajaan tinggi batang sawit dapat mencapai 12 m, sehingga bila 1,5 m batang dari pangkal dan 1 m batang dari ujung dikeluarkan, maka dari setiap batang dihasilkan 9,5 m log sawit dengan diameter rata-rata 40 cm. Dengan demikian dari setiap batang peremajaan akan dihasilkan sebanyak 1,193 m 3 log sawit. Bila dalam 1 ha ada 140 batang, maka dari setiap ha peremajaan akan menghasilkan 167 m 3 log sawit. Satu hektar kebun kelapa sawit yang diremajakan dapat menghasilkan sekitar 70 ton BKS (berat kering) dengan asumsi hanya 30 % dari batang tersebut yang dapat diolah menjadi papan partikel. Rata-rata luas kebun kelapa sawit yang diremajakan sekitar 15.000 ha/tahunnya. Jika dalam 1 ha kebun kelapa sawit yang diremajakan dapat diproduksi sekitar 35 m 3 papan partikel dengan kerapatan 0,6 gr/cm 3, maka prospek industri papan partikel dari limbah BKS sangat menjanjikan (Prayitno dan Darmoko, 1994).

5 Bahan baku pembuatan papan partikel dihasilkan dari BKS tua umur peremajaan yaitu setelah umur 25 tahun. Struktur BKS mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal batang dan bagian ujung, bagian tengah batang, inti dan bagian tepinya. Sifat-sifat dasar dari BKS yaitu kadar airnya sangat bervariasi pada berbagai posisinya dalam batang. Kadar air batang dapat mencapai 100-500 %. Sifat lain adalah berat jenis yang juga berbeda pada setiap bagian batang. Secara rata-rata berat jenis BKS termasuk kelas kuat IV pada bagian tepi dan kelas kuat V pada bagian tengah dan pusat batang (Bakar, 2003). Sifat-sifat itu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat-sifat dasar BKS Sifat-Sifat Penting Bagian Dalam Batang Tepi Tengah Pusat Berat Jenis 0,35 0,28 0,20 Kadar Air (%) 156 257 365 Kekuatan Lentur (kg/cm 2 ) 29.996 11.421 6.980 Keteguhan Lentur (kg/cm 2 ) 295 129 67 Susut Volume 26 39 48 Kelas Awet V V V Kelas Kuat III-V V V Sumber : Bakar (2003) Salah satu sifat BKS adalah higroskopis sehingga akan menyusut dengan turunnya kadar air dan mengembang dengan naiknya kadar air. Susut volume BKS semakin besar pada bagian tepi ke pusat batang dan dari bagian pangkal ke ujung batang. Volume penyusutan dapat mencapai 70% pada pusat batang (Febrianto dan Bakar, 2004). Sifat kimia dari BKS yaitu air, lignin dan selulosa menurun dari bagian tepi batang ke bagian pusat dengan laju penurunan yang berbeda, sebaliknya kadar pati meningkat dari bagian tepi ke pusat batang (Rahayu, 2001). Kandungan pati yang tinggi terdapat pada bagian pusat dan pati ini sangat mengganggu dalam

6 proses perekatan. Dengan demikian, tidak direkomendasikan dalam pembuatan papan sambung dan papan partikel. Hasil analisis kimia juga menunjukkan kadar lignin dan kadar ekstraktif yang tinggi pada semua kedalaman batang (Bakar dkk.., 1998). Berdasarkan hasil penelitian Bakar dkk. (2000) bagian BKS yang digunakan adalah 1/3 dari bagian terluar dan 3/4 bagian terbawah dari tinggi BKS. Hal ini juga ditambahkan oleh Iswanto dkk. (2010) menyatakan BKS bagian tepi cocok dipergunakan sebagai bahan konstruksi ringan dan mebel karena memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik, sedangkan bagian tengah dan pusat (dalam) dipergunakan sebagai bahan baku papan partikel atau produk papan komposit lainnya. Menurut Balfas (2003), secara umum terdapat beberapa hal yang kurang menguntungkan dari BKS yaitu 1. Kandungan air pada batang segar sangat tinggi (dapat mencapai 500 %). 2. Kandungan patinya sangat tinggi (pada jaringan parenkim mencapai 45 %). 3. Keawetan alaminya rendah. 4. Kadar air keseimbangan relatif tinggi. 5. Pada proses pengeringan terjadi kerusakan parenkim yang disertai dengan perubahan dan kerusakan fisik secara berlebihan. 6. Pada pengelolaan mekanik BKS lebih cepat menumpulkan pisau, gergai dan ampelas. 7. Kualitas permukaan batang setelah pengelolaan relatif sangat rendah. 8. Proses pengerjaan akhir memerlukan bahan lebih banyak.

7 Papan Partikel Papan partikel merupakan salah satu produk biokomposit yang dihasilkan dari potongan kayu kecil (partikel) atau bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat dengan menggunakan perekat dan dibantu oleh faktor suhu, tekanan dan waktu kempa (Haygreen dan Bowyer, 1996). Bentuk partikel yang digunakan dalam pembuatan partikel dapat mermacam-macam seperti bentuk serbuk, serpihan (flake), hasil ketaman (shaving), potongan kecil (chips), untai (strand), sliver dan wafer. Menurut Japanese Industrial Standard (2003) papan partikel diklasifikasikan berdasarkan variabel-variabel tertentu seperti: kondisi permukaan, keteguhan lentur, jenis perekat yang digunakan, jumlah formaldehida yang dilepaskan dan ketahanan bakar. FAO (1996) mengklasifikasikan papan partikel berdasarkan kerapatannya menjadi tiga golongan, yaitu : 1. Papan partikel berkerapatan rendah (Low Density Particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan kurang dari 0,4 g/cm 3. 2. Papan partikel berkerapatan sedang (Medium Density Particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan kurang dari 0,4 0,8 g/cm 3. 3. Papan partikel berkerapatan tinggi (High Density Particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan lebih dari 0,8 g/cm 3. Berdasarkan tujuan penggunaannya menurut SNI 03-2105-1996 papan partikel dikelompokkan ke dalam: a. Papan partikel tipe I adalah papan partikel untuk penggunaan di luar ruangan yang tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif lama.

8 b. Papan partikel tipe II adalah papan partikel untuk penggunaan di dalam ruangan yang tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif pendek. Sifat papan partikel dipengaruhi oleh bahan baku pembentuknya, perekat dan formulasi yang digunakan, serta proses pembuatan papan partikel tersebut mulai dari persiapan bahan baku kayu, pembentukan partikel sampai proses kempa dan penyelesaiannya. Penggunaan papan partikel yang tepat akan berpengaruh terhadap lama dan pemanfaatan yang diperoleh dari papan partikel yang digunakan. Sifat bahan baku berpengaruh terhadap sifat papan partikel seperti jenis dan kerapatan kayu, bentuk dan ukuran bahan baku kayu yang digunakan, kadar air kayu, ukuran dan geometri partikel kayu, tipe dan penggunaan kulit kayu (Hadi, 1988). Maloney (1993) menyatakan bahwa dibandingkan dengan kayu asalnya, papan partikel mempunyai beberapa kelebihan diantaranya papan partikel bebas mata kayu, ukuran dan kerapatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, tebal dan kerapatannya seragam serta mudah dikerjakan, mempunyai sifat isotropis, kemudian sifat dan kualitasnya dapat diatur. Papan partikel juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu ketahanan yang rendah terhadap air yang menyebabkan papan partikel mudah menyerap air dan dalam keadaan basah sifat-sifat yang berhubungan dengan kekuatan menurun drastis. Dalam proses pembuatan papan partikel, faktor yang mempengaruhi adalah perekat, waktu kempa, suhu kempa dan tekanan kempa. Semakin tinggi suhu kempa yang digunakan, maka pengembangan tebal dan daya serap air semakin rendah, keteguhan lentur dan kekuatan tarik sejajar permukaan semakin tinggi. Semakin tinggi kadar perekat yang digunakan maka kualitas papan partikel

9 semakin baik, namun karena pertimbangan biaya produksi, biasanya kadar perekat yang digunakan untuk produk papan partikel tidak lebih dari 12 % (Massijaya, 1997). Perekat Urea Formaldehida (UF) Perekat adalah suatu zat atau substansi untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Berdasarkan cara mengerasnya perekat dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu perekat thermoplastic dan perekat thermosetting. Perekat thermosetting lebih disukai dalam pembuatan papan partikel karena perekat jenis ini akan mengeras secara permanen, sedangkan perekat thermoplastic adalah perekat yang mengeras dalam kondisi dingin dan akan melunak jika dipanaskan (Bahtiar, 2008). Menurut Sutigno (1994) perekat UF merupakan hasil dari reaksi antara urea dengan formaldehida yang dijual dalam bentuk cair, berwarna jernih sampai putih dan termasuk perekat interior. Perekat UF mempunyai sifat-sifat yaitu berwarna putih pada kemasan dan berwarna transparan jika sudah direkat sehingga tidak mempengaruhi warna papan dengan kekentalan 30 centipoise. Harga UF lebih murah, tidak mudah terbakar, mempunyai sifat panas yang baik, mudah adaptasi selama conditioning, tahan terhadap air dingin dan tahan biodeteriorasi karena perekat ini tidak disukai organisme perekat (Nurdiana, 2005). Perekat UF termasuk tipe perekat tahan lembab dan setengah tahan cuaca. Umumnya perekat urea banyak digunakan dalam industri kayu lapis. Hal ini disebabkan karena perekat ini tidak tahan terhadap perubahan cuaca dibandingkan

10 perekat fenol dan melamin (Ruhendi, 1988). Kelemahan perekat urea formaldehida yaitu hanya dapat digunakan untuk kebutuhan interior, dimana tidak dituntut daya tahan yang tinggi terhadap air dan kelembaban (Maloney, 1977). Hal tersebut disebabkan mudahnya UF mengalami kerusakan ikatan hydrogen karena pengaruh kelembaban dan asam khususnya pada suhu sedang dan suhu tinggi. Dalam air dingin laju kerusakan struktur resin sangat lambat tapi pada suhu di atas 40 o C kerusakan dipercepat dan di atas 60 o C prosesnya sangat cepat. Perekat UF mempunyai viskositas (25 o C) sebesar 1,0-3,0 Cps, resin solid content 40-60 %, formaldehida bebas sebesar 1,5 %, ph 7-7,6, berat jenis (25 o C) sebesar 1,185-1,195, waktu menjadi kental (35 o C) sebesar 30-120 menit, bahan yang tidak menguap sebesar 40-51%, dan waktu simpanan (30 o C) sebesar > 20 jam (Kliwon dan Iskandar, 2010). Menurut Maloney (1993), kebutuhan resin perekat UF untuk pembuatan papan partikel berkisar antara 6-10 % berdasarkan berat kering tanur partikel sedangkan menurut Rowell dkk. (1997), kadar resin yang umum digunakan berkisar antara 4-15 % tetapi kebanyakan berkisar antara 6-9 %. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), UF mempunyai pengerasan yang singkat dalam kempa panas, warna putih, harga lebih murah, dalam pembuatan ditambahkan 6-10 % dari berat kering oven partikel, semakin banyak perekat ditambahkan semakin baik kualitas papan tetapi untuk efisiensi biaya perekat harus seminimal mungkin dengan kualitas papan tinggi. Peningkatan kadar resin dapat meningkatkan keteguhan patah dan keteguhan rekat serta menurunkan ekspansi linier, daya absorbsi air, dan pengembangan tebal papan partikel (Maloney, 1993).

11 Pengempaan Pengempaan bertujuan untuk membantu proses pengaliran perekat membentuk lapisan tipis, membantu proses pemindahan perekat agar dapat berpindah dari satu permukaan ke permukaan lain, membantu proses penembusan perekat ke rongga sel kayu (Sutigno, 1988). Pengempaan produk perekatan bertujuan untuk menempelkan perekat lebih rapat sehingga garis perekat dapat terbentuk serata mungkin dengan ketebalan yang setipis mungkin. Pengempaan di dalam proses perekatan dibagi ke dalam dua tipe yaitu pengempaan dingin (repressing atau cold pressing) dan pengempaan panas (hot pressing) yang dijalankan dengan suhu dan tekanan tertentu. Perekatan partikel terjadi pada saat proses pengempaan dan dipengaruhi oleh suhu, waktu dan tekanan pengempaan. Suhu pengempaan yang rendah perlu diimbangi dengan waktu yang lama. Suhu yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan mengurangi keteguhan rekatnya. Masa kempa perlu disesuaikan dengan perekat yang digunakan serta suhu pada proses pengempaan. Tekanan saat pengempaan biasanya berkisar 5-25 kg/cm 2 (Sutigno, 1988). Suhu pada saat proses kempa berkisar antara 130-150 o C dan besarnya tekanan antara 15-35 kg/cm 2 (FAO, 1997). Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pencapaian keberhasilan proses perekatan adalah waktu pengempaan. Waktu kempa tergantung dari beberapa faktor antara lain tipe atau jenis perekat yang dipergunakan. Prinsip yang dipakai untuk menentukan lama waktu pengempaan adalah perilaku jenis perekat dan kondisi adonan perekat yang dipakai sewaktu dikenai tekanan. Waktu

12 kempa juga dipengaruhi oleh ketebalan bahan yang direkat dan komposisi adonan atau larutan perekat (Ruhendi dkk., 2007). Suhu pengempaan berhubungan dengan waktu pengempaan. Suhu yang tinggi diperlukan untuk mematangkan perekat dengan cepat tetapi kurang ekonomis karena diperlukan biaya yang tinggi untuk membawa suhu kempa ke suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar. Suhu yang rendah dipakai untuk mematangkan perekat tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Hubungan antara biaya dan waktu pengempaan berarti membentuk kombinasi keduanya yang selanjutnya akan menentukan kapasitas pabrik berjalan untuk memproduksi produk perekatan (Ruhendi dkk., 2007). Rayap Tanah Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat berbahaya bagi bangunan yang dibangun dengan bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat, plywood, blockboard dan laminated board) (Iswanto, 2005). Rayap tanah termasuk dalam kelas Insecta, ordo Isoptera, family Rhinotermitidae dan Termitidae (Tambunan dan Nandika, 1989). Rayap tanah adalah jenis rayap penyerang kayu dan untuk hidupnya selalu membutuhkan kelembaban yang tinggi dan bersifat menjauhi cahaya. Rayap merupakan serangga sosial dan terdapat pembagian kerja di antara kastanya. Hampir setiap jenis rayap mempunyai kasta reproduktif, kasta prajurit dan kasta pekerja yang mempunyai tugas yang sangat spesifik yaitu membangun

13 sarang, mengumpulkan makanan dan memberi makan kasta reproduktif dan prajuritnya (Sigit dan Hadi 2006). Menurut Nandika dkk. (2003), rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya, mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm, lebar kepala 1,40-1,44 mm dan panjang badan 5,5-6,0 mm. Selain itu, bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri dan abdomen berwarna putih kekuningan. Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan yaitu: 1. Sifat trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan perukaran bahan makanan. 2. Sifat cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang). 3. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. 4. Sifat necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. Untuk dapat mengetahui tingkat keawetan suatu jenis kayu dilakukan pengujian dalam kondisi pemakaian sebenarnya. Cara yang dapat dilakukan untuk menguji keawetan ini adalah dengan uji kubur (grave yard test), dimana dalam uji ini sampel dalam ukuran dan berat tertentu dikubur dalam jangka waktu 90-100

14 hari. Lalu ditimbang beratnya pada kering tanur. Makin kecil tingkat penurunan beratnya umumnya keawetannya makin tinggi. Menurut Karlinasari dkk.. (2009) uji kubur diperoleh dua keuntungan yaitu selain kayu dapat diuji dalam kondisi pemakaian, sekaligus diketahui tingkat keawetan suatu jenis kayu. Pada pengujian ini jumlah rayap yang menyerang contoh uji tidak dapat diketahui, sehingga untuk menilai kerusakannya dapat dilakukan penilaian secara kualitatif. Kelemahan dari uji kubur ini adalah waktu pengujian yang relatif lama, perlu perawatan kondisi lapangan dan sulit untuk menentukan jenis organisme perusaknya.