BAB I PENDAHULUAN. dianggapnya bebas, misalnya mengutarakan pendapat di depan publik.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN. dengan determinisme dapat kita golongkan secara umum menjadi compatibilism

KEBEBASAN MENURUT IMMANUEL KANT DALAM GROUNDWORK FOR THE METAPHYSICS OF MORALS KURNIAWAN WINDU PERDANA

BAB I PENDAHULUAN. filsafat. Setiap tradisi atau aliran filsafat memiliki pemikiran filosofis masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini penulis memaparkan kesimpulan dan relevansi tentang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

Menanggapi Relativisme

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup maupun benda (objek) yang ada di dunia ini

Pengertian etika = moralitas

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang sangat. kompleks karena ada banyak aspek yang bisa diulas,

KONSEP KEHENDAK BEBAS MENURUT HENRI BERGSON DALAM TIME AND FREE WILL ANDREAS ARDHATAMA WIKANARKO ( )

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai persona pertama-tama karena ke-diri-annya (self). Artinya, self

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1

Business Ethic & Good Governance

ETIKA BISNIS DAN PROFESI PPAK

ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN. Ada tiga hal dari realitas hidup bersama secara khusus dalam teks

Filsafat Ilmu dan Logika

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. diri. Sebagai person manusia memiliki keunikan yang membedakan dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya selalu menjalin relasi dengan orang lain. Ia

Dasar-Dasar Etika Michael Hariadi / Teknik Elektro

BAGIAN 2 TELAAH KONSEPTUAL

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles pada kalimat pertama dalam bukunya, Metaphysics,

KODE ETIK PSIKOLOGI. Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT Oleh : Elan Sumarna. Kata Kunci: Sofisme, Socrates, etika, moral, teologia.

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

Pengertian Etika. Nur Hidayat TIP FTP UB 2/18/2012

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

PANCASILA sebagai SISTEM ETIKA. Modul ke: 09TEKNIK. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 1. Gregorius Martia Suhartoyo 1

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

01FEB. Template Standar Business Ethics and Good Governance

BAB I PENDAHULUAN. atau tepat. Kecakapan berpikir adalah ketrampilan untuk menerapkan hukum-hukum

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

BAB III ASPEK-ASPEK KAWASAN MORAL

BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE Modul ke:

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

BAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ETIKA KEUTAMAAN DALAM NILAI-NILAI PANCASILA * Pembahasan mengenai nilai-nilai Pancasila memang tidak ada habisnya.

Bu and Go a. b. c. d. e.

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan

BAB II IMMANUEL KANT DAN POKOK PEMIKIRANNYA

BAHAN AJAR PEMBELAJARAN VII

Modul ke: ETIKA PROFESI. Etika Deskriptif dan Etika Normatif. 02Fakultas KOMUNIKASI. Triasiholan A.D.S.Nababan. Program Studi Hubungan Masyrakat

Modul ke: Teori Etika. Teori etika Etika deskriptif Etika normatif. Fakultas Psikologi. Amy Mardhatillah. Program Studi Psikologi

PENGERTIAN DAN PERANAN ETIKA PROFESI

BAB IV KESEPAKATAN ANTARA SUKU-SUKU DI ISRAEL DENGAN DAUD DALAM 2 SAMUEL 5:1-5 PERBANDINGANNYA DENGAN KONTRAK SOSIAL MENURUT JEAN JACQUES ROUSSEAU

BAB II LANDASAN TEORI

SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP)

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

MAKNA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN DASAR ILMU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

Nama Mata Kuliah. Modul ke: Filsafat Manusia. Fakultas Fakultas Psikologi. Masyhar MA. Program Studi Program Studi.

Akal dan Pengalaman. Filsafat Ilmu (EL7090)

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH

BE ETHICAL AT WORK. Part 9

7/17/2011. Diskripsi Mata Kuliah. Program Studi : Pendidikan Biologi Mata Kuliah :Filsafat Ilmu Kode Mata Kuliah : SKS

PENGERTIAN ETIKA ETIKA,

BAB II LANDASAN TEORI

MATERI KULIAH ETIKA BISNIS. Pokok Bahasan: Pancasila sebagai Landasan Etika Bisnis

PENDIDIKAN PANCASILA

ETIKA BISNIS (Teori Etika )

BAGIAN 3 TELAAH NORMATIF

BAB I Tinjauan Umum Etika

KODE ETIK PSIKOLOGI. Metaetika dan Etika Terapan. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

PENGERTIAN DAN NILAI ETIKA

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James)

BAB I PENDAHULUAN. ini. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan industri yang menghasilkan budaya teknokrasi

PEMIKIRAN FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT (Deontologi, Imperatif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis)

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME

ETIKA DALAM BIROKRASI. Bahan Kuliah 7 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 21 Maret 2007

PENGERTIAN ETIKA PROFESI

ETIKA BISNIS FAKULTAS HUKUM UPN JATIM. 10 Maret 2011 By. Fauzul

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONALISME DALAM TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLIGIS, DAN AKSIOLOGIS

Filsafat Umum. Filsafat Timur. Arie Suciyana S., S.Si., M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN MASYARAKAT

MODUL. Teori Etika Bisnis

Etika Profesi Public Relations

01ILMU ETIKA PROFESI. Etika dan Etiket dalam Humas. Frenia KOMUNIKASI.

ETIKA PROFESI DAN KODE ETIK KONSULTAN PAJAK INDONESIA. Oleh Bambang Kesit PROGRAM MAKSI-PPAK FE-UII YOGYAKARTA 2010

TUGAS RESUME TEORI ETIKA DAN PRINSIP ETIS DALAM BISNIS

BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE

Transkripsi:

BAB I

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebebasan atau kehendak bebas memiliki pengertian yang sama secara umum. Kita tidak mungkin mengatakan bahwa pilihan beserta tindakan dilakukan dengan bebas bila tidak kita kehendaki. Orang yang menghendaki sesuatu berarti ia bebas. Kebebasan atau kehendak bebas terasa begitu nyata. Ia biasanya diartikan oleh orang-orang dengan menunjukkan langsung tindakan yang dianggapnya bebas, misalnya mengutarakan pendapat di depan publik. Akan tetapi, kebebasan dan kehendak bebas dibedakan oleh filsuf berdasarkan konteks yang dibicarakan, yaitu, kebebasan digunakan ketika mempersoalkan tindakan manusia dalam konteks politik, sedangkan kehendak bebas merupakan kemampuan individu dalam membuat keputusan: Aristoteles menggunakan term terserah pada kita untuk mendeskripsikan tindakan yang dikontrol dan bukan menggunakan kebebasan dalam etika nichomachea. 1 Kees Bertens melihat kehendak bebas sebagai bentuk kebebasan psikologis individu yang dengannya manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya, sementara kebebasan juga dipahami berciri sosio-politik 2 Pembedaan ini membawa pengertian bahwa kehendak dapat bebas sedangkan tindakan tidak, dan sebaliknya, kehendak tidak bebas dan tindakan nampak bebas. Pembedaan ini juga dapat bertentangan dengan pengertian orang- 1 But in the ethics though Aristotle talked of us as having control of how we act he stated that our actions are eph hemin, or, literally, up to us he did not actually use eleutheria, the Greek word for freedom, to describe this action control. Eleutheria was still a term used only in political discussion as a name for political freedom or liberty. THOMAS PINK, Free Will Very Short Introduction, Oxford University Pers, New York, 2004, 3. 2 K. BERTENS, Etika, Gramedia, Jakarta, 2011, 117. 1

orang mengenai kebebasan pada umumnya. Orang yang menghendaki sesuatu tidak dengan otomatis ia dapat bertindak bebas. Seseorang boleh saja menghendaki agar pendapatnya disampaikan di depan umum, namun tindakannya tidak bebas karena peraturan pemerintah membatasi atau melarangnya. Kebebasan akan dipersoalkan dalam konteks sosial-politik dalam contoh ini. Kehendak dapat menjadi tidak bebas dalam kasus seseorang yang sangat tunduk pada hukum biologis ataupun alam di luar dirinya. Kehendak seorang pecandu seks akan terus dipaksa untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, yang mana dilihat kasatmata tindakannya nampak bebas. Kees Bertens mengartikan kebebasan secara positif dan negatif, yaitu bebas dari dan bebas untuk, meskipun lebih jelas dan mudah memahami kebebasan secara negatif baik dalam konteks politik maupun individu. 3 Ia memahami kebebasan sebagai bebas dari absolutisme dan kolonialisme dalam sosial-politik, sedangkan kebebasan sebagai bebas dari paksaan fisik, perampasan hak-haknya, tekanan batin, paksaan moral, dan eksistensial dalam konteks individu. Bertens juga menunjukkan kebebasan tidaklah absolut tanpa batas. Yang membatasi kebebasan: lingkungan, orang lain dan generasi mendatang, serta fisik maupun psikis. Melalui cara mengartikan kebebasan, Bertens menunjukkan sekaligus arti dari tanggung jawab. Akan tetapi, ia hanya mengartikan tanggung jawab sebatas sebab dari kebebasan. Orang bertindak bebas, maka ia harus dapat dimintai pertanggungjawaban. Karena terdapat klasifikasi kebebasan, tanggung 3 Rupanya kebebasan paling mudah dimengerti dengan cara negatif ini. Demikian juga dalam hidup sehari-hari bebas dipahami sebagai terlepas, tidak ada, tanpa... Jauh lebih sulit ialah menjelaskan kebebasan secara positif. kebebasan untuk harus diisi oleh manusia sendiri... Ibid., 126. 2

jawab juga memiliki tingkatan. 4 Dari cara Bertens mengartikan kebebasan yang cenderung secara negatif, tampak adanya cara lain memahami kebebasan, yaitu dengan memahami determinisme, 5 tanggung jawab dan moralitas itu sendiri. Alasannya, memahami kebebasan pasti menuntut juga memahami hal tersebut. Mereka selalu berkaitan. 6 Memang kebebasan akan sangat sulit jika diartikan secara positif, seperti yang telah diungkapkan oleh Bertens. Bebas untuk sebagai kata kunci pengertian kebebasan secara positif tidak cukup memberikan pengertian kepada kita mengenai kebebasan, karena ia tidak memberikan batasan untuk sesuatu yang sedang didefinisikan, dalam hal ini adalah kebebasan. Mengartikan kebebasan secara positif sama halnya menyatakan rumah sakit adalah tempat untuk merawat orang-orang sakit, padahal orang-orang sakit dapat saja dirawat di rumahnya dan di dalam rumah sakit pun terjadi transaksi ekonomi. Pada akhirnya, mengartikan kebebasan melalui memperhatikan determinisme 7 maupun tanggung jawab 8 mirip dengan mengartikan kebebasan secara negatif, karena secara tidak langsung akan menunjukkan batasan kebebasan. Secara umum, persoalan mengenai kebebasan adalah tidak adanya penjelasan yang memadai mengenai pengertian hal-hal yang berkaitan dengan 4 Ibid., 99-144. 5 Determinisme merupakan pandangan yang meyakini bahwa terdapat satu kemungkinan yang pasti dari akibat suatu hal sebelumnya yang di luar kendali manusia. 6 Keterkaitan dari hal tersebut akan terlihat dari contoh berikut: seorang akan dibunuh jika tidak menuruti kehendak si pengancam untuk mencuri. Si pengancam adalah orang yang paling bertanggung jawab penuh atas tindakan pencurian, karena kehendaknya otonom menentukan dirinya sendiri. Kehendaknya memilih untuk melawan moralitas. Maka dari itu ia bertanggung jawab atas tindakannya yang melawan moral. 7 Misalnya apabila kita melihat determinisme terjadi pada tubuh manusia, kita dapat mengatakan bahwa kebebasan merupakan yang sesuai dengan determinisme tubuh. 8 Misalnya apabila kita mengartikan tanggung jawab sebagai akibat dari kebebasan, kita akan mengatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban secara tidak langsung ketika bertindak secara tidak sengaja merugikan orang lain. 3

kebebasan. Kita dapat mengatakan bahwa kebebasan tidak cocok dengan determinisme, karena kebebasan haruslah otonom, yakni, tidak ditentukan dari luar. Akan tetapi, kita dapat juga berpendapat bahwa tanggung jawab tidak selalu diletakkan pada kehendak, karena pada kenyataanya meskipun kita tidak melakukan suatu tindakan, kita dapat merasa bertanggung jawab atas dasar perasaan. Konsekuensinya, moralitas sulit dimengerti. Namun demikian, persoalan mengenai kebebasan itu sendiri dapat kita rumuskan dalam pertanyaan berikut: Apakah dunia bersifat deterministik? Apakah manusia memiliki kehendak bebas? Apakah kehendak bebas manusia dipengaruhi oleh sifat deterministik dunia? Dan apakah kehendak bebas manusia selalu memiliki konsekuensi langsung dengan tanggung jawab moral? 9 Pertanyaan ini menyoal kebebasan berkaitan dengan determinisme. Pandangan para filsuf mengenai kebebasan, khususnya yang berkaitan dengan determinisme dapat digolongkan menjadi dua, incompatibilism dan compatibilism. 10 Incompatibilism meyakini kehendak bebas tidak berhubungan dengan determinisme alam. Ia dibagi menjadi libertarianisme dan hard incompatibilism. Menurut libertarianisme manusia memiliki kehendak bebas dan tidak dipengaruhi oleh deteminisme, sendangkan hard incompatibilism manusia tidak memiliki kehendak bebas dan tidak dipengaruhi oleh deteminisme. Compatibilism meyakini kehendak bebas dipengaruhi oleh determinisme. Compatibilism mempercayai manusia memiliki kehendak bebas, meskipun berada dalam dunia yang sepenuhnya deterministik. Baginya kebebasan untuk membuat 9 Lih. JOHN MARTIN FISCHER, Op.Cit., 2. 10 Ibid., 3. 4

keputusan merupakan sesuatu realitas nyata, dan tak tergoyahkan, maka dari itu, keputusan manusia sepenuhnya didasarkan pada kesengajaan dan dapat dimintai pertanggungjawaban. 11 Dalam sejarah perdebatannya, Compatibilism menantang incompatibilism untuk menjelaskan bagaimana unsur kesengajaan sehingga manusia dapat dimintai pertanggungjawaban secara moral, jika kehendak bebas manusia tidak dipengaruhi oleh determinisme. Menurut mereka konsekuensi dari kehendak bebas yang tidak berkaitan dengan determinisme adalah bahwa tindakan manusia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, 12 karena otonomi kehendak (dapat juga disebut kesengajaan) dapat diragukan sepenuhnya. Dalam konteks perdebatan itu, Immanuel Kant dianggap sebagai pembela terbesar dari kubu incompatibilism 13 pada abad pencerahan. 14 Ia tergolong filsuf libertarianisme. Dengan demikian, Kant dapat juga dinilai sebagai filsuf yang menyediakan argumen kebebasan, determinisme, tanggung jawab dan moralitas dengan baik untuk menjawab tantangan compatibilism. Kant juga melihat persoalan kebebasan adalah sekaligus persoalan moralitas. Baginya, kebebasan merupakan syarat untuk membuat hukum universal dalam bertindak. Hukum universal tersebut, sebagaimana keinginannya membangun teori etika, harus murni berdasarkan rasio melulu. Karena kebebasan 11 Mayoritas Penganut compatibilism adalah filsuf dengan tradisi Inggris. Misalnya John Locke (1632-1704) memahami kebebasan sebagai kemampuan subjek dalam membuat keputusan, dan dibedakan dengan kehendak bebas. Kehendak bebas merupakan term yang absurd, karena term tersebut berarti menghubungkan kemampuan dengan kemampuan lainnya. Kebebasan ditandai dengan tindakan bebas, bukan hanya pada taraf memutuskan dengan bebas. Lih. JAMES A. HARRIS, Of Liberty and Necessity The Free Will Debate in Eighteenth-Century British Philosophy, Oxford University Pers, New York, 2005, 23. 12 ROBERT KANE, Libertarianism, dalam FISCHER, JOHN MARTIN, et al. Four Views on Free Will, Blackwell Publishing, Malden Massachusetts, 2007, 9. 13 Ibid., 18. 14 Mengenai pencerahan menurut Kant lihat daftar karya Kant pada masa kritisisme. 5

merupakan syarat untuk membuat hukum tindakan yang mana hukum tersebut tidak ditemukan di luar rasio manusia, Kant mengartikan kebebasan sebagai otonomi kehendak. Bagi Kant persoalan moralitas adalah menemukan atau membangun pendasaran sebagai pijakan prinsip tertinggi dari moralitas yang terlepas dari hal indrawi. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, kita dapat menemukan argumentasi mengenai kebebasan beserta hal yang terkait dengannya. Beberapa ahli etika saling bersilang pendapat mengenai usaha yang dilakukan Kant, khususnya mengenai argumentasi Kant yang menyatakan otonomi moral. Ada yang melihat bahwa pemikiran Kant mengenai moral sebagai salah satu biang keladi relativisme moral dewasa ini. 15 Etika Kant begitu kuat memberi tekanan pada kewajiban sebagai bentuk norma moral konkret, sehingga menjadi etika yang berat sebelah. Ia juga menghilangkan aspek orientasi etika normatif. Sementara itu, beberapa ahli lainnya 16 menilai pandangan Kant mengenai moralitas merupakan topik sentral dari filsafat moral kontemporer, karena ia telah menggeser wacana etika dari kebahagiaan dan kebajikan menjadi soal prinsip. Mereka melihat Kant dengan pandangan otonominya, justru ingin membuktikan bahwa prinsip tersebut bersifat rasional dan universal berada pada tiap manusia, tidak hanya pada segelintir orang pintar saja. Maka dari itu, pemikiran Kant tidak dapat dikategorikan relativis. 17 Benarkah demikian? Berdasarkan hal tersebut penulis mengajak untuk membaca kembali 15 AGUSTINUS RYADI, Relativisme Moral: Ketidakseimbangan Etika Normatif, dalam Xaverius Chandra, (Ed.), Menanggapi Relativisme, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Surabaya, 2012,58. 16 Misalnya J. B. Schneewind. Lih. J. B. SCHNEEWIND, Why Study Kant s Ethics? dalam IMMANUEL KANT, Groundwork for the Metaphysics of Morals, diterjemahkan oleh Allen W. Wood, (Ed), Vail-Ballou Press, New York 2002, 83-91. 17 John Rawl (1921-2002) misalnya, justru sangat optimis terhadap konsep otonomi Kant. Ia mengartikan otonomi moral Kant dengan Person moral. 6

pemikiran Kant mengenai etika. Dengan demikian, kita dapat mempertimbangkan perbedaan pendapat dari beberapa ahli di atas, termasuk menjawab tantangan dari compatibilism untuk menyediakan penjelasan yang memadai mengenai kebebasan. 1.2. RUMUSAN MASALAH Pertanyaan dasar dalam skripsi ini adalah apakah kebebasan menurut Immanuel Kant dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals (GMM). Kant menjelaskan kebebasan secara mendalam dalam Critique of Pure Reason (CPuR) maupun Critique of Practical Reason (CPracR), akan tetapi, penulis menggunakan GMM sebagai sumber utama karena di sana termuat pemikiran Kant mengenai moralitas, termasuk kebebasan secara lebih utuh. Kedua karya dengan tema Critique memang telah menjelaskan sistem pemikiran Kant dengan lengkap mengenai epistemologi maupun etika, khususnya Critique of Practical Reason yang menjelaskan tentang pengetahuan moral untuk dijalankan dalam tindakan konkret. Maka dari itu, di sana, kebebasan dilihat dari epistemologi dan kemungkinan penerapannya. Berbeda dari CPracR, GMM sendiri berbicara mengenai etika yang berusaha memberi pendasaran pada metafisika moral, yaitu semacam garis besar prinsip-prinsip murni tindakan, artinya, kita tidak akan melihat dasar argumentasi Kant atas keterkaitan antara kebebasan dengan rasio maupun deterministik alam dalam CPuR, CpracR ataupun Metaphysics of Morals, melainkan dalam GMM. 18 Tulisan ini merupakan refleksi etika mengenai kebebasan, sehingga 18 Lih. Perbedaan tujuan GMM dengan Critique of Pure Reason maupun Critique of Practical Reason dalam IMMANUEL KANT, Op.Cit., 7. 7

penulis tidak mempersoalkan kebebasan dalam konteks politik yang mana Kant membahasnya dalam Metaphysics of Morals dengan mempertimbangkan kebebasan sebagai hak paling awal berhadapan dengan sesamanya. 1.3. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan skripsi yang berjudul Kebebasan Menurut Immanuel Kant Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals adalah memenuhi prasyarat program studi strata satu (S1) di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dan memperdalam pemahaman kebebasan, khususnya berhadapan dengan persoalan determinisme. 1.4. METODE PENULISAN Penulis menggunakan metode studi pustaka dalam menjawab pertanyaan utama. Artinya, tulisan ini adalah hasil studi olah pikir penulis atas berbagai buku yang mengulas pemikiran Kant atas kebebasan sebagai referensi orang kedua dengan sumber utama berjudul IMMANUEL KANT, Groundwork for the Metaphysics of Morals, diterjemahkan oleh Allen W. Wood, (Ed), Vail-Ballou Press, New York 2002. 1.5. SKEMA PENULISAN Tulisan ini di awali dengan penjelasan mengenai latar belakang persoalan, batasan masalah, tujuan, metode, skema penulisan serta daftar sumber acuan dalam skripsi ini. Latar belakang menunjukkan persoalan kebebasan, yaitu kebebasan yang nampaknya cukup mudah dipahami masih membutuhkan 8

penjelasan yang lebih dalam lagi. Penulis menunjukkan alasan menggunakan pemikiran Kant untuk menjelaskan kebebasan juga dalam latar belakang. Penulis hanya membatasi diri pada pertanyaan apakah kebebasan menurut Immanuel Kant dalam karyanya GMM pada bagian rumusan masalah. Seperti yang telah dikatakan pada bagian tujuan penulisan, penulis menunjukkan dua tujuan dari skripsi ini, yaitu memenuhi prasyarat studi filsafat program strata satu di UKWMS dan memperdalam pemahaman kebebasan. Penulis juga telah mengatakan bahwa metode penulisan skripsi ini adalah studi pustaka mengenai beberapa buku yang disertakan dalam daftar pustaka. Bagian skema penulisan menunjukkan skema dari seluruh BAB dalam skripsi ini. Menginjak BAB II, Penulis mengajak untuk mengenal Immanuel Kant. Pembahasan ini ditekankan pada latar belakang yang menyebabkan ia mengartikan kebebasan. Untuk itu, langkah pertama penulis adalah menjelaskan riwayat hidupnya. Di dalamnya, penulis sisipkan figur atau karakter dari Immanuel Kant berdasarkan pendapat beberapa filsuf yang menaruh perhatian khusus kepadanya. Penjelasan mengenai latar belakang pemikiran dan karya Immanuel Kant berada pada sub-bab pemikiran umum Immanuel Kant. Sebagai penutup BAB II, penulis memberi kesimpulan mengenai sosok Kant yang berhubungan dengan pemahamannya mengenai kebebasan pada bagian rangkuman. Pemikiran mengenai epistemologi Kant sebagai dasar etikanya merupakan pokok bahasan BAB III. Filsafat Kant dapat dipilah berdasarkan pertanyaan yang telah ia ajukan secara urut: apa yang dapat saya ketahui? Apa yang harus saya 9

lakukan? Serta, apa yang dapat saya harapkan? Adanya hubungan antara pertanyaan pertama dengan kedua merupakan latar belakang dari BAB III. Bab ini hanya terdiri dari tiga bagian sub-bab, yaitu, Epistemologi menurut Kant, Etika deontologi dan rangkuman dari penulis. Epistemologi menurut Kant adalah bagian yang menjelaskan justifikasi pengetahuan beserta persoalannya. Bagian etika deontologi menunjukkan argumentasi Kant mengenai kewajiban yang ia kembangkan dari filsuf pendahulunya. Penulis memberi catatan bahwa epistemologi memberikan pertanggungjawaban etika deontologi dengan memadai. BAB IV berisi penjelasan penulis mengenai konsep subjek menurut Kant, skematika GMM, kebebasan menurut Kant dalam GMM, serta catatan kritis dari penulis. Telah dikatakan bahwa konsep otonomi begitu penting dalam pemikiran Kant mengenai etika, karena itu, pada awal bab ini penulis akan mempersoalkan konsep subjek menurut Kant sebagai pengantar dalam ke dalam pemikirannya mengenai kebebasan. Akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan atas pertanyaan utama yang diajukan penulis. Kesimpulan ini berdasarkan keseluruhan bab yang sebelumnya mengulas kebebasan Kant (BAB II - BAB IV). 10