digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa dekade terakhir, terjadi perkembangan penduduk di Indonesia yang demikian pesat. Hasil proyeksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025. Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan provinsi yang tidak merata. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Hal yang menarik bahwa perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat sangat tajam. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21 persen). Angka tersebut cukup fantastis, dengan membandingkan kondisi tahun 1950 yang hanya sekitar 12,4% penduduk yang tinggal di perkotaan. Jadi hanya dalam waktu 60 tahun separuh penduduk Indonesia telah bertempat tinggal di wilayah perkotaan. (www.bps.go.id)
Pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut, yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya perumahan dan permukiman kumuh. Pada tahun 2010, sekitar 12,57% rumah tangga menempati rumah kumuh. Data lain menunjukkan bahwa hampir seperempatnya, yakni 23,1 persen atau sekitar 25 juta orang, tinggal di kawasan permukiman kumuh. Meningkat dari sekitar 21 juta pada tahun 2005. Dari keseluruhan kota di Indonesia, diperkirakan sekitar 10 kota di Indonesia memiliki masalah dengan pemukiman kumuh, yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, Batam, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Yogyakarta. Berdasarkan luasan kumuh, pada tahun 2004 luas pemukiman kumuh mencapai 54.000 hektar. Sementara tahun 2009, luas pemukiman kumuh menjadi 57.800 hektar. Dalam rentang lima tahun, kawasan kumuh bertambah menjadi 3.800 hektar. Bahkan diperkirakan apabila tidak dilakukan penanganan maka luas perumahan dan permukiman kumuh akan tumbuh menjadi 71.860 hektar pada tahun 2025 dengan pertumbuhan 1,37% pertahun. Meluasnya perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir, meningkatnya potensi kerawanan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, menurunnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman, dan lain sebagainya. Perumahan dan permukiman kumuh yang cenderung meluas ini perlu segera ditangani, sehingga diharapkan terwujud suatu lingkungan perumahan dan permukiman
yang layak huni dalam suatu lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. (Sumber : Buku Panduan PLP2K-BK Kemenpera, 2012: 2). Kondisi ini telah menjadi agenda penting pemerintah dengan mempertimbangkan bahwa perumahan telah menjadi hak asasi sebagaimana dicantumkan dalam pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Termasuk juga pada Perubahan Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000, Pasal 28H Ayat (1) disebutkan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini kemudian dijabarkan dalam visi Kemenpera yaitu Setiap Keluarga Indonesia Menempati Rumah yang Layak Huni. Pencapaian visi tersebut memerlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan di bidang perumahan dan kawasan permukiman mengingat intensitas dan kompleksitas permasalahan yang harus ditangani. Permukiman kumuh juga telah menjadi agenda global pada Sidang Umum PBB, yang diselenggarakan tahun 2000 tercapai kesepakatan tujuan pembangunan global yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu targetnya adalah peningkatan kualitas hidup 100 juta masyarakat dunia di perumahan dan permukiman kumuh pada tahun 2020. Selanjutnya, Kongres Perumahan dan Permukiman II yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Mei 2009 yang lalu juga menargetkan tercapainya kota tanpa
permukiman kumuh tahun 2025 dalam Agenda Menyongsong Era Baru Perumahan dan Permukiman Indonesia. (Sumber : Buku Panduan PLP2K-BK Kemenpera, 2012: 2). Untuk meningkatkan kualitas lingkungan perumahan terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), Kementerian Perumahan Rakyat telah melaksanakan beberapa program dan kegiatan sejak tahun 2009 sampai 2012. Pada tahun 2010 Kementerian Perumahan Rakyat telah meluncurkan kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan, ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) diatur dalam Permenpera Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Bantuan stimulan adalah fasilitasi pemerintah berupa sejumlah dana yang diberikan kepada MBR penerima manfaat bantuan stimulan untuk membantu pelaksanaan pembangunan perumahan swadaya. Sedangkan
Perumahan swadaya adalah rumah atau perumahan yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri atau berkelompok, yang meliputi perbaikan, pemugaran atau perluasan atau pembangunan rumah baru beserta lingkungan. Lingkup BSPS terdiri dari pembangunan rumah baru (PB) dan peningkatan kualitas rumah (PK) serta pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU). Tujuan dari program BSPS adalah untuk memberdayakan MBR agar mampu membangun atau meningkatkan kualitas rumah secara swadaya sehingga dapat menghuni rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan aman. Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang cukup luas, sebelah selatannya adalah samudera Indonesia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Cilacap adalah 225.360,84 Ha atau 6,94% dari luas Provinsi Jawa Tengah, yang terbagi menjadi 24 kecamatan dengan 284 desa/kelurahan. Kabupaten Cilacap di tahun 2012 mencapai nilai investasi yang fantastis yaitu 3,38 triliun rupiah lebih. Antara lain ditopang tiga megaproyek, yakni proyek RFCC Pertamina RU IV, proyek PLTU 2 Bunton-Adipala dari PT PLN, dan pengembangan PLTU Karangkandri yang akan berkapasitas 1 600 mega watt. Di sisi lain, Kabupaten Cilacap menduduki peringkat kedua dari sepuluh besar se-jateng dengan jumlah penduduk miskin mencapai 17,11 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk menurut data dari BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2010 adalah sejumlah 1,738,603 commit jiwa, to dengan user 869,086 jiwa adalah laki-laki
dan 869,517 jiwa adalah perempuan. Adapun jumlah rumah tangganya sebanyak 425,742, sejumlah 150,721 merupakan Rumah Tangga Miskin (RTM) atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). (Sumber : BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2010). Secara rinci mengenai komposisi jumlah penduduk di seluruh kecamatan di Kabupaten Cilacap dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Data Penduduk Kabupaten Cilacap Tahun 2010 NO KECAMATAN PENDUDUK RTM / MBR 1 Dayeuhluhur 48.427 5.353 2 Wanareja 94.423 7.635 3 Majenang 123.008 12.215 4 Cimanggu 98.025 7.464 5 Karangpucung 72.560 6.776 6 Cipari 60.799 6.482 7 Sidareja 56.964 5.888 8 Kedungreja 80.050 4.733 9 Patimuan 44.328 5.598 10 Gandrungmangu 101.325 10.286 11 Bantarsari 68.041 6.202 12 Kawunganten 78.645 7.784 13 kampung Laut 15.349 2.283 14 Jeruklegi 61.529 6.504 15 Maos 46.669 2.601 16 Sampang 36.955 2.884 17 Kesugihan 96.393 9.205
18 Adipala 80.169 6.634 19 Kroya 102.013 8.722 20 Binangun 65.469 5.278 21 Nusawungu 76.803 7.570 22 Cilacap Selatan 78.230 5.101 23 Cilacap Tengah 84.268 4.502 24 Cilacap Utara 68.161 3.021 KABUPATEN CILACAP 1.738.603 150.721 *Keterangan: Rumah Tangga Miskin (RTM), Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) (Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Cilacap 2009/2010) Berdasarkan data penduduk di Kabupaten Cilacap diatas, jumlah penduduk terbesar terdapat pada Kecamatan Majenang, kemudian disusul Kroya, Gandrungmangu dan Kesugihan. Sedangkan prosentase Rumah Tangga Miskin terbesar terdapat pada Kecamatan Kampung Laut, Cipari dan Kawunganten. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan semakin tingginya kebutuhan lahan di Kabupaten Cilacap akan menimbulkan gejala-gejala sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas. Kemiskinan dan kebutuhan lahan yang tumbuh diperkotaan Kabupaten Cilacap juga akan menimbulkan adanya kawasan yang disebut sebagai kawasan kumuh. Kawasan atau pemukiman kumuh identik dengan tempat tinggal bagi masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah, sarana prasarana yang tidak memadai, serta lingkungan yang kumuh. Kawasan atau pemukiman kumuh di Kabupaten Cilacap rawan terjadi bencana seperti terjadinya kebakaran, banjir, dan terjangkitnya commit to penyakit user endemik pada masyarakat di
kawasan itu seperti TBC, Diare, Malaria, Chikungunya, Gatal-gatal dan lain sebagainya. Terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah Kabupaten Cilacap untuk penataan dan pengelolaan kota dalam menghadapi masalah kependudukan tersebut di atas juga telah menyebabkan fasilitas perumahan dan pemukiman menjadi terbatas dan mahal pembiayaannya. Di Kabupaten Cilacap, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan pemukimannya secara memadai adalah mereka yang tergolong berpenghasilan rendah dan atau dengan kata lain orang miskin. Sebagian besar mata pencaharian penghuni pemukiman kumuh atau mereka yang tergolong berpenghasilan rendah di Kabupaten Cilacap, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dengan jenis kegiatan yang dilakukannya itu dilakukan tanpa adanya pengesahan secara hukum formal, karena itu juga jenis pekerjaan atau mata pencaharian mereka tergolong sebagai jenis pekerjaan di luar hukum. Mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Cilacap mayoritas bekerja sebagai petani, pedagang dan nelayan. Karena itu juga maka akses mereka untuk mendapatkan bantuan dari pranata-pranata ekonomi dan keuangan secara formal menjadi sulit, sebab jaminan hukumnya tidak ada. Pertumbuhan lingkungan pemukiman kumuh di Kabupaten Cilacap telah menyebabkan berbagai masalah sosial seperti budaya derajat kualitas hidup masyarakat miskin, mudah menyebabkan kebakaran, memberi peluang tindakan kriminalitas, terganggunya norma tata susila, tidak teraturnya tata guna tanah
dan sering menimbulkan banjir yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah. Untuk mengatasi masalah tersebut dan mempercepat tujuan pembangunan, pemerintah Kabupaten Cilacap telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 76 Tahun 2011, tentang Gerakan Bangga Mbangun Desa yang terdiri dari empat pilar yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan sosial budaya, sebagai sinkronisasi dari Kebijakan Gubernur Jawa Tengah Bali Ndeso Mbangun deso. Dengan Gerakan Bangga Mbangun Desa ini, diharapkan dapat terjadi akeselerasi pembangunan disegala lini. Pada tahun 2013 sudah bukan saatnya lagi sosialisasi Bangga Mbangun Desa, tetapi merupakan tahun aktualisasi dan implementasi. Implementasi dari Gerakan Bangga Mbangun Desa, salah satunya diaktualisasikan melalui program BSPS yang didasari dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) Nomor 14 Tahun 2011, tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Surat Edaran Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02 Tahun 2012, tanggal 19 Januari 2012, perihal pelaksanaan tugas fasilitasi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) oleh Pemerintah Kabupaten/Kota Cilacap. Kemudian Bupati Cilacap menugaskan kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA, dan KB) Kabupaten Cilacap sebagai SKPD yang diberi wewenang dan tanggungjawab sepenuhnya mengenai pelaksanaan program commit BSPS to user di Kabupaten Cilacap. Berdasarkan
Surat Keputusan Kemenpera No. 150/PK-PRS.2/PPD-BSPS/11/2012 tanggal 2 November 2012 dan No. 14/PK-PRS.3/PPD-BSPS/05/2013 tanggal 27 Mei 2013 tentang Penetapan Penerima Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) kabupaten Cilacap tahun anggaran 2012 dan 2013. Kabupaten Cilacap pada tahun 2012 memperoleh 253 unit rumah dan di tahun 2013 memperoleh 608 unit rumah penerima dana bantuan stimulan perumahan swadaya. Berikut data penerima dana BSPS tahun 2012 dan tahun 2013 Kabupaten Cilacap. Tabel 1.2 Data Penetapan Penerima Dana BSPS Kabupaten Cilacap Tahun 2012 No Nama Desa/ Kelurahan Kecamatan Jumlah Unit Penerima Bantuan 1 Desa Cilibang Jeruklegi 25 2 Desa Jeruklegi Wetan Jeruklegi 20 3 Desa Karangasem Sampang 25 4 Desa Karangtengah Sampang 20 5 Desa Sampang Sampang 20 6 Desa Ketanggung Sampang 20 7 Desa Sidareja Sidareja 25 8 Desa Tinggarjaya Sidareja 25 9 Desa Tegalsari Sidareja 24 10 Desa Kunci Sidareja 25 11 Desa Bumireja Kedungreja 24 Total 253 (Sumber : SK Kemenpera tentang Penetapan Penerima Dana BSPS Kabupaten Cilacap Tahun 2012)
Tabel 1.3 Data Penetapan Penerima Dana BSPS Kabupaten Cilacap Tahun 2013 No Nama Desa/ Kelurahan Kecamatan Jumlah Unit Penerima Bantuan 1 Desa Kutabima Cimanggu 186 2 Desa Cilempuyang Cimanggu 82 3 Desa Cilibang Jeruklegi 154 4 Desa Karangkemiri Jeruklegi 186 Total 608 (Sumber : SK Kemenpera tentang Penetapan Penerima Dana BSPS Kabupaten Cilacap Tahun 2013) Berdasarkan tabel diatas, apabila di jumlahkan dari tahun 2012 dan 2013 di Kecamatan Jeruklegi merupakan kecamatan yang memperoleh dana bantuan stimulant perumahan swadaya (BSPS) terbanyak jika dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Cilacap. Oleh Karena itu studi kasus pada penelitian ini akan difokuskan pada pelaksanaan program BSPS di kecamatan Jeruklegi mengingat pemilihan tempat tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain alasan teoritis dan praktis. Alasan teoritisnya adalah bahwa daerah tersebut dipandang peneliti dapat memberikan informasi yang cukup untuk penelitian ini. Sedangkan alasan praktisnya adalah alasan yang menyangkut hal-hal yang sifatya praktis, seperti efektifitas biaya, waktu dan tenaga mengingat peneliti tinggal di daerah
tersebut. Penyebaran penerima dana BSPS di kecamatan tersebut terdapat di 3 desa yaitu Desa Cilibang, Desa Jeruklegi Wetan, dan Desa Karangkemiri yang jika dijumlahkan akan mencapai angka 385 unit rumah penerima bantuan. Faktor lain yang mendukung adalah Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten yang memperoleh perhargaan The Best Practice sebagai kabupaten terbaik dalam melaksanakan program BSPS tahun 2012-2013 dari KEMENPERA Republik Indonesia. Penghargaan tersebut salah satunya diwakili oleh Desa Cilibang sebagai desa pelaksana program BSPS tahun 2012-2013. Dan di tahun 2013, melalui BAPERMAS.,PP, PA dan KB Kabupaten Cilacap, Desa Cilibang merupakan salah satu kontestan desa yang mewakili Kabupaten Cilacap sebagai desa teladan dalam pelaksanaan program BSPS tingkat nasional. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan di fokuskan pada pelaksanaan program BSPS di Desa Cilibang pada tahun 2013 mengingat data-data dan informasi yang tersedia hanya pada tahun tersebut. Berpedoman pada materi Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pada dasarnya keterlibatan masyarakat tidak hanya pada upaya pemenuhan rumah secara fisik tetapi juga meliputi keseluruhan proses mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Perumahan swadaya tidak lagi diartikan secara sempit ketika keterlibatan mereka hanya pada saat membangun rumah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa perumahan dan kawasan permukiman adalah commit satu to kesatuan user sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat. Penyelenggaraan Program BSPS di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap memerlukan keterlibatan masyarakat di dalam pelaksanaanya. Hal ini menjadikan partisipasi masyarakat menjadi suatu keniscayaan dalam program BSPS di Desa Cilibang. Selama pelaksanaan program BSPS di Desa Cilibang, masyarakat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pelaksanaannya mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi, serta tahap pemanfataan hasilnya. Masyarakat secara sukarela turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan program BSPS tersebut. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, program BSPS di Desa Cilibang menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap di lihat dari tahapan partisipasi masyarakat. 2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap di lihat dari Jenis partisipasi masyarakat. 3. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap di lihat dari Tingkat partisipasi masyarakat. 4. Untuk mengetahui faktor pendorong dan faktor penghambat partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini memberikan masukan dan memeperluas ilmu pengetahuan atau penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). 2. Manfaat Praktis a. Membantu memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan bagi Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA dan KB) Kabupaten Cilacap guna mengambil kebijakan-kebijakan tertentu khususnya dalam program-program pembangunan desa yang menyangkut kepentingan masyarakat bersama. b. Memberikan informasi empirik tantang partisipasi masyarakat dalam program Bantuan Stimulant Perumahan Swadya (BSPS) pada masyarakat di Desa Cilibang Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap, sehingga akhirnya informasi tersebut dapat dipakai untuk mengembangkan atau mengambil kebijakan atau keputusan untuk menentukan arah pembangunan desa lebih lanjut. c. Sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi.