RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XVI/2018 Kewajiban Pencatatan PKWT ke Intansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan I. PEMOHON Abdul Hakim, Romi Andriyan Hutagaol, Budi Oktariyan, Mardani, Tarsan, dan Supriyanto selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon. Kuasa Hukum: Eep Ependi, S.H., dan Muhammad Sahal, S.H., Advokat pada Kantor Hukum SH & Mitra, memilih domisili hukum di Ruko Sentra Niaga Pinus, Blok A5, Jl. Alternatif Sentul-Kandang Roda, Sukaraja, Kabupaten Bogor, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Januari 2018. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ; 2. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa: 1
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang -Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 4. Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya dise but UU Ketenagakerjaan), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara. ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: 2
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warganegara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan saat ini be kerja pada perusahaan swasta; 4. Para Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional berupa perpanjangan PKWT hingga lebih dari 10 kali selama kurun waktu 5 (lima) tahun serta tidak menerima salinan PKWT perjanjian kerja ke instansi yang bertanggung jawab; akibat tidak dicatatkannya 5. Menurut para Pemohon Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang hanya memuat persyaratan pencatatan PKWT ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, tanpa memuat adanya kewajiban untuk mencatatkan PKWT dan penegasan untuk diperiksa terlebih dahulu PKWT yang dimohonkan untuk dicatat, sepanjang mengenai apakah PKWT yang diajukan untuk dicatat telah sesuai dengan UU Ketenagakerjaan atau tidak, justru memberikan legalisasi dan legitimasi terhadap PKWT yang dapat diduga tidak memenuhi syarat yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan; 6. Bahwa dengan tidak diwajibkannya bagi Pengusaha untuk mencatatkan PKWT yang tidak disertai pemeriksaan terlebih dahulu atas terpenuhi atau tidaknya syarat yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, maka Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian hukum, tentang apakah PKWT yang telah disepakati bertentangan dengan hukum atau tidak. 3
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU LPS yaitu: 1. Penjelasan Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warganegara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan saat ini bekerja pada perusahaan swasta; 2. Para Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional berupa perpanjangan PKWT hingga lebih dari 10 kali selama kurun waktu 5 (lima) tahun serta tidak menerima salinan PKWT akibat tidak dicatatkannya perjanjian kerja ke instansi yang bertanggung jawab; 3. Dalam prakteknya, pencatatan PKWT dalam UU a quo tidak bersifat wajib dan dilakukan oleh bukan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, bentuk pencatatannya hanyalah berupa administrasi umum, yaitu PKWT yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja diberikan cap basah dan di paraf oleh pegawai pada bidang syarat-syarat kerja pada instansi di bidang ketenagakerjaan. Tindakan administrasi tersebut, yang memberikan cap basah pada setiap lembar PKWT, melahirkan keragu-raguan dalam prakteknya, sepanjang mengenai apakah dengan pemberian stempel basah dan di paraf oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, 4
isi yang termuat dalam PKWT telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku? 4. Bahwa pengaturan kewajiban dicatatkannya PKWT ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, seharusnya bukan hanya sekedar menyatakan tindakan untuk mengajukan permohonan pencatatan PKWT, tetapi juga harus ditujukan untuk memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha dan pekerja dalam hubungan industrial, agar tidak ada perbedaan penafsiran yang dapat mengakibatkan konflik (berupa terjadinya mogok kerja) dan terciptanya situasi kondusif dalam hubungan kerja, sehingga dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak; 5. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal a quo, dengan tidak diwajibkannya bagi pengusaha untuk mencatatkan PKWT yang tidak disertai pemeriksaan terlebih dahulu atas terpenuhi atau tidaknya syarat yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, maka Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian hukum, tentang apakah PKWT yang telah disepakati bertentangan dengan hukum atau tidak. VII. PETITUM 1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) yang menyatakan: Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai perjanjian kerja ini wajib dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan perjanjian kerja yang dimohonkan untuk dicatat harus 5
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan. 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 6