URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

dokumen-dokumen yang mirip
RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

RechtsVinding Online

RINGKASAN PUTUSAN.

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

BAB II PEMBAHASAN. A. Pengaturan Mengenai Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

Ringkasan Putusan.

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 38/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Hak Recall

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

PUTUSAN Nomor 130/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3)

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 89/PUU-XIV/2016 Bilangan Pembagi Pemilihan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

BAB V KESIMPULA DA SARA

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 51/PUU-X/2012 Tentang Ambang Batas Perolehan Suara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 112 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi No. 3/SKLN-X/2012 Tentang Sengketa Kewenangan Penyelenggaraan Pemilu Antara KPU dengan DPRP

BAB I PENDAHULUAN. perbincangan yang hangat, sebab dalam Undang-Undang ini mengatur sistem

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

IMPLIKASI PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SECARA SERENTAK TERHADAP AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 51/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

Urgensi Pemimpin Daerah Yang Bersih Guna Mewujudkan Good Governance Oleh: Achmadudin Rajab *

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 130/PUU-VII/2009

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG

1. Sistem Pemilu Anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka (vide Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008) tidak konsisten dengan penetapan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

Muchamad Ali Safa at

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

Transkripsi:

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilu (RUU Kitab Hukum Pemilu) dimuat dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang- Undang Prioritas Tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul RUU Kitab Hukum Pemilu. Dalam kolom keterangan, draft dan RUU Kitab Hukum Pemilu disiapkan oleh Pemerintah. RUU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Memaknai Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 untuk Pemilu Serentak 2019 Persoalan sistem Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata masih menimbulkan banyak masalah. Sehingga kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019 apakah masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau kembali ke sistem proporsional tertutup? Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu yang perlu sesegera mungkin mulai disusun, maka perlu dikaji kembali apakah benar MK dalam Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak? Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Sejatinya, Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 memiliki amar yang pada pokoknya menyatakan bahwa 1

Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Banyak yang mungkin keliru memahami Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 ini, dengan berasumsi bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak. Hal ini adalah keliru, karena MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak dikarenakan 2 (dua) hal, yakni: 1. Terkait dengan sistem pemilu, apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional. Hal ini dikarenakan sistem-sistem tersebut adalah wujud pilihan sistem yang lahir dari delegasi kewenangan yang dimandatkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang. Oleh karena Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 terutama pada ayat (6) mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya pilihan apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional, sehingga itulah sebabnya adalah keliru ketika diartikan bahwa MK dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 telah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak. Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak pernah membatalkan Undang- Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU- VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut: Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak 2

mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah. 2. Keberlakuan sistem dengan urutan suara terbanyak sejatinya adalah DPR dan pemerintah (pembentuk undang-undang) sendiri dalam pasal selanjutnya yakni Pasal 215 UU No. 10 Tahun 2008. Terkait pasal yang kemudian diuji ke MK, sebenarnya putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 sejatinya hanya menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ayat-ayat tersebut dibatalkan karena ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak dianggap tidak adil terhadap para caleg maupun terhadap para pemilih. Hal ini dinyatakan oleh MK dalam Pendapat Mahkamah dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 pada halaman 3

104-105 yang menyatakan sebagai berikut: Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu adalah inkonstitusional. Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem erpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil. Selanjutnya, mahkamah lalu berpendapat pula Bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masingmasing Caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak 4

suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak. Oleh karena itu, dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu, pembentuk undangundang berkeinginan untuk kembali ke sistem nomor urut, maka hal ini tidaklah bertentangan dengan Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008. Hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam hal kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak menegaskan bahwa semua partai politik peserta pemilu langsung dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Perlu dikaji apakah semua partai politik yang telah berbadan hukum dan lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, dapat ikut dalam Pemilu Serentak 2019? Ataukah partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014? Hal ini sesuai bunyi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Jika dalam hal ini pemilihan umum dimaksud adalah Pemilu 2019 maka berdasarkan pengertian gramatikal pasal a quo maka pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemiihan umum adalah Pemilu 2014. Oleh karena itu, adalah penting jika RUU Kitab Hukum Pemilu dapat dilaksanakan secepatnya mulai tahun 2016 ini, sebagaimana RUU ini telah masukdalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, hal ini juga dikarenakan bilamana ada yang kemudian mengajukan judicial review atas RUU Kitab Hukum Pemilu 5

tersebut, minimal untuk masalah-masalah yang penting tersebut sudah bisa diselesaikan dan diputus sebelum pendaftaran caleg dan pasangan capres/cawapres pada sebelum penghujung tahun 2018. * Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 6