TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum-hukum, ideologi dari masyarakat yang bersangkutan. Perbedaan gender suatu kelompok masyarakat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam suatu kelompok masyarakat posisi perempuan ada yang ditinggikan, direndahkan atau bahkan sejajar dalam segala bidang atau pada bidang tertentu daripada laki-laki. Karena gender merupakan hasil kontruksi sosial budaya, maka perbedaan gender dalam suatu masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu (Suharjito dkk, 2003). Menurut Wiliam-de Vries (2006) gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin dan gender bukanlah perempuan atau laki-laki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Gender juga berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 yang tercantum dalam Laporan Tahunan Kegiatan Pengarusutamaan Gender Tahun 2005 disebutkan bahwa, gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan. Peran Gender Gender dan Pembagian Tugas (Peran) dalam Rumah Tangga Pembagian kerja adalah mengalokasikan anggota rumah tangga laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak untuk melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan peranannya dalam kegiatan produktif dan reproduktif. Pembagian tugas atau peran sebenarnya sulit untuk dibatasi, mana tugas untuk perempuan dan mana untuk laki-laki, karena sebenarnya pembagian tugas gender kebanyakan bisa dilakukan oleh keduanya. Pembagian tugas laki-laki dan perempuan perlu dilakukan untuk berbagi tanggung jawab secara adil. Pembagian tugas yang baik tidak menjadikan gender sebagai masalah karena pembagian peran laki-laki dan perempuan tersebut menguntungkan kedua belah pihak (Djohani, 1996). Keluarga atau rumah tangga merupakan satuan masyarakat terkecil dimana segala macam hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat tercermin. Mulai dari pembedaan peran, pembagian kerja, penguasaan dan akses atas sumbersumber baik fisik, maupun ideologis, hak dan posisi (Simatauw dkk, 2001) Kegiatan produktif adalah kegiatan yang menyumbangkan pendapatan seseorang/keluarga dalam bentuk uang atau barang yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan seseorang/keluarga. Misalnya: bertani, berkebun, beternak, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan
reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga seperti melahirkan dan mengasuh anak, serta pekerjaan rumah tangga (Tobing dkk, 2005). Perempuan pada umumnya memiliki dua peran yaitu peran reproduktif dan produktif, sementara laki-laki hanya produktif, dan sedikit reproduktif. Berdasarkan hasil penelitian di Yuscaran-Honduras menunjukkan bahwa pada awalnya bidang pertanian merupakan pekerjaan laki-laki. Namun seiring terjadinya degradasi lahan pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan pertanian. Tenaga kerja laki-laki pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marginal (miskin) dan peka erosi cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor non-pertanian (offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi melainkan juga pada lahan pertaniannya. Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga anak dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita (Suharjito dkk, 2003). Gender dalam Pengambilan Keputusan Di dalam rumah tangga setiap hal yang menyangkut kepentingan keluarga atau bahkan pribadi-pribadi anggota memiliki cara tertentu untuk mengambil keputusan. Ada keluarga yang pengambilan keputusan tertinggi adalah ayah, ada yang bersama-sama (ayah dan ibu), ada pula yang ibu saja. Kadangkala pengambilan keputusan memiliki jenjang berdasarkan umur dan jenis kelamin (Simatauw dkk, 2001). Pembagian peran yang berjalan dalam suatu masyarakat tertentu seringkali meletakkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan, misalnya dibatasi akses dan kontrolnya terhadap pengambilan
keputusan, bahkan keputusan-keputusan yang menyangkut dirinya dan kehidupannya. Dalam banyak hal, perempuan diharuskan tunduk pada keputusan yang diambil laki-laki (Tobing dkk, 2005). Analisis terhadap kesenjangan dan isu gender digunakan melalui penerapan parameter yang menjadi acuan yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Keempat acuan tersebut dikaji terhadap suatu program agar dapat ditemukan faktor kesenjangan dan isu gender yang potensial timbul. Selama ini peran perempuan dalam sektor pertanian di pedesaan sangat tinggi namun seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengembangan sektor pertanian (Ruswita dkk, 2005) Penempatan kaum perempuan dalam posisi yang seolah-olah tidak penting dalam aktivitas pengelolaan sumber daya alam ini disebabkan adanya mitos negatif yang masih berkembang, antara lain: perempuan adalah istri di rumah, hasil hutan adalah domain laki-laki, laki-laki adalah kepala rumah tangga, perempuan adalah anggota masyarakat yang pasif, perempuan kurang produktif dibanding laki-laki (Suharjito dkk, 2003). Peran perempuan dalam menyumbang ekonomi keluarga tidak dapat dianggap ringan khususnya yang bekerja pada kegiatan rehabilitasi hutan. Kegiatan rehabilitasi hutan sering identik dengan kegiatan laki-laki karena dianggap cukup berat. Anggapan ini membuat peran perempuan kurang diperhitungkan dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Padahal pada tahap pelaksanaan di lapangan perempuan memegang peranan cukup penting (CIFOR, 2007) Perekonomian modern selalu mengukur hasil produksi dengan uang. Setiap hasil kerja diukur atau disetarakan dengan uang. Disamping itu kerja-kerja
reproduktif seperti memasak, mencuci, mengasuh anak tidak dapat dan tidak diukur dengan uang. Bahkan pekerjaan produktif seperti bertani di sekitar pekarangan, beternak hewan kecil, dan menenun meski kebutuhan sendiri pun tidak diukur dengan uang. Hal ini menyebabkan pekerjaan traditional perempuan tidak dianggap penting. Padahal pada masyarakat yang tidak menggantungkan kebutuhan barang-barang dari luar, seringkali melakukan pekerjaan subsisten semacam ini dan justru hal inilah yang menunjang kehidupan mereka sehari-hari (Simatauw dkk, 2001). Curahan Waktu Kerja Curahan kerja adalah waktu yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan produktif yaitu kegiatan yang menghasilkan pendapatan baik secara langsung berupa uang atau tidak langsung (Haryono dkk, 1997). Jam kerja adalah jumlah waktu (dalam jam) yang digunakan untuk bekerja. Jumlah jam kerja dapat dijadikan ukuran produktivitas kerja seseorang pekerja. Jumlah jam kerja kurang dari 35 jam seminggu dikategorikan mempunyai jam kerja dibawah normal dan disebut sebagai setengah penganggguran. Pendapatan Rumah Tangga Menurut BPS dalam Dede (1998) Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan satu dapur, atau sesorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluan sendiri. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota rumah tangga, sedangkan yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumah tangga adalah kepala rumah tangga.
Hasil penelitian dari Alfredi dkk yang berjudul Pengaruh Karakteristik Demografi, Sosial dan Ekonomi terhadap Pendapatan Petani Penyadap Getah Pinus di Kecamatan Sesena Padang Kabupaten Mamasa menyebutkan bahwa ada empat hal yang mempengaruhi besarnya pendapatan penyadap yaitu umur petani penyadap, jumlah anggota keluarga yang terlibat, pendidikan dan jam kerja efektif. Petani Penyadap Pinus Hutan tanaman pinus memberi manfaat ganda baik bagi pengelola hutan pinus (Perum Perhutani) maupun masyarakat petani yang tinggal di sekitar hutan pinus. Perum Perhutani akan mendapatkan kayu dan getah serta keuntungan lainnya yaitu (1) tenaga kerja dengan upah murah, (2) pengurangan biaya pengamanan hutan pinus, dan (3) peningkatan citra perusahaan karena melibatkan petani sekitar hutan. Bagi petani kegiatan penyadapan getah pinus akan dapat meningkatkan pendapatannya. Kontrak penyadapan getah pinus di Perum Perhutani ditentukan sepenuhnya oleh Perum Perhutani mulai dari penentuan jumlah tegakan dan luasan petak yang dapat disadap oleh petani sampai dengan penentuan harga getah. Pada masa awal perekrutan tenaga penyadap getah, Perum Perhutani menawarkan kesempatan penyadapan kepada masyarakat petani sekitar hutan pinus yang terlibat dalam penanaman pinus. Jika petani tersebut tidak bersedia, maka kesempatan akan diberikan kepada masyarakat petani lain yang bersedia. Bagi Perum Perhutani, kesediaan petani untuk menyadap pinus tidak saja penting tetapi juga menentukan kelestarian hasil getah dan keamanan pohon pinus. Bahkan apabila tenaga kerja melimpah dan kompetitif, maka terdapat kemungkinan terjadi penurunan upah riil. Namun, apabila petani tidak bersedia
menyadap pinus maka akan menimbulkan persoalan (1) peningkatan upah tenaga sadap dari luar daerah, (2) keamanan pohon pinus tidak terjamin, dan (3) citra Perum Perhutani akan turun di masyarakat sekitar hutan. Untuk itu faktor yang menentukan kesediaan petani menyadap pinus menjadi penting untuk diketahui (Cahyono, 2010).