TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN, KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT DESA JERUKLEGI. Jeruklegi Kabupaten Cilacap. Desa tersebut berbatasan dengan:

I. PENDAHULUAN. Kebudayaan terjadi melalui proses belajar dari lingkungan alam maupun

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI NYADRAN DI DESA PAGUMENGANMAS KEC. KARANGDADAP KAB. PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

I. PENDAHULUAN. maupun dilestarikan. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. atau pola kelakuan yang bersumber pada sistem kepercayaan sehingga pada

Kajian Folklor dalam Tradisi Nyadran di Desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari orang Jawa. Keyakinan adanya tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan,

ANALISIS MATERI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM MADRASAH TSANAWIYAH KELAS IX

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan bahwa Pesan Non Verbal dalam Upacara Adat Grebek Sekaten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan

BENTUK DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM TRADISI GUYUBAN BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA PASIR AYAH KEBUMEN

BAB V PENUTUP. keluarga serta orang lain atau anggota masyarakat yang lain. Salah satu tradisi

Tradisi Nyadran sebagai Komunikai Ritual

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tari Putri Asrini, 2013

Tradisi Menguras Sumur Di Pemandian Air Panas Krakal Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sudah dilanda dengan modernitas. Hal ini menyebabkan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini

Kajian Folklor dalam Tradisi Guyang Jaran di Desa Karangrejo Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Kehidupan manusia di manapun

LAPORAN OBSERVASI SETING LOKAL UPACARA ADAT DISTRIKAN DANAU RANU GRATI DESA RANUKLINDUNGAN KECAMATAN GRATI KABUPATEN PASURUAN

BAB I PENDAHULUAN. satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

MOTIVASI MELAKUKAN RITUAL ADAT SEBARAN APEM KEONG MAS DI PENGGING, BANYUDONO, BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB IV ANALISIS DATA. dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 115

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu

Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama.

BAB IV TANGGAPAN MASYARAKAT SEKITAR TERHADAP PEZIARAH DAN MOTIVASI PEZIARAH KE MAKAM KH. ALI MAS UD. A. Tanggapan Masyarakat dari Sisi Positif

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. Upacara tradisional merupakan wujud dari suatu kebudayaan. Kebudayaan adalah

PERSEPSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP TRADISI SADRANAN DI DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2010 SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tradisi merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang

BAB IV TANGGAPAN MASYARAKAT PEZIARAH

Kajian Folklor Tradisi Nglamar Mayit di Desa Sawangan, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen

BAB IV ANALISA DATA. A. Proses Akulturasi Budaya Islam dengan Budaya Hindu di Desa

1. PENDAHULUAN. bangsa yang kaya akan kebudayaan dan Adat Istiadat yang berbeda satu sama lain

BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA BULAN JULI 2011 KABUPATEN KULONPROGO Wates, 18 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

Suasana Hangat Warnai Halal Bi Halal Civitas UNAIR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. memelihara nilai-nilai budaya yang diperolehnya dari para karuhun mereka.

Prosesi Dan Makna Simbolik Upacara Tradisi Wiwit Padi di Desa Silendung Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki banyak obyek wisata unggulan seperti makam Yosodipuro, wisata alam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

Persepsi Masyarakat terhadap Kirab Budaya dalam Nawu Sendhang Seliran di Mataram Islam Sayangan Jagalan Banguntapan Bantul

Pola Perilaku Spiritual dalam Kelompok Kebatinan Santri Garing di Desa Kajoran Kecamatan Karanggayam Kabupaten Kebumen

Kajian Folklor dalam Upacara Nyadran di Pesarean Simbah Lowo Ijo di Desa Semagung Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. media bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari kejayaan masa lalu. Hal ini menjadi

TRADISI SEDHEKAH LAUT DI DESA KARANG DUWUR KECAMATAN AYAH KABUPATEN KEBUMEN ( ANALISIS MAKNA DAN FUNGSI)

NGOPI SEPULUH EWU. Ide festival ini terinspirasi dari kebiasaan minum kopi warga Kemiren, yakni tradisi ngopi bareng.

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TRADISI SURAN DI MAKAM GEDIBRAH DESA TAMBAK AGUNG KECAMATAN KLIRONG KABUPATEN KEBUMEN

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pelestarian budaya lokal oleh pemprov Bangka dan proses pewarisan nilai

BAB I PENDAHULUAN. tradisi di dalam masyarakat. Sebuah siklus kehidupan yang tidak akan pernah

2017 DAMPAK MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG BENDA KEREP KOTA CIREBON TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014

MITOS PESAREAN MBAH DAMARWULAN DALAM TRADISI SELAMETAN SURAN DI DESA SUTOGATEN KECAMATAN PITURUH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

Oleh: Ratna Lestari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Penelitian oleh Ahmad Fauzi yang berjudul Pemahaman Masyarakat Tentang

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

Dosen Pembimbing : Muhammad Akram SIP., MPS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. sistem religi/kepercayaan terhadap sesuatu menjadi suatu Kebudayaan. Sistem

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. macam suku bangsa termasuk agamapun banyak aliran yang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan suatu budaya yang dari budaya itu lahirlah sebuah tradisi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ageng Sine Yogi, 2014

BAB III HASIL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS KEISLAMAN DENGAN SIKAP TERHADAP RITUAL PENGRAWIT PADA MAHASISWA ISI SURAKARTA

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

: Klinggen Rt.05/II, Guwokajen, Sawit, Boyolali.

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PELAKSANAAN TRADISI MERON (Studi Kasus di desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati) NASKAH PUBLIKASI

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING TEMA

NILAI PENDIDIKAN RELIGI PADA UPACARA SELAPANAN DALAM TRADISI ADAT JAWA (Studi Kasus di Desa Talang Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

Transkripsi:

Tradisi Nyadran Biasanya menjelang bulan Ramadhan, masyarakat di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta akan melakukan sebuah tradisi tahunan peninggalan dari nenek moyang, yaitu Tradisi Nyadran atau Sadranan. Tradisi ini diwujudkan dengan ziarah ke makam para leluhur dengan ritualnya yang meliputi pembersihan makam-makam, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta yang berziarah pun membawa makanan, seperti tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak. Mereka juga membawa kemenyan dan aneka macam bunga, seperti mawar, melati, dan kenanga. Nyadran berasal dari kata srada yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran, syukuran dilengkapi dengan doa yang merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rezeki yang diperoleh selama ini dan harapan atas rezeki yang akan datang. Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran ini memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang ada pada masa kerajaan Majapahit. Kesamaannya ialah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang merupakan bentuk penghormatan kepada yang sudah meninggal. Nyadran ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan kaum muslim karena sebagian besar menganggap tradisi ini dianggap perilaku syirik karena menggunakan sesaji. Namun, bagi masyarakat yang mempercayainya, nyadran ini adalah peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan dan selama tidak menyembah makam maka dianggap sah-sah saja. Dulunya, tradisi semacam nyadran ini dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Budha, namun semenjak Islam datang, tradisi ini terakulturasi dengan budaya Islam yang telah dimodifikasi oleh wali songo. Di dalam nyadran terdapat inti budaya Jawa yaitu harmoni dalam hubungan antar manusia, alam semesta, dan juga roh gaib. Oleh sebab itu, nyadran ini menyertakan sesajian. Aneka makanan, kemenyan, dan bunga, memiliki arti simbolis. Tumpeng melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (anak ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja

melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajanan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus. TRADISI NYADRAN TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN, KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bisa kita jumpai di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Kegiatan masyarakat Grogolan tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal Apakah Tujuan Tradisi Nyadran Di Desa Grogolan??

Mbah Wiriyo,(72 tahun) salah satu warga dan merupakan pemuka penting didesa Grogolan ini, berhasil kami temui dan kami mintai keterangan seputar tradisi nyadran yang ada di desa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa nyadran dilakukan setiap bulan Sya ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita. Kami hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan nenek moyang dari dulu mas, jadi kalo ditanya soal sejak kapan tradisi ini berlangsung saya sendiri pribadi kurang tahu, mungkin sudah sejak jaman Para Wali mungkin mas. Papar mbah Wiriyo. Jadi pada intinya masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Beliau juga menjelaskan bahwa, kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Selain di daerah Jawa Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon, nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas. Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi). Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang dianggap sakral/suci. Untuk masyarakat di desa Grogolan kebanyakan banyak yang melakukan tradisi padusan ke daerah sakral yang ramai pengunjung seperti Kedung Boyo, Tlatar, Pengging dan Lain-lain. Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran di desa ini seringkali mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Memang secara kuantitas, tidak semua warga

di desa Grogolan turut ikut melakukan tradisi ini. Ada sebagian yang tidak ikut nyadranan, karena mereka mempunyai prinsip yang jelas dan mendasar. Mereka yang menolak tradisi nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah makam leluhur. Salim (60 tahun) salah satu warga Desa Grogolan juga,dia adalah salah satu orang dari warga tersebut yang tidak setuju dengan tradisi yandran ini. Sebenarnya tradisi ini adalah tradisi yang semestinya harus ditinggalkan, kenapa mas bisa saya katakan seperti itu? Kerena tradisi ini melanggar aturan agama islam. Tradisi ini tidak diajarkan dalam islam dan merupakan perbuatan Syirik dan syirik itu perbuatan dosa besar jadi saya tidak setuju dengan keberlangsungan tradisi ini mas..! Tutur pak Salim dengan suara agak lantang. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara (sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini kembali dimodifikasi. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan rohroh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk menyembah roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam. Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka bawaan ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makananmakanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan.

Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk menyembah roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur. Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita. Namun tetap saja pandangan seseorang itu berbeda-beda. Ada yang menganggap itu baik disatu sisi juga ada yang menanggap itu tidak baik. Dan hal itu wajar terjadi adanya karena seperti kita ketahui bersama bahwa kita hidup dalam kebersamaan dan masyarakat multi cultural. Nah dengan berbagai sumber informasi tadi dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut. Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini? Desa Grogolan dihuni oleh banyak komunitas penduduk yang mana berbeda agama dan mempunyai kepercayaan masing-masing. Setelah kami mencari keterangan yang cukup terpercaya yaitu mengambil simple dari beberapa orang penduduk di daerah itu bahwa mereka tahu akan hal itu (ketidakharmonisan persepsi) dan mereka berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal itu.

Jadi pada intinya, mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati.

B. TRADISI NYADRAN DALAM KONTEKS UMUM MASYARAKAT JAWA Nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah. Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. KESIMPULAN BAB III PENUTUP

Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Nyadran dilakukan setiap bulan Sya ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Kegiatan Tradisi Nyadran di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Tujuan masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut. Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini? Mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut

untuk dihargai dan dihormati. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal itu. Tradisi Sekaten Keraton Kasunanan Surakarta May 18, 2013 By Wawan Surajah Leave a Comment Sekaten adalah salah satu tradisi Keraton Surakarta yang paling dikenal dan ditunggu kehadirannya setiap tahun. Tradisi yang telah digelar sejak era raja-raja terdahulu sejatinya adalah sebuah upacara peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai tuntunan bagi umat manusia. Nama tradisi ini berasal dari kata dalam Bahasa Arab, Syahadatain, (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian umat Islam bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah), rutin diselenggarakan oleh pihak Keraton menjelang hari perayaan lahirnya Sang Penuntun. Yaitu menjelang Maulid Nabi atau menjelang tanggal 12 bulan Rabiul Awal (Hijrah) atau 12 bulan Mulud (Jawa). Mulainya tradisi Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya dua gamelan pusaka Keraton yaitu, gamelan Kyai Guntur Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari. Kedua gamelan pusaka Keraton ini nantinya akan ditata di Bangsal Pagongan, Masjid Agung Surakarta, untuk kemudian dibunyikan selama satu minggu penuh. Terhitung dari tanggal 5 bulan Mulud hingga 11 bulan Mulud. Dalam tradisi Sekaten Keraton Surakarta ini masing-masing perangkat gamelan pusaka akan melantunkan dua gending berbeda secara bergantian. Pertama gending Rembu dimainkan pada Kyai Guntur Madu sementara Kyai Guntur Sari memainkan gending Rangkung. Setelah satu seminggu dimainkannya dua gending tadi. Seluruh kegiatan dalam perayaan ini akan ditutup dengan Grebeg Mulud tepat di hari perayaan Maulid Nabi di Masjid Agung Surakarta. Grebeg Mulud inilah yang disebut sebagai upacara adat yang paling besar dan paling banyak menyedot perhatian masyarakat luas jika dibandingkan dengan Grebeg Syawal atau Grebeg Besar. Selain puncak acara Grebeg dan tabuh gamelan pusaka. Salah satu tontonan yang paling diminati adalah pasar malam Sekaten. Pasar malam sendiri digelar di Alun-Alun Utara. Khusus untuk pasar malam biasanya sudah buka jauh hari sebelum Sekaten sendiri digelar di Masjid Agung Surakarta. Pasar malam yang banyak menyuguhkan tontonan, hiburan, dan jajanan juga biasa tutup paling akhir meskipun seluruh kegiatan utama sudah selesai digelar.

Selain tradisi di bulan Mulud ini, kota Solo masih memiliki beragam upacara adat lainnya yang dapat dijadikan rujukan wisata budaya kota Solo. Seperti Kirab Malam Suro, Grebeg Mulud, Grebeg Poso, Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan masih banyak lainnya lagi. Simak seluruhnya secara komplit ditautan ini. Tradisi Lebaran, Warga Rebutan Gunungan di Keraton Solo Browser anda tidak mendukung iframe Senin, 20 Agustus 2012 18:59 wib Keraton Surakarta (foto: Joglosemar.co.id) SOLO Ratusan warga Solo, Jawa Tengah, berebut mengambil gunungan dalam Grebeg Syawal, yang digelar Kesunanan Keraton Surakarta di halaman Mesjid Agung Kesunanan, Senin siang, yang merupakan hari kedua lebaran. Seolah tak perduli dengan terik matahari yang menyengat, mereka saling dorong, saling sikut, untuk mendapatkan berkah gunungan. Warga meyakini bahwa makanan dan hasil bumi dalam gunungan akan mendatangkan berkah. Dua buah gunungan itu yakni gunungan jaler atau pria, dan gunungan wadon atau wanita, tadinya diarak dari dalam keraton dengan kawalan prajurit. Kemudian, dibawa menuju Masjid Agung di alun-alun utara. Kedua gunungan ini berisi hasil bumi, serta makanan tradisional. Selanjutnya keduanya didoakan oleh pemuka agama serta abdi dalem keratin. Setelah didoakan, gunungan jaler menjadi rebutan warga. Dalam waktu yang cukup singkat, isi gunungan ludes. Sedangkan gunungan wadon, diarak kembali ke halaman kori kemandungan

keraton untuk diperebutkan warga disana. Tradisi berebutan gunungan di kalangan warga dikenal dengan ngalap berkah. Artinya, warga yang berhasil mendapatkan hasil bumi dalam gunungan dipercayai akan mendapatkan berkah dari Tuhan. Menariknya, rebutan gunungan juga diikuti oleh pengunjung yang bukan merupakan warga Solo. Darman misalnya. Warga Salatiga ini mengaku akan memasak sebagian hasil bumi yang didapatnya. Sementara sisanya disimpan agar mendapat berkah. Akan saya masak, dan sisanya disimpang, kata Darman. Menurut kerabat Keraton Surakarta, KP Edhi Wirabhumi, makna dari Grebeg Syawal ini adalah ucap syukur kepada Tuhan yang telah menjaga umatnya selama sebulan berpuasa. Gunungan ini diharapkan mendatangkan berkah bagi seluruh warga. Dengan gunungan berisi makanan ini, diharapkan warga belajar bahwa ada yang kebih penting dari makanan jasmani, ujarnya. Sementara warga yang kurang beruntung dan tidak kebagian, terpaksa harus mengais sisa gunungan yang berserakan di tanah. Tradisi turuntemurun ini seolah tidak pernah hilang di tengah kemajuan jaman.