BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah UU 30/1999, pada akhirnya, mengulang ketidakkonsistenan pelaksanaan putusan arbitrase asing dan hukum penyelesaian sengketa di Indonesia. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan tersebut kemudian juga membuat permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing selalu ditafsirkan secara berbeda ketika pihak pelaku usaha nasional terlibat didalamnya. Baik UU 30/1999 dan Pengadilan Negeri selaku pihak yang berwenang dalam pemberian keputusan pelaksanaan tidak bersahabat dengan putusan arbitrase asing. Hal ini dapat dilihat dengan salah diterapkannya kembali wewenang pembatalan putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Pertamina melawan KBC. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya telah melampaui kewenangannya sebagai contracting state dengan menjatuhkan putusan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia karena menjatuhkan suatu putusan yang berdasarkan Konvensi New York, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang karena bukan merupakan country of origin. Ketidakpastian hukum dalam substansi yang diatur oleh UU 30/1999 mengakibatkan tidak efektifnya pelaksanaan dari UU itu sendiri, dimana dalam perkara Pertamina melawan KBC ditunjukkan bahwa, baik Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun pihak pelaku usaha telah salah memahami dan menerapkan ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing berdasarkan permohonan yang pada dasarnya tidak sah serta didasari landasan yang salah. Adapun permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina dan diperiksa
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui kewenangannya juga, karena Peninjauan Kembali tidaklah diatur dibawah UU 30/1999. 2. UU arbitrase Indonesia yaitu UU 30/1999 pada dasarnya hanya mengadopsi dan menerapkan sebagian ketentuan dalam Pasal V Konvensi New York serta dengan substansi yang tidak jelas. UU 30/1999 tidaklah menerapkan maupun mengadopsi secara utuh ketentuan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 tersebut. Tidak utuhnya ketentuan penolakan dalam Konvensi New York 1958 yang diadopsi serta diterapkan oleh UU 30/1999 inipun sering mengakibatkan salahnya penerapan serta pelaksanaan ketentuan dalam praktek penolakan dan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dilakukan oleh para aparatur hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kerapkali melakukan pembatalan-pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia berdasarkan ketertiban umum. Hal ini pada dasarnya adalah salah mengingat, (i) Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang bukan merupakan Country of Origin; (ii) berdasarkan Konvensi New York 1958, Indonesia yang pada faktanya, sering menjadi Negara yang bukan merupakan country of origin, sering melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase Negara anggota Konvensi New York lainnya; (ii) ketertiban umum digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia, pada kenyataannya, tidak jelas pengaturan definisinya; (iii) tidak ada definisi pasti tentang ketertiban umum (iv) dasar ketertiban umum tersebut bukanlah dasar pembatalan putusan arbitrase asing, melainkan sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing; dan (v) dimana, dasar ketertiban umum yang merupakan dasar penolakan pelaksanaan (bukan pembatalan) dibawah UU arbitrase Indonesia tersebut, kewenangan penolakan putusan arbitrase asingnya sepenuhnya dimiliki oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (tidak dimohonkan); Melihat kepada fakta-fakta tersebut, merupakan suatu hal yang memprihatinkan melihat kondisi UU arbitrase Indonesia yang substansi perundang-undangannya tidak sesuai dengan Konvensi yang ditandatangani dan diratifikasinya sendiri dan
lebih memprihatinkan bahwa struktur penegak hukum tidak fasih dalam melaksanakan UU arbitrasenya yang diundangkan oleh Negaranya sendiri. 3. Sehubungan dengan kepastian dan perlindungan dalam hukum penyelesaian sengketa, UU 30/1999 sebagai UU yang secara khusus membahas tentang arbitrase belumlah dapat memberikan suatu cerminan kepastian terhadap ketentuan-ketentuannya yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. UU 30/1999 yang diundangkan oleh pemerintah untuk dapat memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, ternyata belum mampu memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Sulitnya sebuah putusan arbitrase dilaksanakan di Indonesia dikarenakan beberapa hambatan yaitu: (i) Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York; (ii) Aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia; (iii) Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Asing Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial. UU 30/1999 tidaklah menerapkan dan melaksanakan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York, hal ini dapat dilihat dari: sedikitnya pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing bila dilihat dalam substansi UU 30/1999 serta tidak dijadikannya Konvensi New York 1958 sebagai dasar pertimbangan pembentukan UU ini; UU 30/1999 juga tidak friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing karena pihak asing disulitkan dalam hal pengajuan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing; Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tidak konsekuen dimana prosedur pemberian exequatur terhadap permohonan pelaksanaan putusan ketika pihak yang bersengketa melibatkan Negara Indonesia sebagai salah satu pihak yang bersengketa adalah berbeda dengan jika Negara Indonesia bukan merupakan salah satu pihak yang bersengketa.
Hakim, pelaku usaha dan pengacara tidak berperan dengan benar sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, mereka hanya mengacu kepada UU 30/1999 dimana UU tersebut sendiri tidak mengakomodir secara penuh ketentuan-ketentuan dibawah Konvensi New York yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kepada kesalahan pada penerapan hingga penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung. Adanya dualisme paham (dependency dan liberal theory) membatasi budaya hukum Negara Indonesia untuk memberikan perlakuan yang adil baik dari segi pengaturan ataupun penjatuhan keputusan kepada pihak asing dalam wilayah jurisdiksi hukum Negaranya karena pembatasan ini dimaksudkan untuk membatasi dominasi asing di Indonesia. Adanya Pembatasan terhadap dominasi bila dihubungkan dengan kepentingan nasional dan kedaulatan pada dasarnya adalah sah. Suatu Negara berhak melakukan pembatasan terhadap pihak asing melalui hukum nasionalnya, namun, akan lebih baik apabila pembatasan tersebut diakomodir oleh adanya suatu kepastian hukum khususnya hukum penyelesaian sengketa karena akan lebih memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berhubungan dalam suatu perjanjian, khususnya dalam penyelesaian sengketa. Belum terakomodirnya ketentuan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 tidak memberikan kepastian hukum kepada para investor asing atau pelaku usaha bisnis maupun perdagangan internasional. B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan: 1. Pemerintah perlu mengadakan perubahan terhadap UU 30/1999 yang secara spesifik mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa khususnya terhadap ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dimana UNCITRAL Model Law merupakan suatu referensi yang menerapkan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing secara komprehensif atau Indonesia dapat merancang UU arbitrase yang lebih komprehensif mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
tanpa harus mengadopsi ketentuan UNCITRAL Model Law. Terhadap adanya perubahan tersebut, perlulah untuk diperhatikan bahwa perubahan tersebut harus dapat mengakomodir ketentuan yang pasti dan dapat memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang bersengketa, baik pihak asing maupun pihak nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional pula. 2. Dalam hal perubahan UU 30/1999, diperlukan adanya konsistensi Pemerintah (baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) dan DPR dalam pembentukan produk hukum penyelesaian sengketa yang baru dimana sinkronisasi terhadap ketentuan Konvensi New York yang telah diratifikasi Indonesia tetap diperhatikan, serta sinkronisasi antara hukum-hukum lainnya adalah penting untuk dilakukan. Selain itu kiranya produk hukum arbitrase yang dirubah atau dibentuk baru tersebut dibuat dengan tetap memperhatikan permasalahan-permasalahan yang ada dilapangan agar dapat menjamin kepastian hukum dan mengacu kepada prinsip predictability, stability dan fairness. 3. Perangkat hukum pelaksana UU arbitrase perlu untuk diberikan pendidikan mengenai perkembangan arbitrase internasional agar mengetahui serta aware terhadap hukum arbitrase secara lingkup nasional maupun secara lingkup internasional. Serta perlu juga untuk memberikan semacam pelatihan kepada para perangkat hukum agar lebih tegas dan berkompeten untuk memutus suatu perkara arbitrase maupun terhadap adanya permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang nantinya akan dimohonkan kepadanya.