BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan:

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada

BAB IV PENUTUP. 1A Padang, berjalan dengan baik, tertib dan lancar. Tidak di temukannya. tersebut, hanya saja hambatan-hambatannya dalam kekurangan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dipaparkan. pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

ANALISIS SITUASI KAJIAN HUKUM GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PILKADA ACEH 2017 EDISI 15 TAHUN 2017 PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan


Ringkasan Putusan.

RINGKASAN PUTUSAN.

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB IV. Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

Melawan

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGHARMONISASIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah UU 30/1999, pada akhirnya, mengulang ketidakkonsistenan pelaksanaan putusan arbitrase asing dan hukum penyelesaian sengketa di Indonesia. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan tersebut kemudian juga membuat permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing selalu ditafsirkan secara berbeda ketika pihak pelaku usaha nasional terlibat didalamnya. Baik UU 30/1999 dan Pengadilan Negeri selaku pihak yang berwenang dalam pemberian keputusan pelaksanaan tidak bersahabat dengan putusan arbitrase asing. Hal ini dapat dilihat dengan salah diterapkannya kembali wewenang pembatalan putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Pertamina melawan KBC. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya telah melampaui kewenangannya sebagai contracting state dengan menjatuhkan putusan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia karena menjatuhkan suatu putusan yang berdasarkan Konvensi New York, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang karena bukan merupakan country of origin. Ketidakpastian hukum dalam substansi yang diatur oleh UU 30/1999 mengakibatkan tidak efektifnya pelaksanaan dari UU itu sendiri, dimana dalam perkara Pertamina melawan KBC ditunjukkan bahwa, baik Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun pihak pelaku usaha telah salah memahami dan menerapkan ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing berdasarkan permohonan yang pada dasarnya tidak sah serta didasari landasan yang salah. Adapun permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina dan diperiksa

oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui kewenangannya juga, karena Peninjauan Kembali tidaklah diatur dibawah UU 30/1999. 2. UU arbitrase Indonesia yaitu UU 30/1999 pada dasarnya hanya mengadopsi dan menerapkan sebagian ketentuan dalam Pasal V Konvensi New York serta dengan substansi yang tidak jelas. UU 30/1999 tidaklah menerapkan maupun mengadopsi secara utuh ketentuan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 tersebut. Tidak utuhnya ketentuan penolakan dalam Konvensi New York 1958 yang diadopsi serta diterapkan oleh UU 30/1999 inipun sering mengakibatkan salahnya penerapan serta pelaksanaan ketentuan dalam praktek penolakan dan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dilakukan oleh para aparatur hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kerapkali melakukan pembatalan-pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia berdasarkan ketertiban umum. Hal ini pada dasarnya adalah salah mengingat, (i) Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang bukan merupakan Country of Origin; (ii) berdasarkan Konvensi New York 1958, Indonesia yang pada faktanya, sering menjadi Negara yang bukan merupakan country of origin, sering melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase Negara anggota Konvensi New York lainnya; (ii) ketertiban umum digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia, pada kenyataannya, tidak jelas pengaturan definisinya; (iii) tidak ada definisi pasti tentang ketertiban umum (iv) dasar ketertiban umum tersebut bukanlah dasar pembatalan putusan arbitrase asing, melainkan sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing; dan (v) dimana, dasar ketertiban umum yang merupakan dasar penolakan pelaksanaan (bukan pembatalan) dibawah UU arbitrase Indonesia tersebut, kewenangan penolakan putusan arbitrase asingnya sepenuhnya dimiliki oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (tidak dimohonkan); Melihat kepada fakta-fakta tersebut, merupakan suatu hal yang memprihatinkan melihat kondisi UU arbitrase Indonesia yang substansi perundang-undangannya tidak sesuai dengan Konvensi yang ditandatangani dan diratifikasinya sendiri dan

lebih memprihatinkan bahwa struktur penegak hukum tidak fasih dalam melaksanakan UU arbitrasenya yang diundangkan oleh Negaranya sendiri. 3. Sehubungan dengan kepastian dan perlindungan dalam hukum penyelesaian sengketa, UU 30/1999 sebagai UU yang secara khusus membahas tentang arbitrase belumlah dapat memberikan suatu cerminan kepastian terhadap ketentuan-ketentuannya yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. UU 30/1999 yang diundangkan oleh pemerintah untuk dapat memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, ternyata belum mampu memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Sulitnya sebuah putusan arbitrase dilaksanakan di Indonesia dikarenakan beberapa hambatan yaitu: (i) Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York; (ii) Aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia; (iii) Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Asing Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial. UU 30/1999 tidaklah menerapkan dan melaksanakan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York, hal ini dapat dilihat dari: sedikitnya pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing bila dilihat dalam substansi UU 30/1999 serta tidak dijadikannya Konvensi New York 1958 sebagai dasar pertimbangan pembentukan UU ini; UU 30/1999 juga tidak friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing karena pihak asing disulitkan dalam hal pengajuan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing; Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tidak konsekuen dimana prosedur pemberian exequatur terhadap permohonan pelaksanaan putusan ketika pihak yang bersengketa melibatkan Negara Indonesia sebagai salah satu pihak yang bersengketa adalah berbeda dengan jika Negara Indonesia bukan merupakan salah satu pihak yang bersengketa.

Hakim, pelaku usaha dan pengacara tidak berperan dengan benar sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, mereka hanya mengacu kepada UU 30/1999 dimana UU tersebut sendiri tidak mengakomodir secara penuh ketentuan-ketentuan dibawah Konvensi New York yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kepada kesalahan pada penerapan hingga penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung. Adanya dualisme paham (dependency dan liberal theory) membatasi budaya hukum Negara Indonesia untuk memberikan perlakuan yang adil baik dari segi pengaturan ataupun penjatuhan keputusan kepada pihak asing dalam wilayah jurisdiksi hukum Negaranya karena pembatasan ini dimaksudkan untuk membatasi dominasi asing di Indonesia. Adanya Pembatasan terhadap dominasi bila dihubungkan dengan kepentingan nasional dan kedaulatan pada dasarnya adalah sah. Suatu Negara berhak melakukan pembatasan terhadap pihak asing melalui hukum nasionalnya, namun, akan lebih baik apabila pembatasan tersebut diakomodir oleh adanya suatu kepastian hukum khususnya hukum penyelesaian sengketa karena akan lebih memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berhubungan dalam suatu perjanjian, khususnya dalam penyelesaian sengketa. Belum terakomodirnya ketentuan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 tidak memberikan kepastian hukum kepada para investor asing atau pelaku usaha bisnis maupun perdagangan internasional. B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan: 1. Pemerintah perlu mengadakan perubahan terhadap UU 30/1999 yang secara spesifik mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa khususnya terhadap ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dimana UNCITRAL Model Law merupakan suatu referensi yang menerapkan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing secara komprehensif atau Indonesia dapat merancang UU arbitrase yang lebih komprehensif mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing

tanpa harus mengadopsi ketentuan UNCITRAL Model Law. Terhadap adanya perubahan tersebut, perlulah untuk diperhatikan bahwa perubahan tersebut harus dapat mengakomodir ketentuan yang pasti dan dapat memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang bersengketa, baik pihak asing maupun pihak nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional pula. 2. Dalam hal perubahan UU 30/1999, diperlukan adanya konsistensi Pemerintah (baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) dan DPR dalam pembentukan produk hukum penyelesaian sengketa yang baru dimana sinkronisasi terhadap ketentuan Konvensi New York yang telah diratifikasi Indonesia tetap diperhatikan, serta sinkronisasi antara hukum-hukum lainnya adalah penting untuk dilakukan. Selain itu kiranya produk hukum arbitrase yang dirubah atau dibentuk baru tersebut dibuat dengan tetap memperhatikan permasalahan-permasalahan yang ada dilapangan agar dapat menjamin kepastian hukum dan mengacu kepada prinsip predictability, stability dan fairness. 3. Perangkat hukum pelaksana UU arbitrase perlu untuk diberikan pendidikan mengenai perkembangan arbitrase internasional agar mengetahui serta aware terhadap hukum arbitrase secara lingkup nasional maupun secara lingkup internasional. Serta perlu juga untuk memberikan semacam pelatihan kepada para perangkat hukum agar lebih tegas dan berkompeten untuk memutus suatu perkara arbitrase maupun terhadap adanya permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang nantinya akan dimohonkan kepadanya.