BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefenisikan remaja sebagai masa dimana individu berkembang pada saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sampai mencapai kematangan seksual, perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh dengan keadaan relatif menjadi mandiri.remaja dikelompokkan sebagai individu yang berada pada rentang usia 10-19 tahun (Kemenkes RI, 2014). Masa remaja merupakan masa dimana terbentuknya rasa ingin tahu yang besar pada seseorang untuk menemukan jati dirinya. Masa ini cukup rentan, karena dapat menimbulkan keinginan mencoba berbagai aktivitas yang memicu timbulnya permasalahan remaja terkait kesehatan reproduksinya (Manuaba, 2014). Masalah kesehatan reproduksi remaja tidak terlepas dari perilaku seksual beresiko, seperti seks pranikah, aborsi dan perilaku beresiko tertular Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Berdasarkandata Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun2012, pada remaja yang berusia 15-24 tahun dan belum menikah, tercatat bahwa proporsi berpacaran paling tinggi berada pada usia 15-17 tahun, dan remaja 15-19 tahun,33% remaja wanita dan 34,5% remaja pria sudah berpacaran pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Pada usia ini remaja belum memiliki keterampilan hidup yang cukup memadai sehingga rentan terlibat di 1
2 hubungan seks pranikah. Hubungan seks pranikah ini dapat berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan dan berlanjut pada aborsi serta pernikahan usia muda (Kemenkes RI, 2012). Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Kepres RI, 1974). Indonesia adalah negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja dan menduduki rangking ke 37 di dunia. Lebih dari 22.000 wanita berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah, dan 11,7% wanita usia 15-19 tahun juga sudah menikah. Kalimantan adalah provinsi dengan persentase tertinggi pernikahan usia muda (BKKBN, 2012). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat bahwa pada wanita yang menikah umur 10-54 tahun, 2,6% diantaranya menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun, dan 23,9% menikah pada umur 15-19 tahun.sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2014 tercatat bahwa jumlah remaja umur 15-24 tahun sebanyak 2.514.109 orang, dimana 30-35% remaja diantaranya melakukan pernikahan usia dini (Kemenkes RI, 2013). Pernikahan usia dini ini memberikan dampak bagi kesehatan reproduksi, dikarenakan semakin muda umur menikah maka semakin panjang rentang waktu untuk berproduksi. Riskesdas (2013) mencatat angka kehamilan penduduk perempuan usia 10-54 tahun 2,68%, jumlah ini mencakup 0,02% perempuan hamil
3 kurang dari usia 15 tahun dan 1,97% perempuan hamil usia 15-19 tahun. Kehamilan remaja ini akan berdampak buruk pada kesehatan ibu dan anaknya (Kemenkes RI, 2013). Status kesehatan ibu dan anak merupakan indikator kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara, dimana kemampuan pelayanan kesehatan tersebut diukur dengan perbandingan tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) oleh setiap Negara (Triana dkk, 2015). AKI adalah salah satu indikator untuk melihat status kesehatan wanita. Sedangkan, AKB merupakan salah satu aspek penting yang menggambarkan tingkat pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara dari sisi kesehatan masyarakatnya. The United Nations Children s Fund (UNICEF) mengungkapkan bahwa ada 24 negara yang 1 dari 10 anak meninggal setiap tahunnya sebelum mencapai ulang tahunnya yang kelima, salah satunya adalah Afrika dan Asia Selatan. UNICEF juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 tercatat jumlah Angka Kematian Balita (AKBA) sebanyak 6,6 juta, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan angka tahun 1990, yang mencapai 12,6 juta kematian. Berdasarkan hasil penelitian Bartman dan Talukdar (2014) yang dilakukan di India, didapati bahwa usia ibu yang terlalu muda dibawah 19 tahun menjadi salah satu penyebab tingginya AKB yang mencapai 1,8 juta per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2000 dan terjadi penurunan 55 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Data SDKI (2012) mencatat bahwa AKB tahun 2012 adalah 32 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKBA adalah 40 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan
4 AKBA masih jauh dari target SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Di Indonesia, AKB tertinggi terdapat di Papua yaitu mencapai 74 per 1000 kelahiran hidup, sementara untuk provinsi Sumatera, AKB tertinggi terdapat Provinsi Aceh sebesar 47 per 1000 kelahiran hidup, dan AKBA tertinggi terdapat di provinsi Sumatera Utara yaitu 54 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2012). Hasil laporan pencapaian tujuan MDGs tahun 2011 menunjukkan bahwa penyebab kematian bayi dan balita yang paling utama adalah masalah neonatal (Asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah, dan infeksi Neonatal), penyakit Infeksi (diare dan peneumonia), dan masalah status gizi (gizi buruk dan gizi kurang) (Bappenas, 2012). Untuk mengetahui masalah status gizi dan gangguan pertumbuan (Growth Faltering) penting dilakukannya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada balita secara dini. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan rentan terjadi pada seribu hari pertama kehidupan seorang anak. Tahun pertama kehidupan anak merupakan fondasi penting untuk kehidupan anak selanjutnya. Usia 0 24 bulan merupakan fase tercepat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, masa ini sering disebut dengan periode emas. Periode emas dapat terwujud apabila pada masa ini anak mendapatkan asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Masa ini juga masa krisis bagi seorang anak, karena jika asupan nutrisi tidak terpenuhi maka anak akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang serius (Sulistyawati, 2013).
5 Pemantauan pertumbuhan pada anak dapat dilihat dari penimbangan berat badan dan pengukuran panjang badan. Berdasarkan data Riskesdas 2013 didapati bahwa ada 34,3% anak yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir. Sumatera Utara adalah provinsi dengan angka terendah cakupan penimbangan pada anak, yaitu hanya 12,5% anak yang melakukan penimbangan berat badan dalam enam bulan terakhir (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) terlihat bahwa dari 82.661 balita yang dilakukan penimbangan berat badansecara Nasional,terdapat prevalensi berat kurang (underweight) sebanyak 19,6%, yaitu terdiri dari 5,7% gizi buruk, dan 13,9% gizi kurang. Data ini masih jauh dari harapan SDGs 2019 untuk prevalensi gizi buruk kurang yaitu sebesar 17%. Di Indonesia tercatat bahwa ada 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk kurang diatas angka 21,2% - 33,1%, beberapa di antaranya NTT, Sumatera Utara dan Jambi (Kemenkes RI, 2013). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (Renstra, 2015-2019) menuliskan bahwaselain dari penimbangan berat badan, pertumbuhan juga dilihat dengan pengukuran panjang badan balita. Status gizi dari pengukuran panjang badan biasanya memperlihatkan masalah kemiskinan ataupun pola asuh pada balita sehingga menyebabkan balita menjadi pendek (stunting). Dalam Rencana Pembangunan Jaminan Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dikatakan bahwa prioritas untuk perbaikan gizi masyarakat perlu dilakukannya penurunan angka stunting menjadi 32%, akan tetapi dari hasil Riskesdas (2013) didapati angka stunting
6 mencapai 37,2%, dimana 18,0% adalah kategori sangat pendek dan 19,2% dalam kategori pendek (Kemenkes, 2015). Gangguan pertumbuhan yang meliputi berat kurang (underweight) dan pendek (stunting) juga memberikan dampak buruk pada perkembangan balita. UNICEF (2008) menyebutkan bahwa malnutrisi pada balita dapat menyebabkan terganggunya pola perkembangan anak dimasa depan. Sebuah studiyang dilakukan di Philippines menunjukkan bahwa dari 2000 anak yang mengalami malnutrisi, 2/3 diantaranya mengalami penurunan Intelligence Quotient (IQ). Penelitian yang dilakukan di Jamaica menunjukkan bahwa pada kelompok anak-anak usia 6-10 tahun yang mengalami malnutirisi pada masa balita memiliki IQ lebih rendah dibanding dengan anak-anak yang cukup gizi pada masa balitanya (Notoatmojo, 2011) Penelitian Yamnur (2008) menunjukkansecara tidak langsung gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang tidak tepat. Ibu adalah orang yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan anak terkait dengan tumbuh kembang. Setiap ibu memiliki pola asuh yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur ibu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan UNICEF (2007) menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan dibawah umur 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi atau anak yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan yang salah pada anaknya, terkait pilihan yang tepat dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
7 Hasil penelitian Dewi, et al (2014) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki riwayat menikah pada usia < 20 tahun cenderung melakukan perawatan bayi yang salah, hal ini dilihat dari 52 ibu yang melakukan pernikahan dini, 28 (53,8%) ibu menunjukkan sikap negatif dalam perawatan bayi, dan 24 (42,6%) ibu melakukan sikap positif dalam perawatan bayi. Berdasarkan penelitian Suresh (2015) yang dilakukan di India menunjukkan bahwa pernikahan dini akan berdampak pada masalah tumbuh kembang balita, dimana wanita yang menikah dini rentan melahirkan anak dengan berat badan yang rendah dan tidak jarang anak yang dilahirkan belum cukup umur (premature), hal ini akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya dimasa selanjutnya, dan dikatakan bahwa pernikahan dini menyebabkan wanita berada pada masa usia produktif yang panjang, sehingga cenderung akan memiliki banyak anak. Sementara wanita yang sudah memiliki anak pada usia remaja atau disebut ibu muda sering kali lepas kendali atas pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini disebabkan oleh faktor bahwa ibu muda cenderung belum mampu mengambil keputusan terkait masalah gizi dan perawatan kesehatan untuk keluarganya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Birech (2013) dikatakan bahwa pernikahan dini akan menyebabkan seorang anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, Bruce (2007) dalam Birech (2013) mengatakan bahwa pendidikan seorang anak perempuan yang kelak akan menjadi ibu akan mempengaruhi pencapaian pendidikan yang berkelanjutan dari satu generasi
8 ke generasi lainnya. Dimana jika seorang ibu tidak mendapat pendidikan yang baik maka ada kemungkinan dalam perkembangan pendidikan anak akan terhambat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Afifah (2011) di Indonesia, menunjukkan bahwa ibu yang menikah usia dini memiliki kecenderungan untuk memiliki anak dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terganggu. Hal ini ditunjukkan dari data kelompok usia ibu dimana usia 25-29 tahun memiliki anak pendek 33,7%, dan kelompok usia ibu 20-24 tahun memiliki anak pendek 37,2% dan ibu yang berusia 15-19 tahun memiliki anak pendek 42,2%. Semakin muda usia ibu menikah maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat. Berdasarkan surveipendahuluan yang dilakukan di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa, dari hasil wawancara dengan perangkat desa setempat diketahui bahwa masih banyak kejadian pernikahan usia dini didesa tersebut, dalam 5 tahun terakhir 2011 2016 bulan februari didapati ada 258 kasus remaja yang melakukan pernikahan dini. Hasil pengamatan pada balita yang dilihat berdasarkan KMS, menunjukkan bahwa dari kelompok keluarga yang tidak menikah dini didapati 1 anak mengalami gangguan pertumbuhan dimana usia anak 6 bulan dan berat badan adalah 6 kg artinya anak dalam kategori underweight, dan 1 anak mengalami gangguan perkembangan yaitu anak belum dalapat memakai pakaian sendiri, menggunakan sepatu sendiri dan meletakkan 8 kubus tanpa jatuh artinya anak mengalami gangguan perkembangan dalam kategori kemandirian dan motorik halus, sedangkan pada pasangan yang menikah dini didapati 1 anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan yaitu anak usia 24 bulan dengan berat badan 9 kg
9 serta anak belum dapat menyebutkan kata dengan jelas, belum dapat berjalan, belum bisa menggunakan pakaian sendiri dan beberapa hal lainnya, anak masuk kedalam kategori penyimpangan. 2 anak mengalami gangguan pertumbuhan yaitu anak dengan usia 24 bulan dengan berat badan 8,3kg anak masuk dalam kategori underweight dan anak usia 36 bulan dengan berat badan 20kg anak dalam kategori overweight dan 2 anak mengalami gangguan perkembangan yaitu anak usia 36 bulan belum bisa menyebutkan gambar hewan, berbicara dengan jelas, menarik garis lurus sepanjang 2,5 cm artinya anak mengalami gangguan pada bicara dan bahasa serta motorik halus, anak dalam kategori meragukan. Anak usia 3 bulan belum bisa mengangkat kepalanya sendiri gangguan terjadi pada motorik kasar dan anak dalam kelompok perkembangan meragukan. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa gangguan tumbuh kembang balita lebih banyak terjadi pada keluarga yang menikah usia dini, maka rumusan masalah dalam penelitan ini adalah bagaimana hubungan pernikahan dini dengan tumbuh kembang balita di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016. 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menganalisa hubungan pernikahan dini (Usia kawin pertama, usia perkawinan, pendidikan istri dan pendidikan suami, pendapatan keluarga, dan jumlah
10 anggota keluarga) dengan tumbuh kembang balita Di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 2016. 1.4 Hipotesis Penelitian Ada hubungan pernikahan dini dengan tumbuh kembang balita Di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli SerdangSumatera Utara Tahun 2016. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Memberi masukan data bagi dinas kesehatan tentang hubungan pernikahan dini dan tumbuh kembang balita, sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk memberikan penyuluhan lanjutan bagi remaja dan ibu-ibu muda lainnya. 2. Bagi tempat penelitian data penelitian ini dapat digunakan sebagai data untuk kepentingan desa dalam memperbaiki pelayanan kesehatan terkait dengan masalah pernikahan dini dan tumbuh kembang balita. 3. Bagi peneliti selanjutnya data ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian lanjutan.