HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 2007 JANUARI 2008 RUKYATUL HILAL INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada

KONSEP BEST TIME DALAM OBSERVASI HILAL MENURUT MODEL VISIBILITAS KASTNER

Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis

ANALISIS PEMIKIRAN KRITERIA IMKAN AR-RUKYAH. MOHD. ZAMBRI ZAINUDDIN dan APLIKASI di INDONESIA

PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG

PENENTUAN PARAMETER FISIS HILAL SEBAGAI USULAN KRITERIA VISIBILITAS DI WILAYAH TROPIS

BAB III METODE PENELITIAN

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

KRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI)

LAMPIRAN FOTO 1. : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah

BAB III PEMIKIRAN MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI

BAB III METODE PENELITIAN

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

USULAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA DENGAN MODEL KASTNER CRITERIA OF HILAL VISIBILITY IN INDONESIA BY USING KASTNER MODEL

VISIBILITAS HILAL DALAM MODUS PENGAMATAN BERBANTUAN ALAT OPTIK DENGAN MODEL KASTNER YANG DIMODIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

OBSERVASI HILĀL DI INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM PEMBENTUKAN KRITERIA VISIBILITAS HILĀL

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

BAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI. A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi

BAB II TEORI VISIBILITAS HILAL

KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Ketajaman Mata Dalam Kriteria Visibilitas Hilal

Kapan Idul Adha 1436 H?

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

Inilah Hisab 1 syawal 1430 dan prediksi 1 Syawwal 1430 H diperbagai negara «MUSLI...

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

Imkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

ASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT

Mengkaji Konsep Kalender Islam Internasional Gagasan Mohammad Ilyas

IMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 DAN SENIN, 11 JANUARI 2016 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1437 H

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan hijriyah.

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS. Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih memfokuskan

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 8 JULI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 7 AGUSTUS 2013 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 1 MARET 2014 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL ULA 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 29 APRIL 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 1 DAN 2 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 31 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 4 NOVEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 13 OKTOBER 2015 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1437 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 22 DESEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 18 DAN SELASA, 19 MEI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 12 MARET 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADIL ULA 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 19 JULI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 14 NOVEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 29 MEI 2014 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 FEBRUARI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RABI UTS TSANI 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 OKTOBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 18 AGUSTUS 2012 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 15 AGUSTUS 2015 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT DAN SABTU, 27 DAN 28 JUNI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1435 H

Hisab dan rukyat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklop...

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 19 APRIL 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 16 SEPTEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1433 H

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 20 DAN SABTU, 21 MARET 2015 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL AKHIRAH 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU DAN KAMIS, 10 DAN 11 APRIL 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADITS TSANIYAH 1434 H

Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 16 DAN JUMAT, 17 JULI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYAWAL 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 DAN RABU, 17 JUNI 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1436 H

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI TENTANG UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DAN PROSPEKNYA MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA

Modul Pelatihan HISAB - RUKYAT AWAL BULAN HIJRIYAH

PREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA. Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung)

ANALISIS VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL 1433 H DENGAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

BAB II TINJAUAN UMUM IMKAN AR- RUKYAH DAN VISIBILITAS HILAL

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN BINTANG SEBAGAI PENUNJUK ARAH KIBLAT KELOMPOK NELAYAN MINA KENCANA DESA JAMBU KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA

BAB II RUKYAT AL-HILAL AWAL BULAN KAMARIAH. Rukyat al-hilal terdiri atas dua kata bahasa Arab, yakni rukyat dan

BAB I PENDAHULUAN. hal yang penting dalam ketepatan penentuannya. Hal ini dikarenakan pada

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB

Horizon Lokal Dan Jam Matahari

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

PRA RANCANGAN SATELIT MISI TUNGGAL HILALSAT. Untuk Keperluan Verifikasi Sistem Kalender Hijriah dan Penentuan Hari Hari Raya Keagamaan

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time

BAB IV KELAYAKAN POS OBSERVASI BULAN BUKIT SYEH BELA-BELU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL

BAB III METODE PENELITIAN

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky

Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H

PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT

JADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1433 H (2012 M)

SOLAR ENVELOPE Lingkungan Penerangan Ernaning Setiyowati

BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013

Transkripsi:

HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 7 JANUARI RUKYATUL HILAL INDONESIA M. Ma rufin Sudibyo Rukyatul Hilal Indonesia A. DATA No Tempat Lintang Bujur First / Best Umur Elevasi Sunset Moonset Lag s a o LU o BB Tanggal Status Last Time Bulan D h a L DAz Vis. Fase R W (m dpl) /Sunrise /Moonrise (menit) ( /LS /BT Visibility (menit) (jam) ) ( o ) ( o ) ( o ) ( o ) Mag (%) ( o ) ( ) Obs Alat 1. Kebumen 7 LS 9 BT 1 1-Jan-7 waning 5:39 :3 5:1 7-9,1 7 -, 1,91,9 15,9,95-5,,,,59 MMS N. Kebumen 7 LS 9 BT 1 1-Mar-7 waning 5:9 : 5:3 19 -,1 1 -,71 1,79,37 15,53,9-5,3,7,77,1 MMS N 3. Kebumen 7 LS 9 BT 1 1-Jun-7 waning 5:5 :5 5:5 9-9,13 9-11,3 15,535,193 1,3 5,11-5,7,7,73, MMS N. Kebumen 7 LS 9 BT 1 1-Jun-7 waxing 17:9 1: 17:9 31, 73 -, 15,75 11,31 17,11,91-5,77,,,71 MMS N 5. Bela Belu LS 1 19 BT 1-Jun-7 waxing 17:5 1:3 17:35 31,37 73 -, 15,35 13,1 17, 7, -5,7,,,7 MA B. Pabelan 7 33 LS 1 BT 111 1-Jun-7 waxing 17: 1:37 17:59 33 31,77 71-7,5 15,99, 17,1,1-5,77,,,7 ARSR N 7. Kebumen 7 LS 9 BT 1 13-Jul-7 waning 5:59 :3 5: 39-37,73 1-9,79 17,7,9,5 9,337 -, 3,31,,9 MMS N. Wates 7 37 LS 1 9 BT -Sep-7 waning 5:39 :39 5:3 9-3, -,339 1,1 1,73 17,53,5-5,79,5,5,71 MMS B 9. Yogyakarta 7 LS 1 BT 11 -Sep-7 waning 5:37 :3 5:5 1-3,3 59-3,375 1, 11,5 17,571,1-5,,55,5,71 MA N. Pabelan 7 33 LS 1 BT 111 -Sep-7 waning 5:3 :3 5:3-3, -1,7 1,399 1,79 1,7,7-5,79,5,5,71 ARSR N 11. Bela Belu LS 1 19 BT 1-Sep-7 waxing 17:3 1: 17:53 19,15 3-5,7,5 3,51 9,751,97-5,3,5,9,1 MA N 1. Condrodipo 7 LS 11 37 BT 1 1-Oct-7 waxing 17:1 1: 17:31 9,51 5 -,75,91,191 13,3 7,59-5,3 1,5,, AMZ B 13. Condrodipo 7 LS 11 37 BT 1 1-Oct-7 waxing 17:1 1: 17:5 9,7 5 -,19 11,1,939 13,39 7,5-5,39 1,5,, AMZ N 1. Juwiring 7 39 LS 1 9 BT 1 -Dec-7 waning 5:1 3: :53 1-3,79 9-5,9 19,733 1,39 19,753,9 -,1 3,,,7 ARSR N 15. Juwiring 7 LS 1 BT 9 7-Jan- waning 5:9 : 5:15 1-37,37 3-3,3 17,3 13, 17,1 3, -5,79,5,5,9 ARSR N 1. Parangkusumo LS 1 19 BT 9-Jan- waxing 17:59 1:5 1:7 3,37 51 -,1,771,355,7 1,93-5,1 1,,55,7 MA B Keterangan : Tempat : Tempat pengamatan Lintang : garis lintang tempat pengamatan Bujur : garis bujur tempat pengamatan Elevasi : ketinggian tempat pengamatan dihitung dari permukaan laut Tanggal : tanggal pengamatan Status : status obyek yang diamati, waning = Bulan sabit tua, waxing = Bulan sabit muda (hilaal) Sunset/sunrise : waktu saat Matahari terbit (sunrise) untuk status waning atau waktu saat Matahari terbenam (sunset) untuk status waxing Moonset/moonrise : waktu saat Bulan terbit (moonrise) untuk status waning atau waktu saat Bulan terbenam (moonset) untuk status waxing First/Last visibility : waktu saat Bulan terakhir kali terlihat (last) untuk status waning atau waktu saat Bulan pertama kali terlihat (first) untuk status waxing Best time : selisih waktu antara sunset dengan first visibility atau selisih waktu antara last visibility dengan sunrise Umur Bulan : selisih waktu sejak terjadinya konjungsi hingga waktu pengamatan secara geosentrik 1

Lag : umur Bulan sabit, yakni selisih waktu antara moonrise dengan sunrise atau selisih waktu antara sunset dengan moonset s : tinggi/depresi Matahari terhadap horizon pada waktu pengamatan a D : selisih tinggi Bulan dengan tinggi Matahari pada waktu pengamatan h : tinggi Bulan terhadap horizon pada waktu pengamatan a L : jarak sudut/elongasi Bulan dan Matahari pada waktu pengamatan DAz : selisih azimuth antara Bulan dan Matahari pada waktu pengamatan Vis. Mag : magnitude visual Bulan pada waktu pengamatan Fase : fase Bulan pada waktu pengamatan R : jari jari apparent Bulan pada waktu pengamatan W : lebar sabit Bulan secara toposentrik pada waktu pengamatan Obs : pengamat atau ketua tim pengamat atau pelapor, MMS = Muh. Ma rufin Sudibyo, MA = Mutoha Arkanuddin, ARSR = AR Sugeng Riyadi, AMZ = Abdul Muid Zahid Alat : alat yang digunakan untuk pengamatan, N = naked eye (tanpa alat), B = binokular Umur Bulan, Lag, s, ad, h, al, DAz, Vis.Mag, fase, R dan W dihitung dengan Moon Calculator v. dalam kondisi toposentrik dan mengabaikan dinamika atmosfer (airless). Prosedur seleksi data : Data data yang bisa diterima di sini adalah yang memenuhi persyaratan : Ada deskripsi yang jelas tentang nama pengamat atau nama tim ketua pengamat atau nama pelapor. Ada deskripsi yang jelas tentang lokasi pelaksanaan pengamatan. Ada deskripsi yang jelas tentang waktu terjadinya sunset atau sunrise. Ada deskripsi yang jelas tentang waktu waning crescent mulai teramati dan menghilang menjelang sunrise, demikian juga waktu waxing crescent (hilaal) mulai teramati pasca sunset. Ada deskripsi yang jelas tentang bentuk dan/atau orientasi waxing/waning crescent, ataupun ada citra fotografisnya (lihat misalnya di gambar 1). Ada konsistensi antara estimasi elemen Bulan (misalnya tinggi Bulan di atas horizon) dengan prediksi software yang digunakan untuk analisis (dalam hal ini Moon Calculator v.) untuk waktu pengamatan yang disebutkan. Gambar 1 Contoh citra waning dan waxing crescent. Kiri : citra waning crescent 1 Maret 7 (data no.), tengah : citra waxing crescent/hilaal 9 Januari (data no.1) dan kanan : citra waning crescent tanggal 7 Januari (data no. 15). Sumber citra : MMS, MA dan ARSR.

B. TABULASI 1. Umur Bulan Umur Bulan Waxing / Waning Crescent saat Last / First Visibility 3 3 3 3 3 Gambar Histogram umur Bulan, balok hitam untuk pengamatan dengan mata telanjang, balok merah untuk pengamatan dengan binokular. Umur Bulan terkecil =,15 jam (naked eye, data no. 11) dan 3,37 jam (binokular, data no. 1). Standar deviasi umur Bulan = 5,9 jam (naked eye) dan,1 jam (binokular).. Elongasi Elongasi Waxing / Waning Crescent saat Last / First Visibility 1 1 1 1 Gambar 3 Histogram elongasi Bulan Matahari, balok hitam untuk pengamatan dengan mata telanjang, balok merah untuk pengamatan dengan binokular. Elongasi Bulan Matahari terkecil = 9,751 o (naked eye, data no. 11) dan,7 o (binokular, data no. 1). Standar deviasi elongasi Bulan Matahari =,79 o (naked eye) dan 3,1 o (binokular). 3. Tinggi Bulan Tinggi Waxing / Waning Crescent terhadap Horizon saat Last / First Visibility 1 1 1 3

Gambar Histogram tinggi Bulan terhadap horizon, balok hitam untuk pengamatan dengan mata telanjang, balok merah untuk pengamatan dengan binokular. Tinggi Bulan terkecil = 3,51 o (naked eye, data no. 11) dan,355 o (binokular, data no. 1). Standar deviasi tinggi Bulan = 3, o (naked eye) dan, o (binokular).. Lag Bulan Lag Waxing / Waning Crescent saat Last / First Visibility 95 9 5 75 7 5 55 5 5 35 3 5 15 5 Gambar 5 Histogram Lag Bulan, balok hitam untuk pengamatan dengan mata telanjang, balok merah untuk pengamatan dengan binokular. Lag Bulan terkecil = 3 menit (naked eye, data no. 11) dan 5 menit (binokular, data no. 1). Standar deviasi Lag Bulan = 1,91 menit (naked eye) dan 1,17 menit (binokular). 5. Selisih Azimuth vs Selisih Tinggi Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Waxing / Waning Crescent 1 1 1 1 y =,91x - 1,9x + 13,73 y =,1x - 1,3x + 9,11 1 1 Selisih azimuth (derajat) Gambar Kurva selisih azimuth versus selisih tinggi (altitude), titik biru untuk pengamatan dengan mata telanjang, titik merah untuk pengamatan dengan binokular. Garis merah menunjukkan Kriteria LAPAN, garis hitam menunjukkan modifikasinya berdasarkan hasil pengamatan RHI. Dr. Thomas Djamaluddin (Djamaluddin, ) telah memformulasikan kriteria LAPAN sebagai perbaikan dari kriteria MABIMS, dimana syarat minimum agar hilaal mungkin dapat terlihat (imkan rukyat) adalah : a D,1 DAz 1,3 DAz + 9,11. Hasil pengamatan RHI memperlihatkan elemen minimum hilaal/waning memiliki pertidaksamaan : a D,91 DAz 1,9 DAz + 13,73 (1). Lag vs Best Time

Lag vs Best Time Waxing / Waning Crescent 5 5 35 3 5 15 5 3 35 5 5 55 5 7 75 5 9 95 Lag (menit) Gambar 7 Kurva lag versus best time, titik biru untuk pengamatan dengan mata telanjang, titik merah untuk pengamatan dengan binokular. Garis putus putus menunjukkan persamaan best time dari Yallop, sementara garis tak terputus menunjukkan persamaan best time berdasarkan hasil pengamatan RHI. Bernard Yallop (Yallop, 1997) memformulasikan hubungan antara best time (T b ) dengan Lag dalam persamaan : T b = T sunset + / 9 Lag (untuk waxing rumusnya dibalik menjadi : T b = T sunrise / 9 Lag. Hasil pengamatan RHI menunjukkan bahwa : pada Lag menit, T b,1 Lag,9 Lag + 79,73 () pada Lag > menit, T b 5,959 menit. 7. Umur Bulan vs Lag Umur Bulan vs Lag Waxing / Waning Crescent 95 9 5 75 7 5 55 5 5 35 3 3 3 3 3 3 Umur Bulan (jam) Gambar Kurva Umur Bulan versus Lag, titik biru untuk pengamatan dengan mata telanjang, titik merah untuk pengamatan dengan binokular. Garis putus putus vertikal menunjukkan Umur Bulan minimum jam, garis tak terputus horizontal menunjukkan Lag minimum 1 menit untuk daerah tropis, keduanya bagian dari kriteria Babilon.. Elongasi vs Selisih Tinggi Elongasi vs Selisih Altitude Waxing / Waning Crescent 1 1 1 1 1 1 1 1 Elongasi (derajat) Gambar 9 Kurva elongasi versus selisih tinggi Bulan, titik biru untuk pengamatan dengan mata telanjang, titik merah untuk pengamatan dengan binokular. Garis biru putus putus adalah batas minimum. 5

Hasil pengamatan RHI menunjukkan untuk pengamatan dengan mata telanjang, hubungan elongasi dengan selisih tinggi Bulan Matahari memenuhi pertidaksamaan : a D,5 a L + 1,97 (3) 9. Lebar Sabit vs Selisih Tinggi Lebar Sabit vs Selisih Altitude Waxing / Waning Crescent 1 1 1 1,15,5,375,5,5,75,75 1 1,15 Lebar Sabit (menit busur) Gambar Kurva lebar sabit versus selisih tinggi Bulan Matahari, titik biru untuk pengamatan dengan mata telanjang, titik merah untuk pengamatan dengan binokular. Garis biru tak terputus adalah kurva nilai V Odeh = 5,5, garis merah putus putus untuk kurva V Odeh = dan garis hitam tak terputus adalah kurva V Odeh =,9. Garis biru putus putus adalah kurva hubungan lebar sabit versus selisih tinggi Bulan dari RHI. Moh. Odeh (Odeh, ) telah memformulasikan hubungan antara lebar sabit dengan selisih tinggi Bulan Matahari dalam bentuk : V = a D (,1 W 3 +,7319 W,3W + 7,151), dengan V 5,5 = waxing/waning terlihat dengan mata telanjang; V < 5,5 = waning/waxing terlihat dengan binokular dan mungkin saja bisa dilihat dengan mata telanjang;,9 V <, = waning/waxing hanya bisa dilihat dengan binokular/teleskop dan V <,9 = waning/waxing tidak bisa dilihat sama sekali dengan alat apapun. Hasil pengamatan RHI menunjukkan bahwa pada pengamatan dengan mata telanjang, hampir semua data memenuhi V 5,5 terkecuali satu data (yakni data no. 11) yang memenuhi V < 5,5. Sementara dengan menggunakan binokular, semua data memenuhi V. Hubungan lebar sabit dengan selisih tinggi Bulan Matahari dalam data memenuhi pertidaksamaan : a D,391 W 3 11,33 W + 17,5 W + 5,71 () C. PEMBAHASAN 1. Variabel Umur Bulan Umur Bulan terkecil yang berhasil didokumentasikan adalah,15 jam (naked eye) dan 3,37 jam (binokular). Keduanya jauh di atas nilai umur Bulan minimum jam, salah satu syarat kriteria MABIMS (Dirbinapera, dalam Djamaluddin, ). Jika berdasarkan persamaan (), karena T b maksimum = Lag minimum, didapat Lag minimum = 7,3 menit. Mengingat langit bergeser 1 setiap menit, maka jarak sudut (elongasi) Bulan Matahari =,7. Dan dengan kecepatan rata rata pergerakan Bulan menjauhi Matahari sebesar,5 per jam, maka jarak sudut itu setara dengan umur Bulan 13,55 jam. Sebagai pembanding, dalam database ICOP umur Bulan terkecil adalah 15, jam (naked eye) dan 11, jam (binokular/teleskop) (Odeh, ). Sehingga masih terdapat ruang yang cukup memadai untuk melakukan pengamatan pengamatan yang lebih teliti di masa datang sehingga nilai Umur Bulan terkecil bisa kian direduksi menjadi mendekati limit teoritik. Guna melihat apakah variabel Umur Bulan bisa digunakan sebagai prediktor tunggal bagi visibilitas hilaal, dilakukan analisis seperti disarankan Schaefer (Schaefer, 199). Standar deviasi pengamatan dengan mata telanjang adalah 5,9 jam, yang setara dengan lebar 9 bujur di permukaan Bumi (1 jam = 15 ). sehingga lebar zona ketidakpastiannya (1σ) adalah 1 bujur. Lewat langkah yang sama, dengan memakai binokular deviasi sebesar,1 jam setara dengan zona ketidakpastian (1σ) selebar 1 bujur. Lebar wilayah Indonesia (jarak titik

terbarat terhadap titik tertimur) hanya bujur. Sehingga penggunaan umur Bulan sebagai prediktor tunggal visibilitas tidaklah disarankan, karena cukup jelek.. Variabel Lag Bulan Lag Bulan terkecil adalah 3 menit (naked eye) dan 5 menit (binokular), dengan standar deviasi masing masing 1,91 menit dan 1,17 menit. Nilai Lag terkecil ini masih berada di sekitar nilai Lag minimum 1 menit sebagaimana disarankan Ilyas (Ilyas, 199) dari hasil revisi kriteria Babilon untuk daerah tropis. Dari kurva Lag versus best time, berlainan dengan Yallop, diperoleh persamaan (). Solusi persamaan tersebut menghasilkan T b maksimum = Lag minimum = 7,3 menit, yang setara dengan elongasi minimum,7. Angka ini tidak berbeda jauh dengan nilai limit Danjon dari Moh. Odeh yang besarnya, (Odeh, ). Adanya batasan bagi T b maksimum dan sekaligus Lag minimum adalah satu langkah maju dari konsep best time sebagaimana dirumuskan oleh Yallop (Yallop, 1997). Mengikuti langkah seperti di atas, pada pengamatan dengan mata telanjang deviasi sebesar 1,91 menit setara dengan pergerakan Bulan sejauh,3, yang ditempuh dalam, jam dan setara dengan lebar 11 bujur di permukaan Bumi. Maka lebar zona ketidakpastiannya (1 σ) adalah bujur. Bila memakai binokular, deviasi 1,17 menit berkorelasi dengan zona ketidakpastian (1σ) selebar 13 bujur. Ini tidak berbeda dengan ketidakpastian umur Bulan seperti tersebut di atas, sehingga penggunaan variabel Lag sebagai prediktor tunggal visibilitas juga tidak disarankan, karena cukup jelek. 3. Variabel Elongasi Elongasi Bulan Matahari terkecil yang berhasil didokumentasikan adalah 9,751 (naked eye) dan,7 (binokular), dengan standar deviasi masing masing,79 dan 3,1. Pada pengamatan dengan mata telanjang, dengan memperhitungkan kecepatan pergerakan Bulan terhadap Matahari maka deviasi,79 setara dengan waktu 5,5 jam. Maka lebar zona ketidakpastiannya (1σ) adalah 17 bujur. Jika menggunakan binokular, pada deviasi 3,1 lebar zona ketidakpastiannya (1σ) sebesar 19 bujur. Jelas bahwa zona ketidakpastian ini tidak berbeda dengan zona ketidakpastian umur Bulan atau Lag, sehingga tidak disarankan menggunakan elongasi sebagai prediktor tunggal visibilitas karena cukup jelek.. Variabel Tinggi Bulan Hasil pengamatan menunjukkan tinggi Bulan terkecil yang berhasil didokumentasikan adalah 3,51 o (naked eye) dan,355 o (binokular) dengan standar deviasi masing masing 3, o dan, o. Untuk mengetahui lebar zona ketidakpastian akibat tinggi Bulan, standar deviasinya harus dibagi dengan cosinus ϕ (lintang pengamatan). Jika diambil nilai rata rata ϕ = 7 maka untuk pengamatan dengan mata telanjang diperoleh jarak sudut 3,7 yang ditempuh selama 7,3 jam. Sehingga lebar zona ketidakpastiannya (1σ) adalah. Sedangkan jika menggunakan binokular, lebar zona ketidakpastiannya (1σ) adalah. Ini lebih jelek dibanding ketidakpastian umur Bulan sehingga juga tidak disarankan untuk digunakan. 5. Kombinasi Variabel Berbeda dengan para pendahulunya di abad pertengahan yang menggunakan nilai kritikal λ dan β, ilmuwan di abad ke menggunakan selisih azimuth (DAz) dan selisih tinggi (a D atau ARCV) sebagai prediktor bagi visibilitas hilaal, dimana digunakan pertidaksamaan umum : ARCV f(daz) sebagaimana yang disarankan Fotheringham (Fotheringham, 19 dalam Ilyas, 199) 1. Menggunakan pertidaksamaan tersebut, data RHI menunjukkan : a D,91 DAz 1,9 DAz + 13,73 Kurva pertidaksamaan itu hampir menyamai yang diperoleh Djamaluddin (Djamaluddin, ) dalam kriteria LAPAN dengan : a D,1 DAz 1,3 DAz + 9,11, namun sangat berbeda terhadap Maunder (a D,1 DAz,5 DAz + 11) ataupun Bruin (a D,3 DAz +,1 DAz +,13). Kriteria LAPAN dibangun berdasarkan 3 data laporan rukyatul hilal yang dihimpun Departemen Agama RI untuk periode 19 1997 yang kemudian mengalami proses reduksi hingga tinggal 11 data saja yang dianggap valid, meski beberapa diantaranya 1 Ada dugaan formula yang disarankan Fotheringham sebenarnya merupakan penulisan ulang dari kriteria al Biruni (lihat Rizvi, 197 dalam Ilyas, 199). 7

mempunyai nilai elongasi dibawah limit Danjon. Sementara kriteria Maunder (1911) dibangun berdasarkan 7 data hasil pengamatan Schmidt selama tahun (1 1) di Athena (ϕ = 3 LU) ditambah beberapa data pengamatannya sendiri. Sedangkan kriteria Bruin (1977) pada dasarnya adalah perbaikan dari Maunder. Perbedaan bentuk pertidaksamaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan lintang lokasi pengamatan, dimana data RHI dan LAPAN diakuisisi dari daerah tropis (lintang rendah, dimana ϕ < ) sementara data yang digunakan Maunder dan Bruin berasal dari lokasi pengamatan di lintang tinggi. Sebagai pengembangan dari Maunder, Yallop (1997) memperkenalkan kriteria yang didasarkan pada nilai kritikal W dan a D serta memperhitungkan alat optik yang digunakan. Langkah ini kemudian diikuti oleh Odeh () dengan hasil hampir sama persis. Mengikuti Yallop, maka data RHI menghasilkan bentuk pertidaksamaan berikut : a D,391 W 3 11,33 W + 17,5 W + 5,71 Pertidaksamaan ini berbeda dengan yang diperoleh Yallop (a D,1 W 3 +,7319 W,3 W + 9,5171 untuk q >,3) ataupun Odeh (a D,1 W 3 +,7319 W,3 W +,51 untuk V >,9), keduanya menggunakan binokular. Tren kurva yang dihasilkan pun sangat berbeda (lihat gambar 9). Yallop menggunakan data dari ϕ >15, sementara Odeh telah menggunakan data data yang diambil dari daerah tropis, namun mayoritas tetap berasal dari daerah lintang tinggi. Perbedaan bentuk kurva tersebut kemungkinan juga berasal dari perbedaan lintang lokasi pengamatan. Semua ini tentu perlu diteliti lebih lanjut. D. USULAN UNTUK DEFINISI HILAAL Dengan berdasarkan data pengamatan RHI dan pembahasan di atas, maka dapatlah dirumuskan usulan bagi definisi hilaal untuk wilayah Indonesia, yaitu dengan parameter sebagai berikut : Hilaal adalah Bulan dalam fase sabit terkecil, yang teramati di langit barat pasca terbenamnya Matahari dimana memiliki umur antara,15 jam hingga +,15 =,15 jam sejak terjadinya konjungsi. Bulan dengan umur antara hingga,15 jam sejak konjungsi bukanlah hilaal, melainkan Bulan mati. Agar bisa disebut hilaal, selisih Azimuth Bulan Matahari (DAz) dan selisih tingginya (a D ) secara toposentrik harus memenuhi pertidaksamaan : a D,91 DAz 1,9 DAz + 13,73. Agar bisa disebut hilaal, elongasi Bulan Matahari (a L ) dan selisih tingginya (a D ) secara toposentrik harus memenuhi pertidaksamaan : a D,5 a L + 1,97. Agar bisa disebut hilaal, selisih waktu terbenamnya Matahari dengan terbenamnya Bulan harus 7,3 menit. Agar bisa disebut hilaal, lebar sabit (W) dan selisih tinggi Bulan Matahari (a D ) harus memenuhi pertidaksamaan : a D,391 W 3 11,33 W + 17,5 W + 5,71 E. KESIMPULAN Umur Bulan terkecil saat visibilitas adalah,15 jam (naked eye) dan 3,37 jam (binokular). Elongasi Bulan Matahari terkecil saat visibilitas adalah 9,751 (naked eye) dan,7 (binokular). Lag Bulan terkecil saat visibilitas adalah 3 menit (naked eye) dan 5 menit (binokular). Tinggi Bulan terkecil saat visibilitas adalah 3,51 o (naked eye) dan,355 o (binokular). Visibilitas hilaal tidak bisa dinyatakan ke dalam kriteria dengan variabel tunggal, baik berdasarkan Umur Bulan, elongasi Bulan Matahari, Lag Bulan maupun tinggi Bulan. Ini terlihat dari lebarnya zona ketidakpastian di permukaan Bumi yang diakibatkan oleh penggunaan variabel tunggal tersebut, yang semuanya bernilai > 1 atau jauh melampaui lebar bujur wilayah Indonesia yang. Visibilitas hilaal dinyatakan oleh pertidaksamaan a D,91 DAz 1,9 DAz + 13,73 yang terdiri dari dua variabel, yakni selisih Azimuth Bulan Matahari (DAz) dan selisih tingginya (a D ). Visibilitas hilaal juga dinyatakan oleh pertidaksamaan a D,5 a L + 1,97 yang terdiri dari dua variabel, yakni selisih tinggi Bulan Matahari (a D ) dan elongasinya (a L ).

Visibilitas hilaal juga dinyatakan oleh pertidaksamaan a D,391 W 3 11,33 W + 17,5 W + 5,71 yang terdiri dari dua variabel, yakni selisih tinggi Bulan Matahari (a D ) dan lebar sabit (W). F. REFERENSI Djamaluddin.. Re evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia. Center for Application of Space Science, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN). Odeh.. New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy, vol. 1 (), p. 39. Ilyas, M. 199. Lunar Crescent Visibility Criterion and Islamic Calendar. Quarterly Journal of Royal Astronomical Society, vol. 35 (199), p. 5. Schaefer, B.E. 199. Lunar Crescent Visibility. Quarterly Journal of Royal Astronomical Society, vol. 37 (199), p. 759 7. Yallop, B. 1997. A Method for Predicting The First Sighting of The New Crescent Moon. NAO Technical Note 9. 9