1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 pasal 46 dan 47 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pemerintah perlu segera meningkatkan upaya kesehatan yang berorientasi pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan yang mewujudkan manusia Indonesia Sehat 2010 dan membebaskan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap dokter dan obat. Upaya kesehatan di masa datang harus mampu mendorong masyarakat untuk lebih memiliki pengetahuan, sikap, dan tindakan untuk menghindarkan diri dari perilaku atau gaya hidup yang dapat menimbulkan risiko terhadap suatu penyakit (Depkes RI, 1999). Napza (Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) merupakan obat, bahan, zat bukan makanan yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan berpengaruh pada kerja otak (susunan saraf pusat) dan sering menyebabkan ketergantungan. Masalah ketergantungan Napza dengan cepat telah menjadi masalah bagi sebagian besar Negara di dunia. Hal ini dapat dimengerti karena penyalahgunaan Napza menimbulkan masalah ketergantungan yang sangat
merugikan. Menjalarnya penyalahgunaan Napza dapat disamakan dengan penyakit epidemi yang menularnya secara cepat sekali, dimana agentnya adalah obat narkotika, host adalah para pecandu narkotika dan environmentnya adalah masyarakat tertentu (kelompok penasun). Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Napza dapat menimbulkan dampak negatif yang menjadi masalah nasional dengan kompleksitas persoalan dapat menghancurkan generasi muda, kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Napza sebenarnya merupakan zat-zat berguna di bidang pengobatan, kedokteran, dan ilmu pengetahuan lainnya bila digunakan dalam dosis yang tepat. Namun sayangnya sering disalahgunakan oleh sebagian orang sehingga menimbulkan ketagihan (addiction) dan pada akhirnya sampai pada stadium ketergantungan (dependence) (Bahri, 2005). Pada abad ke-20, intervensi nasional dan internasional untuk menanggulangi narkoba terus-menerus diperkuat. Hukuman untuk menanam, membuat, mengangkut, mengedarkan, menjual, atau memakai zat psikoaktif semakin berat (kecuali untuk alkohol dan tembakau). Ketika narkoba menjadi susah didapatkan akibat upaya penanggulangan narkoba, pengguna narkoba mengganggap menghisap atau menghirup narkoba sebagai hal yang tidak ekonomis, karena sebagian besar narkoba terbuang percuma menjadi asap. Inilah alasan utama kenapa pengguna narkoba beralih ke penyuntikan, karena dengan cara ini dapat dipastikan semua narkoba terpakai dan tidak ada yang terbuang (Warta AIDS, 2001).
Berdasarkan Laporan Narkoba Dunia (World Drug Report) dari UNODC (2005) yang dikutip oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah penyalahguna narkoba di dunia sebesar 200 juta orang (5% dari populasi dunia), 13,7 juta orang (kokain), 15,9 juta orang (opiat) dan 10,6 juta orang (heroin). Bianchi (2004) melaporkan peningkatan jumlah penyalahguna narkoba, dari 180 juta tahun 2000 menjadi 185 juta tahun 2002, atau 4,2% penduduk usia 15-64 tahun (Sukini, 2009). Dewasa ini, penyalahguna ketergantungan Napza di Indonesia telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Jumlah kasus Napza meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat ratarata 28,9% per tahun. Jumlah tersangka tindak kejahatan narkoba pun meningkat dari 4.955 orang pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,6% per tahun (Sukini, 2009). Sebuah penelitian yang dilaksanakan di sebuah klinik ketergantungan obat di Jakarta menunjukkan 543 (75 persen) pecandu adalah Inject Drug s Using (IDU) dan 71 persen diantaranya telah menyuntik selama 1-4 tahun. Survei lain yang dilakukan akhir 1990-an pada dua kelurahan di Jakarta menunjukkan bahwa 60-70 persen dari remaja/dewasa muda merupakan pengguna narkoba, dan 60 persen dari pengguna tersebut adalah IDU (Warta AIDS, 2001). Pengguna narkoba melalui jarum suntik merupakan cara yang paling populer digunakan oleh pengguna narkoba. Untuk wilayah kota Medan diperkirakan 33.370 orang, Deli Serdang 16.970 orang, dan Labuhan Batu 9.850 orang (Yuni, 2009).
Di sebagian besar dunia berkembang, karena berbagai alasan, kerap sekali terjadi penggunaan peralatan suntik yang sama secara berulang-ulang oleh orang yang berbeda, tanpa dibersihkan dengan baik antara setiap penyuntikan. Hal ini dapat menjadi media penularan virus yang diangkut aliran darah seperti HIV (virus penyebab AIDS), serta virus hepatitis B dan C. Penyuntikan juga dapat mengakibatkan penyakit lain di kalangan IDU, termasuk septicaemia, penyakit jantung, tetanus, dan terkadang juga penjangkitan malaria (Warta AIDS, 2001). Saat ini yang menjadi permasalahan besar di Indonesia adalah HIV/AIDS. Hal ini dapat dilihat bahwa pengguna jarum suntik memberi pengaruh besar dalam penularan HIV/AIDS. City Tabel 1.1. Prevalensi HIV pada populasi kunci di 8 kota menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku HIV/IMS Tahun 2007 Direct sex worker Indirect sex worker Transgender MSM IDUs¹ High risk men Medan 6% 4% 56% 0.2% Semarang 7% 2% 0.4% Surabaya 7% 2% 25% 6% 56% 0.8% Jakarta 10% 6% 34% 8% 55% Batam 12% 9% 0.4% Bandung 12% 14% 2% 43% Bali 14% Papua 16% 6% 1.8% Average 10% 5% 29% 7% 54% 0.75% Sumber : Depkes, 2007 Seiring dengan hal tersebut muncul pemikiran bahwa telah saatnya Indonesia memerlukan suatu intervensi untuk mencegah penularan dan penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok pengguna Napza suntik (penasun). Dalam rangka
mencegah penyebaran HIV di kalangan pengguna Napza suntik tersebut perlu pengembangan dan perpaduan tiga pendekatan, yaitu pengurangan pemasokan (supply reduction), pengurangan permintaan (demand reduction), dan pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu kegiatan pendekatan harm reduction adalah terapi substitusi dengan metadon dalam sediaan cair, dengan cara diminum. Hal tersebut dikenal sebagai Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) yang dulunya dikenal dengan Program Rumatan Metadon (PRM) (Warta AIDS, 2001). PTRM merupakan program jangka panjang, dengan dosis individual. Artinya setiap klien diberi dosis metadon sesuai tingkat keparahannya hingga sembuh. Metadon tidak disuntik tetapi diminum, dosisnya naik perlahan, stabil (optimal), dan turun perlahan, serta diminum setiap hari. Pemakaian metadon akan berbahaya jika disertai pemakaian narkoba dan alkohol atau obat penenang. Metadon adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Biasanya metadon disediakan sebagai program substitusi atau pengganti (rumatan) heroin yang sebelumnya dipakai pecandu (KPA, 2007). Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) terdapat di RSUP H. Adam Malik Medan sudah berjalan sejak 27 Oktober 2007. Sejak program ini dijalankan jumlah pasien yang mendaftar sebanyak 317 orang. Namun data terakhir pada bulan Agustus 2010 jumlah pasien yang masih mengikuti terapi sebanyak 133 orang. Diperkirakan sebanyak 184 orang atau 58,04% dari jumlah pasien yang mendaftar telah keluar atau Drop Out, dikarenakan oleh ketidakpatuhan pasien. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 494 Tahun 2006 tentang Penetapan Rumah Sakit dan Satelit Uji
Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon, salah satu permasalahan dalam penerapan Program Terapi Rumatan Metadon ini adalah kepatuhan pasien. Berdasarkan Surveilans Terpadu Biologi Perilaku (STBP) tahun 2007 menyatakan bahwa penasun yang terjangkau PTRM saat ini cukup besar, tetapi banyak yang terjangkau oleh program tersebut juga tetap menyuntik. Hal ini bisa saja disebabkan karena keinginan pasien yang kuat untuk terus menggunakan narkoba dan lingkungan sosial yang mempengaruhi untuk terus menggunakan narkoba. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat topik terapi metadon sebagai usaha preventif yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan derajat kesehatan penasun. Program Terapi Rumatan Metadon akan memperlihatkan hasil yang optimal bilamana diikuti sesuai dengan anjuran dari petugas kesehatan, untuk itu perlu kiranya diketahui tentang perilaku pengguna Napza suntik di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon di RSUP H. Adam Malik Medan agar dapat mengungkap potensi dan risiko yang ada serta menjadi bahan untuk membuat rencana intervensi terhadap perilaku tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku pengguna Napza suntik di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perilaku pengguna Napza suntik di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran faktor internal penasun di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon. 2. Untuk mengetahui gambaran faktor eksternal penasun di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon. 3. Untuk mengetahui pengetahuan penasun di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon. 4. Untuk mengetahui sikap penasun di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon. 5. Untuk mengetahui tindakan penasun di dalam mengikuti program terapi rumatan metadon. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan kota Medan, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Penanggulangan AIDS terkait dalam pencegahan dampak buruk penyalahgunaan narkoba dengan terapi metadon.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan terapi metadon.