BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Pembekuan Darah

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB I PENDAHULUAN. Sel trombosit berbentuk discus dan beredar dalam sirkulasi darah tepi dalam

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab. kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang

Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

I. PENDAHULUAN. berkembang. Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunya terdapat 10 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. vaskular. Penyakit ginjal kronik (PGK) menjadi masalah global didunia dengan

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

PERDARAHAN DAN PEMBEKUAN DARAH (HEMOSTASIS) Era Dorihi Kale, M.Kep

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. udara maupun zat buangan yang ada di dalam tubuh. Volume darah pada manusia

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan proses ruptur plak aterosklerosis dan trombosis pada arteri koroner

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. baik pada saat anak-anak maupun dewasa. Diakui dan dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman. utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.

BAB I PENDAHULUAN. ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2000 jumlah

HEMOSTASIS SISTEM PEMBEKUAN DARAH

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu dari. 10 penyebab kematian terbesar pada tahun 2011.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. darah, efek terhadap paru, kekebalan tubuh hingga sistem reproduksi. 1 Meski

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Informed Consent Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah sangat mungkin (possible) atau mengancam jiwa (impending).pasien sakit

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

Dr. Indra G. Munthe, SpOG

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani, athere berarti

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat

makalah pembekuan darah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH HEMATOLOGI Percobaan Pembendungan (Rumple Leed Test)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit dengan angka kematian terbesar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah bagian dari tubuh yang berbentuk cair dengan jumlah %

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

PEMERIKSAAN MASA PEMBEKUAN DARAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. larut dalam air dan larut dalam pelarut nonpolar. Lipid, yang mudah disimpan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut Sindroma koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. Sindroma koroner akut yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut dengan infark miokard (Thygensen dkk, 2007; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008). SKA secara klinis dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris tak stabil, IMA NSTE maupun IMA STE (Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008). Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu ; adanya nyeri dada khas infark, dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta dijumpainya abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf dkk, 2008) SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan ke dalam angina pektoris tak stabil dan IMA NSTE. Apabila dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE, sedangkan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tak stabil (Van de Werf dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008). 2.2 Patogenesis Infark Miokard Akut Pembentukan plak aterosklerosis yang kemudian diikuti respons trombosis akibat erosi atau ruptur plak merupakan patogenesis dasar IMA.

2.2.1 Pembentukan plak aterosklerosis Pembentukan plak aterosklerosis merupakan proses yang berlangsung lama (sekitar 20-30 tahun sebelum timbulnya presentasi klinis SKA), Rosen dkk, 2009. Beberapa faktor risiko konvensional, diantaranya ; hiperkolesterolemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan endotel arteri koroner (Atnmann dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Fuster dkk, 2005; Kleinschmid 2006; Libby, 2001; Rosen dkk, 2009). Kerusakan (disfungsi) endotel ini mengawali proses aterosklerosis. Saat endotel mengalami kerusakan, makrofag akan menginfiltrasi endotel. Molekul low density lipoprotein (LDL) juga dapat masuk ke lapisan dinding pembuluh darah, untuk kemudian LDL tesebut diikat oleh makrofag, membentuk Foam cell. Foam cell merupakan dasar pembentukan plak aterosklerosis. Plak yang melekat pada dinding endotel arteri koroner akan terus membesar dan mengalami kalsifikasi. Jika plak tersebut mengalami ruptur, maka akan timbul reaksi inflamasi lokal, vasokonstriksi koroner, aktivasi trombosit serta pengaktifan sistem koagulasi sebagai respons terhadap ruptur atau erosi plak (Cannon dkk, 2001; Fuster dkk, 2005; Kumar dkk, 2009; Libby, 2001; Libby, 2005) 2.2.2 Ruptur plak dan aterotrombosis Ruptur atau erosi plak aterosklerosis yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus adalah penyebab utama SKA. Ada 2 proses trombosis yang saling berkaitan, yaitu hemostasis primer dan hemostasis sekunder (Cannon dkk, 2001; Fuster dkk, 2005; Hoffman, 2010; Libby, 2001; Libby, 2005; Rosen dkk, 2009). Hemostasis primer diawali dengan perlekatan trombosit pada dinding endotel yang rusak. Matriks subendotel yang terpapar aliran darah akan mengeluarkan elemen-elemen seperti faktor von Willebrand (vwf) dan kolagen. Reseptor spesifik pada permukaan trombosit glikoprotein (GP)-Ib/IX akan berikat dengan vwf, sedangkan reseptor GP VI akan berikatan dengan kolagen. Ikatan antara reseptor permukaan trombosit dengan elemen tersebut (GP Ib/IX-vWF, GP VI-kolagen) menyebabkan trombosit dapat melekat pada endotel yang mengalami

injury. Ikatan GP Ib/IX-vWF bersifat temporer sedangkan ikatan GP VI-kolagen meskipun terjadi lebih lambat, akan memberikan ikatan adhesi trombosit yang lebih kuat terhadap dinding endotel. Reseptor GP Ib/IX dan GP VI juga berperan dalam pengaturan adhesi trombosit dengan leukosit. Hal ini memicu proses vaskular lainnya seperti inflamasi dan aterosklerosis selanjutnya (Badimon dkk, 2011; Davi dkk, 2007; Furie dkk, 2008; Gawaz, 2008; Kumar dkk, 2011). Setelah proses adhesi trombosit ke matrix ekstraseluler terjadi, akan terjadi respon produksi mediator autokrin dan parakrin, seperti adenosine diphosphate (ADP), trombin, epineprin serta asam arakhidonat. Elemen-elemen ini bertanggung jawab untuk menstimulasi proses agregasi trombosit selanjutnya (Badimon dkk, 2011; Davy dkk, 2007; Kumar dkk, 2011). Asam arakhidonat merupakan agonis yang berperan dalam produksi tromboksan A2 (TX A2) melalui kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan tromboksan sintase. Tromboksan A2 yang dihasilkan tidak hanya dapat memacu agregasi trombosit selanjutnya, tetapi juga bersifat vasokonstriktor yang poten (Badimon dkk, 2011; Davy dkk, 2007; Furie dkk, 2008; Gawaz, 2008). Elemen granular trombosit lainnya adalah ADP. Elemen ini akan melekat pada reseptor trombosit lainnya yaitu ; P2Y1, P2Y12 serta P2X. Ikatan ADP pada reseptor P2Y1akan menyebabkan perubahan bentuk trombosit dan menimbulkan efek agregasi lemah. Efek ini didapat dari peningkatan kalsium intraseluler (akibat dari aktivasi inositol trifosfat) dan produksi protein kinase (akibat aktivasi diacyl glycerol). Ikatan ADP pada reseptor P2Y12 berperan menyempurnakan dan stabilisasi agregasi tombosit. Ikatan ADP terhadap reseptor alpha P2Y12-G1 menyebabkan protein sub unit alpha-i dan beta teraktivasi. Protein sub unit alpha-i yang teraktivasi akan menghambat kerja enzim adenilat siklase sehingga produksi camp tidak terjadi. Penurunan kadar camp intratrombosit mengakibatkan defosforilasi vasodilator stimulated phosphoprotein (VASP). Defosforilasi VASP akan mengaktivasi reseptor GPIIb/IIIa sehingga memicu agregasi trombosit selanjutnya. Ikatan ADP terhadap protein subunit beta reseptor P2Y12 menyebabkan aktivasi phosphatidylinositol-3 kinase, yang merupakan sinyal penting untuk sekresi dense granule trombosit. Ikatan ADP terhadap reseptor P2X1 akan meningkatkan kadar kalsium dalam sel trombosit yang menyebabkan perubahan bentuk permukaan

trombosit dan menimbulkan respos agregasi lemah (Badimon dkk, 2011; Davi dkk, 2011; Kumar dkk, 2011) Ekspresi reseptor GPIIb/IIIa pada permukaan trombosit yang teraktivasi akan menyebabkan interaksi dengan fibrinogen (agregasi trombosit). Fibrinogen ini kemudian bertindak sebagai penghubung (brigde) antar reseptor GPIIb/IIIa pada tombosit yang teraktivasi. Proses ini dikenal dengan pembentukan sumbat platelet ( platelet plug). Proses trombosis yang kedua adalah pengaktifan sistem koagulasi. Pengaktifan sistem koagulasi ini menyebabkan trombus yang terbentuk menjadi lebih stabil (Cannon dkk, 2001; Hansson, 2005; Hoffman, 2010; Kumar dkk, 2011; Rosen dkk, 2009). Sistem koagulasi melibatkan beberapa protein plasma dalam rangkaian proses serial yang berujung pada pembentukan trombin, suatu zat yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin (Cannon dkk, 2001; Hansson, 2005). Kaskade koagulasi terbagi menjadi 2 jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur intrinsik (faktor XII, XIIa, XI, dan XIa) diaktivasi oleh paparan komponen darah terhadap endotel yang mengalami kerusakan. Sedangkan jalur ekstrinsik diaktivasi oleh interaksi faktor VII dengan tissue factor yang dilepaskan oleh dinding endotel yang mengalami kerusakan. Kedua jalur ini kemudian mengaktifkan faktor X. Faktor X yang teraktivasi kemudian akan berinteraksi dengan faktor V, kalsium, dan fosfolipid membentuk suatu kompleks yang mengkatalisir konversi protrombin menjadi trombin. Trombin sendiri mempunyai banyak fungsi pada proses hemostasis. Fungsi utama trombin adalah mengkonversi fibrinogen plasma menjadi fibrin. Fibrin yang telah mengalami konversi distabilisasi dengan fibrin lainnya melalui proses cross-link oleh faktor XIIIa, sehingga terbentuk trombus yang lebih besar dan stabil. Selain itu, trombin juga berfungsi mengaktivasi faktor V, VIII, XIII dan juga turut menstimulasi sekresi dan agregasi trombosit selanjutnya (Cannon dkk, 2001; Hansson dkk, 2005). Beberapa mekanisme antikoagulan secara alamiah terdapat di dalam tubuh. Darah yang terus mengalir akan mendilusi dan menonaktifkan faktor faktor

pembekuan sehingga pembentukan fibrin dapat dihambat. Beberapa protein yang bersirkulasi di dalam darah juga berperan untuk menghambat proses koagulasi berlebihan yang mengarah ke pembentukan trombus, seperti : antitrombin, protein C, tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan trombomodulin (Cannon dkk, 2001) Gambar 2.1 Kaskade Koagulasi yang Melibatkan Jalur Intrinsik, Ekstrinsik dan Jalur Bersama (Kumar dkk, 2011) Pada kondisi normal, proses trombosis akan diikuti oleh proses fibrinolisis sehingga trombus yang terbentuk tidak berlebihan. Aktivator sistem fibrinolitik sebagian besar adalah tissue plasminogen, sementara Faktor Hageman dan Urokinase juga berperan, namun dalam porsi kecil. Plasmin yang terbentuk akan mendegradasi fibrin, sehingga bekuan darah menjadi hancur (Cannon dkk, 2001; Oesman dkk, 2007) Terapi reperfusi dini menggunakan regimen fibrinolitik atau IKP primer merupakan tujuan utama penatalaksanaan IMA STE untuk mencegah perluasan area infark serta menurunkan angka kematian (Cohen dkk, 2010; Gogo dkk, 2010;

Keeley dkk, 2003). Studi menunjukan keunggulan IKP primer dibandingkan dengan terapi fibrinolitik sehingga saat ini tindakan IKP primer menjadi pilihan utama untuk tindakan reperfusi dini pada senter yang telah maju (Andersen dkk, 2003; Eagle dkk, 2008) Beberapa regimen pengobatan saat ini secara rutin telah digunakan dalam penatalaksanaan SKA. Berbagai jalur pada proses aterotrombosis dihambat dalam upaya meminimalisir terjadinya erosi plak aterosklerosis, pencegahan pembentukan trombus, serta stabilisasi plak. Regimen pengobatan tersebut meliputi antiplatelet, statin, antikoagulan (heparin dan derivatnya), serta regimen fibrinolitik yang khusus digunakan pada IMA STE onset dibawah 12 jam. Antikoagulan dalam SKA berperan dalam pencegahan pembentukan trombus melalui interaksinya dengan antitrombin. 2.3 Peran Antikoagulan pada Sindroma Koroner Akut Studi populasi di Eropa dari tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan bahwa lebih dari 90% penderita SKA yang mendapat terapi aspirin, sebanyak 80% diantaranya juga mendapat terapi UFH atau LMWH, dengan proporsi penggunaan yang seimbang diantara keduanya (Hanna dkk, 2010) Heparin beserta derivatnya yang sering digunakan saat ini adalah UFH, LMWH, dan derivat pentasakarida sintetik, yaitu fondaparinux (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2001; Hirsh dkk, 2008). Semua obat tersebut diberikan secara parenteral, baik secara intravena maupun subkutan. Antikoagulan tersebut dimasukkan ke dalam golongan antikoagulan indirek karena kerjanya membutuhkan kofaktor plasma (antitrombin) untuk menghasilkan efek antikoagulan (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

2.4 Jenis Antikoagulan yang Digunakan pada SKA 2.4.1 Unfraction Heparin (UFH) Unfraction heparin sampai saat ini masih merupakan regimen antikoagulan yang paling sering digunakan pada SKA. Regimen ini telah dipakai selama lebih dari 40 tahun pada kasus infark jantung (Wienbergen dkk, 2007). Harganyanya yang relatif murah, dapat diberikan pada penderita insufiensi ginjal, masa kerja dan waktu paruh yang singkat serta dapat dinetralisasi dengan cepat menggunakan protamin sulfat apabila dijumpai efek perdarahan berat merupakan beberapa kelebihan dari UFH (Schiele, 2010). UFH merupakan rantai polisakarida sulfat dengan berat molekul bervariasi dari 3000 sampai 30.000 Dalton. Sekitar sepertiga dari rantai heparin mempunyai sekuen pentasakarida, tempat berikatan dengan antitrombin. Sekuen ini bertanggung jawab terhadap efek antikoagulan heparin (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Rantai UFH yang tidak mempunyai sekuen pentasakarida hanya mempunyai efek antikoagulan yang minimal jika UFH diberikan dengan dosis profilaksis. Dengan dosis yang lebih tinggi, heparin dengan atau tanpa sekuen rantai pentasakarida akan mengaktivasi heparin kofaktor II. Tidak seperti antitrombin, heparin kofaktor II hanya menghambat trombin. Heparin mengkatalisir penghambatan trombin oleh antitrombin dengan secara simultan berikatan dengan antitrombin (pada sekuen pentasakarida) dan dengan trombin. Sisi arginin reaktif pada antitrombin berikatan secara kovalen dengan sisi serin aktif dari trombin untuk membentuk komplek trombinantitrombin yang stabil. Heparin kemudian berdisosiasi dari komplek ini untuk mengaktivasi molekul antitrombin selanjutnya (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008).

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Unfraction Heparin (diunduh dari : http://o.quizlet com) Hanya heparin yang memiliki lebih dari 18 unit sakarida yang dapat berikatan dengan kompleks trombin-antitrombin. Namun, sekuen pentasakarida dengan rantai yang lebih pendek pada heparin dapat mengkatalisir penghambatan faktor Xa oleh antitrombin. Perbandingan inisiasi rasio penghambatan faktor Xa dengan antitrombin pada UFH adalah 1:1 (Cannon dkk, 2001; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). UFH juga berikatan pada sel endotel, makrofag dan beberapa protein plasma. Ikatan UFH dengan protein plasma ini akan menetralisir aktivitas antikoagulan seperti platelet factor 4 dan vitronectin serta menyebabkan faktor Von Willebrand menjadi tidak berfungsi. Hal ini menerangkan mengapa dosis UFH harus diberikan secara individual untuk mendapatkan efek anti trombotik. Ikatan UFH pada sel endotel dan beberapa protein plasma menyebabkan bioavailabilitasnya berkurang pada konsentrasi yang rendah dan menghasilkan

respon yang bervariasi walaupun diberikan pada dosis yang sama pada individu yang berbeda. Respon antikoagulan meningkat secara disproporsional ketika dosis dan durasi pemberian UFH ditingkatkan (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Efek farmakokinetik UFH yang bervariasi ini harus dipantau secara ketat. Activated partial tromboplastin time (APTT) adalah tes yang paling sering digunakan karena tes ini sensitif terhadap efek inhibisi heparin terhadap trombin, faktor X dan faktor IX. Dosis UFH yang digunakan pada kasus IMA STE dengan dan tanpa fibrinolitik adalah 60 UI/kgBB dengan dosis maksimum 4000 UI secara bolus intravena, yang kemudian diikuti dengan infus intravena 12 UI/kgBB dengan dosis maksimum 1000 UI/jam selama 1-2 hari. Target APTT adalah 50-70 detik, dengan interval waktu pemeriksaan 3, 5, 12 dan 24 jam pemberian (Van de Werf dkk, 2008). Beberapa efek samping pemberian heparin dapat dijumpai, seperti perdarahan, trombositopenia yang dapat mengarah ke heparin induced thrombocytopenia (HIT), osteoporosis, alopecia, nekrosis kulit, urtikaria serta peningkatan serum transaminase hati (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). 2.4.2 Enoxaparin Enoxaparin merupakan LMWH yang paling sering digunakan. LMWH adalah derivat heparin yang diperoleh dari depolimerisasi enzimatik heparin. Enoxaparin merupakan derivat heparin, hasil dari bensilasi dan depolimerisasi alkalis heparin (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2001; Hirsh dkk, 2008). Seperti LMWH lainnya, enoxaparin hanya mempunyai berat molekul sepertiga dari heparin (4200 dalton). LMWH menghasilkan efek antikoagulan melalui interaksi secara simultan dengan komplek trombin-antitrombin. Rantai sakarida yang relatif pendek, menyebabkan kemampuannya untuk mengkatalisir penghambatan trombin lebih rendah dibandingkan dengan heparin. Namun, rantai ini tetap dapat menginisiasi penghambatan faktor Xa oleh antitrombin.

Perbandingan inisiasi rasio penghambatan faktor Xa dengan antitrombin pada enoxaparin adalah 3,8 : 1 sampai 4:1 (Bauer, 2006; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008; Rubolli dkk, 2007). Depolimerisasi dari rantai heparin pada LMWH menyebabkan ikatan terhadap sel endotel, makrofag, trombosit serta protein plasma juga berkurang. Berkurangnya afinitas LMWH terhadap protein plasma menyebabkan efek antikoagulan, farmakokinetik dan biologisnya berbeda dengan heparin. Berkurangnya afinitas LMWH dengan sel endotel dan makrofag menyebabkan waktu paruh LMWH menjadi lebih panjang, sedangkan kurangnya afinitas terhadap trombosit dan platelet factor 4 menyebabkan insidensi HIT lebih rendah dibandingkan dengan heparin. Penurunan afinitas LMWH terhadap osteoblast menyebabkan aktivasi osteoklas berkurang sehingga osteoporosis lebih jarang dijumpai (De Caterina dkk, 2007; Hirsh dkk, 2008). Setelah diberikan secara subkutan, bioavailabilitas enoxaparin mencapai lebih dari 90%. Tidak diperlukan pemantauan rutin pada pemberian LMWH, kecuali pada penderita insufiensi renal, obesitas atau pada kehamilan. Jika diperlukan pemantauan, maka tes yang relevan adalah level anti Xa (Bauer, 2006; De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Seperti antikoagulan lainnya, efek perdarahan dapat terjadi pada LMWH. Namun, efek HIT dan osteoporosis lebih jarang terjadi dibandingkan dengan UFH. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya afinitas LMWH terhadap protein plasma dan trombosit (De Caterina dkk, 2007; Hirsh dkk, 2008). Dosis enoxaparin pada IMA STE dengan atau tanpa reperfusi dini bergantung pada usia dan kadar kreatinin. Penderita IMA STE yang berusia kurang dari 75 tahun dengan kreatinin kurang dari 2,5 mg/dl pada laki-laki atau kurang dari 2 mg/dl pada perempuan, menggunakan dosis enoxaparin bolus intravena 30 mg yang kemudian diikuti 15 menit kemudian dengan dosis 1 mg/kgbb per 12 jam, dengan maksimum pemberian selama 8 hari. Jika penderita berusia lebih dari 75 tahun, tidak diberikan bolus intravena. Dosis pertama diberikan secara subkutan sebanyak 0,75 mg/kgbb, dengan dosis maksimum 75 mg untuk dua dosis subkutan yang pertama. Penderita dengan creatinine

clearance kurang dari 30 ml/menit, hanya diberikan dosis subkutan per 24 jam (Van de Werf dkk, 2008) 2.4.3 Fondaparinux Fondaparinux merupakan derivat heparin yang hanya memiliki sekuen pentasakarida, dengan berat molekul berkisar 1728 Dalton (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Aktivitasnya spesifik hanya mengkatalisir penghambatan faktor Xa. Fondaparinux berikatan dengan antitrombin dan menghasilkan perubahan formasi pada sisi reaktif dari antitrombin yang akan mengaktivasi penghambatan faktor Xa. Fondaparinux kemudian dilepaskan dari antitrombin, untuk mengaktivasi antitrombin selanjutnya (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Setelah diberikan secara subkutan, fondaparinux cepat diabsorbsi, dengan waktu paruh berkisar 17 jam pada dewasa muda dan 21 jam pada orang tua sehingga dosis pemberian hanya sekali sehari. Fondaparinux berikatan secara non spesifik dan minimal dengan protein plasma sehingga tidak diperlukan pemantauan khusus secara rutin (GG Turpie, 2006; GG Turpie, 2008; Rupprecht dkk, 2010; Samama dkk, 2010). Dosis fondaparinux pada IMA STE dengan atau tanpa fibrinolitik adalah 2,5 mg bolus intravena, yang kemudian diikuti dengan 2,5 mg subkutan perhari selama 8 hari. Fondaparinux hanya diberikan pada penderita dengan kadar kreatinin kurang atau sama dengan 3 mg/dl (Van de Werf dkk, 2008). Selain perdarahan, efek samping lain pemberian fondaparinux belum diketahui secara luas (De Caterina dkk, 2007; Hanna dkk, 2010; Hirsh dkk, 2008). Berikut ini adalah mekanisme kerja dari UFH, enoxaparin dan fondaparinux

Tabel.2.1 Mekanisme Kerja, Eliminasi, Waktu Paruh, Efek Terhadap Ginjal pada Berbagai Jenis Antikoagulan (Mc Cann dkk, 2008). Gambar 2.3 Mekanisme Kerja UFH, LMWH, serta Fondaparinux (Nutesco dkk, 2002)

2.5. Angka Kejadian IMA STE Tanpa Reperfusi Dini dan Beberapa Alasannya Meskipun terapi reperfusi dini (baik secara farmakologis maupun secara mekanik) sangat direkomendasikan dalam penanganan IMA STE, sekitar 21-46% penderita IMA STE pada beberapa studi klinis justru tidak mendapatkannya. Hal ini merefleksikan perbedaan antara pedoman dengan praktek klinis sehari-hari. Late presentation onset, keterbatasan akses serta adanya kontraindikasi absolut merupakan penyebab yang sering dijumpai sehingga terapi fibrinolitik maupun IKP primer tidak dapat dilakukan (Cohen dkk, 2010; Eagle dkk, 2002). Studi NRMI 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa sekitar 25% dari hampir satu setengah juta penderita IMA STE dengan onset kurang dari 12 jam tidak mendapat terapi reperfusi dini (Rogers dkk, 2000). Studi GRACE memperlihatkan sekitar 30% dari 1763 penderita IMA STE dengan onset kurang dari 12 jam tidak mendapat terapi reperfusi dini. Kebanyakan penderita adalah dengan riwayat operasi bedah pintas koroner, presentasi nyeri dada yang sudah tidak lagi tipikal, berusia di atas 75 tahun, serta penderita dengan riwayat gagal jantung (Eagle dkk, 2002). Sebanyak 2867 dari 12.092 penderita IMA STE pada studi Organization for Assessment of Strategies for Ischaemic Syndrome (OASIS) - 6 tidak mendapat terapi reperfusi dini. Kebanyakan dari penderita tersebut berusia tua, menderita hipertensi, menderita gagal jantung, serta mempunyai riwayat infark dan stroke sebelumnya (Oldgren dkk, 2008). Angka kematian selama perawatan di rumah sakit pada mereka yang tidak mempunyai kontraindikasi namun dengan alasan lainnya tetap tidak dilakukan reperfusi dini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang dilakukan reperfusi dini, dengan nilai rasio odds 1,64, 95% IK : 1,07-2,50 (Gharacholau dkk, 2010) 2.6. Peran Antikoagulan pada IMA STE Tanpa Reperfusi Dini Penatalaksanaan IMA STE tanpa reperfusi dini tetap dioptimalkan pada penggunaan antiplatelet, antikoagulan, ACE inhibitor serta beta blocker.

Beberapa studi dalam 10 tahun terakhir mencoba membandingkan efektivitas dan keamanan beberapa jenis antikoagulan pada penderita IMA STE yang tidak dilakukan terapi reperfusi dini. Studi Clinical Trial of Reviparin and Metabolic Modulation in Acute Myocardial Infarction (CREATE) terhadap penderita IMA STE onset dibawah 12 jam menunjukan efektivitas repivarin yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam menurunkan angka kematian dan kejadian reinfark, tanpa peningkatan bermakna pada angka kejadian stroke dalam tujuh hari fase paska infark. Sebanyak 22 % penderita yang termasuk dalam studi ini tidak mendapat terapi reperfusi, baik terapi trombolitik maupun IKP primer. Namun, obat ini tidak dapat diperoleh secara luas, sehingga penggunaannya sangat terbatas (Yusuf dkk, 2005). Studi TETAMI membandingkan efektivitas dan keamanan enoxaparin dengan UFH kombinasi dengan tirofiban serta dengan plasebo pada penderita IMA STE yang tidak dapat dilakukan tindakan reperfusi dini. Studi ini menunjukkan bahwa enoxaparin tidak menunjukkan penurunan angka kematian dan reinfark yang bermakna dibandingkan dengan kelompok UFH maupun plasebo (Cohen dkk, 2003a). Studi OASIS 6 membandingkan efektivitas fondaparinux dengan UFH dan plasebo pada penderita IMA STE dengan dan tanpa terapi reperfusi dini (Yusuf dkk 2006). Sekitar 2867 penderita IMA STE pada substudi OASIS 6 juga tidak mendapat terapi reperfusi dini. Studi ini menunjukkan kecenderungan efektivitas fondaparinux yang lebih baik dibandingkan dengan UFH dan plasebo dalam menurunkan angka kematian dan kejadian reinfark dengan tidak meningkatkan angka perdarahan mayor atau kejadian stroke (Oldgren dkk, 2008).

2.7 Kerangka Teori Ruptur atau erosi plak aterosklerosis Pengaktifan proses hemostasis dan trombosis Hemostasis primer Hemostasis sekunder Adhesi trombosit Setiap trombosit melepaskan ADP, tromboksan, serta zat kemoaktif lainnya Agregasi trombosit Pengaktifan kaskade koagulasi F.Ekstrinsik interaksi TF dgn F.VII. F. Intrinsik aktifasi F.XII, XIIa, XI, XIa dgn komponen darah thd endotel yang robek. Kedua jalur F.Xa Trombin Reperfusi (+) Platelet plug Reperfusi (-) Onset 12 jam Onset 12 jam IMA STE Pembentukan trombus dan fibrin Cross-linked dgn F XIIIa nekrosis Perbandingan efektifitas obat Terapi agresif anti platelet, antikoagulan Pilihan antikoagulan - UFH - Enoxaparin - Fondaparinux Perbandingan efek samping obat (perdarahan) Tergantung inisiasi rasio penghambatan antitrombin dan FXa

2.8. Kerangka Konseptual IMA STE ONSET DI BAWAH & SAMA DENGAN 48 JAM TANPA REPERFUSI DINI Kelompok 1 UFH Kelompok 2 Enoxaparin Kelompok 3 Fondaparinux Perancu Usia Onset-simptom Lokasi infark Faktor resiko Perancu Kejadian cardiac death dan MACCE (mortalitas, reinfark atau stroke) selama perawatan di rumah sakit dan 30 hari paska onset infark serta Keamanan (kejadian perdarahan) selama perawatan di rumah sakit Jenis Antikoagulan (jenis obat) = Variabel independen (variabel bebas) Variabel dependen (variabel tergantung)