Pluralisme Hukum Dalam Pengalaman: Menggugat Kepastian dan Keadilan Sentralisme Hukum 1 Rifai Lubis 2 Pengantar Tulisan ini akan berusaha untuk menghindar dari hal-hal yang bersifat teoritik atas pluralisme hukum. Sebagai orang yang memang lebih banyak bergelut dengan hal-hal yang bersifat praksis, ketimbang menggeluti perdebatan-perdebatan teoritik-akademik, maka saya berkesimpulan pengalamn-pengalaman lapanganlah yang paling layak saya komunikasikan kepada peserta seminar hari ini. Saya akan coba berangkat dari kasus, baik yang sempat saya sentuh,saya lihat lalu saya refleksikan. Dari paparan kasus tersebut, saya coba untuk menyampaikan point penting yang berhasil saya tangkap. Dalam buku Pluralisme hukum, sebuah pendekatan interdisiplin, Rikardo Simarmata pada bagian pengantar, menulis ulang celaan kaum positivis terhadap pluralisme hukum - yang menurut mereka berisi ketidakpastian (halaman 14) dan mengabaikan aspek keadilan (halaman 15). Paparan kasus yang akan saya sampaikan pada bagian berikut, saya maksudkan sebagai alat uji untuk melihat - betulkah pluralisme hukum menyimpan ketidakpastian dan mengabaikan keadilan? Lalu bagaimana dengan sentralisme hukum? Atau dengan arti kata, kasus ini akan memeriksa, benarkah kepastian dan keadilan dapat ditemukan dalam sentralisme hukum? Hukum Adat dan Peraturan Formal Tingkat Nagari Kasus ini saya temukan secara tidak sengaja. Berawal dari permintan 6 (enam) Nagari di salah satu kabupaten di Sumatera Barat, untuk berdiskusi mengenai Peraturan Nagari (Peraturan Desa ditempat lain). Inisiatif diskusi ini dilatar belakangi oleh pemikiran para penyelengara Pemerintahan Nagari, bahwa untuk menyelenggarakan keteraturan dalam pemerintahan dan kehidupan warga Nagari, mutlak dibutuhkan Peraturan Nagari. Meskipun sebelum diperkenalkannya Peraturan Nagari berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Perda Provinsi Sumatra Barat No. 9 Tahun 2000, Nagari-nagari di Sumatera Barat telah memiliki sistem pengturan lokal tersendiri, tidak mengurangi keinginan dari pemerintahan Nagari untuk membuat Peraturan Nagari. Peraturan adat yang mereka miliki, menurut mereka harus ditingkatkan statusnya menjadi Peraturan Nagari, agar memiliki kepastian. Sebenarnya jauh sebelum diskusi ini dilakukan, persisnya saat-saat awal pemberlakuan kembali sistem pemerintahan Nagari, ke-6 (enam) Nagari tersebut, telah pernah membuat Rancangan Peraturan Nagari. Rancangan ini tidak sampai disahkan, karena telah terlebih dahulu ditolak oleh Bagian Hukum Sekretariat Daerah. Alasan penolakan tersebut adalah Rancangan Peraturan-peraturan Nagari tersebut, bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. Pertanyaan penting peserta diskusi tehadap kasus ini adalah, bagaimana nasib dari kaedah dan norma yang mereka miliki, jika kabupaten punya kewenangan menolak Peraturan Nagari yang mereka buat? 1 Makalah ini disampaikan pada acara Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya Dalam Gerakan Pembaharuan Hukum, pada tanggal 21 November 2006 di Universitas Al Azhar, Jakarta 2 Rifai Lubis SH. Staf Program pada Yayasan Citra Mandiri, Padang.
Kasus ini kami diskusikan dengan melihat bagaimana sebenarnya posisi Peraturan Nagari. Menggunakan Undang-undang No. 10 tahn 2004, menjadi jelas bagi mereka, bahwa Peraturan Nagari merupakan bagian (tergolong) peraturan perundang-undangan. Peraturan Nagari bukanlah peraturan adat yang berposisi sebagai hukum non formal. Konsekuensinya adalah, Peraturan Nagari mesti tunduk pada kaedah/azas perundang undangan - yang salah satunya adalah yang tinggi menyampingkan yang rendah. Selanjutnya diskusi memeriksa lebih lanjut, bagaimana plaksanaan dan penegakan peraturan Nagari? Berdasarkan pasal 90 Undang-undang 32/2004, peserta mengetahui bahwa Satpol PP diberi kewenangan untuk membantu kepala daerah menegakkan Perda. Sebagai konsekuensi dari pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 yang mengelompokkan Peraturan Desa (nama lain) kedalam perda, maka kewenangan penegakan Peraturan Nagari menjadi kewenangan dari Satpol PP. Selain oleh Satpol PP, penegakan Peraturan Nagari juga bisa dilakukan oleh kepolisian. Ini merujuk kepada Undang-undang No. 2 Tahun 2002, yang menyebutkan salah satu tugas pokok kepolisian adalah menegakkan hukum, memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu juga kepolisian betugas untuk meningktkan partisipasi, kesadaran dan ketaatan warga terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Sampai dititik ini, kemudian beberapa peserta diskusi menyebutkan sebaiknya jangan sampai bikin Peraturan Nagari. Alasan yang mendasari pendapat inilah yang mau saya sampaikan didalam forum ini. Setelah dipertanyakan kenapa memilih untuk tidak bikin Peraturan Nagari, jawaban yang disampaikan peserta diskusi adalah dengan Peraturan Nagari, akan menyebabkan nasib dari aturan yang mereka buat menjadi tidak pasti. Sebab peraturan adat yang mereka yakini mampu menjadi sarana untuk menciptakan ketertiban dan merespons kebutuhan mereka, akan dapat dibatalkan oleh pemerintah kabupaten, jika betentangan dengan peraturan yang lebih tingi. Sementara kemungkinan pertentangan itu sangat besar, mengingat peraturan yang diatasnya, belum tentu akan dibangun sesuai dengan adat, budaya dan aspirasi hukum mereka di Nagari. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah masalah penegakan, yang mesti dilakukan oleh institusi hukum formal. Bukan oleh masyarakat beserta institusi lokal yang dimiliki. Peran serta yang bisa mereka sumbangkan dalam penegakannya tidak lagi maksimal. Jika demikian, menurut kesimpulan mereka, mengenai kepastian ditegakkan atau tidakya norma yang telah disepakti, menjadi sangat tergntung dengan moot atau tidaknya institusi hukum formal. Jika terhadap peraturan yang setingkat dengan perda keatas saja, institusi hukum formal sudah tidak bisa lagi fungsional, apalagi jika ditambah dengan beban penegakan Peraturan Nagari. Sedang jika tetap menjadi aturan adat maka kepastian penegakannya menjadi urusan internal komunitas mereka. Intinya, terkait dengan kasus seperi itu, masyarakt merasa bahwa kepatian atas penegakan nilainya, lebih mungkin jika hukum adatnya tetap dibiarkan sebagai hukum adat. Hal yang sama juga mereka contohkan dengan sertifikat tanah, yang memberikan kepastian hak bagi individu yang menjadi warga dari kaum mereka, tetapi menebar ketidak pastian bagi kelangsungan hak-hak ulayat kaumnya sendiri. Selain aspek kepastian, peserta diskusi juga banyak mengeluhkan tentang tidak fungsionalnya peraturan perundang-undangan untuk mereka. Wali Nagari Selayo, yang kebetulan seorang polisi, malah berujar bahwa produk perundang-undangan negara menjadi sumber masalah di Nagari mereka. Kritik yang sama juga muncul terhadap kasus lain. Beberapa contoh proses penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme lokal memperlihatkan hal tersebut.
Sebagian sengketa yang terjadi (juga kasus yang menurut sifatnya berupa pidana), pasti terlebih dahulu dilangsungkan mekanisme lokal yang informal untuk menyelesaikannya. Jika ditanyakan kepada para pihak dan fungsionaris yang menjadi aktor pada proses penyelesaian, tentang alasan penyelesaian secara informal, jawabannya yang umum adalah persoalan ketidakpastian mekanisme formal. Bagi masyarakat, menjadi tidak pasti hasil penyelesaian sengketa/kasus, jika penyelesaiannya menggunakan insrumen yang disediakan oleh hukum formal. Jika melihat pada kasus-kasus tersebut, yang digugat sesunguhnya adalah azas kepastian hukum, yang diusung oleh sentralisme hukum. Sentralisme hukum mengklaim bahwa kepastian hanya akan diperoleh dalam aturan yang tunggal, sistemik dan terintegrasi (simarmata: 2005). Namun dalam contoh di atas, justru sistem hukum dengan watak yang demikian menimbulkan gangguan kepastian bagi komunitas-komunitas lokal. Terutama kepastian kelangsungan penguasaan mereka atas sumber daya lingkungan lokalnya. Tidak hanya menganggu kepastian, keadilan berdasarkan nilai-nilai lokalpun terusik. Gangguan atas kepastian kelangsungan hak-hak yang telah lama menjadi milik komunitas ini, mengawali lahirnya keraguan atas kemampuan sentralisme hukum untuk memberikan keadilan. Tidak pastinya posisi hak-hak berdasarkan tenurial adat, memunculkan konfigurasi perebutan sumber daya lingkungan lokal milik komunitas. Umumnya perebutan tersebut dimenangkan oleh kelompok yang secara historis sulit dilacak dan dibuktikan tentang adanya hubungan dengan sumber daya yang diperebutkan. Penangkapan atas kayu pertukangan, yang digunakan untuk bahan bangunan rumah sendiri, seperti yang sedang berlangsung di Mentawai, bisa dirujuk sebagai contoh. Klaim lahan suku berdasarkan hukum adat, tidak cukup bernilai untuk membuktikan alas hak mereka atas kayu tersebut. Sementara perundang-undangan yang diproduksi negara, sangat ampuh sebagai sumber keabsahan perusahaan HPH dan pemilik modal lainnya, untuk mengambil kayu di lahan-lahan yang secara adat menjadi milik suku. Jika demikian, maka pertanyaan yang penting diajukan dari gambaran diatas adalah: jika kepastian dan keadilan merupakan jantung dari sentralisme hukum, kepastian dan keadilan buat siapakah yang sesungguhnya diproduksi dan hendak dipertahankan oleh sentralisme. Pertanyaan ini menjadi sedemikian penting untuk dilontarkan, mengingat realitas - dimana bagi komunitas masyarakat adat dan yang marjinal, yang diperoleh dari hukum yang sentralistis dan positivis itu hanyalah ketidakpastian dan ketidakadilan. Pluralisme Hukum, Alat Menegaskan Kepastian dan Keadilan Bagi Masyarakat Marjinal Jika jawaban atas pertanyaan diatas masih belum tuntas, maka pluralisme hukum, oleh para aktivis gerakan sosial hukum telah digunakan sebagai alat untuk kembali merebut dan atau melindungi hak-hak rakyat yang dimarjinalkan oleh sentralisme hukum. Dalam konteks ini - dilapangan praksis, pluralisme hukum telah digunakan untuk: pertama, menjadi media/lingkungan untuk menyemai dan merawat tata aturan lokal, baik yang telah ada, mauapun yang akan dikonstruksi untuk merespons perkembangan kebutuhankebutuhan yang bersifat lokal; kedua, menjadi benteng/tameng bagi komunitas dari intervensi nilai atau norma eksternal yang tidak sejalan dengan cita-cita komunitas, dengan mengatakan bahwa dimasyarakat yang bersangkutan telah terdapat tata aturan. Hak komunitas untuk untuk merawat dan menjalankan tata aturan tersebut, mesti
dihormati dan difasilitasi oleh nilai-nilai yang datang dari luar lingkungan komunitas yang bersangkutan; dan ketiga, menjadi energizer bagi bangkit dan bekerjanya sistem sosial lokal (Herlambang dan Steni: 2005). Dengan cara kerja yang demikian, bagi aktivis gerakan sosial pembaruan hukum, penggunaan pluralisme hukum, justru ditujukan untuk memfasilitasi hadirnya kembali keadilan bagi komunitas-komunitas marjinal, sekaligus memastikan tetap berlangsungnya penguasaan masyarakat atas sumber daya yang ada. Keadilan yang tentunya didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman korban. Bukan keadilan berdasarkan konstruksi institusi pembuat hukum formal, yang bisa dipastikan, karena posisi dan status sosial-politiknya, tidak pernah menjadi korban ketidak adilan dari produk yang diciptakannya sendiri. Dengan pola ini, maka di Sumatera Barat pola relasi antara berbagai sistem hukum sudah mulai terbangun. Paling tidak antara sistem hukum adat dengan sistem hukum negara. Bentuk pola yang terbangun sangat dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel. Situasi internal dari komunitas sebagai variabel pertama dan situasi eksternal komunitas (terutama institusi-institusi formal) sebagai variabel kedua. Kondisi internal komunitas mestilah menjadi variabel utama yang harus digunakan ketika hendak membangun pola relasi dengan sistem hukum lain. Ada kalanya warga komunitas sudah sangat tidak yakin lagi pada kekuatan hukum adatnya. Ketidak yakinan ini sering disebabkan karena tidak pastinya posisi hukum adat dalam pandangan hukum formal. Jika situasi ini yang tejadi, maka perlu didorong lahirnya pengakuan formal atas posisi hukum adat tersebut. Meskipun ini baru bisa disebut sebagai bentuk dari pluralisme hukum lemah (HuMa:2005). Pada komunitas yang hukum-hukum lokalnya masih jelas dan didukung oleh keterikatan yang kuat terhadapnya, relasi yang terbangun bisa berupa penyangkalan terhadap tata aturan formal. Demikian juga sebaliknya, yaitu jika institusi formal berkutat kuat pada aturan formal, maka yang terjadi adalah penyingkiran hukum lokal. Jika dua-duanya samasama kuat, maka pola relasi yang terbangun sangat mungkin berupa relasi yang saling menguatkan. Relasi seperti ini bisa dicontohkan dengan peraturan Nagari yang mengharuskan ditempuhnya proses adat dalam investasi di Nagari. Disini pemerintahan Nagari sekedar berfungsi menyelenggarakan administrasi perizinan, sedangkan hal-hal yang berifat subtantif dikembalikan pada ketentuan-ketentuan adat. Jika prosedur adat tersebut tidak dijalankan maka proses dan hasil administrasi perizinannya menjadi batal. Demikian juga sebaliknya, proses adat belum akan dijalankan sebelum administrasi perizinan di Nagari selesai. Pola relasi yang saling,mendukung ini juga kelihatan dalam proses penyelesaian sengketa sako dan pusako. Lemahnya penguasan hakim-hakim di PN dan PT, terhadap hukum-hukum adat yang terkait dengan sako dan pusako, menumbuhkan kesadaran untuk memfungsikan institusi adat/lokal sebagai pintu pertama dalam penyelesaian sengketa sako dan pusako. Jika pada akhirnya kasus-kasus tersebut sampai juga di peradilan umum, maka kasus itu diperiksa dengan menggunakan hukum adat sebagai hukum materiilnya dan hukum formal sebagai hukum acaranya. Namun tidak berarti, bahwa relasi yang terbangun akan selalu dalam bentuk saling menguatkan. Untuk hal-hal yang terkait dengan sumber daya alam seperti tanah, hutan dan tambang, kelihatan sekali hukum negara masih hendak superior atas hukum-hukum lokal.